“Bagaimana kinerja Citta, Will?” Tanya Johan ketika mengunjungi ruangan William. Yang ditanya hanya mengedikkan bahu sambil tetap memainkan pulpen yang dipegangnya.
“Entahlah. Aku tidak ada waktu mengurusi anak magang, Pa.” Ujar William sambil menatap ayahnya penuh selidik.“Apa yang sedang Papa rencanakan padaku?” Tanya William sambil meletakkan pulpen. Ditatapnya sosok ayahnya lekat-lekat. Sementara Johan yang sengaja mengabaikan tatapan tajam William, langsung mengedikkan bahu.“Tidak mungkin. Terlalu sering Papa menyebut nama Citta. Serta terlalu jauh Papa ikut campur dalam banyak hal yang menyangkut gadis itu di sini.” Kejar William. Ia sangat yakin bahwa ayahnya tengah merencanakan sesuatu untuknya. Dan rencana itu berhubungan dengan Citta, si gadis magang.“Ada banyak mahasiswa magang di sini, tapi kenapa hanya Citta terus yang Papa tanyakan.” Lanjut William yang mulai terpancing emosinya karena sang ayah tidak kunjung bersuara.“Aku juga menangkap gelagat Pa“William, bisa kita bicara?” Ragu-ragu, Citta akhirnya bertanya juga. Itu pun setelah ia berusaha mengumpulkan segenap keberaniannya. William menatap gadis yang menghadapnya dengan sorot matanya yang tajam dan wajah dingin dan datarnya yang teramat mengerikan.“Aku juga ingin bicara denganmu.” Ujar William kemudian berjalan menuju ruangannya. Di belakang Will, Citta mengekor dengan langkah tergesa, berusaha mengimbangi langkah kaki sang bos.Beruntung, hari masih cukup pagi. Sekilas, Citta melihat jam digital di atas meja Elena menunjukkan angka nol enam tiga nol. Pukul enam tiga puluh. Masih ada cukup waktu, batin Citta. Will langsung duduk di atas kursi kerjanya dan sengaja tidak menyuruh Citta untuk duduk.“Apa yang sudah kau lakukan pada papa?” Pertanyaan dengan nada intimidas
Cahyo nyaris ambruk ketika mengambil air minum di dapur. Beruntung, ia berpegangan pada tepian meja makan sehingga tidak benar-benar terjatuh. Cahyo kemudian menarik salah satu kursi terdekat kemudian duduk. Napasnya sedikit tersengal dan keningnya membasah karena peluh. Setelah bersusah payah mengatur napas, Cahyo kemudian memperbaiki posisi duduknya seraya menegakkan punggung. Tepat pada saat itu, Citta muncul dengan wajah lesu.“Ada apa, Sayang?” Tanya Cahyo sambil meneguk air perlahan. Dilihatnya Citta duduk dengan lemas, seolah tidak bertenaga.“Citta gagal, Yah. Citta tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan.” Jawab Citta sambil mengambil satu lembar roti kemudian menggigit salah satu sudutnya.“Kenapa sampai tidak selesai?”
