Share

2. Kejutan

Author: Jnana
last update Last Updated: 2021-04-24 12:35:00

“Cahyo, supirku akan menjemputmu.” 

Suara Johan yang terdengar seperti memerintah kembali menyapa telinga Cahyo, tepat setelah lelaki berusia lima puluhan tahun itu menggeser ikon gagang telepon warna hijau pada layar ponselnya.

“Ayolah, Johan. Aku tidak selemah itu. Aku akan menyetir sendiri ke rumahmu. Apa kamu sudah berada di rumah sekarang?” Terdengar helaan napas Cahyo  yang berat setelah mengakhiri kalimatnya.

“Tiga puluh menit lagi aku akan sampai di rumah. Kalau demikian, kamu berangkatlah sekarang sebelum lalu lintas menjadi semakin macet.” Johan kembali memberi instruksi. Setelah menjawab Johan dengan beberapa kata iya, Cahyo mengakhiri panggilan. Detik berikutnya, Cahyo terlihat mengemasi berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Ketika pekerjaan merapikan mejanya hampir selesai, Cahyo merasakan dada kirinya kembali nyeri. Perlahan, Cahyo menarik kursinya kemudian duduk. Dengan susah payah diaturnya napas yang sedikit tersengal. 

Kumohon jangan sekarang, Tuhan.

Cahyo memegangi dada kirinya sambil mulutnya tak henti memanjatkan doa. Setelah beberapa menit berjuang, Cahyo mulai merasakan napasnya kembali teratur. Nyeri di dadanya juga telah menghilang. Tak ingin berlama-lama di kantor, Cahyo segera beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruangannya. 

*

"Andrew akan datang dua puluh menit lagi. Sebaiknya kita makan malam dulu." Johan mengiringi Cahyo menuju meja makan yang di atasnya telah tersaji dengan beragam hidangan.

"Aku belum lapar." Cahyo mencoba menolak. Ia sangat ingin segera bertemu Dokter Andrew kemudian segera pulang.

"Ini sudah jam makan malam." Johan terdengar enggan mendengar lagi alasan penolakan dari Cahyo.

"Seharusnya kamu makan tepat waktu. Apa Citta mengurusmu dengan baik?"

"Tentu saja." Jawab Cahyo cepat. Ya, Cahyo tidak terima jIka Citta dianggap tidak becus mengurus dirinya. Selama ini, Citta tidak pernah sedetik pun lupa untuk memperhatikannya. Sayangnya, Cahyo sendirilah yang justru abai dengan dirinya sendiri. Cahyo suka tidak jujur pada Citta, terlebih dalam urusan makan. Kebiasaan Citta yang tidak menemaninya makan dimanfaatkan Cahyo dengan baik. Setelah memastikan Citta kembali ke kamarnya, diam-diam Cahyo memanggil petugas keamanan yang berjaga di depan rumah. Piring berisi nasi lengkap dengan lauk serta sayur Cahyo sodorkan pada Pak Edi.

"Pak Edi harus membantu saya menghabiskan makanan di piring ini."

"Tapi nanti Bapak tidak makan." Pak Edi menjawab takut-takut.

"Saya sudah makan tadi, di kantor."

"Itu kan makan siang, Pak. Makan malamnya kan belum."

"Sudah, Pak Edi jangan bicara saja. Cepat habiskan makanannya."

*

"Jo, bisa kita bicara sebentar?" Dokter Andrew memberi kode pada Johan untuk keluar dari kamar tempat Cahyo diperiksa.

"Ada apa, Dokter? Tolong bicara di sini saja. Saya harus tahu apa yang terjadi pada diri saya." Suara Cahyo yang sedikit bergetar karena panik berhasil menahan langkah Dokter Andrew dan Johan. Andrew melihat sekilas pada Johan, meminta persetujuan.

"Pak Cahyo, saya menduga ada luka yang sangat serius pada lambung Anda. Apakah Pak Cahyo selama ini tidak pernah makan dengan teratur?" Tanya Andrew penuh selidik. Anggukan lemah dari Cahyo membuat Andrew dan Johan menghela napas bersamaan.

"Kenapa, Pak?" Andrew menangkap gejala depresi pada diri Cahyo. Sementara Johan menatap sahabatnya lekat, seolah takut melewatkan sebuah kata dari mulut Cahyo.

"Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa aku telah bercerai. Bahwa Sekar lebih memilih meninggalkanku dan Citta.” Cahyo bicara dengan berbisik kemudian menunduk. Jelas terlihat bahwa ia sangat terpukul dengan keputusan istrinya.

“Selain itu, aku juga memikirkan Citta.”

"Kenapa dengan Citta?" Johan langsung menyambar kalimat Cahyo.

