Johan datang ke auditorium kampus Citta dengan wajah semringah. Kemarin Citta memberitahunya bahwa ia didapuk oleh panitia wisuda di fakultasnya untuk memberikan pidato singkat. Johan dipilih sebagai wali mahasiswa yang lulus tepat waktu serta berprestasi. Tidak ada sedikit pun raut tegang akibat gugup di wajah Johan. Laki-laki itu telah mempersiapkan semuanya tadi malam. Sebuah pidato singkat yang berisi pujian serta kebanggaan dirinya pada sosok Citta.“Kamu memang luar biasa, Sayang.” Puji Johan untuk yang kesekian kalinya. Citta juga demikian. Entah ini sudah kali ke berapa gadis itu mengucapkan terima kasih dengan wajah bersemu kemerahan.Johan sedikit menengadahkan kepala. Dengan senyum terukir di wajah, ia berkata dalam hati. Memuji kehebatan sahabatnya dalam mendidik anak.“Kita berpisah di sini ya, Om Johan. Citta akan berbaris di pintu sebelah sana.” Tunjuk Citta pada kerumunan wisudawan yang tengah mengantri giliran untuk masuk ke auditorium. Johan mengangguk sembari menepu
Citta memasuki rumah dengan binar pada sepasang bola matanya. Lengkung senyum juga turut menghiasi wajah gadis itu. Dengan langkah penuh semangat karena gembira, Citta langsung menuju ruang makan. Ia seperti mendengar orang bercakap-cakap dari arah ruang makan.“Hai, Sayang.” Sapa Johan dengan suara yang cukup jelas didengar. Senyum di wajah Citta perlahan memudar. Semua ini dikarenakan dua hal. Pertama, panggilan sayang Johan padanya dan kedua, tentu saja karena ada William di sana. Citta menduga bahwa Johan sengaja menyapanya demikian, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain membalas sapaan Johan.“Halo, Om. William.” Agar terasa tidak janggal, Citta juga menyapa William. Namun William hanya bergeming. Laki-laki itu hanya melihat dirinya dari sudut matanya. Citta kemudian menuju tempat cuci piring untuk mencuci tangan. Ia kemudian duduk di tempat yang biasa ia duduki. “Bagaimana?” Tanya Johan antusias. Citta tersenyum. Pasti Johan ingin tahu apa yang dilakukannya seharian tadi di
“Jangan coba-coba untuk memikat William!” Ujar Dhita memperingatkan. Kakak perempuan Citta itu pun menambahkan tekanan intimidasinya dengan mencengkeram lengan adiknya yang kurus. Citta mengangguk sambil meringis karena cengkeraman kuat di lengannya. Tetiba ingatannya kembali ketika ia juga diperlakukan yang sama oleh William ketika magang dahulu.“Satu lagi! Kamu harus membuat acara pernikahanmu dengan William selesai lebih cepat. Bagaimanapun caranya. Bukankah kamu pintar? Gunakan kepintaranmu untuk itu.” Imbuh Dhita lagi. Kilatan kebencian di mata Dhita membuat Citta bergidik. Kakak yang belum Citta kenal dengan baik, kini seolah tengah memberi tahu seperti apa karakter aslinya. Sungguh sebuah kenyataan yang sangat tidak menyenangkan bagi Citta. Kakak yang diharapkannya bisa mengasihi dirinya, ternyata menganggapnya saingan juga musuh.