Citta mengernyit mendapati Andrew berada di ruang perawatan ayahnya. Laki-laki yang berprofesi sebagai dokter itu kemudian tersenyum pada Citta. Citta membalas senyum Andrew dengan canggung. Ia tidak pernah berinteraksi dengan Andrew sebelumnya sehingga ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk membuka pembicaraan dengan laki-laki itu.“Citta, kamu tidak magang hari ini?” Tanya Andrew sambil mengecek aliran infus yang menggantung di dekat tubuh Cahyo.“Magang saya sudah selesai, Dok.” Setelah kebingungan dalam waktu yang relatif lama, Citta akhirnya memilih memanggil Andrew dengan dokter daripada Om.“Keadaan ayah saya bagaimana, Dok?” Sambung Citta tanpa memberi kesempatan pada Andrew untuk menanyainya lebih jauh.“Ayahmu b
Citta terdiam setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar Andrew. Dari sekian banyak hal penting yang disampaikan dokter yang masih berkerabat dengan Johan itu, Citta dapat menarik kesimpulan bahwa ayahnya harus dipindahkan ke rumah sakit lain di luar kota. Cahyo yang tidak hanya membutuhkan obat, juga membutuhkan suasana serta lingkungan yang nyaman dan asri. Dan Andrew menyarankan sebuah rumah sakit yang terletak di kaki gunung. Rumah sakit yang berjarak tiga jam perjalanan dari kota tempat tinggal Citta.“Sebaiknya kamu ikuti saran Andrew, Citta. Ini untuk kebaikan ayahmu.” Johan buka suara setelah sebelumnya banyak diam dan mendengar.“Jika ayah dirawat di sana, Citta jadi tidak bisa menjenguk ayah setiap hari, Om.” Keluh Citta dengan wajah sedih. Dipandanginya sosok ayahnya yang tergolek lemah. Andrew mengatakan bahwa ayahnya baru saja makan malam dan memakan obatnya. Dan hampir semua obat yang dikonsumsi ayah Citta memunyai efek samping mengantuk.“Setiap Citta datang, ayah se
Komunikasi melalui panggilan suara atau video seperti yang dilontarkan ayahnya dulu, ternyata tidak pernah terealisasi. Hingga detik ini, satu kali pun Citta belum pernah lagi mendengar suara atau melihat wajah ayahnya. Hanya pesan-pesan teks yang rutin datang menyapanya. Isinya nyaris sama, informasi tentang keadaan ayahnya yang naik turun serta larangan Andrew untuk terlalu lelah.‘Melakukan panggilan suara atau video itu memerlukan energi lebih banyak daripada mengetik pesan.’Dalih yang sama, yang selalu Citta baca ketika ia menuntut untuk melakukan panggilan telepon. Citta yang menjadi kurang fokus, akhirnya menceritakan semuanya pada Johan. Laki-laki itu dengan sabar mendengarkan ocehan Citta yang seolah tidak akan pernah habis. Jika sudah demikian, hal yang bisa Johan lakukan adalah meminta Citta menginap di rumahnya. Namun, situasi langsung berubah seratus delapan puluh derajat begitu pagi tiba. Saat tiba waktunya sarapan, Johan pasti akan menjumpai wajah masam putra semata w
Citta hanya menggeleng lemah ketika ditanya tentang anggota keluarga lainnya yang sedang ditunggu sebelum jasad Sang ayah diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya.'Tidak mungkin mama dan Kak Dhita akan datang.'Hati kecil Citta sangat yakin bahwa ibu dan kakaknya tidak akan datang. Sejak ibunya memutuskan meninggalkan rumah dengan mengajak kakaknya, Dhita, ibunya mengatakan bahwa tidak akan peduli dengan apa pun yang terjadi di rumah ini."Citta, ambulans sudah datang." Suara berat Johan menggugah Citta dari lamunan. Gadis itu menatap sosok sahabat ayahnya lalu mengerjap beberapa kali. Mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan pria itu."Ambulans sudah siap." Ulang Johan. Citta perlahan beranhak dari duduk beraimpuhnya di samping jenazah sang ayah. Ia kemudian menepi, memberi akses pada beberapa laki-laki yang akan menggotong jenazah ke dalam ambulans. Citta kembali menangis ketika kakinya mulai melangkah menuju ambulans."Kamu boleh tidak ikut." Ujar Johan sambil menyentuh b
