Cahyo nyaris ambruk ketika mengambil air minum di dapur. Beruntung, ia berpegangan pada tepian meja makan sehingga tidak benar-benar terjatuh. Cahyo kemudian menarik salah satu kursi terdekat kemudian duduk. Napasnya sedikit tersengal dan keningnya membasah karena peluh. Setelah bersusah payah mengatur napas, Cahyo kemudian memperbaiki posisi duduknya seraya menegakkan punggung. Tepat pada saat itu, Citta muncul dengan wajah lesu.
“Ada apa, Sayang?” Tanya Cahyo sambil meneguk air perlahan. Dilihatnya Citta duduk dengan lemas, seolah tidak bertenaga.
“Citta gagal, Yah. Citta tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan.” Jawab Citta sambil mengambil satu lembar roti kemudian menggigit salah satu sudutnya.
“Kenapa sampai tidak selesai?”
Citta mengernyit mendapati Andrew berada di ruang perawatan ayahnya. Laki-laki yang berprofesi sebagai dokter itu kemudian tersenyum pada Citta. Citta membalas senyum Andrew dengan canggung. Ia tidak pernah berinteraksi dengan Andrew sebelumnya sehingga ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk membuka pembicaraan dengan laki-laki itu.“Citta, kamu tidak magang hari ini?” Tanya Andrew sambil mengecek aliran infus yang menggantung di dekat tubuh Cahyo.“Magang saya sudah selesai, Dok.” Setelah kebingungan dalam waktu yang relatif lama, Citta akhirnya memilih memanggil Andrew dengan dokter daripada Om.“Keadaan ayah saya bagaimana, Dok?” Sambung Citta tanpa memberi kesempatan pada Andrew untuk menanyainya lebih jauh.“Ayahmu b
Citta terdiam setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar Andrew. Dari sekian banyak hal penting yang disampaikan dokter yang masih berkerabat dengan Johan itu, Citta dapat menarik kesimpulan bahwa ayahnya harus dipindahkan ke rumah sakit lain di luar kota. Cahyo yang tidak hanya membutuhkan obat, juga membutuhkan suasana serta lingkungan yang nyaman dan asri. Dan Andrew menyarankan sebuah rumah sakit yang terletak di kaki gunung. Rumah sakit yang berjarak tiga jam perjalanan dari kota tempat tinggal Citta.“Sebaiknya kamu ikuti saran Andrew, Citta. Ini untuk kebaikan ayahmu.” Johan buka suara setelah sebelumnya banyak diam dan mendengar.“Jika ayah dirawat di sana, Citta jadi tidak bisa menjenguk ayah setiap hari, Om.” Keluh Citta dengan wajah sedih. Dipandanginya sosok ayahnya yang tergolek lemah. Andrew mengatakan bahwa ayahnya baru saja makan malam dan memakan obatnya. Dan hampir semua obat yang dikonsumsi ayah Citta memunyai efek samping mengantuk.“Setiap Citta datang, ayah se
Komunikasi melalui panggilan suara atau video seperti yang dilontarkan ayahnya dulu, ternyata tidak pernah terealisasi. Hingga detik ini, satu kali pun Citta belum pernah lagi mendengar suara atau melihat wajah ayahnya. Hanya pesan-pesan teks yang rutin datang menyapanya. Isinya nyaris sama, informasi tentang keadaan ayahnya yang naik turun serta larangan Andrew untuk terlalu lelah.‘Melakukan panggilan suara atau video itu memerlukan energi lebih banyak daripada mengetik pesan.’Dalih yang sama, yang selalu Citta baca ketika ia menuntut untuk melakukan panggilan telepon. Citta yang menjadi kurang fokus, akhirnya menceritakan semuanya pada Johan. Laki-laki itu dengan sabar mendengarkan ocehan Citta yang seolah tidak akan pernah habis. Jika sudah demikian, hal yang bisa Johan lakukan adalah meminta Citta menginap di rumahnya. Namun, situasi langsung berubah seratus delapan puluh derajat begitu pagi tiba. Saat tiba waktunya sarapan, Johan pasti akan menjumpai wajah masam putra semata w
Citta hanya menggeleng lemah ketika ditanya tentang anggota keluarga lainnya yang sedang ditunggu sebelum jasad Sang ayah diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya.'Tidak mungkin mama dan Kak Dhita akan datang.'Hati kecil Citta sangat yakin bahwa ibu dan kakaknya tidak akan datang. Sejak ibunya memutuskan meninggalkan rumah dengan mengajak kakaknya, Dhita, ibunya mengatakan bahwa tidak akan peduli dengan apa pun yang terjadi di rumah ini."Citta, ambulans sudah datang." Suara berat Johan menggugah Citta dari lamunan. Gadis itu menatap sosok sahabat ayahnya lalu mengerjap beberapa kali. Mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan pria itu."Ambulans sudah siap." Ulang Johan. Citta perlahan beranhak dari duduk beraimpuhnya di samping jenazah sang ayah. Ia kemudian menepi, memberi akses pada beberapa laki-laki yang akan menggotong jenazah ke dalam ambulans. Citta kembali menangis ketika kakinya mulai melangkah menuju ambulans."Kamu boleh tidak ikut." Ujar Johan sambil menyentuh b
