“Citta!”
Citta menghentikan langkahnya yang sedikit tergesa menuju pintu. Ia pun menoleh ke arah sumber suara. Terlihat ayahnya, Cahyo Buwana, sedang duduk di meja makan menikmati sarapan.
“Kamu tidak sarapan?” Cahyo bertanya sambil memegang telinga cangkir yang berisi kopi pahit. Sambil menyeruput cairan hitam pekat yang masih agak mengepul, mata Cahyo tidak lepas dari memandang putrinya.
“Maaf, ya Ayah. Citta sudah terlambat. Ada kuis di jam pertama.” Citta bergerak menuju meja makan, mendekati Cahyo. Setelah mendaratkan ciuman di pipi kanan dan kiri Cahyo, Citta menyendok nasi goreng yang masih tersisa separuh.
“Ayah antar ke kampus.” Cahyo menggeser kursi yang didudukinya kemudian beranjak.
“Eh… Jangan, Yah. Ayah kan masih sarapan.” Citta berusaha menahan ayahnya agar tidak melangkah meninggalkan meja makan.
“Ayah sudah kenyang. Kamu mau menghabiskan nasi goreng Ayah?” Cahyo kembali bertanya sambil melirik ke arah piring.
“Tentu mau dong, Yah. Aku ambil kotak makan dulu ya agar bisa dimakan di mobil.”
“Iya, Ayah akan memanaskan mobil dulu.”
Kali ini Cahyo yang melangkah menjauhi meja makan.
“Ayah.” Panggil Citta cepat. Cahyo menoleh untuk melihat putrinya yang tengah memegang kotak makan plastik berwarna hijau.
“Kopinya mau dibawa juga?” Tanya Citta sambil menggerakkan gelas plastik dengan penutup anti tumpah.
“Boleh.” Jawab Cahyo sambil tersenyum. Ia pun kembali melanjutkan langkahnya, bergegas menuju garasi.
*
“Makan siang Ayah nanti bagaimana?” Citta bertanya dengan mulut penuh nasi goreng. Bukannya menjawab, Cahyo justru mengacak rambut putrinya. Ia merasa gemas dengan tingkah Citta yang masih seperti anak-anak, bicara dengan mulut penuh makanan.
"Kamu itu. Sebelum bicara, telan dulu makanannya. Kalau tersedak bagaimana?"
Ujar Cahyo sambil sesekali melihat ke arah putrinya.
"Kalau tersedak ya tinggal mengangkat lengan seperti ini, Yah." Jawab Citta sambil meletakkan kotak makan di atas pangkuannya lalu mengangkat kedua lengannya ke atas.
"Kamu itu, jawab terus kalau diberi tahu."
"Lho, Ayah tadi memberi tahu? Citta kira Ayah bertanya." Goda Citta sambil tersenyum lebar. Cahyo tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya.
"Tuh, kan Ayah belum jawab pertanyaanku? Makan siang Ayah bagaimana? Maaf Citta tidak sempat masak tadi." Citta menatap ayahnya penuh rasa bersalah. Selain karena tidak sempat memasak makanan untuk sarapan juga bekal, ia merasa bersalah telah membuat ayahnya membuat sendiri sarapannya tadi.
"Nanti siang Om Johan, sahabat Ayah, mengajak makan siang sekaligus membahas proyek baru kami."
"Om Johan siapa,Yah?"
"Johan Rustenburg."
Pandangan Citta menerawang. Otaknya berusaha mengingat nama juga sosok yang baru saja disebutkan ayahnya.
"Oh…." Refleks Citta menutup mulut yang terbuka dengan ujung jemarinya.
"Kenapa, Sayang?" Tanya Cahyo dengan nada khawatir.
"Tidak ada apa-apa, Yah. Citta hanya sedang berusaha mengingat sahabat Ayah itu, Johan Rustenburg."
"Memangnya kenapa? Kamu terlihat sangat penasaran." Pancing Cahyo yang dijawab anggukan cepat oleh Citta.