"Citta sangat mencintai belajar. Aku khawatir tidak ada laki-laki yang mau dengannya. Bulan depan ia akan genap dua puluh dua tahun, tapi hingga detik ini Citta belum pernah cerita tentang seseorang yang dekat dengannya."

"Jadi Citta tidak punya teman?" Johan mencoba menegaskan kalimat Cahyo yang baginya masih membingungkan.

"Dia punya sahabat. Ratih namanya. Sepanjang yang aku tahu, hanya Ratih yang menjadi teman Citta."

"Citta normal, kan?" Andrew bertanya dengan suara teramat lirih, khawatir menyinggung Cahyo.

Cahyo tersenyum lebar. Ia tidak marah dengan pertanyaan Andrew. Wajar rasanya bila orang yang belum mengenal Citta mempunyai berpikir jika Citta penyuka sesama jenis. Padahal, Citta terlalu asyik belajar sehingga lupa bersosialisasi dengan lebih banyak orang. Terutama laki-laki. Itulah kenapa Cahyo menyimpan kekhawatiran berlebih jika Citta akan jatuh ke tangan laki-laki yang salah. Cahyo tidak ingin Citta menderita di sisa hidupnya. Terjebak dalam ikatan pernikahan yang seperti neraka.

Seperti dirinya.

Ya, Cahyo menganggap pernikahannya seperti di neraka. Panas, penuh gejolak, dan tiada kedamaian di dalamnya.

Cahyo sangat yakin bahwa dirinya tidak pernah melakukan kesalahan. Ia bertanggung jawab pada istri dan anaknya. Cahyo juga tidak memarahi Sekar, istrinya. Pun ia juga tidak pernah menyakiti Sekar secara fisik. 

Cahyo adalah lelaki yang baik, bahkan bisa dikatakan sangat baik. Sayangnya Sekar terlalu banyak menuntut. Sekar seolah tidak pernah puas dengan apa yang telah diberikan Cahyo. Ia selalu mencari-cari kesalahan suaminya. Mengada-ada tentang kekurangan suaminya pada teman-temannya. Puncaknya, Sekar memilih hidup sendiri. Terpisah dari Cahyo dan Citta. Pada sebuah pagi yang mendung, Cahyo mendapati Sekar telah pergi dari rumah.

*

Citta mengetukkan jari telunjuknya di atas meja makan. Ia sedang berpikir akan membawa apa untuk Johan. Tentu saja Citta merasa malu jika mendatangi rumah Johan dengan tangan hampa. Akhirnya, Citta pun berinisiatif membuat puding. Puding buah-buahan menjadi pilihan Citta setelah melihat buah kalengan yang tertata rapi di meja dapur. Sambil menunggu puding mengeras, Citta mengganti pakaian rumahnya dengan celana jin dipadu kaos lengan panjang warna hitam. Setelah sekali lagi mematut diri di depan cermin di kamarnya, Citta segera memesan taksi online

Mendapati taksi yang dipesannya tak kunjung datang, Citta mengambil lagi ponsel dari dalam sling bag-nya. Ia hendak menelepon ayahnya, menanyakan apakah ayahnya masih di rumah sahabatnya atau sudah dalam perjalanan pulang.

“Halo, Ayah.”

“Ada apa, Citta?”

“Kok suara Ayah berbeda. Ayah kenapa?”

Hening. Citta semakin panik karena ayahnya tidak kunjung menjawabnya.

“Yah, Ayah.”

“Ayah tidak apa-apa, Citta. Tadi ayah baru bersin sehingga hidung Ayah berair.”

Citta menarik napas lega mendengar jawaban ayahnya. Ia benar-benar khawatir jika ayahnya sakit. 

“Citta sedang menunggu taksi online, Yah. Citta akan ke rumah Om Johan sekarang, menjemput Ayah.” Citta meraih tas kertas berisi puding yang telah dimasukkan dalam kardus makanan. 

“Eh, tidak perlu. Ini Ayah mau pulang.” Cahyo berusaha mencegah Citta.

“Citta sudah di jalan, Yah. Sampai nanti ya, Ayah.” 

Tut… tut…

Suara panggilan yang terputus justru membuat Cahyo terlihat panik. Dengan tergesa Cahyo turun dari tempat tidur.

“Ada apa?” Tanya Johan dan Andrew hampir bersamaan.

“Citta sedang menuju ke sini.” Cahyo menatap Johan dan Andrew bergantian.

“Tolong jangan katakan apa pun pada Citta.” Cahyo memohon pada dua orang di depannya. Johan segera mengangguk, tapi tidak dengan Andrew. Dokter itu merasa bahwa Citta sebagai satu-satunya keluarga yang Cahyo miliki harus tahu kondisi ayahnya. Citta harus lebih peduli lagi pada ayahnya.

