Komunikasi melalui panggilan suara atau video seperti yang dilontarkan ayahnya dulu, ternyata tidak pernah terealisasi. Hingga detik ini, satu kali pun Citta belum pernah lagi mendengar suara atau melihat wajah ayahnya. Hanya pesan-pesan teks yang rutin datang menyapanya. Isinya nyaris sama, informasi tentang keadaan ayahnya yang naik turun serta larangan Andrew untuk terlalu lelah.‘Melakukan panggilan suara atau video itu memerlukan energi lebih banyak daripada mengetik pesan.’Dalih yang sama, yang selalu Citta baca ketika ia menuntut untuk melakukan panggilan telepon. Citta yang menjadi kurang fokus, akhirnya menceritakan semuanya pada Johan. Laki-laki itu dengan sabar mendengarkan ocehan Citta yang seolah tidak akan pernah habis. Jika sudah demikian, hal yang bisa Johan lakukan adalah meminta Citta menginap di rumahnya. Namun, situasi langsung berubah seratus delapan puluh derajat begitu pagi tiba. Saat tiba waktunya sarapan, Johan pasti akan menjumpai wajah masam putra semata w
Citta hanya menggeleng lemah ketika ditanya tentang anggota keluarga lainnya yang sedang ditunggu sebelum jasad Sang ayah diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya.'Tidak mungkin mama dan Kak Dhita akan datang.'Hati kecil Citta sangat yakin bahwa ibu dan kakaknya tidak akan datang. Sejak ibunya memutuskan meninggalkan rumah dengan mengajak kakaknya, Dhita, ibunya mengatakan bahwa tidak akan peduli dengan apa pun yang terjadi di rumah ini."Citta, ambulans sudah datang." Suara berat Johan menggugah Citta dari lamunan. Gadis itu menatap sosok sahabat ayahnya lalu mengerjap beberapa kali. Mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan pria itu."Ambulans sudah siap." Ulang Johan. Citta perlahan beranhak dari duduk beraimpuhnya di samping jenazah sang ayah. Ia kemudian menepi, memberi akses pada beberapa laki-laki yang akan menggotong jenazah ke dalam ambulans. Citta kembali menangis ketika kakinya mulai melangkah menuju ambulans."Kamu boleh tidak ikut." Ujar Johan sambil menyentuh b
Canggung.Itulah yang Citta rasakan saat ini. Memang ini bukanlah kali pertama Citta menginjakkan kaki di rumah Johan, tapi datang ke rumah ini dengan sebuah koper juga tas jinjing serta ransel miliknya jelas saja membuat Citta rikuh. Citta memang tak ubahnya orang yang terusir dan sedang mencari naungan baru.Ya, apa namanya jika bukan terusir. Citta harus meninggalkan rumah yang selama ini ditinggalinya menuju rumah milik orang lain. Meskipun ia yakin bahwa Johan menampungnya di sini dengan ikhlas. Tepukan di bahu Citta membuat gadis itu sedikit tersentak. Citta kemudian menoleh ke arah Johan yang tengah tersenyum padanya."Ayo masuk!" Ajak Johan ramah. Seolah paham jika Citta tengah ragu untuk melanjutkan langkah. Citta tersenyum canggung, mencoba mengiyakan ajakan ramah si tuan rumah. Citta membawa kakinya melangkah, melewati beranda rumah Johan yang hanya diisi satu pasang kursi serta sebuah meja."Mulai hari ini kamu tinggal di sini." Ujar Johan seolah kembali mengingatkan Citt
Citta baru mengetahui bahwa William memutuskan pergi dari rumah, dari bibi keesokan paginya. Perempuan itu menceritakan dengan detail apa yang terjadi tepat setelah Citta memutuskan kembali ke kamarnya."Mm, apa Bibi tahu kira-kira William pergi ke mana?" Tanya Citta penasaran. Ia ingin tahu ke mana William akan pergi setelah memutuskan minggat dari rumah ini. Bibi terlihat berpikir sejenak. Mungkin berusaha mengingat berbagai properti yang dimiliki Johan."Bibi menduganya di apartemen di pusat kota, Non." Jawab bibi pada akhirnya. Citta menatap perempuan di depannya semakin penasaran."Bibi yakin?" Kejar Citta. Yang ditanya kali ini menjawab dengan anggukan."William sangat suka tinggal di sana. Sering Bibi dengar dari Tuan Johan jika William meminta izin memakai apartemen bersama teman-temannya." Terang bibi sambil terus berkutat dengan aktivitas memasak untuk makan siang. Citta yang sedang membantu bibi menyiapkan sayuran pun manggut-manggut. 'Ternyata William adalah anak yang hor