Canggung.Itulah yang Citta rasakan saat ini. Memang ini bukanlah kali pertama Citta menginjakkan kaki di rumah Johan, tapi datang ke rumah ini dengan sebuah koper juga tas jinjing serta ransel miliknya jelas saja membuat Citta rikuh. Citta memang tak ubahnya orang yang terusir dan sedang mencari naungan baru.Ya, apa namanya jika bukan terusir. Citta harus meninggalkan rumah yang selama ini ditinggalinya menuju rumah milik orang lain. Meskipun ia yakin bahwa Johan menampungnya di sini dengan ikhlas. Tepukan di bahu Citta membuat gadis itu sedikit tersentak. Citta kemudian menoleh ke arah Johan yang tengah tersenyum padanya."Ayo masuk!" Ajak Johan ramah. Seolah paham jika Citta tengah ragu untuk melanjutkan langkah. Citta tersenyum canggung, mencoba mengiyakan ajakan ramah si tuan rumah. Citta membawa kakinya melangkah, melewati beranda rumah Johan yang hanya diisi satu pasang kursi serta sebuah meja."Mulai hari ini kamu tinggal di sini." Ujar Johan seolah kembali mengingatkan Citt
Citta baru mengetahui bahwa William memutuskan pergi dari rumah, dari bibi keesokan paginya. Perempuan itu menceritakan dengan detail apa yang terjadi tepat setelah Citta memutuskan kembali ke kamarnya."Mm, apa Bibi tahu kira-kira William pergi ke mana?" Tanya Citta penasaran. Ia ingin tahu ke mana William akan pergi setelah memutuskan minggat dari rumah ini. Bibi terlihat berpikir sejenak. Mungkin berusaha mengingat berbagai properti yang dimiliki Johan."Bibi menduganya di apartemen di pusat kota, Non." Jawab bibi pada akhirnya. Citta menatap perempuan di depannya semakin penasaran."Bibi yakin?" Kejar Citta. Yang ditanya kali ini menjawab dengan anggukan."William sangat suka tinggal di sana. Sering Bibi dengar dari Tuan Johan jika William meminta izin memakai apartemen bersama teman-temannya." Terang bibi sambil terus berkutat dengan aktivitas memasak untuk makan siang. Citta yang sedang membantu bibi menyiapkan sayuran pun manggut-manggut. 'Ternyata William adalah anak yang hor
“Aku belum pernah berhubungan intim dengan perawan.” Pengakuan William membuat Citta tersipu meskipun ia juga bingung dengan perasaannya. Citta tidak tahu harus senang atau sedih mendengar pengakuan yang keluar dari mulut William. Andaikata senang, maka itu karena kalimat William terdengar seperti pujian. Namun jikalau sedih, tentu itu karena menandakan bahwa William adalah seorang petualang seks. William menatap Citta lekat-lekat. Sedikit heran karena istri keduanya itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. “Kau sering melakukannya? Sebelum menikah?” Akhirnya pertanyaan meluncur juga dari bibir Citta. William mendesah, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Citta. William kembali menatap dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Citta.“Sering.”“Seberapa sering?” William sudah menduga bahwa Citta akan terus mengejarnya tentang topik ini. Dan tentu saja, tanpa merasa terbebani, William menjawab jujur apa adanya.“Aku melewatkan setiap malamku dengan berhubungan seks
