Citta baru mengetahui bahwa William memutuskan pergi dari rumah, dari bibi keesokan paginya. Perempuan itu menceritakan dengan detail apa yang terjadi tepat setelah Citta memutuskan kembali ke kamarnya."Mm, apa Bibi tahu kira-kira William pergi ke mana?" Tanya Citta penasaran. Ia ingin tahu ke mana William akan pergi setelah memutuskan minggat dari rumah ini. Bibi terlihat berpikir sejenak. Mungkin berusaha mengingat berbagai properti yang dimiliki Johan."Bibi menduganya di apartemen di pusat kota, Non." Jawab bibi pada akhirnya. Citta menatap perempuan di depannya semakin penasaran."Bibi yakin?" Kejar Citta. Yang ditanya kali ini menjawab dengan anggukan."William sangat suka tinggal di sana. Sering Bibi dengar dari Tuan Johan jika William meminta izin memakai apartemen bersama teman-temannya." Terang bibi sambil terus berkutat dengan aktivitas memasak untuk makan siang. Citta yang sedang membantu bibi menyiapkan sayuran pun manggut-manggut. 'Ternyata William adalah anak yang hor
“Terima kasih, Pa.” Nada menyindir William terdengar sangat kentara. Johan memperdengarkan dengusan kasar pertanda kesal. Pekerjaannya kini bertambah satu lagi akibat ulah William, yakni bicara pada Citta serta berusaha meluruskan kesalahpahaman yang tercipta.“Elena, sebaiknya kau pergi!” Johan mengusir Elena tanpa melihat wajah wanita itu. Sejak dulu Johan tidak pernah suka dengan Elena. Wanita itu adalah penggoda ulung, meskipun mulutnya selalu mengatakan bahwa ia telah bertunangan, tapi segala tindak tanduknya mengisyaratkan hal yang sebaliknya. Seolah ia adalah wanita bujang yang haus belaian laki-laki.“Papa tidak berhak mengusir Elena!” Hardik William dengan suara keras. Johan berdecak kesal. Kesal akan pembelaan William juga upaya putranya itu untuk menahan kepergian Elena. Johan melirik Elena dan sialnya wanita itu tengah menyeringai padanya."Aku ingin bicara berdua saja denganmu, William Rustenburg!" Johan menegaskan tujuannya datang ke apartemen saat ini."Jadi aku minta
Johan tersenyum miring mendengar pertanyaan putranya meskipun dalam hati ia tidak percaya dengan tuduhan yang dialamatkan William pada dirinya. Tidak butuh waktu lama bagi Johan untuk membuat keputusan. Keputusan untuk mengabaikan pertanyaan William dan memilih untuk segera meninggalkan apartemen anak laki-lakinya. Johan membawa kakinya melangkah mantap, menjauh dari pintu sambil tak lupa menutupnya dengan penuh kehati-hatian. Johan yakin saat ini William pasti tengah menatapnya dengan amarah yang meluap.Benar saja. Selepas pintu tertutup sempurna, William segera mengangkat satu tangannya yang tengah terkepal. Gerakan tangannya meninju dinding di dekatnya sebagai pelampiasan amarah terlihat sangat kuat. “Sial!” Maki William dengan rahang tetap terkatup. Ayahnya tidak menanggapi pertanyaannya. William yakin bahwa ayahnya sengaja melakukan itu. Membiarkannya menduga-duga sendiri. Membiarkannya bermain dengan asumsinya sendiri. Membuat otaknya yang sempat berpikir liar, kini beruba
“Kamu akan mendapatkan semuanya, Will. Semua yang kamu inginkan.” Janji Johan yang langsung disambut dengan binar pada sepasang netra milik William. Namun, pancaran sukacita di mata William tidak berlangsung lama. Dalam hitungan detik yang terasa seperti kedipan mata, William langsung menatap ayahnya penuh curiga. Satu pasang mata dengan sorot tajam milik William sontak memicing, pertanda kecurigaan yang menguasainya semakin bertambah.“Papa tidak akan mengingkari semuanya, kan?” Tanya William sambil enggan melepas pandangan dari sosok sang ayah. Johan tentu saja tersinggung dengan pertanyaan sang putra.“Laki-laki pantang ingkar janji, Will. Aku mengajarimu hal itu karena aku sendiri tidak pernah mengingkari janji atau perkataan yang keluar dari mulutku.” Ingin rasanya Johan menampar mulut lancang William, tapi lagi-lagi ia