“Ayo kita ke depan.” Ajak Johan mendahului melangkah menuju pintu. Cahyo mengikuti Johan disusul Andrew yang tampak berpikir keras. Ia benar-benar tengah berusaha mencari solusi untuk masalah Cahyo.

*

“Selamat malam.” William menyapa orang-orang yang tengah berkumpul di ruang tamu. Obrolan ketiga orang dewasa itu pun seketika terhenti. Seperti dikomando, Cahyo, Johan, dan Andrew menatap William bersamaan.

“Selamat malam, William.” Cahyo membalas salam William sambil berdiri. Tanpa segan, Cahyo berjalan mendekati William kemudian mengulurkan tangannya.

“Apa kabar, Will?” Tanya Cahyo basa-basi. William menyambut uluran tangan Cahyo kemudian menjawab pertanyaan lelaki seusia ayahnya itu.

“Baik, Om. Om Cahyo sendiri bagaimana kabarnya?” William balik menanyai Cahyo.

“Om juga baik.”

“William permisi dulu.” 

“Silakan.” Cahyo mengubah posisi tubuhnya untuk memberi jalan pada William.

Johan dan Andrew beranjak dari duduknya kemudian mengajak Cahyo untuk makan malam.

“Ayo, sekarang kita makan.” Ajak Johan. 

“Apa tidak sebaiknya kita menunggu William?” Cahyo melirik ke arah lantai dua.

“Biar Will menyusul.” Jawab Johan.

“Kalau begitu, aku ingin menunggu Citta.” Cahyo menatap Johan, meminta persetujuan sahabatnya. Johan dan Andrew saling pandang hingga kemudian Johan mengangguk.

“Oke.”

William menuruni tangga sambil memasukkan tangannya ke dalam saku. Tepat ketika William menginjakkan kaki pada anak tangga terakhir, terdengar ketukan pada pintu utama.

“Biar Will saja.” Ujar William sambil menggerakkan tangannya, menahan ayahnya beranjak dari duduknya.

“Selamat malam.” Sapa Citta dengan senyum kaku di wajahnya yang tegang. Citta benar-benar tidak menyangka jika William Rustenburg yang membukakan pintu untuknya. 

“Selamat malam.” Jawab William dengan suara datar.

“Saya putrinya Pak Cahyo.” Kata Citta lagi dengan suara bergetar. Sungguh ia benar-benar gagal menutupi kegugupannya.

“Om Cahyo ada di dalam bersama papa dan Om Andrew. Silakan masuk.” William menggeser tubuhnya untuk memberi ruang bagi Citta masuk ke dalam rumah.

“Mereka ada di ruang makan.” William sengaja mendahului Citta untuk menunjukkan arah menuju meja makan. Citta yang berjalan tepat di belakang William merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Aroma sabun dan sampo yang segar khas pria menyergap indera penciuman Citta.

"Ah, rupanya Citta yang datang." Johan beranjak dari duduknya lalu mendekat ke arah Citta.

"Halo, Om Johan. Apa kabar?" Citta segera meraih tangan Johan kemudian menciumnya takzim. Refleks Johan mengelus kepala Citta.

"Om baik, Sayang. Citta sudah dewasa ya sekarang." Pujian Johan membuat Citta tersenyum kikuk. Beragam pikiran berkecamuk di benak Citta. Selama ini pujian yang mengatakan bahwa ia telah dewasa tidak pernah bermakna positif karena ujung-ujungnya pertanyaan kapan menikah atau sudah bekerja di mana selalu muncul. Pertanyaan yang tidak mampu Citta jawab hingga membuatnya jengah.

"Citta sudah 22 tahun, Jo. Sudah tingkat tiga." Cahyo terlihat semangat menimpali pujian Johan.

Tetiba Cahyo seperti mendapat ide setelah melihat Citta dan William muncul bersama. Rasanya Cahyo ingin menjodohkan Citta dengan William. 

*

Makan malam kali ini benar-benar membuat Citta canggung sehingga seringkali bertingkah aneh. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah William. Johan seperti sengaja mengatur tempat duduk Citta dan William agar berdampingan. Andrew yang sangat paham maksud Johan, rela untuk berpindah tempat duduk.

"Seharusnya kita bebas duduk di mana saja kan, Pa." Protes William. Suaranya yang dingin dan datar seolah mampu membekukan Citta di tempat duduknya. 

Selesai menikmati makan malam, Citta menyajikan puding buatannya. Citta yang bersemangat karena akan menyajikan makanan buatannya untuk orang lain pun tidak sadar jika ia kini berdiri di antara William dan Johan. Seharusnya ia memilih sudut lain meja makan di mana ayahnya duduk. Akibatnya Citta kembali terserang gugup ketika memotong puding buah berbentuk lingkaran itu. Alhasil delapan bagian puding yang dipotongnya tidak sama besar. Citta meletakkan setiap potongan ke atas piring kecil. Ia menyerahkan potongan pertama untuk tuan rumah, Johan Rustenburg. Selanjutnya Andrew, William, Cahyo, dan terakhir untuk dirinya sendiri.

