"Ezekiel!" Jeritanku menggema. Tidak ada balasan selain suara gema dariku.Rumah ini hanya terdiri dari lapisan es yang begitu tebal hingga nyaris tidak terlihat bagian dalamnya. Padahal aku dengar dari Ascella kalau ini hanya rumah seseorang yang telah dibekukan."Ezekiel!" seruku lagi.Lagi-lagi, gema yang menjawab.Safir yang terlebih dahulu masuk kini tampak mulai bosan mendengar panggilanku yang tidak kunjung membuahkan hasil."Kalau begini terus tidak ada kemajuan," ujarnya. "Aku akan mencari target kita!""Tunggu, Safir!" Belum selesai ucapanku, dia pergi dan menghilang di balik bayangan. Sama persis seperti gelarnya, Safir sang Bayangan.Aku menahan napas. Memang benar kata Safir, tidak berguna menyeru nama kalau orangnya saja tidak akan merespons. Namun, aku tidak akan menyerah."Ezekiel!" jeritku sekuat tenaga.Suaraku menggema, menyeru nama yang sama."Putri," tegur Darren. "Biarkan.""Kenapa?" tanyaku spontan."Di
« Delina Wynter »Sudah kuduga, Paman Idris pasti akan membawa masalahnya dalam hidup kami. Firasatku sudah tidak baik sejak awal menatap pamanku. Dia memang baik di permukaan, tapi aku tidak bisa mempercayai orang yang isi pikirannya begitu samar. Jika aku bisa melihat masa lalu seseorang dengan menyentuh mereka, ini tidak berlaku bagi Paman Idris dan teman-temannya. Ingatan mereka seperti kabut tebal yang menutupi pandangan dan seperti kukatakan sebelumnya, aku tidak bisa percaya dengan orang yang tidak jelas masa lalunya.Bukannya mengapa, tapi ada baiknya memahami latar belakang seseorang sebelum mengenal mereka lebih dekat. Kamu tidak akan menebak dampak yang akan terjadi hanya dengan mengenal mereka. Bisa jadi karena kamu dianggap sebagai "orang yang dikenal" saja dapat membawamu ke dalam masalah. Dalam kasus keluargaku, ini justru mengikat kami dalam kisah anggota kerajaan yang ingin kembali berkuasa.Ayahku–atau biasa kami panggil "Abi"–adalah pangeran dari
Jika kekuatan Ezekiel diakui berasal dari leluhur, maka tidak menutup kemungkinan dengan Darren. Terlebih ketika api birunya mampu melelehkan es karya adiknya hingga ruangan tadi kembali seperti semula. Akhirnya aku bisa menyimpulkan siapa lawan yang imbang bagi Ezekiel, meski sejauh ini jelas dia yang terkuat.Dengan kekuatan sebesar itu, apa yang akan Ezekiel lakukan? Lantas, sekuat apa dia sebenarnya? Apa bisa menandingi Guardian yang kujumpai sebelumnya? Entah kenapa Khidir orang pertama yang muncul di benak ketika memikirkan lawan yang imbang baginya selain Darren. Tapi, aku harus menemukannya dulu, baru meneliti kekuatan. Untuk saat ini, aku dan Darren harus fokus mencari Ezekiel maupun target."Darren," panggilku. "Kekuatanmu itu berasal dari leluhur juga?"Dia berjalan di depan, begitu pelan seakan takut jika langkahnya terdengar. "Ya."Suara dari langkah kakiku memang cukup pelan bagiku, tapi jelas lebih berisik darinya. Namun, dia tidak menegur, berart
Dia.Dia yang membunuh ibuku.Dia yang selama ini mencariku.Dia juga yang merusak segalanya. Memastikan aku selalu terpisah dengan mereka.Karenanya juga, Gill harus mengorbankan diri.Dia alasan aku harus melawan.Dia lawan kami."Zibaq," bisikku.Raga siapa lagi yang kaupakai? Oh, kakaknya Ascella itu. Jadi, selama ini kami bicara dengannya. Tidak heran begitu ingin mendekat. Kini aku mengerti maksud Ezekiel beberapa hari lalu ketika "Helia" mengajaknya bekerja sama."Dia kayaknya enggak tahu, deh, konsekuensi atas keputusannya."Ezekiel tahu. Dia juga memberitahu. Kini dia membuktikan ucapannya.Aku mencoba tenang, meski Zibaq jelas masih memegang leherku, pegangannya kian erat dan membuatku merasa sesak."Azeeza," balasnya. Menyebut nama jiwaku.Darren berdiri di depan, tatapan matanya dingin menusuk, tapi dapat kurasakan kobaran api membara dalam jiwanya hendak menyerang namun akan berisiko membakarku hidup-hidup. Tidak