William merasa bahwa ia perlu bicara lagi dengan ayahnya mengenai kesepakatan lain yang menyangkut pernikahannya. Setelah menghabiskan hampir dua jam untuk berpikir di apartemennya, William memutuskan untuk segera menghubungi Johan. Ia tidak mau menunda lebih lama lagi karena ia merasa sangat perlu mendapat kejelasan tentang masalah pernikahannya segera.“Halo?” Suara Johan langsung terdengar ketika panggilan yang dilakukan William terhubung. Kening William sontak mengernyit. Suara ayahnya terdengar tidak seperti biasanya.“Ada apa?” Tanya William ingin tahu. William yakin suara ayahnya terdengar seperti orang yang baru menangis, tapi kenapa ayahnya sampai menangis? William benar-benar dibuat penasaran karena Johan tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Justru yang terdengar kemudian adalah suara Johan yang tengah bicara dengan setengah b
Di dalam kamarnya, Citta menanggalkan pakaian pengantinnya dengan dibantu Ratih. Mereka berdua memilih bekerja dalam diam. Namun sebenarnya Ratih ingin bertanya tentang banyak hal, tapi ia lebih kasihan ketika melihat sahabatnya yang tampak kelelahan. Setelah membersihkan riasan yang menempel pada wajah Citta, Ratih kemudian berpamitan. “Tidak perlu diantar, oke.” Tolak Ratih ketika mereka sampai di depan pintu kamar Citta. Citta mengangguk tanda setuju. Tubuhnya memang terasa sangat lelah sehingga tanpa perlu berdebat, Citta langsung mengiyakan permintaan Ratih.“Terima kasih.” Ucap Citta sambil bertumpu pada daun pintu yang terbuka. “Sama-sama. Kita berdua sama-sama lelah, kan. Oya, aku selalu siap kapan pun kamu mau cerita.” Kode Ratih diikuti cengiran jenakanya. Citta tersenyum tipis. Ratih memang memahaminya dengan sangat baik.“Iya, kalau waktunya sudah tiba, aku akan ceritakan semuanya.” Jawaban Citta terdengar seperti sebuah janji. Ratih menepuk perlahan lengan sahabatnya ke
Citta terbangun ketika merasakan tengkuknya seperti diterpa embusan napas.Tunggu! Embusan napas?Bukankah tadi malam ia tidur sendirian. William memilih tidur di sofa, kan?Atau….Citta menjerit tertahan karena otaknya membawanya pada kemungkinan yang sama sekali tidak diperhitungkannya.Bagaimana jika William pindah ke tempat tidur?Menyadari peluang itu sangat mungkin terjadi, Citta pun segera mengubah posisi tidurnya. Dan kali ini ia benar-benar memekik, meski tidak kencang, ketika netranya menangkap sosok William yang tengah meringkuk pulas di dekatnya.William yang tampak terusik dengan jeritan Citta, membuka sedikit kelopak matanya. Lalu, tanpa mengatakan apapun William langsung menarik Citta mendekat padanya dan serta merta mengunci tubuh Citta dengan pelukan yang cukup erat. Pinggang Citta yang ramping terasa sangat pas dalam pelukan William. William sebenarnya sudah bangun dari tadi sehingga ia tahu semua reaksi Citta yang menurutnya lucu sekaligus menggemaskan. Sangat mu
Johan heran mendapati ruang makan yang masih lengang. Terasa aneh dan tentu saja janggal karena biasanya semua penghuni rumah tersebut hanya dapat bertemu dan berkumpul di waktu sarapan. Namun kali ini, meja makan kosong tanpa ada yang mengelilinginya. Johan lalu ingat kalau kemarin William mengatakan akan berangkat lebih awal ke kantor, tapi sedari tadi Johan belum mendengar deru mesin mobil William. Itu artinya William masih di rumah.Johan kemudian memanggil bibi dan menanyai perempuan itu. Bibi, dengan suara terbata karena ketakutan, mencoba mengurai kronologi yang terjadi sehingga waktu sarapan pagi ini menjadi berbeda, tidak seperti biasanya.“Kurang ajar!” Johan refleks menggebrak meja. Ia tidak menyangka Dhita kembali ke rumah ini dan membuat keributan. Johan lalu kembali bertanya pada bibi tentang keberadaan Citta. Ya, Johan tentu saj
“Aku akan menyusul William, Pa.” Dhita merasa tidak nyaman hanya makan berdua bersama Johan, mertuanya. Ia juga tidak bisa fokus menikmati makanan yang tersaji di piringnya karena pikirannya sibuk menerka apa gerangan yang sedang dilakukan William dan Citta. Dhita menyumpahi Citta dalam hati. Melontarkan beberapa kata makian yang meskipun ia ucapkan dalam hati, namun ia sangat berharap itu sampai pada Citta. Johan yang sesekali melirik Dhita, mencoba mengecek ekspresi menantu culasnya itu, tentu saja melarang keinginan Dhita.“Bersikaplah dewasa, Dhita. Citta juga istri WIlliam.”“Tapi aku istri sahnya, Pa. Pernikahan Will dan Citta hanyalah main-main!” Dhita sengaja membanting sendok garpunya sebagai bentuk luapan kemarahan. Johan kembali murka dengan sikap tidak sopan Dhita. Ia juga menghardik Dhita yang menyebut pernikahan