"Tetiba Citta teringat William Rustenburg, Yah. Apakah William Rustenburg masih ada hubungan keluarga dengan Om Johan? Nama belakang mereka sama-sama Rustenburg." Citta sibuk membuat analisis. Mencoba mengaitkan dua nama yang diyakininya mempunyai hubungan kekerabatan.
Cahyo terlihat sangat tertarik ketika mendengar putrinya menyebut nama William Rustenburg, putra semata wayang sahabatnya. Ingin rasanyanya Cahyo bertanya lebih jauh tentang William pada Citta. Sayangnya, perjalanan mereka telah sampai ke tujuan, yakni kampus Citta.
"Sudah sampai. Terima kasih, Yah." Citta melepas sabuk pengaman kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Cahyo. Bersiap mendapat pelukan, kecupan di pipi, dan sedikit gerakan mengacak rambut yang tampaknya sangat disukai ayahnya.
"Terima kasih untuk tumpangannya, Ayahku sayang. Hati-hati ketika menyetir ya." Kalimat Citta membuat Cahyo segera mengurai pelukannya.
"Terima kasih, Sayang." Balas Cahyo sambil tersenyum. Sebelum tangan Citta menekan tuas pintu mobil agar terbuka, Cahyo melontarkan satu pertanyaan. Cahyo berharap jawaban Citta akan memuaskan rasa penasarannya.
"Citta, ada yang ingin Ayah tanyakan."
"Apa, Yah?"
"Kamu mengenal William Rustenburg?"
Citta tidak langsung menjawab. Sepasang matanya melirik ke arah kiri atas, mencoba mengingat sesuatu.
"Mengenal secara langsung tentu tidak, Yah tapi tampaknya semua media begitu menggilainya. Hampir setiap saat wajahnya muncul di televisi, Yah. Dari acara serius sampai yang tidak serius."
"Apa maksudmu dengan acara tidak serius?" Kejar Cahyo yang tampak tidak puas dengan jawaban putrinya.
"Acara gosip, Yah. Sudah ah, Yah. Citta sudah terlambat." Citta membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Ingin rasanya Citta berlari menuju ruang kelas. Ia tidak ingin terlambat hadir sehingga tidak bisa mengikuti kuis. Citta pun terpaksa melewatkan momen menunggu ayahnya pergi menjauh dengan mobilnya. Ia benar-benar terlambat masuk kelas.
*
“Halo.”
“Cahyo, jangan lupa nanti siang.”
Cahyo terkekeh mendengar suara sahabatnya di ujung lain telepon.
“Seharusnya aku yang bicara seperti itu, Johan.” Nada menyidir Cahyo kini membuat lawan bicaranya di telepon terbahak.
“Aku baru saja berniat mengingatkanmu.” Sambung Cahyo lagi.
“Kali ini aku tidak akan lupa, Cahyo. Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.” Johan memberi garansi sahabatnya bahwa ia bukan lagi seorang pelupa.
“Hmm… Aku juga ingin membicarakan sesuatu denganmu, Johan. Baiklah, kita bertemu di tempat biasa saja bagaimana?”
“Ya, aku akan datang.”
Cahyo mematikan panggilan telepon setelah mendengar jawaban Johan. Ia kemudian kembali menekuni berkas-berkas yang nanti akan dibahasnya bersama Johan. Ketika sedang fokus bekerja, sepasang mata Cahyo tetiba melihat pada pigura yang terpajang di atas meja kerjanya. Foto Citta bersama dirinya ketika mereka sedang liburan ke Yogyakarta. Tangan Cahyo tergerak untuk meraih pigura itu. Sambil mengarahkan pandangannya pada foto putrinya, Cahyo menggumamkan sesuatu. Sebuah janji yang dipenuhi tekad dikatakan Cahyo dengan suara lirih.
“Kali ini pun, Ayah akan mengusahakan yang terbaik untukmu Sayang.”
Cahyo mengakhiri kalimatnya dengan senyum tipis yang menyiratkan rasa optimis.