William mengulum senyum kala memandangi Citta yang terus bergerak karena kikuk. Gadis di depannya itu sedari tadi sibuk menutupi bagian-bagian pribadinya dengan kedua tangan. Hingga akhirnya William berujar ketika satu tangan Citta menutupi bagian dada dan satu tangan lainnya menutupi area sekitar pangkal pahanya.“Hey, tidak perlu malu.” William perlahan mendekat, memupus jarak antara dirinya dengan Citta.“Aku–aku malu, Will.” Jawaban khas gadis polos yang belum tersentuh, begitu yang terlintas di benak William. William menggeleng pelan, tidak setuju dengan Citta.“Aku suamimu. Dan kamu tidak harus malu di depanku.” William menyingkirkan tangan Citta dari dada dan bagian di bawah perutnya. Ada binar dalam sorot mata William ketika dilihatnya pangkal paha Citta yang ditumbuhi rambut sedikit menyembul keluar. Citta memergoki William. Kemudian pandangan gadis itu ikut turun. Dan kesiap kecil langsung terdengar. Citta terkejut. Sungguh-sungguh terkejut dengan apa yang baru saja dilihatn
Citta masih tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya sekarang. Lingeri dalam enam warna yang berbeda. Pun dengan modelnya yang sudah pasti tidak ada yang sama. Pasti semua lingeri itu akan memberi pemakainya kesan seksi dan menggoda, tebak Citta dalam hati. Ragu-ragu, Citta mengulurkan tangan hendak menyentuh lingeri yang berwarna merah. Sejak tadi, benda itu sudah menarik perhatiannya. Tekstur halus bahan sifon langsung memenuhi indera perabanya. Citta pun tergoda untuk mengambil lingeri merah itu lalu membentangkannya. Lingeri itu memiliki model gaun mini dengan aksen tali spageti di bahu. Potongan dada yang sangat rendah dan berbentuk V terlihat indah dengan tepian renda yang tak kalah halus. William yang sedari tadi mengamati Citta, kini mulai tertarik dan bermaksud menggoda istrinya itu.“Kamu mau memakainya?” William menyentuh punggung Citta lembut. Berusaha tidak membuat istrinya terkejut. Namun tetap saja, Citta sedikit berjingkat karena tetiba suara William memenuhi g
“Will?” Citta terlihat sangat ingin tahu jawaban William atas pertanyaannya tadi. Namun sedari tadi William tetap bergeming. William juga tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Citta mencoba memahami diamnya William dengan menarik garis bibirnya agar membentuk sebuah senyum. Andai Citta tahu, William tidak bisa menjawab pertanyaannya. Dan seandainya William tahu, Citta akhirnya membuat kesimpulan sendiri dengan mencoba mengartikan itu sebagai ketidaktahuan atau mungkin ketidaksiapan William. Citta yakin bahwa William tidak ingin dipandang sebagai laki-laki berengsek. Laki-laki yang sudah menikah, tapi masih berani mencium perempuan lain.“Ayo kita berangkat. Aku hampir terlambat.” Citta mencoba mengalihkan pembicaraan. William masih tidak mengatakan apa pun. Namun kali ini, William mengikuti perkataan Citta. Perlahan, kaki William menginjak pedal gas dan mobil pun menderu tanda mulai melaju.“Pukul berapa aku bisa menjemputmu?” William menatap Citta sambil menunggu jawaban dari istri ked
“Aku akan menyusul William, Pa.” Dhita merasa tidak nyaman hanya makan berdua bersama Johan, mertuanya. Ia juga tidak bisa fokus menikmati makanan yang tersaji di piringnya karena pikirannya sibuk menerka apa gerangan yang sedang dilakukan William dan Citta. Dhita menyumpahi Citta dalam hati. Melontarkan beberapa kata makian yang meskipun ia ucapkan dalam hati, namun ia sangat berharap itu sampai pada Citta. Johan yang sesekali melirik Dhita, mencoba mengecek ekspresi menantu culasnya itu, tentu saja melarang keinginan Dhita.“Bersikaplah dewasa, Dhita. Citta juga istri WIlliam.”“Tapi aku istri sahnya, Pa. Pernikahan Will dan Citta hanyalah main-main!” Dhita sengaja membanting sendok garpunya sebagai bentuk luapan kemarahan. Johan kembali murka dengan sikap tidak sopan Dhita. Ia juga menghardik Dhita yang menyebut pernikahan