“Aku belum pernah berhubungan intim dengan perawan.” Pengakuan William membuat Citta tersipu meskipun ia juga bingung dengan perasaannya. Citta tidak tahu harus senang atau sedih mendengar pengakuan yang keluar dari mulut William. Andaikata senang, maka itu karena kalimat William terdengar seperti pujian. Namun jikalau sedih, tentu itu karena menandakan bahwa William adalah seorang petualang seks. William menatap Citta lekat-lekat. Sedikit heran karena istri keduanya itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. “Kau sering melakukannya? Sebelum menikah?” Akhirnya pertanyaan meluncur juga dari bibir Citta. William mendesah, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Citta. William kembali menatap dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Citta.“Sering.”“Seberapa sering?” William sudah menduga bahwa Citta akan terus mengejarnya tentang topik ini. Dan tentu saja, tanpa merasa terbebani, William menjawab jujur apa adanya.“Aku melewatkan setiap malamku dengan berhubungan seks
William mengulum senyum kala memandangi Citta yang terus bergerak karena kikuk. Gadis di depannya itu sedari tadi sibuk menutupi bagian-bagian pribadinya dengan kedua tangan. Hingga akhirnya William berujar ketika satu tangan Citta menutupi bagian dada dan satu tangan lainnya menutupi area sekitar pangkal pahanya.“Hey, tidak perlu malu.” William perlahan mendekat, memupus jarak antara dirinya dengan Citta.“Aku–aku malu, Will.” Jawaban khas gadis polos yang belum tersentuh, begitu yang terlintas di benak William. William menggeleng pelan, tidak setuju dengan Citta.“Aku suamimu. Dan kamu tidak harus malu di depanku.” William menyingkirkan tangan Citta dari dada dan bagian di bawah perutnya. Ada binar dalam sorot mata William ketika dilihatnya pangkal paha Citta yang ditumbuhi rambut sedikit menyembul keluar. Citta memergoki William. Kemudian pandangan gadis itu ikut turun. Dan kesiap kecil langsung terdengar. Citta terkejut. Sungguh-sungguh terkejut dengan apa yang baru saja dilihatn
Citta masih tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya sekarang. Lingeri dalam enam warna yang berbeda. Pun dengan modelnya yang sudah pasti tidak ada yang sama. Pasti semua lingeri itu akan memberi pemakainya kesan seksi dan menggoda, tebak Citta dalam hati. Ragu-ragu, Citta mengulurkan tangan hendak menyentuh lingeri yang berwarna merah. Sejak tadi, benda itu sudah menarik perhatiannya. Tekstur halus bahan sifon langsung memenuhi indera perabanya. Citta pun tergoda untuk mengambil lingeri merah itu lalu membentangkannya. Lingeri itu memiliki model gaun mini dengan aksen tali spageti di bahu. Potongan dada yang sangat rendah dan berbentuk V terlihat indah dengan tepian renda yang tak kalah halus. William yang sedari tadi mengamati Citta, kini mulai tertarik dan bermaksud menggoda istrinya itu.“Kamu mau memakainya?” William menyentuh punggung Citta lembut. Berusaha tidak membuat istrinya terkejut. Namun tetap saja, Citta sedikit berjingkat karena tetiba suara William memenuhi g
“Will?” Citta terlihat sangat ingin tahu jawaban William atas pertanyaannya tadi. Namun sedari tadi William tetap bergeming. William juga tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Citta mencoba memahami diamnya William dengan menarik garis bibirnya agar membentuk sebuah senyum. Andai Citta tahu, William tidak bisa menjawab pertanyaannya. Dan seandainya William tahu, Citta akhirnya membuat kesimpulan sendiri dengan mencoba mengartikan itu sebagai ketidaktahuan atau mungkin ketidaksiapan William. Citta yakin bahwa William tidak ingin dipandang sebagai laki-laki berengsek. Laki-laki yang sudah menikah, tapi masih berani mencium perempuan lain.“Ayo kita berangkat. Aku hampir terlambat.” Citta mencoba mengalihkan pembicaraan. William masih tidak mengatakan apa pun. Namun kali ini, William mengikuti perkataan Citta. Perlahan, kaki William menginjak pedal gas dan mobil pun menderu tanda mulai melaju.“Pukul berapa aku bisa menjemputmu?” William menatap Citta sambil menunggu jawaban dari istri ked