Penampilannya tentu berbeda dari sebelumnya. Selain pakaian yang tampak seperti jas putih rapi, ditambah juga dengan rambut yang kini disisir ke belakang dan tampak lebih rapi, namun di sisi lain membuatnya tampak seperti pemikat."Sore, Kyara!" Dia sapa aku dengan senyuman khasnya. "Aku datang tepat waktu, 'kan?""Enggak," balas Darren. "Kami nyaris terbunuh.""Nyari," sahut Khidir. "Sekarang, kita cari jalan keluar.""Bukannya ini sudah di luar?" sahutku."Belum dalam jangkauan jin itu." Khidir memicingkan mata, menatap di sebelah kirinya. Tampak mencari. "Zahra sudah mengevakuasi rakyatku yang selamat."Aku tidak melihat apa-apa, barangkali Zahra menggunakan kekuatan menghilang khas bangsa jin. Tapi, rasanya percuma karena Zibaq juga seekor jin. Barangkali gadis itu sedang beteleportasi menuju jalan keluar."Sekarang, aku akan mencari teman kita itu." Khidir berjalan beberapa langkah ke depan. "Jaga diri!"Dia melompat, bersamaan dengan itu, s
Aku telah kehilangan jejak. Mereka telah terkubur di antara reruntuhan. Sementara aku dibawa entah ke mana.Bayangan yang menyelubungiku tidak juga bersuara, hanya desiran angin menyertai, tanda suhu saat ini masih saja sama, dingin.Sepanjang perjalanan, yang kulihat hanya kota yang beku. Perlahan terselimuti salju hingga yang tampak dari atas sana hanya sebatas hamparan pasir putih, tiada tanda kehidupan maupun jejak bahwa tempat ini pernah dihuni sebelumnya.Sungguh mengerikan kekuatan Ezekiel. Tidak kusangka seorang Guardian dapat berbuat seperti ini hanya demi mencegah inang lain dari Zibaq. Namun, tentu masih banyak warga termasuk Guardian lain yang mendampingi Ezekiel belum membeku, sehingga kemungkinan mereka menjadi inang cukup tinggi. Tapi, kuanggap tindakan ini dia lakukan demi mengecilkan risiko.Malam ketika Nemesis di bawah kendali Zibaq masih tergiang. Bahkan seorang Guardian dapat dipengaruhi jin itu. Bagaimana dengan orang biasa?Khidir sudah jelas terbiasa dengan jin,
« Ascella » Hangat. Itu yang kurasakan setelah semburan badai es membekukan ragaku. Sesak awalnya, hingga seseorang atau barangkali sesuatu menyelamatkanku. Itu dia. Yang kini memberiku selimut serta aura hangat menyelubungi diri. Aku mengatur napas. Hidung tersumbat akibat udara membeku yang masuk. Kini mencair hingga napasku kembali normal. Sangat janggal jika aku masih percaya dengan makhluk ini. Dia yang merenggut jiwa kakakku, menguasai raganya dan berlagak seakan dia pengganti yang layak. Namun, yang kulakukan justru mematuhinya. Karena jika aku menolak ... "Jika kamu ingin dia selamat, patuhi perintahku." Andai aku menolak, mungkin aku maupun Kakak tidak akan bertahan hingga hari ini. Tapi, aku tidak pernah sekali pun merasa diuntungkan dalam perjanjian ini. Menyesal tiada gunanya sekarang. Makhluk itu telah mengendalikan Kakak dan aku harus menyelamatkannya. "Kamu terluka?" Tidak sewajarnya dia bertanya seperti ini. Terl
Suasana hening menyelubungi. Balasannya tadi seakan tidak terduga padahal itulah yang aku harapkan, setidaknya sedikit ucapan darinya setelah itu.Terkunci di sebuah kotak perhiasan. Sesuatu yang hampir tidak pernah kubayangkan akan kisah bagaimana nasib seorang Guardian saat aku menjumpainya.Aku menatap kedua anak Wynter. "Dari mana kalian tahu bahwa di dalamnya ada Guardian?""Aku tidak tahu, hanya mengikuti petunjuk dari Stafford," jawab Ariya.Ah, jadi sama saja dengan kasusku.Aku kembali menatap kotak perhiasan itu. "Katakan, kenapa kamu diam saja?" tanyaku."Aku tidak akan bicara pada sosok yang tidak kuanggap." Balasan yang menusuk."Bicaralah pada siapa yang kamu mau," ujarku. "Keadaan sekarang cukup genting, kita sebaiknya menyelamatkan yang lain.""Baik, Putri."Dari suaranya, dia terdengar seperti anak lelaki yang begitu muda, seperti sedikit lebih tua dari Remi. Belum pernah kutemui Guardian semuda ini."Bagaimana caraku membuka ini?" tanyaku sambil mengetuk kotak itu."D
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.