*
“Ratih, aku dapat undangan ini. Kamu dapat juga?” Citta mengangsurkan selembar kertas yang ditekuk menjadi tiga bagian. Bagian terluar dari lipatan kertas itu menunjukkan lambang universitas serta nama fakultas.
“Surat apa ini? Masih musim ya, menyurati mahasiswa dengan kertas seperti ini. Biasanya tinggal mengirim berkas ke aplikasi pesan.” Ratih, sahabat Citta, membuka lipatan kertas itu kemudian membacanya.
“Gila, kamu terpilih untuk mengikuti program fast track, Citta. Hebat.” Ratih menepuk pundak sahabatnya. Ia tidak pernah menyangsikan apa pun bila berkaitan dengan kemampuan otak sahabatnya.
“Ya, aku pernah mendengar program itu tapi kok sepertinya aku tidak sanggup ya?” Citta tampak mengukur kemampuannya sendiri.
“Kamu pasti mampu, Citta. By the way, acara sosialisasinya nanti siang lho. Untung kita tidak ada kelas.” Ratih mengingatkan Citta setelah membaca ulang tanggal dan waktu yang tertera di undangan.
“Temani aku ya, Ratih.”
“Lha, aku kan tidak diundang. Aku tidak mau diusir dan menjadi pusat perhatian.” Ratih menolak ajakan Citta.
“Aku di ruang baca saja. Nanti kalau kamu sudah selesai, kabari aku ya. Kita bertemu di hall.” Ratih memberi ide yang mau tidak mau terpaksa disetujui Citta.
*
“Maaf sudah membuatmu menunggu, Cahyo.” Johan menyalami Cahyo kemudian memeluk sahabatnya. Cahyo tertawa mendengar permintaan maaf Johan yang sudah sering didengarnya.
“Aku maklum, Tuan Rustenburg. Mengelola perusahan multinasional pasti lebih menyita waktu. Aku justru sangat berterima kasih karena Tuan Rustenburg bisa datang ke sini." Cahyo berkata dengan mimik wajah serius, tapi bibirnya terlihat menahan tawa yang hampir meledak.
“Kamu selalu menyindirku dengan memanggilku tidak dengan nama kecilku.” Johan memperlihatkan ekspresi kesal yang membuat Cahyo semakin tertawa.
“Aku tidak menyindir. Bukankah itu fakta? Mengurus perusahaan besar sangat melelahkan. Aku saja mengurus perusahaan kecil juga sering kelelahan. Terlebih akhir-akhir ini aku merasa kesehatanku menurun. Aku jadi mudah lelah dan sering tidak fokus dalam bekerja. Terkadang, dada sebelah kiriku juga nyeri.”
Johan menatap sahabatnya khawatir.
“Kau sudah menemui dokter?”
“Belum. Aku masih bingung mengatur waktu. Jika menemui dokter pribadiku, Citta pasti akan cemas. Kau tahu kan Dokter Budi membuka praktik pribadinya malam hari.”
“Undang saja Dokter Budi ke rumah.” Johan memberi saran. Cahyo cepat menggeleng, tidak sependapat dengan saran sahabatnya.
“Kau ingin Citta semakin panik?”
“Kalau begitu undanglah Dokter Budi ke kantormu, Cahyo.”
“Tidak bisa, Johan. Dokter Budi berpraktik di rumah sakit milik pemerintah. Ia tidak mungkin meninggalkan rumah sakit di jam kerja. Kau seperti tidak tahu dedikasinya saja.” Lagi-lagi Cahyo melayangkan sindiran untuk sahabatnya. Mendengar kalimat sahabatnya, Johan terkekeh. Dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri yang telah banyak melupakan hal-hal yang seharusnya tidak ia lupakan.
“Kalau begitu datanglah ke rumah. Aku akan mengundang Dokter Andrew untukmu.” Kalimat Johan terdengar seperti perintah yang harus dipatuhi. Kali ini ganti Cahyo yang terkekeh mendengar perkataan sahabatnya.