“Terima kasih, Pa.” Nada menyindir William terdengar sangat kentara. Johan memperdengarkan dengusan kasar pertanda kesal. Pekerjaannya kini bertambah satu lagi akibat ulah William, yakni bicara pada Citta serta berusaha meluruskan kesalahpahaman yang tercipta.“Elena, sebaiknya kau pergi!” Johan mengusir Elena tanpa melihat wajah wanita itu. Sejak dulu Johan tidak pernah suka dengan Elena. Wanita itu adalah penggoda ulung, meskipun mulutnya selalu mengatakan bahwa ia telah bertunangan, tapi segala tindak tanduknya mengisyaratkan hal yang sebaliknya. Seolah ia adalah wanita bujang yang haus belaian laki-laki.“Papa tidak berhak mengusir Elena!” Hardik William dengan suara keras. Johan berdecak kesal. Kesal akan pembelaan William juga upaya putranya itu untuk menahan kepergian Elena. Johan melirik Elena dan sialnya wanita itu tengah menyeringai padanya."Aku ingin bicara berdua saja denganmu, William Rustenburg!" Johan menegaskan tujuannya datang ke apartemen saat ini."Jadi aku minta
Johan tersenyum miring mendengar pertanyaan putranya meskipun dalam hati ia tidak percaya dengan tuduhan yang dialamatkan William pada dirinya. Tidak butuh waktu lama bagi Johan untuk membuat keputusan. Keputusan untuk mengabaikan pertanyaan William dan memilih untuk segera meninggalkan apartemen anak laki-lakinya. Johan membawa kakinya melangkah mantap, menjauh dari pintu sambil tak lupa menutupnya dengan penuh kehati-hatian. Johan yakin saat ini William pasti tengah menatapnya dengan amarah yang meluap.Benar saja. Selepas pintu tertutup sempurna, William segera mengangkat satu tangannya yang tengah terkepal. Gerakan tangannya meninju dinding di dekatnya sebagai pelampiasan amarah terlihat sangat kuat. “Sial!” Maki William dengan rahang tetap terkatup. Ayahnya tidak menanggapi pertanyaannya. William yakin bahwa ayahnya sengaja melakukan itu. Membiarkannya menduga-duga sendiri. Membiarkannya bermain dengan asumsinya sendiri. Membuat otaknya yang sempat berpikir liar, kini beruba
“Kamu akan mendapatkan semuanya, Will. Semua yang kamu inginkan.” Janji Johan yang langsung disambut dengan binar pada sepasang netra milik William. Namun, pancaran sukacita di mata William tidak berlangsung lama. Dalam hitungan detik yang terasa seperti kedipan mata, William langsung menatap ayahnya penuh curiga. Satu pasang mata dengan sorot tajam milik William sontak memicing, pertanda kecurigaan yang menguasainya semakin bertambah.“Papa tidak akan mengingkari semuanya, kan?” Tanya William sambil enggan melepas pandangan dari sosok sang ayah. Johan tentu saja tersinggung dengan pertanyaan sang putra.“Laki-laki pantang ingkar janji, Will. Aku mengajarimu hal itu karena aku sendiri tidak pernah mengingkari janji atau perkataan yang keluar dari mulutku.” Ingin rasanya Johan menampar mulut lancang William, tapi lagi-lagi ia
"Terima kasih, Om Johan." Ujar Citta sambil terisak. Hati Citta tergetar setelah mendengar Johan memanggilnya putriku. Hal itu kembali mengingatkannya pada sang ayah. Selama ini hanya sang ayah yang memanggilnya putriku. Johan mafhum akan ucapan terima kasih Citta. "Bukankah sebentar lagi kamu memang akan segera jadi putri Om?" Tanya Johan sambil kembali membelai rambut Citta penuh kasih sayang. Citta menganggukkan kepalanya, pertanda setuju dengan kalimat Johan. "Ya, Om. Bahkan sebentar lagi Om Johan tidak hanya akan punya satu, tapi dua putri sekaligus. Bukankah itu hal yang sangat membahagiakan?" Kali ini ganti Citta yang bertanya. Gadis itu perlahan bergerak, mencoba mengambil jarak dengan Johan, meskipun sebenarnya ia masih enggan. Dulu, Citta sangat suka jika dipeluk oleh ayahnya. Dan sekarang–setelah sekian lama tidak merasakan pelukan penuh kasih sayang–Citta kembali merasakan itu. Citta baru saja merasakan kenyamanan seperti dipeluk ayah sendiri ketika bersama Johan. Dalam h