Suasana hening menyelubungi. Balasannya tadi seakan tidak terduga padahal itulah yang aku harapkan, setidaknya sedikit ucapan darinya setelah itu.Terkunci di sebuah kotak perhiasan. Sesuatu yang hampir tidak pernah kubayangkan akan kisah bagaimana nasib seorang Guardian saat aku menjumpainya.Aku menatap kedua anak Wynter. "Dari mana kalian tahu bahwa di dalamnya ada Guardian?""Aku tidak tahu, hanya mengikuti petunjuk dari Stafford," jawab Ariya.Ah, jadi sama saja dengan kasusku.Aku kembali menatap kotak perhiasan itu. "Katakan, kenapa kamu diam saja?" tanyaku."Aku tidak akan bicara pada sosok yang tidak kuanggap." Balasan yang menusuk."Bicaralah pada siapa yang kamu mau," ujarku. "Keadaan sekarang cukup genting, kita sebaiknya menyelamatkan yang lain.""Baik, Putri."Dari suaranya, dia terdengar seperti anak lelaki yang begitu muda, seperti sedikit lebih tua dari Remi. Belum pernah kutemui Guardian semuda ini."Bagaimana caraku membuka ini?" tanyaku sambil mengetuk kotak itu."D
"Istana Zarqan." Aku ucapkan kembali nama tempat ini. "Jadi ini tempat kalian rapat?""Tidak juga, tempat ini lebih sering digunakan sebagai tongkrongan," jawab Zach. "Aku adalah jin yang bertugas mengatur rumah ini. Tempat khusus bagi kita untuk bernaung.""Maksudmu, kita aman di sini?""Selama lawan kita bukan sesama jin. Sayangnya lawan kita sekarang adalah Zibaq.""Kamu tahu dari mana?" heranku."Hansel-atau sekarang bernama Ezekiel-memberitahuku segalanya," jawab Zach. "Aku mendengar semua ketika tersegel. Setelah mendengar suara benda-benda bergesekan, akhirnya terdengar suara yang bisa dipahami."Aku mengiakan tanda mendengar. "Kenapa kamu bisa tersegel?""Zibaq yang dulu membuatku tersegel," jawab Zach.Tersegel? Bukannya 'disegel'? Atau justru memang itu bukan perbuatan Zibaq langsung?"Dia tidak menyegelmu langsung?" Aku bertanya untuk memastikan."Sesama jin, apalagi yang sederajat tidak bisa saling menyegel," jawab Zach. "Hiwaga yang melakukan ini."Astaga."Ironisnya, seka
Segera setelah Tirta berucap, suasana kembali hening bahkan dalam waktu lama. Seakan dia tidak ingin menyambut atau bahkan hanya sekadar mengajak Guardian lain mengobrol sejenak. Kukira sebagai pemimpin dia akan memberi pidato panjang yang emosional, tapi sepertinya keadaan tidak mendukung. Pada akhirnya, hening pun berlanjut hingga aku tidak tahu berapa lama keheningan itu berlangsung. Tanda pertemuan telah dibubarkan. Tanpa kalimat perpisahan atau pesan lain, mereka pergi begitu saja. Dialog singkat antara para Guardian itu membuatku resah entah kenapa.Apa selama ini mereka sudah saling tahu keberadaan masing-masing? Ini masuk akal karena Khidir juga dulu pernah bercerita mengirim surat kepada sesama Guardian di masa lalu, juga Arsene. Jadi, tidak menutup kemungkinan sekarang mereka hanya tinggal bertemu langsung apalagi akses jarak jauh seperti Istana Zarqan yang sangat membantu. Tapi, kenapa mereka memilih untuk tidak melawan Zibaq bersamaan di saat seperti ini? Atau m
Dia berdiri di depan celah lebar pintu kamar yang bahkan tidak jelas konsepnya ini. Waktu itu, aku memang mengaku terlalu banyak mengeluh. Melihat Khidir kembali seakan telah mencairkan keadaan. "Khidir!" Aku sebut namanya lagi kemudian berlari lalu mendekap erat dirinya. "Aku merindukanmu." Dia mengelus pelan rambut hijauku. "Ya, aku juga," balasnya lembut. "Kamu berteriak dari tadi, aku jadi cemas." Masih dalam posisi memeluk, aku lanjutkan ucapanku. "Tidak ada balasan, wajar aku teriak." "Kyara." Khidir melepas pelukan. "Kita sedang bersembunyi, tidak bisa berkumpul saat ini. Sementara aku di sini memastikan agar dia tidak datang padamu." "Aku tahu," balasku pelan."Kalau tahu, kenapa masih teriak?" balasnya. "Kamu bukan dirimu yang dua belas tahun, harusnya sudah paham."Melihat tatapan mata hijau Khidir yang lembut membuatku merasa terkunci. Seakan tidak bisa menghindar. Memang sekarang aku berusia enam belas,