"Puding buatanmu lezat sekali, Sayang." Puji Johan tulus. Wajah Citta langsung merona menerima pujian dari Johan. Berikutnya Andrew dan Cahyo juga turut memujinya.

"Will, bagaimana puding buatan Citta?" Tanya Johan sambil melihat ke arah William. Semua mata kini tertuju pada William. Laki-laki itu kemudian memotong bagian ujung puding menggunakan garpu. Setelah bagian kecil puding mengisi mulutnya, semua masih terlihat bersabar menunggu reaksi William.

"Biasa saja. Maaf." Ujar William sambil melihat Citta sekilas.

"Aku tidak menyukai puding buah." Tambah William.

"Kalau begitu kamu suka puding apa, Will?" Tanya Cahyo cepat. William Diam sejenak untuk berpikir.

"Mungkin puding coklat, Om. Entahlah saya sendiri sangat jarang makan puding, Om."

Membingungkan. Kata pertama yang Citta pilih untuk menggambarkan jawaban William.

Jadi sebenarnya kamu suka puding atau tidak? Citta sibuk bertanya pada dirinya sendiri.

"Citta ini pandai memasak, Will. Kalau kamu mau ia bisa membuatkan makanan kesukaanmu."

"Terima kasih atas tawarannya, Om Cahyo."

William melirik papanya sekilas. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu pada papanya, namun kedipan mata sang ayah membuatnya urung berkata.

"Maaf, Will ke ruang kerja dulu. Ada yang harus dikerjakan." William meletakkan serbet makan yang berada di pangkuannya ke atas meja. Ia kemudian berjalan menjauh dari meja makan, menuju ruang kerja yang letaknya di dekat tangga.

"Will." Panggil Johan yang serta merta menghentikan langkah William.

"Tolong nanti kau antar Om Cahyo dan Citta." Pinta Johan. William hendak menolak perintah Johan, tapi Citta sudah lebih dulu bersuara.

"Tidak perlu, Om. Saya bisa menyetir kok."

"Tapi ini sudah malam. Kamu pasti lelah."

"Aku juga lelah, Pa. Masih ada yang harus kukerjakan." William mengatakan kata demi kata dengan penekanan yang kentara. William kesal karena papanya seenaknya saja menyuruh dirinya.

"Kenapa tidak minta tolong sopir untuk mengantar?"

"Sopir akan membawa Mobil Om Cahyo. Kamu mengantar mereka dengan Mobil Papa atau mobilmu sendiri." Johan masih teguh pada pendiriannya, menyuruh William untuk mengantar Citta dan ayahnya.

"Ayolah, Will…." Johan merendahkan suaranya. William mendengus melepaskan kekesalan yang terus menghimpitnya.

"Terserah, Papa." Jawabnya sambil berlalu menuju ruang kerja.

*

"Maaf sudah merepotkanmu." Kata Citta setelah William duduk di belakang kemudi. Cahyo yang merasa sangat lelah memilih diam sambil mencoba memejamkan mata.

"Bukan salahmu. Papa memang suka memaksa." William berkata tanpa menoleh ke arah Citta.

Keheningan menyergap mereka berdua. Baik Citta maupun William tidak ada yang berkeinginan untuk memulai lagi obrolan.

"Will, usiamu berapa sekarang?" Suara Cahyo dari arah belakang memecah keheningan.

"Dua puluh enam, Om." Jawab William singkat.

"Sudah punya pacar?" Tanya Cahyo lagi. William mengeratkan genggamannya pada kemudi. Citta yang sedari tadi menyimak melihat sepasang tangan William yang memutih. 

William kesal jika ditanya urusan pribadinya. Citta membuat kesimpulan sendiri setelah melihat perubahan pada sikap William.

"Maafkan ayahku." Bisik Citta. William hanya mengangguk.

"Saya tidak mau pacaran, Om. Lebih enak punya banyak teman yang bisa diajak bersenang-senang setiap hari."

Entah William sengaja menjawab seperti itu untuk membungkam Cahyo atau memang seperti itulah pilihan dan gaya hidupnya. Yang pasti, kini giliran Citta yang wajahnya pucat pasi mendengar jawaban William. Mau tidak mau, kini seluruh otak Citta tengah membayangkan sebebas apa pergaulan lelaki tampan itu. 

Kejutan yang sungguh mengejutkan, Will. Batin Citta sambil kembali melirik William. 