“Terima kasih untuk tawaran terbaikmu, Johan. Sayangnya aku tidak mampu membayar jasa Dokter Andrew. Dokter ekspatriat seperti Andrew tentunya memasang tarif yang luar biasa. Tarif yang hanya mampu dibayar oleh orang-orang seperti dirimu, sesama ekspatriat.”
Johan mendengus kesal mendengar penolakan sahabatnya. Cahyo sahabatnya tidak pernah berubah, selalu merendah.
“Andrew masih keluargaku, Cahyo. Ia juga menyandang nama Rustenburg di belakang namanya.”
Cahyo terdiam. Ia tampak menimbang tawaran Johan. Kesehatan yang akhir-akhir ini dikhawatirkannya benar-benar menyiksa dirinya. Cahyo tidak mau dirinya jatuh sakit hingga kemudian menyusahkan Citta.
“Baiklah, aku akan ke rumahmu untuk bertemu Dokter Andrew.” Cahyo menyanggupi permintaan Johan dengan suara lirih. Mendengar kesediaan sahabatnya, Johan segera meraih ponselnya yang tergeletak di sisi kirinya. Dengan cepat Johan menghubungi Andrew, membuat janji temu untuk malam ini.
“Fix, Andrew akan memeriksamu malam ini. Sekarang hubungilah Citta. Katakan padanya kau terlambat pulang.”
Cahyo mengikuti apa yang dikatakan Johan dengan gerakan perlahan. Ia mengetikkan pesan untuk Citta dengan hati tidak nyaman.
Citta Sayang, malam ini Ayah terlambat pulang karena harus membicarakan proyek dengan Om Johan.
Tanpa diduga Cahyo, putrinya membalas pesannya dalam hitungan detik.
Di mana, Yah? Apa Ayah sekaligus makan malam dengan Om Johan?
Cahyo terlihat ragu-ragu ketika hendak membalas pesan Citta. Johan yang melihat temannya tidak bersemangat kemudian meraih ponsel Cahyo. Senyum Johan terkembang demi membaca pesan yang dikirim Citta pada ayahnya.
“Putrimu manis sekali. Ia begitu perhatian padamu.” Johan memuji Citta sambil menarikan jemarinya pada deretan huruf yang mengambang di layar.
Kami membicarakan proyek di rumah Om Johan. Alamatnya di Jalan Mawar nomor 1.
Cahyo melihat balasan yang dikirim Johan. Seketika matanya terbelalak melihat jawaban Johan.
“Kenapa kau memberi tahu alamatmu? Bisa-bisa Citta menyusulku dan rahasiaku terbongkar.”
“Tenanglah, Cahyo. Aku pastikan Citta tidak mengetahui apa pun, meskipun ia datang untuk menjemputmu nanti.”
*
“Ternyata keputusan fast track itu dibuat oleh ketua program studi, Tih. Dan aku terpilih. Bye bye hidup santai.” Citta tertunduk lesu sambil menceritakan semua informasi yang diperolehnya dari acara sosialisasi program fast track.
“Maksudnya bagaimana? Kamu menulis skripsi dan tesis bersamaan?”
“Bukan begitu. Intinya aku menjalani 3 tahun kuliah di S1 kemudian lanjut kuliah S2 selama dua tahun. Secara keseluruhan aku menghabiskan lima tahun kuliah kemudian mendapat dua gelar. Tadi juga ditawarkan program double degree, tapi aku menolak.”
“Seharusnya kamu tidak menolaknya, Citta. Itu artinya kamu akan memiliki gelar tambahan yang diberikan oleh universitas partner, kan?”
“Iya, sih tapi kan tidak mudah juga menjalaninya, Tih. Aku harus pergi ke luar negeri selama satu tahun. Aku tidak bisa meninggalkan ayah sendirian di sini.” Citta menatap sahabatnya dengan pandangan sayu. Ratih yang ditatap seperti itu, iba juga. Ratih melihat cita-cita yang besar dalam diri Citta, tapi gadis itu tidak bisa meninggalkan ayahnya seorang diri di rumah mengingat selama ini mereka hanya hidup berdua.
