"Gigantropy, ya?" Ezekiel mengulangi ucapan River. "Hm, gue sudah tahu."
"Benarkah?" River mengangkat sebelah alis. "Akhir-akhir ini, baru saja terjadi kebakaran besar disebabkan Gigantropy Api dan kulihat kamu tidak bertindak sama sekali."Jangan-jangan di hari pertama aku di sini. Zibaq sepertinya tahu, makanya aku langsung dilempar tepat ketika Gigantropy Api tadi mengamuk dan ia jelas ingin membakarku jika kadalnya gagal. Saat itulah kadalnya datang dan memangsa Gill demi melindungiku.Untungnya, Ezekiel lekas menyelamatkanku. Meski ... Aku sendiri tidak tahu nasib Gill sesungguhnya."Dia melindungiku," ujarku membela Ezekiel. "Pasti kelelahan setelahnya, wajar kalau tidak bisa melawan makhluk itu."Maksudku, Ezekiel sudah pasti kelelahan seusai penyelamatan dan tidak mungkin langsung bisa melawan Gigantropy yang menurutku pasti berwujud besar sama seperti kekuatannya. Dia harus istirahat.Kuamati River, tampak murung seakan tidak setuju. Sepertinya jawabAku berbaring di kasurku beberapa jam setelahnya, tanpa disambut oleh Safir yang juga tidak jelas kabarnya. Aku memakai piama sederhana berwarna putih yang sudah disediakan. Tidak heran karena sudah pasti telah ada sejak Ezekiel mendengar kabar tentangku. Aku tahu ketika iseng membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian yang cocok. Mungkin saja ini pakaian untuk saudarinya atau dia yang begitu siap menyambutku. Kutanyakan nanti ketika ia pulang untuk memastikan.Seusai berganti, aku langsung berbaring. Aku tidak mencemaskan keamanan lantaran kamarku sendiri sudah tersedia kunci sementara uangnya ada di sisiku. Belum pernah aku merasa sesantai ini. Barangkali bawaan aura dari Ezekiel, meski dia jelas sudah membuat seseorang marah padanya waktu itu. Tapi, aku sudah melihat kepribadian itu pada Mariam. Jadi, hal ini sudah lumrah terjadi meski kadang aku ingin menegur sesekali. Sesekali yang bahkan hampir tidak sama sekali.Aku dengar bunyi pintu terbuka.Aku lan
Kota Adrus, seperti yang kujelaskan sebelumnya, tidak beda jauh dibandingkan Ezilis. Beberapa warga yang kulihat lebih tampak seperti manusia ketimbang yang di Aibarab. Sebagian besar berkulit pucat dan kebanyakan lebih rendah dari rata-rata orang Aibarab. Meski demikian, aku yakin kekuatan sihir mereka tidak kalah dari masyarakat yang biasa kulihat. Sambil menggenggam tas kecilku, aku menyusuri jalanan seorang diri. Baru kali ini aku benar-benar sendirian tanpa dikawal. Memang ini merupakan pengalaman langka, tapi aku kurang nyaman apalagi jika berada di tempat asing. Dari segi penampilan, aku memang seperti kebanyakan orang. Tapi, masih lemah di sihir. Meski sudah hidup berdampingan dengan makhluk sihir pun aku masih tidak bisa. Kecuali ilmu perdukunan yang takut diterapkan karena kebanyakan berurusan dengan jin atau iblis yang pada dasarnya musuh kami. Kecuali Zahra tentunya.Para warga di sini, untungnya, tidak menatapku terlalu lama melainkan sekilas. Mereka antar
"Menghilang?" Ezekiel membeo. "Ya, terakhir kudengar, mereka mencarimu," kata Ascella. "Kamu ada klien lain?"Aneh, padahal malam kemarin tampak baik-baik saja. Pelindungku mungkin sedang berburu Gigantropy, tapi tidak pernah membahas kliennya lagi. Apa aku harus bicara? Tidak, aku tidak ingin keceplosan. Barangkali bisa dijawab oleh pelindungku lain waktu."Terakhir kabarnya sedang bikin kontrak," ujar Ezekiel. "Malam itu, dia memberi uang muka lalu pergi." "Dia pergi ke mana?" tanya Ascella. "Itu privasinya," balas Ezekiel. "Kalau mau mencarinya, mending lapor ke polisi saja." "Aku tahu dia menemuimu karena tahu sesuatu," kata Ascella. "Dia tahu tentangmu." "Semua orang di kota ini tahu siapa," balas Ezekiel. "Gue populer, lho." "Bukan begitu!" sanggah Ascella. "Dia tahu identitasmu." "Ya, gue Pemburu Sihir."Saat itulah, aku terkejut melihatnya langsung mengubah gaya bicara seperti sedia kala. Ascella tampaknya tidak merisaukan
"Lari! Gigantropy!"Api biru telah membakar taman. Sebagian telah berlari menyelamatkan diri. Sementara sebagiannya lagi justru terdiam menyaksikan apa gerangan yang terjadi. Untungnya belum terlihat ada yang terbakar.Tidak ada raungan seperti yang kubayangkan, justru hanya dentuman bunyi akibat langkah kaki raksasa disertai jeritan korbannya yang ketakutan.Aku hanya bisa terpaku. Entah kenapa kaki tidak ingin bergerak kala bahaya berdiri tepat di depanku. Padahal sebelumnya aku biasa memacu langkah saat bahaya mengintai dan kini malah justru terpaku bagai patung.Saat itulah, semburan api biru menyebar ke segala arah hingga menciptakan neraka kecil di tengah kota. Terlihat indah namun mematikan di saat yang sama.Aneh, kenapa terasa tidak asing?Aku jadi ingat yang menyambutku pertama kali di Arosia. Bukan, itu api merah. Tapi, kenapa aku seakan kenal dengan ini?Count punya api hitam, sama dengan Akram. Tapi ini berbeda. Bisa jadi ini api berasal