Johan heran mendapati ruang makan yang masih lengang. Terasa aneh dan tentu saja janggal karena biasanya semua penghuni rumah tersebut hanya dapat bertemu dan berkumpul di waktu sarapan. Namun kali ini, meja makan kosong tanpa ada yang mengelilinginya. Johan lalu ingat kalau kemarin William mengatakan akan berangkat lebih awal ke kantor, tapi sedari tadi Johan belum mendengar deru mesin mobil William. Itu artinya William masih di rumah.Johan kemudian memanggil bibi dan menanyai perempuan itu. Bibi, dengan suara terbata karena ketakutan, mencoba mengurai kronologi yang terjadi sehingga waktu sarapan pagi ini menjadi berbeda, tidak seperti biasanya.“Kurang ajar!” Johan refleks menggebrak meja. Ia tidak menyangka Dhita kembali ke rumah ini dan membuat keributan. Johan lalu kembali bertanya pada bibi tentang keberadaan Citta. Ya, Johan tentu saj
Citta terbangun ketika merasakan tengkuknya seperti diterpa embusan napas.Tunggu! Embusan napas?Bukankah tadi malam ia tidur sendirian. William memilih tidur di sofa, kan?Atau….Citta menjerit tertahan karena otaknya membawanya pada kemungkinan yang sama sekali tidak diperhitungkannya.Bagaimana jika William pindah ke tempat tidur?Menyadari peluang itu sangat mungkin terjadi, Citta pun segera mengubah posisi tidurnya. Dan kali ini ia benar-benar memekik, meski tidak kencang, ketika netranya menangkap sosok William yang tengah meringkuk pulas di dekatnya.William yang tampak terusik dengan jeritan Citta, membuka sedikit kelopak matanya. Lalu, tanpa mengatakan apapun William langsung menarik Citta mendekat padanya dan serta merta mengunci tubuh Citta dengan pelukan yang cukup erat. Pinggang Citta yang ramping terasa sangat pas dalam pelukan William. William sebenarnya sudah bangun dari tadi sehingga ia tahu semua reaksi Citta yang menurutnya lucu sekaligus menggemaskan. Sangat mu
Di dalam kamarnya, Citta menanggalkan pakaian pengantinnya dengan dibantu Ratih. Mereka berdua memilih bekerja dalam diam. Namun sebenarnya Ratih ingin bertanya tentang banyak hal, tapi ia lebih kasihan ketika melihat sahabatnya yang tampak kelelahan. Setelah membersihkan riasan yang menempel pada wajah Citta, Ratih kemudian berpamitan. “Tidak perlu diantar, oke.” Tolak Ratih ketika mereka sampai di depan pintu kamar Citta. Citta mengangguk tanda setuju. Tubuhnya memang terasa sangat lelah sehingga tanpa perlu berdebat, Citta langsung mengiyakan permintaan Ratih.“Terima kasih.” Ucap Citta sambil bertumpu pada daun pintu yang terbuka. “Sama-sama. Kita berdua sama-sama lelah, kan. Oya, aku selalu siap kapan pun kamu mau cerita.” Kode Ratih diikuti cengiran jenakanya. Citta tersenyum tipis. Ratih memang memahaminya dengan sangat baik.“Iya, kalau waktunya sudah tiba, aku akan ceritakan semuanya.” Jawaban Citta terdengar seperti sebuah janji. Ratih menepuk perlahan lengan sahabatnya ke
William merasa bahwa ia perlu bicara lagi dengan ayahnya mengenai kesepakatan lain yang menyangkut pernikahannya. Setelah menghabiskan hampir dua jam untuk berpikir di apartemennya, William memutuskan untuk segera menghubungi Johan. Ia tidak mau menunda lebih lama lagi karena ia merasa sangat perlu mendapat kejelasan tentang masalah pernikahannya segera.“Halo?” Suara Johan langsung terdengar ketika panggilan yang dilakukan William terhubung. Kening William sontak mengernyit. Suara ayahnya terdengar tidak seperti biasanya.“Ada apa?” Tanya William ingin tahu. William yakin suara ayahnya terdengar seperti orang yang baru menangis, tapi kenapa ayahnya sampai menangis? William benar-benar dibuat penasaran karena Johan tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Justru yang terdengar kemudian adalah suara Johan yang tengah bicara dengan setengah b