“Aku akan mengambil program fast track itu.”
Ratih mendengar nada penuh kesungguhan dan tekad pada suara Citta.
“Iya, aku mendukungmu penuh. Ayo, kita ke kantin. Aku sudah sangat lapar.” Ratih mengelus perutnya dengan gerakan memutar. Citta terkekeh melihat tingkah sahabatnya.
“Seharusnya kamu tadi tidak ke ruang baca, tapi ke kantin.”
“Tapi, aku tidak percaya diri bila ke kantin sendirian.” Ratih memberi alasan yang terdengar konyol.
“Baiklah. Ayo, kalau kita tidak segera aku khawatir tidak ada tempat lagi di kantin.”
Citta dan Ratih berjalan dengan setengah berlari menuju kantin. Lima menit lagi jam makan siang tiba. Dan itu artinya, kantin akan penuh sesak.
*
"Tolong antarkan aku, ya Tih." Citta memandang penuh harap pada sahabatnya yang sedang mengeluarkan kunci mobil dari dalam tas.
"Ke mana?"
"Jalan Mawar."
Sepasang mata Ratih membelalak kaget. Jalan Mawar merupakan lokasi perumahan elite yang paling terkenal di kota ini.
"Mau apa ke Jalan Mawar?" Tanya Ratih penasaran. Citta tidak segera menjawab. Ia lebih memilih menghela napas dalam-dalam kemudian menatap sahabatnya.
"Kok diam?"
"Ayah ada di sana. Di rumah temannya."
"Teman ayahmu itu laki-laki atau perempuan?" Ratih bertanya dengan hati-hati setelah melihat air muka Citta yang berubah sendu.
"Laki-laki. Johan Rustenburg, ayah dari William Rustenburg."
"Wow. Keren sekali teman ayahmu, Citta. Aku akan mengantarmu, tapi aku ikut masuk ya?"
Citta menatap sahabatnya penuh selidik.
"Untuk apa?"
"Ya, aku ingin tahu saja seperti apa isi rumah keluarga Rustenburg. Dan…. Siapa tahu aku beruntung bisa bertemu William." Ratih menangkupkan kedua tangannya di pipi. Kelopak matanya berkedip lebih cepat dari biasanya. Ratih terlihat asyik membayangkan sosok William Rustenburg yang digilai para wanita.
Citta mendengus mendengar jawaban sahabatnya. Ia justru tidak ingin bertemu William Rustenburg ketika menjemput ayahnya. Membayangkan dirinya yang pasti gugup serta salah tingkah ketika bertemu William membuat Citta bergidik. Namun, ia khawatir jika mengajak Ratih, sahabatnya itu akan bertingkah yang tidak-tidak.
"Em, memang kau bisa mengantarku?"
"Pukul berapa?"
Citta melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia mencoba memperkirakan waktu yang tepat untuk menjemput ayahnya.
"Sekitar pukul sembilan belas."
"Yah, aku harus mengantar mama belanja do jam itu. Kenapa tidak sekarang saja sih, Citta?
"Kalau sekarang, Ayahku masih bekerja Ratih. Om Johan juga pasti masih sibuk di kantornya. Pastinya Ayahku berkunjung setelah jam kantor berakhir."
"Yah, natal deh impianku melihat langsung wajah rupawan William."
Citta meringis mendengar apa yang dikatakan sahabatnya.
"Maaf, ya Sahabatku yang baik."
"Iya, tidak apa-apa Citta. Aku akan melampiaskan kekecewaanku dengan belanja bersama mama. By the way, kau akan naik apa ke sana?
"Naik taksi online."
"Oh, ok. Hati-hati ya, Citta."
"Iya, terima kasih Ratih. Eh, kamu mau ke mana? Kan kita masih ada satu kelas lagi." Citta menahan Ratih dengan menarik lengan baju sahabatnya.
"Aku mau pulang, ah. Capek. Lagipula dosennya membosankan."
