“Aku belum pernah berhubungan intim dengan perawan.” Pengakuan William membuat Citta tersipu meskipun ia juga bingung dengan perasaannya. Citta tidak tahu harus senang atau sedih mendengar pengakuan yang keluar dari mulut William. Andaikata senang, maka itu karena kalimat William terdengar seperti pujian. Namun jikalau sedih, tentu itu karena menandakan bahwa William adalah seorang petualang seks. William menatap Citta lekat-lekat. Sedikit heran karena istri keduanya itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. “Kau sering melakukannya? Sebelum menikah?” Akhirnya pertanyaan meluncur juga dari bibir Citta. William mendesah, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Citta. William kembali menatap dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Citta.“Sering.”“Seberapa sering?” William sudah menduga bahwa Citta akan terus mengejarnya tentang topik ini. Dan tentu saja, tanpa merasa terbebani, William menjawab jujur apa adanya.“Aku melewatkan setiap malamku dengan berhubungan seks
Pandangan Citta menyapu setiap sudut panggung yang ada di depannya. Panggung itu miliknya. Tata panggung yang minimalis, namun tetap terlihat elegan itu telah dipersiapkan untuk dirinya. Ya, hari ini akan menjadi salah satu hari yang bersejarah dalam hidup Citta. Pada hari ini Citta akan dikukuhkan sebagai guru besar di universitasnya. Selain predikat sebagai guru besar, akan ada "gelar" tambahan yang akan disandang Citta, yaitu sebagai guru besar termuda di seluruh universitas. Dari informasi yang disampaikan oleh panitia acara, rektor akan menyerahkan sebuah cinderamata padanya. Cinderamata yang merupakan simbol dari pengakuan rektor atas pencapaian gemilangnya sebagai guru besar termuda. Citta memang tidak pernah bermain-main atau bersantai jika berurusan dengan belajar atau menuntut ilmu. Dan buah dari kerja kerasnya itu, ia berhasil meraih tingkat tertinggi dalam jabatan fungsional di dunia akademik.
“Citta!” Citta menghentikan langkahnya yang sedikit tergesa menuju pintu. Ia pun menoleh ke arah sumber suara. Terlihat ayahnya, Cahyo Buwana, sedang duduk di meja makan menikmati sarapan. “Kamu tidak sarapan?” Cahyo bertanya sambil memegang telinga cangkir yang berisi kopi pahit. Sambil menyeruput cairan hitam pekat yang masih agak mengepul, mata Cahyo tidak lepas dari memandang putrinya. “Maaf, ya Ayah. Citta sudah terlambat. Ada kuis di jam pertama.” Citta bergerak menuju meja makan, mendekati Cahyo. Setelah mendaratkan ciuman di pipi kanan dan kiri Cahyo, Citta menyendok nasi goreng yang masih tersisa separuh. “Ayah antar ke kampus.” Cahyo menggeser kursi yang didudukinya kemudian beranjak. “Eh… Jan
“Cahyo, supirku akan menjemputmu.” Suara Johan yang terdengar seperti memerintah kembali menyapa telinga Cahyo, tepat setelah lelaki berusia lima puluhan tahun itu menggeser ikon gagang telepon warna hijau pada layar ponselnya. “Ayolah, Johan. Aku tidak selemah itu. Aku akan menyetir sendiri ke rumahmu. Apa kamu sudah berada di rumah sekarang?” Terdengar helaan napas Cahyo yang berat setelah mengakhiri kalimatnya. “Tiga puluh menit lagi aku akan sampai di rumah. Kalau demikian, kamu berangkatlah sekarang sebelum lalu lintas menjadi semakin macet.” Johan kembali memberi instruksi. Setelah menjawab Johan dengan beberapa kata iya, Cahyo mengakhiri panggilan. Detik berikutnya, Cahyo terlihat mengemasi berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Ketika pekerjaan merapikan mejanya hampir selesai, C
“Citta!” Ratih sedikit berteriak sambil menghambur ke arah Citta yang tengah asyik membaca. Untunglah koridor kampus cukup ramai sehingga teriakan Ratih mampu teredam dan tidak terlalu mencuri perhatian. Suara melengking sahabat Citta itu pastinya sangat memekakkan telinga jika keadaan sekitar lengang. Setelah mengambil duduk di samping Citta, Ratih pun segera memeluk sahabatnya erat. Pelukan Ratih yang erat sukses mengunci lengan Citta, membuat gadis itu menghentikan aktivitas membacanya. “Lepas, Ratih. Sesak napas, nih.” Citta berkata dengan terbata-bata. Napasnya benar-benar tersengal karena sepasang lengan Ratih yang melingkari dadanya erat. Sambil terkekeh, Ratih melepaskan pelukannya. “Maaf….” Ratih meringis melihat wajah tersiksa Citta. “Oh, mudahn
“Kamu setuju bukan karena kasihan padaku, kan Jo?” Cahyo bertanya dengan hati-hati setelah mereka berdua terdiam cukup lama. Kehati-hatian Cahyo lebih karena dilandasi rasa takut. Takut bila ternyata Johan mengiyakan keinginannya karena kasihan. “Hm… jujur, aku setuju karena kasihan.” Johan berkata diiringi tawa yang tertahan. Johan terlihat puas melihat wajah Cahyo yang berubah pias. Rasanya sudah sangat lama Johan tidak bercanda dengan Cahyo. Sense of humor Cahyo yang buruk justru membuat Johan semakin ingin menggodanya. “Benarkah?” Raut kecewa tidak bisa disembunyikan oleh Cahyo. Ia mendesah pelan, mencoba melepaskan rasa kecewa yang terus bertumbuh dan menghimpit dadanya. “Tentu saja.” Jawab Johan santai. Kali ini Johan sen
“Aku ingin segera lulus kemudian bekerja, Tih.” Ujar Citta setelah mata kuliah terakhir mereka hari ini berakhir. “Aduh Citta, kamu itu sudah mengambil fast track terus ingin segera lulus pula. Kapan waktunya untuk bersenang-senang?” Ratih merogoh saku tas untuk mencari ponsel miliknya. Sebelumnya ia telah mengambil buku catatan Citta untuk kemudian ia gandakan di tempat foto kopi milik kampus. “Kamu tahu sendiri aku tidak suka bersenang-senang.” Citta melihat malas pada sahabatnya yang asyik mengoperasi ponsel, bukannya fokus mendengarkan dirinya. “Sudahlah, ayo kita pulang.” Ajak Citta sambil meraih ransel yang ia gantungkan pada sandaran bangku. “Lho, memang cerita kamu su
“Nih, katanya kamu mau langsung kerja setelah lulus kuliah.” Ratih yang tetiba muncul di perpustakaan langsung duduk di samping Citta. Citta menutup buku yang dibacanya. Beberapa jemarinya ditekuk untuk menahan buku agar tidak tertutup di halaman terakhir yang ia baca. Citta menatap Ratih sekilas kemudian pandangannya beralih pada ponsel Ratih yang tergeletak di atas meja.“Lowongan magang di Perusahaan Rustenburg.” Tambah Ratih yang terlihat sangat antusias. Citta menunjukkan wajah tidak tertarik dengan informasi yang dibawa Ratih.“Aku ingin bekerja, bukan magang.” Citta bersiap melanjutkan aktivitas membacanya.“Eh, jangan salah. Kegiatan magang ini berpotensi membuat kamu lebih mudah mendapatkan pekerjaan.”Citta