«Liliane» Dad bersandar di sisi jendela, matanya hampir tertutup serta pandangan kosong menunjukkan betapa lesanya beliau. Kami baru saja memesan kereta untuk berkunjung, rumah target sebentar lagi muncul. Seusai mendapatkan rumah sementara, kami lalu makan di restaurant, Dad langsung mengajakku bertemu dengan seseorang. "Dad, dari mana dapat rumah secepat itu?" ujarku yang bersandar di sisinya. "Kita baru sampai di sini." Ia tersenyum bangga dan menepuk kepalaku dengan gemas. "Hebat, 'kan, ayahmu ini?" Aku hanya mengiakan. Kalau ada sihir, sudah pasti kami dapat rumah baru seperti bivak alam sederhana. Namun, kini Dad hanya mengandalkan ilmu dan uang seadanya. "Lumayan, bisa buat besok," ujarnya merujuk pada uang saku kami. "Besok, aku akan melamar kerja ke wanita itu." "Kenalanmu?" tebakku. "Tidak juga," jawabnya. "Memang, aku dulu pernah mengenalnya saat masih bujangan. Tapi ... Yah, begitu." Aku paham, ia sengaja merahasiakannya. Takut jika sopir mendengar. Aku memandang
Ezekiel bilang, dia akan mengirim buku penuh coretan ini kepada Ascella. Meski kesannya seperti memberi hadiah dengan niat terselubung. Seusai kejadian tadi, aku sedikit kecewa melihat pelindungku tidak mendapatkan upah karena kulihat dia pulang dengan tangan kosong dan malah berbaring di sofa.Aku sampaikan protesku. "Mereka tidak berterima kasih sama sekali? Padahal mereka tidak bisa lari dari kejaran Gigantropy dan justru tidak menghargai usahamu."Ezekiel yang tengah berbaring di sofanya masih asyik dengan gawai. "Sudah, Putri. Gue sudah dapat upah meski dari ceceran.""Hah?""Beberapa tadi kehilangan uang di jalan, 'kan?" balas Ezekiel. "Nah, begitu saja cukup, kok."Aku hendak protes, tapi tidak punya alasan kuat. Sangat janggal jika penduduk kota ini tidak menghargai usaha Ezekiel padahal dia bisa saja mencegah lebih banyak kematian, sedikit saja terlambat bisa fatal. Barangkali di lain waktu ia bisa melindungi semua orang. Aku percaya itu."Lagian gue juga enggak sempet bunuh
"Putri."Terdengar suara di balik kegelapan malam."Putri."Mataku masih terlalu berat, terpaksa kubalas dengan segenap tenaga. "Ya?""Lo tadi yang selimutin gue?"Aku mengiakan, malas mempermasalahkan jika Ezekiel protes."Makasih, ya." Hanya dengan itu, kurasakan selembar kain menutupi badanku. Dia ternyata menyelimutiku juga, barangkali mengembalikan kain tadi lantaran tidak memakai.Lalu, kurasakan dia duduk di sisiku."Gue tadi enggak sengaja tidur," ujarnya.Aku mengiakan, masih mengantuk."Lalu bangun-bangun gue kaget ternyata lo kasih gue selimut," ujarnya. "Lo manis juga, ya."Aku lagi-lagi mengiakan. Sudahlah, lebih baik tidur sebelum dia terlalu memuji."Gue enggak pernah ketemu orang semanis lo."Lihat? Dia sudah mulai memuji dan pasti akan semakin parah."Gue tahunya mereka cuma ikutin aturan ala gue, paham, 'kan? Kalau belum, nanti kukasih tahu.""Tidak perlu," balasku malas.Ezekiel melanjutkan. "Serius, lo dulu pas di Shan sangat manis malah. Sekarang saja rada beda.
"Kalau begitu, kenapa tidak tolak saja?" tanyaku. "Kalau tidak ikhlas begitu.""Gue bukannya enggak ikhlas, Putri," ujar Ezekiel sambil kembali berbaring di sofa. "Tapi, gue terbiasa melihat penyihir kerja sendirian. Kalau berkelompok biasanya bakal kacau.""Memangnya kenapa?" heranku. "Kalian, Guardian, juga berkelompok, bukan?""Kami biasanya kerja sendiri, kok," sanggah Ezekiel. "Kami bakal bergabung kalau kepepet.""Begitu." Aku bersedekap, setengah percaya dan tidak.Biasanya kulihat memang kadang mereka bertarung berkelompok saat bersamaku. Tapi, ucapannya memang ada benarnya. Saat kali pertama mengenal mereka, memang lebih sering bertarung sendiri sementara aku berusaha menghindari bahaya. Sementara bekerja sama hanya terjadi sesekali jika Zibaq berbuat onar. Lantas, kenapa Ezekiel menerima tawaran dari Helia untuk bekerja sama?Ezekiel mengiakan lalu mengubah topik. "Cara bocah itu menatap lo benar-benar meresahkan.""Iya, kah?" Aku bahkan tidak tahu jika Ascella menatapku sel