“Aku akan menyusul William, Pa.” Dhita merasa tidak nyaman hanya makan berdua bersama Johan, mertuanya. Ia juga tidak bisa fokus menikmati makanan yang tersaji di piringnya karena pikirannya sibuk menerka apa gerangan yang sedang dilakukan William dan Citta. Dhita menyumpahi Citta dalam hati. Melontarkan beberapa kata makian yang meskipun ia ucapkan dalam hati, namun ia sangat berharap itu sampai pada Citta. Johan yang sesekali melirik Dhita, mencoba mengecek ekspresi menantu culasnya itu, tentu saja melarang keinginan Dhita.“Bersikaplah dewasa, Dhita. Citta juga istri WIlliam.”“Tapi aku istri sahnya, Pa. Pernikahan Will dan Citta hanyalah main-main!” Dhita sengaja membanting sendok garpunya sebagai bentuk luapan kemarahan. Johan kembali murka dengan sikap tidak sopan Dhita. Ia juga menghardik Dhita yang menyebut pernikahan
Johan heran mendapati ruang makan yang masih lengang. Terasa aneh dan tentu saja janggal karena biasanya semua penghuni rumah tersebut hanya dapat bertemu dan berkumpul di waktu sarapan. Namun kali ini, meja makan kosong tanpa ada yang mengelilinginya. Johan lalu ingat kalau kemarin William mengatakan akan berangkat lebih awal ke kantor, tapi sedari tadi Johan belum mendengar deru mesin mobil William. Itu artinya William masih di rumah.Johan kemudian memanggil bibi dan menanyai perempuan itu. Bibi, dengan suara terbata karena ketakutan, mencoba mengurai kronologi yang terjadi sehingga waktu sarapan pagi ini menjadi berbeda, tidak seperti biasanya.“Kurang ajar!” Johan refleks menggebrak meja. Ia tidak menyangka Dhita kembali ke rumah ini dan membuat keributan. Johan lalu kembali bertanya pada bibi tentang keberadaan Citta. Ya, Johan tentu saj
Citta terbangun ketika merasakan tengkuknya seperti diterpa embusan napas.Tunggu! Embusan napas?Bukankah tadi malam ia tidur sendirian. William memilih tidur di sofa, kan?Atau….Citta menjerit tertahan karena otaknya membawanya pada kemungkinan yang sama sekali tidak diperhitungkannya.Bagaimana jika William pindah ke tempat tidur?Menyadari peluang itu sangat mungkin terjadi, Citta pun segera mengubah posisi tidurnya. Dan kali ini ia benar-benar memekik, meski tidak kencang, ketika netranya menangkap sosok William yang tengah meringkuk pulas di dekatnya.William yang tampak terusik dengan jeritan Citta, membuka sedikit kelopak matanya. Lalu, tanpa mengatakan apapun William langsung menarik Citta mendekat padanya dan serta merta mengunci tubuh Citta dengan pelukan yang cukup erat. Pinggang Citta yang ramping terasa sangat pas dalam pelukan William. William sebenarnya sudah bangun dari tadi sehingga ia tahu semua reaksi Citta yang menurutnya lucu sekaligus menggemaskan. Sangat mu
Di dalam kamarnya, Citta menanggalkan pakaian pengantinnya dengan dibantu Ratih. Mereka berdua memilih bekerja dalam diam. Namun sebenarnya Ratih ingin bertanya tentang banyak hal, tapi ia lebih kasihan ketika melihat sahabatnya yang tampak kelelahan. Setelah membersihkan riasan yang menempel pada wajah Citta, Ratih kemudian berpamitan. “Tidak perlu diantar, oke.” Tolak Ratih ketika mereka sampai di depan pintu kamar Citta. Citta mengangguk tanda setuju. Tubuhnya memang terasa sangat lelah sehingga tanpa perlu berdebat, Citta langsung mengiyakan permintaan Ratih.“Terima kasih.” Ucap Citta sambil bertumpu pada daun pintu yang terbuka. “Sama-sama. Kita berdua sama-sama lelah, kan. Oya, aku selalu siap kapan pun kamu mau cerita.” Kode Ratih diikuti cengiran jenakanya. Citta tersenyum tipis. Ratih memang memahaminya dengan sangat baik.“Iya, kalau waktunya sudah tiba, aku akan ceritakan semuanya.” Jawaban Citta terdengar seperti sebuah janji. Ratih menepuk perlahan lengan sahabatnya ke
William merasa bahwa ia perlu bicara lagi dengan ayahnya mengenai kesepakatan lain yang menyangkut pernikahannya. Setelah menghabiskan hampir dua jam untuk berpikir di apartemennya, William memutuskan untuk segera menghubungi Johan. Ia tidak mau menunda lebih lama lagi karena ia merasa sangat perlu mendapat kejelasan tentang masalah pernikahannya segera.“Halo?” Suara Johan langsung terdengar ketika panggilan yang dilakukan William terhubung. Kening William sontak mengernyit. Suara ayahnya terdengar tidak seperti biasanya.“Ada apa?” Tanya William ingin tahu. William yakin suara ayahnya terdengar seperti orang yang baru menangis, tapi kenapa ayahnya sampai menangis? William benar-benar dibuat penasaran karena Johan tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Justru yang terdengar kemudian adalah suara Johan yang tengah bicara dengan setengah b