Tetiba Citta teringat Ratih sahabatnya. Dengan gerakan perlahan penuh kehati-hatian, Citta mengambil ponsel dari dalam tasnya. Jemarinya begitu lincah bergerak di atas layar ponsel yang menampilkan deretan huruf dan angka. 

Aku ada berita besar untukmu. Tulis Citta. Setelah memastikan pesannya terkirim, Citta mematikan ponselnya kemudian menyimpannya kembali dalam tas.

***

Halo....

Adakah yang baca cerita ini?

Related chapters

  • Grafiti Dinding Hati   3. Keinginan

    “Citta!” Ratih sedikit berteriak sambil menghambur ke arah Citta yang tengah asyik membaca. Untunglah koridor kampus cukup ramai sehingga teriakan Ratih mampu teredam dan tidak terlalu mencuri perhatian. Suara melengking sahabat Citta itu pastinya sangat memekakkan telinga jika keadaan sekitar lengang. Setelah mengambil duduk di samping Citta, Ratih pun segera memeluk sahabatnya erat. Pelukan Ratih yang erat sukses mengunci lengan Citta, membuat gadis itu menghentikan aktivitas membacanya. “Lepas, Ratih. Sesak napas, nih.” Citta berkata dengan terbata-bata. Napasnya benar-benar tersengal karena sepasang lengan Ratih yang melingkari dadanya erat. Sambil terkekeh, Ratih melepaskan pelukannya. “Maaf….” Ratih meringis melihat wajah tersiksa Citta. “Oh, mudahn

    Last Updated : 2021-05-26
  • Grafiti Dinding Hati   4. Rencana Para Ayah

    “Kamu setuju bukan karena kasihan padaku, kan Jo?” Cahyo bertanya dengan hati-hati setelah mereka berdua terdiam cukup lama. Kehati-hatian Cahyo lebih karena dilandasi rasa takut. Takut bila ternyata Johan mengiyakan keinginannya karena kasihan. “Hm… jujur, aku setuju karena kasihan.” Johan berkata diiringi tawa yang tertahan. Johan terlihat puas melihat wajah Cahyo yang berubah pias. Rasanya sudah sangat lama Johan tidak bercanda dengan Cahyo. Sense of humor Cahyo yang buruk justru membuat Johan semakin ingin menggodanya. “Benarkah?” Raut kecewa tidak bisa disembunyikan oleh Cahyo. Ia mendesah pelan, mencoba melepaskan rasa kecewa yang terus bertumbuh dan menghimpit dadanya. “Tentu saja.” Jawab Johan santai. Kali ini Johan sen

    Last Updated : 2021-06-01
  • Grafiti Dinding Hati   5. Ihwal Kisah

    “Aku ingin segera lulus kemudian bekerja, Tih.” Ujar Citta setelah mata kuliah terakhir mereka hari ini berakhir. “Aduh Citta, kamu itu sudah mengambil fast track terus ingin segera lulus pula. Kapan waktunya untuk bersenang-senang?” Ratih merogoh saku tas untuk mencari ponsel miliknya. Sebelumnya ia telah mengambil buku catatan Citta untuk kemudian ia gandakan di tempat foto kopi milik kampus. “Kamu tahu sendiri aku tidak suka bersenang-senang.” Citta melihat malas pada sahabatnya yang asyik mengoperasi ponsel, bukannya fokus mendengarkan dirinya. “Sudahlah, ayo kita pulang.” Ajak Citta sambil meraih ransel yang ia gantungkan pada sandaran bangku. “Lho, memang cerita kamu su

    Last Updated : 2021-07-09
  • Grafiti Dinding Hati   6. Magang

    “Nih, katanya kamu mau langsung kerja setelah lulus kuliah.” Ratih yang tetiba muncul di perpustakaan langsung duduk di samping Citta. Citta menutup buku yang dibacanya. Beberapa jemarinya ditekuk untuk menahan buku agar tidak tertutup di halaman terakhir yang ia baca. Citta menatap Ratih sekilas kemudian pandangannya beralih pada ponsel Ratih yang tergeletak di atas meja.“Lowongan magang di Perusahaan Rustenburg.” Tambah Ratih yang terlihat sangat antusias. Citta menunjukkan wajah tidak tertarik dengan informasi yang dibawa Ratih.“Aku ingin bekerja, bukan magang.” Citta bersiap melanjutkan aktivitas membacanya.“Eh, jangan salah. Kegiatan magang ini berpotensi membuat kamu lebih mudah mendapatkan pekerjaan.”Citta