"Eh, kamu bolos lagi? Pokoknya aku tidak mau mengisikan daftar hadirmu, ya." Citta sengaja mengancam agar Ratih mengurungkan niatnya.
"Ya sudah, aku ambil jatah bolos saja." Jawab Ratih santai sambil melenggang menuju area parkir.
Tanpa berkata-kata lagi, Citta dan Ratih memutuskan untuk berpisah arah. Tentu saja Citta tidak akan mengikuti langkah Ratih sahabatnya, membolos kuliah.
***
“Cahyo, supirku akan menjemputmu.” Suara Johan yang terdengar seperti memerintah kembali menyapa telinga Cahyo, tepat setelah lelaki berusia lima puluhan tahun itu menggeser ikon gagang telepon warna hijau pada layar ponselnya. “Ayolah, Johan. Aku tidak selemah itu. Aku akan menyetir sendiri ke rumahmu. Apa kamu sudah berada di rumah sekarang?” Terdengar helaan napas Cahyo yang berat setelah mengakhiri kalimatnya. “Tiga puluh menit lagi aku akan sampai di rumah. Kalau demikian, kamu berangkatlah sekarang sebelum lalu lintas menjadi semakin macet.” Johan kembali memberi instruksi. Setelah menjawab Johan dengan beberapa kata iya, Cahyo mengakhiri panggilan. Detik berikutnya, Cahyo terlihat mengemasi berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Ketika pekerjaan merapikan mejanya hampir selesai, C
“Citta!” Ratih sedikit berteriak sambil menghambur ke arah Citta yang tengah asyik membaca. Untunglah koridor kampus cukup ramai sehingga teriakan Ratih mampu teredam dan tidak terlalu mencuri perhatian. Suara melengking sahabat Citta itu pastinya sangat memekakkan telinga jika keadaan sekitar lengang. Setelah mengambil duduk di samping Citta, Ratih pun segera memeluk sahabatnya erat. Pelukan Ratih yang erat sukses mengunci lengan Citta, membuat gadis itu menghentikan aktivitas membacanya. “Lepas, Ratih. Sesak napas, nih.” Citta berkata dengan terbata-bata. Napasnya benar-benar tersengal karena sepasang lengan Ratih yang melingkari dadanya erat. Sambil terkekeh, Ratih melepaskan pelukannya. “Maaf….” Ratih meringis melihat wajah tersiksa Citta. “Oh, mudahn
“Kamu setuju bukan karena kasihan padaku, kan Jo?” Cahyo bertanya dengan hati-hati setelah mereka berdua terdiam cukup lama. Kehati-hatian Cahyo lebih karena dilandasi rasa takut. Takut bila ternyata Johan mengiyakan keinginannya karena kasihan. “Hm… jujur, aku setuju karena kasihan.” Johan berkata diiringi tawa yang tertahan. Johan terlihat puas melihat wajah Cahyo yang berubah pias. Rasanya sudah sangat lama Johan tidak bercanda dengan Cahyo. Sense of humor Cahyo yang buruk justru membuat Johan semakin ingin menggodanya. “Benarkah?” Raut kecewa tidak bisa disembunyikan oleh Cahyo. Ia mendesah pelan, mencoba melepaskan rasa kecewa yang terus bertumbuh dan menghimpit dadanya. “Tentu saja.” Jawab Johan santai. Kali ini Johan sen
“Aku ingin segera lulus kemudian bekerja, Tih.” Ujar Citta setelah mata kuliah terakhir mereka hari ini berakhir. “Aduh Citta, kamu itu sudah mengambil fast track terus ingin segera lulus pula. Kapan waktunya untuk bersenang-senang?” Ratih merogoh saku tas untuk mencari ponsel miliknya. Sebelumnya ia telah mengambil buku catatan Citta untuk kemudian ia gandakan di tempat foto kopi milik kampus. “Kamu tahu sendiri aku tidak suka bersenang-senang.” Citta melihat malas pada sahabatnya yang asyik mengoperasi ponsel, bukannya fokus mendengarkan dirinya. “Sudahlah, ayo kita pulang.” Ajak Citta sambil meraih ransel yang ia gantungkan pada sandaran bangku. “Lho, memang cerita kamu su