Begitu Khidir mengucapkan kalimat itu, aku raih tangannya dan ikut berjalan di sisinya sementara Gill menyusul di belakang. "Bagaimana cara keluarnya?" tanyaku. "Panggil dia," jawab Khidir. Aku menatap kalungku. Meski memang dia bisa dipanggil kapan saja, tapi mungkin ada fungsi tambahan dari kalung ini yang bisa memanggilnya dengan lebih cepat. "Zach!" panggilku. "Ya, Tuan Putri?" Aku tersentak mendengar suaranya tepat di samping kananku. "Kamu ini sudah dipanggil dari tadi malah tidak menjawab! Dari mana saja?" Bukannya menanyai jalan keluar, aku justru menyemprotnya dengan omelan yang tersimpan sejak lama. Setidaknya hati terasa lebih lapang. Jin berambut biru pucat itu terdiam sejenak. "Aku tidak akan membiarkanmu lepas di tengah badai salju." Aku menatap Khidir. Pria itu diam, seakan memihak Zach. Sementara Gill memilih menunduk, dia mungkin tidak tahu permasalahannya dan lebih memilih dia
"Kita minta bantuan saja dengan Raiv," saran Gill setelah kami keluar dari tempat minum itu. "Hyde," koreksi Khidir. "Bisa, jika dia berkenan." Bahkan sebagian Guardian masih saling memanggil dengan nama belakang entah mengapa. Padahal kukira hubungan mereka lebih erat dari itu. "Zach bisa berteleportasi?" tanyaku. "Hanya untuk orang yang menggendongku," terang Zach. "Jika kamu membawaku di punggung layaknya membawa anak kecil, aku bisa jadi senjata tambahan untukmu, salah satunya juga untuk memindahkan posisi jauh dalam waktu singkat." Aku ingat jika Zahra juga memiliki kesamaan. "Bagaimana dengan Zahra? Apa sama?" "Zahra itu putriku," jawab Khidir. Zach menimpali. "Sementara aku adalah jin pelindungmu dan Pangeran." Aku mengiakan tanda mengerti. Jalanan kami lalui dengan keheningan, meski berpas-pasan dengan warga yang tengah menghangatkan diri pasca musim dingin dadakan. Dapat kulihat sebagi
Dia di tengah bertarungan dan jelas dalam bahaya. Aku berdiri melihatnya di sana, menghadap seorang lelaki yang selama ini mencoba menarikku dalam jebakannya. Tatapanku bertemu dengannya, pelindungku, diiringi dengan sinar kalungku yang kentara. Aku tahu tanda ini dan kuputuskan untuk menjaga jarak."Hentikan," ucapku, tahu jika dia mendengarnya dengan jelas. Ezekiel justru tertawa akan seruanku layaknya mendengar guyonan. "Jangan dramatis gitu, deh. Gue kira lo dijaga sama Hyde." "Aku ke sini atas kehendakku," tegasku. Ezekiel hanya menanggapi dengan "oh" pelan. "Aku perintahkan engkau untuk segera pulang!" titahku. Ezekiel tersenyum. "Tuan Putri, terpaksa gue tolak titahnya. Lo lihat sendiri 'kan, kalau ada musuh di sini? Gue enggak bisa lepas begitu saja." "Ascella bukan ancaman," sanggahku. "Putri kira yang selama ini membahayakan lo itu siapa?" sahut Ezekiel. "Wendigo aja dia pancing buat m
Ketika jeritan Ascella menggema, bongkahan es memenuhi pandangan. Membentuk beragam wujud dari patung menyerupai sosok menghias sejarah di masa lampau hingga dewa-dewa dari kuil. Namun, fungsinya hanya satu, menyegel siapa saja yang terperangkap di dalamnya. Krak! Patung-patung itu bertabrakan, namun tidak tampak saling meruntuhkan. Membentuk layaknya sebuah dinding pelindung bagi Ezekiel dan Ascella di dalam. Dari getaran yang diciptakan, aku berusaha menjaga keseimbangan. Sementara itu, dapat kurasakan Zach menahanku dari kejatuhan. Dia masih di punggungku, melindungi dari kejatuhan bongkahan es yang berhamburan. "Putri." Zach memanggil, seperti ingin memberitahu sesuatu. Aku mencoba mencari apa yang dia maksud dengan mendongak, siapa tahu dia berusaha menunjukkan sesuatu di atasku atau justru samping. Kulihat bayangan hitam masuk ke istana es ini begitu patung es semakin bertambah. Jejeran es yang belum menyatu tadi lang