    Last Updated : 2021-07-27
  • Grafiti Dinding Hati   7. Sekretaris Kedua

    “Selamat datang di perusahaan Rustenburg.” Kepala personalia membuka suara setelah melihat Johan dan William masuk ke ruang rapat. Johan mengangguk memberi kode pada kepala personalia untuk melanjutkan pidatonya.“Saya, mewakili Tuan Johan dan William Rustenburg mengucapkan selamat pada Anda semua yang telah diterima magang di perusahaan kami. Namun, ada satu hal yang akan saya sampaikan bahwa beberapa dari Anda akan ditempatkan di bagian yang berbeda dari yang Anda lamar. Saya harap Kalian semua tidak keberatan dan tetap semangat mengikuti program magang ini sampai selesai.”Citta menyimak setiap kata yang disampaikan oleh kepala personalia dengan serius. Ketika akhirnya kepala personalia menyebut namanya dan memberi tahu bagiannya, Citta terbengong beberapa saat. Sekretaris direktur. Posisi yang cukup terdengar aneh jika diberikan pada peserta magang. Sambil berusaha meyakinkan dirinya bahwa mungkin pendengarannya salah, Citta mendengar gerutu

    Last Updated : 2021-08-06
  • Grafiti Dinding Hati   8. Kesalahan

    “Citta, aku harus menemani William meeting pukul sembilan. Tolong kamu periksa lagi semua laporan yang masuk. Berkas-berkasnya sudah kukirim ke surelmu.” Elena tampak sibuk membuka lembar demi lembar kertas yang tertumpuk di atas mejanya. Citta yang baru datang segera duduk dan menyalakan komputer mejanya. Setelah komputer siap digunakan, Citta segera meluncur ke akun surat elektronik miliknya. Dilihatnya surat dari Elena berada pada urutan teratas.“Apa yang harus saya kerjakan dengan tabel-tabel ini, Miss?” Tanya Citta sambil menatap lurus pada sosok Elena yang masih terlihat sibuk dengan kertas-kertasnya. Jujur, Citta benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud dengan memeriksa laporan. Dalam pandangannya, semua file yang saat ini dibukannya satu per satu tidak menunjukkan kejanggalan. Elena menghentikan aktivitasnya kemudian menegakkan badan. Ia menatap Citta dengan kesal

    Last Updated : 2021-08-30
  • Grafiti Dinding Hati   9. Pindah

    "Katakan pada papa bahwa kamu tidak ingin menjadi sekretarisku." William menatap Citta dengan sorot yang seolah mampu membakar apa pun yang dilihatnya. Citta menggerakkan tangannya, minta dilepaskan dari cengkeraman William.“Lepaskan, William!” Citta terdengar sengaja menyebut nama William tanpa didahului kata sapaan seperti biasanya.“Berjanjilah dulu!” William tak mau kalah. Citta meringis setelah merasakan cengkeraman di lengannya kembali menguat."Baik." Jawab Citta pendek. Ia mengatakan itu bukan karena mau berjanji seperti perintah William, tapi semata-mata hanya ingin segera lepas dari cengkeraman William.'Oh, betapa kasarnya lelaki ini.' sungut Citta dalam hati. Ia benar-benar kesal karena mendapati kenyataan bahwa William ya

    Last Updated : 2023-06-01
  • Grafiti Dinding Hati   10. Parah

    Citta duduk dengan dagu bertumpu pada kedua lututnya. Kedua tangannya mengunci kedua kakinya yang ditekuk. Sementara sepasang netranya terus memandangi dua brosur bergambar hunian bertingkat serta kluster perumahan mewah. Dua produk andalan perusahaan Rustenburg yang harus Citta buat materi promosinya malam ini.Sesekali Citta berdecak, gadis itu terlihat bingung harus memulai dari mana. Baik hunian bertingkat serta kluster perumahan, keduanya dipasarkan dengan harga yang fantastis. Sebuah harga yang menurut Citta sangat tidak masuk di akal. Hal tersebutlah yang membuatnya kesulitan merangkai kata sedari tadi.“Siapa yang mau beli hunian semahal ini.” Cibir Citta sambil mengubah posisi duduknya. Diambilnya buku catatan serta pulpen dan mulailah ia menulis.Beep!

    Last Updated : 2023-06-02

Latest chapter

  • Grafiti Dinding Hati   35. Membabi Buta

    “Aku belum pernah berhubungan intim dengan perawan.” Pengakuan William membuat Citta tersipu meskipun ia juga bingung dengan perasaannya. Citta tidak tahu harus senang atau sedih mendengar pengakuan yang keluar dari mulut William. Andaikata senang, maka itu karena kalimat William terdengar seperti pujian. Namun jikalau sedih, tentu itu karena menandakan bahwa William adalah seorang petualang seks. William menatap Citta lekat-lekat. Sedikit heran karena istri keduanya itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. “Kau sering melakukannya? Sebelum menikah?” Akhirnya pertanyaan meluncur juga dari bibir Citta. William mendesah, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Citta. William kembali menatap dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Citta.“Sering.”“Seberapa sering?” William sudah menduga bahwa Citta akan terus mengejarnya tentang topik ini. Dan tentu saja, tanpa merasa terbebani, William menjawab jujur apa adanya.“Aku melewatkan setiap malamku dengan berhubungan seks

