"Katakan pada papa bahwa kamu tidak ingin menjadi sekretarisku." William menatap Citta dengan sorot yang seolah mampu membakar apa pun yang dilihatnya. Citta menggerakkan tangannya, minta dilepaskan dari cengkeraman William.
“Lepaskan, William!” Citta terdengar sengaja menyebut nama William tanpa didahului kata sapaan seperti biasanya.
“Berjanjilah dulu!” William tak mau kalah. Citta meringis setelah merasakan cengkeraman di lengannya kembali menguat.
"Baik." Jawab Citta pendek. Ia mengatakan itu bukan karena mau berjanji seperti perintah William, tapi semata-mata hanya ingin segera lepas dari cengkeraman William.
'Oh, betapa kasarnya lelaki ini.' sungut Citta dalam hati. Ia benar-benar kesal karena mendapati kenyataan bahwa William ya
Citta duduk dengan dagu bertumpu pada kedua lututnya. Kedua tangannya mengunci kedua kakinya yang ditekuk. Sementara sepasang netranya terus memandangi dua brosur bergambar hunian bertingkat serta kluster perumahan mewah. Dua produk andalan perusahaan Rustenburg yang harus Citta buat materi promosinya malam ini.Sesekali Citta berdecak, gadis itu terlihat bingung harus memulai dari mana. Baik hunian bertingkat serta kluster perumahan, keduanya dipasarkan dengan harga yang fantastis. Sebuah harga yang menurut Citta sangat tidak masuk di akal. Hal tersebutlah yang membuatnya kesulitan merangkai kata sedari tadi.“Siapa yang mau beli hunian semahal ini.” Cibir Citta sambil mengubah posisi duduknya. Diambilnya buku catatan serta pulpen dan mulailah ia menulis.Beep!
“Bagaimana kinerja Citta, Will?” Tanya Johan ketika mengunjungi ruangan William. Yang ditanya hanya mengedikkan bahu sambil tetap memainkan pulpen yang dipegangnya.“Entahlah. Aku tidak ada waktu mengurusi anak magang, Pa.” Ujar William sambil menatap ayahnya penuh selidik.“Apa yang sedang Papa rencanakan padaku?” Tanya William sambil meletakkan pulpen. Ditatapnya sosok ayahnya lekat-lekat. Sementara Johan yang sengaja mengabaikan tatapan tajam William, langsung mengedikkan bahu. “Tidak mungkin. Terlalu sering Papa menyebut nama Citta. Serta terlalu jauh Papa ikut campur dalam banyak hal yang menyangkut gadis itu di sini.” Kejar William. Ia sangat yakin bahwa ayahnya tengah merencanakan sesuatu untuknya. Dan rencana itu berhubungan dengan Citta, si gadis magang.“Ada banyak mahasiswa magang di sini, tapi kenapa hanya Citta terus yang Papa tanyakan.” Lanjut William yang mulai terpancing emosinya karena sang ayah tidak kunjung bersuara. “Aku juga menangkap gelagat Pa
“William, bisa kita bicara?” Ragu-ragu, Citta akhirnya bertanya juga. Itu pun setelah ia berusaha mengumpulkan segenap keberaniannya. William menatap gadis yang menghadapnya dengan sorot matanya yang tajam dan wajah dingin dan datarnya yang teramat mengerikan.“Aku juga ingin bicara denganmu.” Ujar William kemudian berjalan menuju ruangannya. Di belakang Will, Citta mengekor dengan langkah tergesa, berusaha mengimbangi langkah kaki sang bos.Beruntung, hari masih cukup pagi. Sekilas, Citta melihat jam digital di atas meja Elena menunjukkan angka nol enam tiga nol. Pukul enam tiga puluh. Masih ada cukup waktu, batin Citta. Will langsung duduk di atas kursi kerjanya dan sengaja tidak menyuruh Citta untuk duduk.“Apa yang sudah kau lakukan pada papa?” Pertanyaan dengan nada intimidas
Cahyo nyaris ambruk ketika mengambil air minum di dapur. Beruntung, ia berpegangan pada tepian meja makan sehingga tidak benar-benar terjatuh. Cahyo kemudian menarik salah satu kursi terdekat kemudian duduk. Napasnya sedikit tersengal dan keningnya membasah karena peluh. Setelah bersusah payah mengatur napas, Cahyo kemudian memperbaiki posisi duduknya seraya menegakkan punggung. Tepat pada saat itu, Citta muncul dengan wajah lesu.“Ada apa, Sayang?” Tanya Cahyo sambil meneguk air perlahan. Dilihatnya Citta duduk dengan lemas, seolah tidak bertenaga.“Citta gagal, Yah. Citta tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan.” Jawab Citta sambil mengambil satu lembar roti kemudian menggigit salah satu sudutnya.“Kenapa sampai tidak selesai?”