Canggung.Itulah yang Citta rasakan saat ini. Memang ini bukanlah kali pertama Citta menginjakkan kaki di rumah Johan, tapi datang ke rumah ini dengan sebuah koper juga tas jinjing serta ransel miliknya jelas saja membuat Citta rikuh. Citta memang tak ubahnya orang yang terusir dan sedang mencari naungan baru.Ya, apa namanya jika bukan terusir. Citta harus meninggalkan rumah yang selama ini ditinggalinya menuju rumah milik orang lain. Meskipun ia yakin bahwa Johan menampungnya di sini dengan ikhlas. Tepukan di bahu Citta membuat gadis itu sedikit tersentak. Citta kemudian menoleh ke arah Johan yang tengah tersenyum padanya."Ayo masuk!" Ajak Johan ramah. Seolah paham jika Citta tengah ragu untuk melanjutkan langkah. Citta tersenyum canggung, mencoba mengiyakan ajakan ramah si tuan rumah. Citta membawa kakinya melangkah, melewati beranda rumah Johan yang hanya diisi satu pasang kursi serta sebuah meja."Mulai hari ini kamu tinggal di sini." Ujar Johan seolah kembali mengingatkan Citt
Citta baru mengetahui bahwa William memutuskan pergi dari rumah, dari bibi keesokan paginya. Perempuan itu menceritakan dengan detail apa yang terjadi tepat setelah Citta memutuskan kembali ke kamarnya."Mm, apa Bibi tahu kira-kira William pergi ke mana?" Tanya Citta penasaran. Ia ingin tahu ke mana William akan pergi setelah memutuskan minggat dari rumah ini. Bibi terlihat berpikir sejenak. Mungkin berusaha mengingat berbagai properti yang dimiliki Johan."Bibi menduganya di apartemen di pusat kota, Non." Jawab bibi pada akhirnya. Citta menatap perempuan di depannya semakin penasaran."Bibi yakin?" Kejar Citta. Yang ditanya kali ini menjawab dengan anggukan."William sangat suka tinggal di sana. Sering Bibi dengar dari Tuan Johan jika William meminta izin memakai apartemen bersama teman-temannya." Terang bibi sambil terus berkutat dengan aktivitas memasak untuk makan siang. Citta yang sedang membantu bibi menyiapkan sayuran pun manggut-manggut. 'Ternyata William adalah anak yang hor
“Terima kasih, Pa.” Nada menyindir William terdengar sangat kentara. Johan memperdengarkan dengusan kasar pertanda kesal. Pekerjaannya kini bertambah satu lagi akibat ulah William, yakni bicara pada Citta serta berusaha meluruskan kesalahpahaman yang tercipta.“Elena, sebaiknya kau pergi!” Johan mengusir Elena tanpa melihat wajah wanita itu. Sejak dulu Johan tidak pernah suka dengan Elena. Wanita itu adalah penggoda ulung, meskipun mulutnya selalu mengatakan bahwa ia telah bertunangan, tapi segala tindak tanduknya mengisyaratkan hal yang sebaliknya. Seolah ia adalah wanita bujang yang haus belaian laki-laki.“Papa tidak berhak mengusir Elena!” Hardik William dengan suara keras. Johan berdecak kesal. Kesal akan pembelaan William juga upaya putranya itu untuk menahan kepergian Elena. Johan melirik Elena dan sialnya wanita itu tengah menyeringai padanya."Aku ingin bicara berdua saja denganmu, William Rustenburg!" Johan menegaskan tujuannya datang ke apartemen saat ini."Jadi aku minta
Johan tersenyum miring mendengar pertanyaan putranya meskipun dalam hati ia tidak percaya dengan tuduhan yang dialamatkan William pada dirinya. Tidak butuh waktu lama bagi Johan untuk membuat keputusan. Keputusan untuk mengabaikan pertanyaan William dan memilih untuk segera meninggalkan apartemen anak laki-lakinya. Johan membawa kakinya melangkah mantap, menjauh dari pintu sambil tak lupa menutupnya dengan penuh kehati-hatian. Johan yakin saat ini William pasti tengah menatapnya dengan amarah yang meluap.Benar saja. Selepas pintu tertutup sempurna, William segera mengangkat satu tangannya yang tengah terkepal. Gerakan tangannya meninju dinding di dekatnya sebagai pelampiasan amarah terlihat sangat kuat. “Sial!” Maki William dengan rahang tetap terkatup. Ayahnya tidak menanggapi pertanyaannya. William yakin bahwa ayahnya sengaja melakukan itu. Membiarkannya menduga-duga sendiri. Membiarkannya bermain dengan asumsinya sendiri. Membuat otaknya yang sempat berpikir liar, kini beruba