  • Grafiti Dinding Hati   34. Mereguk Kenikmatan

    William mengulum senyum kala memandangi Citta yang terus bergerak karena kikuk. Gadis di depannya itu sedari tadi sibuk menutupi bagian-bagian pribadinya dengan kedua tangan. Hingga akhirnya William berujar ketika satu tangan Citta menutupi bagian dada dan satu tangan lainnya menutupi area sekitar pangkal pahanya.“Hey, tidak perlu malu.” William perlahan mendekat, memupus jarak antara dirinya dengan Citta.“Aku–aku malu, Will.” Jawaban khas gadis polos yang belum tersentuh, begitu yang terlintas di benak William. William menggeleng pelan, tidak setuju dengan Citta.“Aku suamimu. Dan kamu tidak harus malu di depanku.” William menyingkirkan tangan Citta dari dada dan bagian di bawah perutnya. Ada binar dalam sorot mata William ketika dilihatnya pangkal paha Citta yang ditumbuhi rambut sedikit menyembul keluar. Citta memergoki William. Kemudian pandangan gadis itu ikut turun. Dan kesiap kecil langsung terdengar. Citta terkejut. Sungguh-sungguh terkejut dengan apa yang baru saja dilihatn

  • Grafiti Dinding Hati   33. Seksi dan Panas

    Citta masih tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya sekarang. Lingeri dalam enam warna yang berbeda. Pun dengan modelnya yang sudah pasti tidak ada yang sama. Pasti semua lingeri itu akan memberi pemakainya kesan seksi dan menggoda, tebak Citta dalam hati. Ragu-ragu, Citta mengulurkan tangan hendak menyentuh lingeri yang berwarna merah. Sejak tadi, benda itu sudah menarik perhatiannya. Tekstur halus bahan sifon langsung memenuhi indera perabanya. Citta pun tergoda untuk mengambil lingeri merah itu lalu membentangkannya. Lingeri itu memiliki model gaun mini dengan aksen tali spageti di bahu. Potongan dada yang sangat rendah dan berbentuk V terlihat indah dengan tepian renda yang tak kalah halus. William yang sedari tadi mengamati Citta, kini mulai tertarik dan bermaksud menggoda istrinya itu.“Kamu mau memakainya?” William menyentuh punggung Citta lembut. Berusaha tidak membuat istrinya terkejut. Namun tetap saja, Citta sedikit berjingkat karena tetiba suara William memenuhi g

  • Grafiti Dinding Hati   32. Enam Lingeri

    “Will?” Citta terlihat sangat ingin tahu jawaban William atas pertanyaannya tadi. Namun sedari tadi William tetap bergeming. William juga tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Citta mencoba memahami diamnya William dengan menarik garis bibirnya agar membentuk sebuah senyum. Andai Citta tahu, William tidak bisa menjawab pertanyaannya. Dan seandainya William tahu, Citta akhirnya membuat kesimpulan sendiri dengan mencoba mengartikan itu sebagai ketidaktahuan atau mungkin ketidaksiapan William. Citta yakin bahwa William tidak ingin dipandang sebagai laki-laki berengsek. Laki-laki yang sudah menikah, tapi masih berani mencium perempuan lain.“Ayo kita berangkat. Aku hampir terlambat.” Citta mencoba mengalihkan pembicaraan. William masih tidak mengatakan apa pun. Namun kali ini, William mengikuti perkataan Citta. Perlahan, kaki William menginjak pedal gas dan mobil pun menderu tanda mulai melaju.“Pukul berapa aku bisa menjemputmu?” William menatap Citta sambil menunggu jawaban dari istri ked

  • Grafiti Dinding Hati   31. Menjaga Milikku

    “Aku akan menyusul William, Pa.” Dhita merasa tidak nyaman hanya makan berdua bersama Johan, mertuanya. Ia juga tidak bisa fokus menikmati makanan yang tersaji di piringnya karena pikirannya sibuk menerka apa gerangan yang sedang dilakukan William dan Citta. Dhita menyumpahi Citta dalam hati. Melontarkan beberapa kata makian yang meskipun ia ucapkan dalam hati, namun ia sangat berharap itu sampai pada Citta. Johan yang sesekali melirik Dhita, mencoba mengecek ekspresi menantu culasnya itu, tentu saja melarang keinginan Dhita.“Bersikaplah dewasa, Dhita. Citta juga istri WIlliam.”“Tapi aku istri sahnya, Pa. Pernikahan Will dan Citta hanyalah main-main!” Dhita sengaja membanting sendok garpunya sebagai bentuk luapan kemarahan. Johan kembali murka dengan sikap tidak sopan Dhita. Ia juga menghardik Dhita yang menyebut pernikahan