“Nih, katanya kamu mau langsung kerja setelah lulus kuliah.” Ratih yang tetiba muncul di perpustakaan langsung duduk di samping Citta. Citta menutup buku yang dibacanya. Beberapa jemarinya ditekuk untuk menahan buku agar tidak tertutup di halaman terakhir yang ia baca. Citta menatap Ratih sekilas kemudian pandangannya beralih pada ponsel Ratih yang tergeletak di atas meja.“Lowongan magang di Perusahaan Rustenburg.” Tambah Ratih yang terlihat sangat antusias. Citta menunjukkan wajah tidak tertarik dengan informasi yang dibawa Ratih.“Aku ingin bekerja, bukan magang.” Citta bersiap melanjutkan aktivitas membacanya.“Eh, jangan salah. Kegiatan magang ini berpotensi membuat kamu lebih mudah mendapatkan pekerjaan.”Citta
“Selamat datang di perusahaan Rustenburg.” Kepala personalia membuka suara setelah melihat Johan dan William masuk ke ruang rapat. Johan mengangguk memberi kode pada kepala personalia untuk melanjutkan pidatonya.“Saya, mewakili Tuan Johan dan William Rustenburg mengucapkan selamat pada Anda semua yang telah diterima magang di perusahaan kami. Namun, ada satu hal yang akan saya sampaikan bahwa beberapa dari Anda akan ditempatkan di bagian yang berbeda dari yang Anda lamar. Saya harap Kalian semua tidak keberatan dan tetap semangat mengikuti program magang ini sampai selesai.”Citta menyimak setiap kata yang disampaikan oleh kepala personalia dengan serius. Ketika akhirnya kepala personalia menyebut namanya dan memberi tahu bagiannya, Citta terbengong beberapa saat. Sekretaris direktur. Posisi yang cukup terdengar aneh jika diberikan pada peserta magang. Sambil berusaha meyakinkan dirinya bahwa mungkin pendengarannya salah, Citta mendengar gerutu
“Citta, aku harus menemani William meeting pukul sembilan. Tolong kamu periksa lagi semua laporan yang masuk. Berkas-berkasnya sudah kukirim ke surelmu.” Elena tampak sibuk membuka lembar demi lembar kertas yang tertumpuk di atas mejanya. Citta yang baru datang segera duduk dan menyalakan komputer mejanya. Setelah komputer siap digunakan, Citta segera meluncur ke akun surat elektronik miliknya. Dilihatnya surat dari Elena berada pada urutan teratas.“Apa yang harus saya kerjakan dengan tabel-tabel ini, Miss?” Tanya Citta sambil menatap lurus pada sosok Elena yang masih terlihat sibuk dengan kertas-kertasnya. Jujur, Citta benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud dengan memeriksa laporan. Dalam pandangannya, semua file yang saat ini dibukannya satu per satu tidak menunjukkan kejanggalan. Elena menghentikan aktivitasnya kemudian menegakkan badan. Ia menatap Citta dengan kesal
"Katakan pada papa bahwa kamu tidak ingin menjadi sekretarisku." William menatap Citta dengan sorot yang seolah mampu membakar apa pun yang dilihatnya. Citta menggerakkan tangannya, minta dilepaskan dari cengkeraman William.“Lepaskan, William!” Citta terdengar sengaja menyebut nama William tanpa didahului kata sapaan seperti biasanya.“Berjanjilah dulu!” William tak mau kalah. Citta meringis setelah merasakan cengkeraman di lengannya kembali menguat."Baik." Jawab Citta pendek. Ia mengatakan itu bukan karena mau berjanji seperti perintah William, tapi semata-mata hanya ingin segera lepas dari cengkeraman William.'Oh, betapa kasarnya lelaki ini.' sungut Citta dalam hati. Ia benar-benar kesal karena mendapati kenyataan bahwa William ya