Citta mengernyit mendapati Andrew berada di ruang perawatan ayahnya. Laki-laki yang berprofesi sebagai dokter itu kemudian tersenyum pada Citta. Citta membalas senyum Andrew dengan canggung. Ia tidak pernah berinteraksi dengan Andrew sebelumnya sehingga ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk membuka pembicaraan dengan laki-laki itu.“Citta, kamu tidak magang hari ini?” Tanya Andrew sambil mengecek aliran infus yang menggantung di dekat tubuh Cahyo.“Magang saya sudah selesai, Dok.” Setelah kebingungan dalam waktu yang relatif lama, Citta akhirnya memilih memanggil Andrew dengan dokter daripada Om.“Keadaan ayah saya bagaimana, Dok?” Sambung Citta tanpa memberi kesempatan pada Andrew untuk menanyainya lebih jauh.“Ayahmu b
Citta terdiam setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar Andrew. Dari sekian banyak hal penting yang disampaikan dokter yang masih berkerabat dengan Johan itu, Citta dapat menarik kesimpulan bahwa ayahnya harus dipindahkan ke rumah sakit lain di luar kota. Cahyo yang tidak hanya membutuhkan obat, juga membutuhkan suasana serta lingkungan yang nyaman dan asri. Dan Andrew menyarankan sebuah rumah sakit yang terletak di kaki gunung. Rumah sakit yang berjarak tiga jam perjalanan dari kota tempat tinggal Citta.“Sebaiknya kamu ikuti saran Andrew, Citta. Ini untuk kebaikan ayahmu.” Johan buka suara setelah sebelumnya banyak diam dan mendengar.“Jika ayah dirawat di sana, Citta jadi tidak bisa menjenguk ayah setiap hari, Om.” Keluh Citta dengan wajah sedih. Dipandanginya sosok ayahnya yang tergolek lemah. Andrew mengatakan bahwa ayahnya baru saja makan malam dan memakan obatnya. Dan hampir semua obat yang dikonsumsi ayah Citta memunyai efek samping mengantuk.“Setiap Citta datang, ayah se
Komunikasi melalui panggilan suara atau video seperti yang dilontarkan ayahnya dulu, ternyata tidak pernah terealisasi. Hingga detik ini, satu kali pun Citta belum pernah lagi mendengar suara atau melihat wajah ayahnya. Hanya pesan-pesan teks yang rutin datang menyapanya. Isinya nyaris sama, informasi tentang keadaan ayahnya yang naik turun serta larangan Andrew untuk terlalu lelah.‘Melakukan panggilan suara atau video itu memerlukan energi lebih banyak daripada mengetik pesan.’Dalih yang sama, yang selalu Citta baca ketika ia menuntut untuk melakukan panggilan telepon. Citta yang menjadi kurang fokus, akhirnya menceritakan semuanya pada Johan. Laki-laki itu dengan sabar mendengarkan ocehan Citta yang seolah tidak akan pernah habis. Jika sudah demikian, hal yang bisa Johan lakukan adalah meminta Citta menginap di rumahnya. Namun, situasi langsung berubah seratus delapan puluh derajat begitu pagi tiba. Saat tiba waktunya sarapan, Johan pasti akan menjumpai wajah masam putra semata w
Citta hanya menggeleng lemah ketika ditanya tentang anggota keluarga lainnya yang sedang ditunggu sebelum jasad Sang ayah diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya.'Tidak mungkin mama dan Kak Dhita akan datang.'Hati kecil Citta sangat yakin bahwa ibu dan kakaknya tidak akan datang. Sejak ibunya memutuskan meninggalkan rumah dengan mengajak kakaknya, Dhita, ibunya mengatakan bahwa tidak akan peduli dengan apa pun yang terjadi di rumah ini."Citta, ambulans sudah datang." Suara berat Johan menggugah Citta dari lamunan. Gadis itu menatap sosok sahabat ayahnya lalu mengerjap beberapa kali. Mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan pria itu."Ambulans sudah siap." Ulang Johan. Citta perlahan beranhak dari duduk beraimpuhnya di samping jenazah sang ayah. Ia kemudian menepi, memberi akses pada beberapa laki-laki yang akan menggotong jenazah ke dalam ambulans. Citta kembali menangis ketika kakinya mulai melangkah menuju ambulans."Kamu boleh tidak ikut." Ujar Johan sambil menyentuh b