  • Grafiti Dinding Hati   30. Berat Sebelah

    Johan heran mendapati ruang makan yang masih lengang. Terasa aneh dan tentu saja janggal karena biasanya semua penghuni rumah tersebut hanya dapat bertemu dan berkumpul di waktu sarapan. Namun kali ini, meja makan kosong tanpa ada yang mengelilinginya. Johan lalu ingat kalau kemarin William mengatakan akan berangkat lebih awal ke kantor, tapi sedari tadi Johan belum mendengar deru mesin mobil William. Itu artinya William masih di rumah.Johan kemudian memanggil bibi dan menanyai perempuan itu. Bibi, dengan suara terbata karena ketakutan, mencoba mengurai kronologi yang terjadi sehingga waktu sarapan pagi ini menjadi berbeda, tidak seperti biasanya.“Kurang ajar!” Johan refleks menggebrak meja. Ia tidak menyangka Dhita kembali ke rumah ini dan membuat keributan. Johan lalu kembali bertanya pada bibi tentang keberadaan Citta. Ya, Johan tentu saj

  • Grafiti Dinding Hati   29. Lebih Baik Menghindar

    Citta terbangun ketika merasakan tengkuknya seperti diterpa embusan napas.Tunggu! Embusan napas?Bukankah tadi malam ia tidur sendirian. William memilih tidur di sofa, kan?Atau….Citta menjerit tertahan karena otaknya membawanya pada kemungkinan yang sama sekali tidak diperhitungkannya.Bagaimana jika William pindah ke tempat tidur?Menyadari peluang itu sangat mungkin terjadi, Citta pun segera mengubah posisi tidurnya. Dan kali ini ia benar-benar memekik, meski tidak kencang, ketika netranya menangkap sosok William yang tengah meringkuk pulas di dekatnya.William yang tampak terusik dengan jeritan Citta, membuka sedikit kelopak matanya. Lalu, tanpa mengatakan apapun William langsung menarik Citta mendekat padanya dan serta merta mengunci tubuh Citta dengan pelukan yang cukup erat. Pinggang Citta yang ramping terasa sangat pas dalam pelukan William. William sebenarnya sudah bangun dari tadi sehingga ia tahu semua reaksi Citta yang menurutnya lucu sekaligus menggemaskan. Sangat mu

  • Grafiti Dinding Hati   28. Baju Tidur Seksi

    Di dalam kamarnya, Citta menanggalkan pakaian pengantinnya dengan dibantu Ratih. Mereka berdua memilih bekerja dalam diam. Namun sebenarnya Ratih ingin bertanya tentang banyak hal, tapi ia lebih kasihan ketika melihat sahabatnya yang tampak kelelahan. Setelah membersihkan riasan yang menempel pada wajah Citta, Ratih kemudian berpamitan. “Tidak perlu diantar, oke.” Tolak Ratih ketika mereka sampai di depan pintu kamar Citta. Citta mengangguk tanda setuju. Tubuhnya memang terasa sangat lelah sehingga tanpa perlu berdebat, Citta langsung mengiyakan permintaan Ratih.“Terima kasih.” Ucap Citta sambil bertumpu pada daun pintu yang terbuka. “Sama-sama. Kita berdua sama-sama lelah, kan. Oya, aku selalu siap kapan pun kamu mau cerita.” Kode Ratih diikuti cengiran jenakanya. Citta tersenyum tipis. Ratih memang memahaminya dengan sangat baik.“Iya, kalau waktunya sudah tiba, aku akan ceritakan semuanya.” Jawaban Citta terdengar seperti sebuah janji. Ratih menepuk perlahan lengan sahabatnya ke

  • Grafiti Dinding Hati   27. Satu-satunya Menantu

    William merasa bahwa ia perlu bicara lagi dengan ayahnya mengenai kesepakatan lain yang menyangkut pernikahannya. Setelah menghabiskan hampir dua jam untuk berpikir di apartemennya, William memutuskan untuk segera menghubungi Johan. Ia tidak mau menunda lebih lama lagi karena ia merasa sangat perlu mendapat kejelasan tentang masalah pernikahannya segera.“Halo?” Suara Johan langsung terdengar ketika panggilan yang dilakukan William terhubung. Kening William sontak mengernyit. Suara ayahnya terdengar tidak seperti biasanya.“Ada apa?” Tanya William ingin tahu. William yakin suara ayahnya terdengar seperti orang yang baru menangis, tapi kenapa ayahnya sampai menangis? William benar-benar dibuat penasaran karena Johan tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Justru yang terdengar kemudian adalah suara Johan yang tengah bicara dengan setengah b

DMCA.com Protection Status