"Terima kasih, Om Johan." Ujar Citta sambil terisak. Hati Citta tergetar setelah mendengar Johan memanggilnya putriku. Hal itu kembali mengingatkannya pada sang ayah. Selama ini hanya sang ayah yang memanggilnya putriku. Johan mafhum akan ucapan terima kasih Citta. "Bukankah sebentar lagi kamu memang akan segera jadi putri Om?" Tanya Johan sambil kembali membelai rambut Citta penuh kasih sayang. Citta menganggukkan kepalanya, pertanda setuju dengan kalimat Johan. "Ya, Om. Bahkan sebentar lagi Om Johan tidak hanya akan punya satu, tapi dua putri sekaligus. Bukankah itu hal yang sangat membahagiakan?" Kali ini ganti Citta yang bertanya. Gadis itu perlahan bergerak, mencoba mengambil jarak dengan Johan, meskipun sebenarnya ia masih enggan. Dulu, Citta sangat suka jika dipeluk oleh ayahnya. Dan sekarang–setelah sekian lama tidak merasakan pelukan penuh kasih sayang–Citta kembali merasakan itu. Citta baru saja merasakan kenyamanan seperti dipeluk ayah sendiri ketika bersama Johan. Dalam h
Johan datang ke auditorium kampus Citta dengan wajah semringah. Kemarin Citta memberitahunya bahwa ia didapuk oleh panitia wisuda di fakultasnya untuk memberikan pidato singkat. Johan dipilih sebagai wali mahasiswa yang lulus tepat waktu serta berprestasi. Tidak ada sedikit pun raut tegang akibat gugup di wajah Johan. Laki-laki itu telah mempersiapkan semuanya tadi malam. Sebuah pidato singkat yang berisi pujian serta kebanggaan dirinya pada sosok Citta.“Kamu memang luar biasa, Sayang.” Puji Johan untuk yang kesekian kalinya. Citta juga demikian. Entah ini sudah kali ke berapa gadis itu mengucapkan terima kasih dengan wajah bersemu kemerahan.Johan sedikit menengadahkan kepala. Dengan senyum terukir di wajah, ia berkata dalam hati. Memuji kehebatan sahabatnya dalam mendidik anak.“Kita berpisah di sini ya, Om Johan. Citta akan berbaris di pintu sebelah sana.” Tunjuk Citta pada kerumunan wisudawan yang tengah mengantri giliran untuk masuk ke auditorium. Johan mengangguk sembari menepu
Citta memasuki rumah dengan binar pada sepasang bola matanya. Lengkung senyum juga turut menghiasi wajah gadis itu. Dengan langkah penuh semangat karena gembira, Citta langsung menuju ruang makan. Ia seperti mendengar orang bercakap-cakap dari arah ruang makan.“Hai, Sayang.” Sapa Johan dengan suara yang cukup jelas didengar. Senyum di wajah Citta perlahan memudar. Semua ini dikarenakan dua hal. Pertama, panggilan sayang Johan padanya dan kedua, tentu saja karena ada William di sana. Citta menduga bahwa Johan sengaja menyapanya demikian, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain membalas sapaan Johan.“Halo, Om. William.” Agar terasa tidak janggal, Citta juga menyapa William. Namun William hanya bergeming. Laki-laki itu hanya melihat dirinya dari sudut matanya. Citta kemudian menuju tempat cuci piring untuk mencuci tangan. Ia kemudian duduk di tempat yang biasa ia duduki. “Bagaimana?” Tanya Johan antusias. Citta tersenyum. Pasti Johan ingin tahu apa yang dilakukannya seharian tadi di
“Jangan coba-coba untuk memikat William!” Ujar Dhita memperingatkan. Kakak perempuan Citta itu pun menambahkan tekanan intimidasinya dengan mencengkeram lengan adiknya yang kurus. Citta mengangguk sambil meringis karena cengkeraman kuat di lengannya. Tetiba ingatannya kembali ketika ia juga diperlakukan yang sama oleh William ketika magang dahulu.“Satu lagi! Kamu harus membuat acara pernikahanmu dengan William selesai lebih cepat. Bagaimanapun caranya. Bukankah kamu pintar? Gunakan kepintaranmu untuk itu.” Imbuh Dhita lagi. Kilatan kebencian di mata Dhita membuat Citta bergidik. Kakak yang belum Citta kenal dengan baik, kini seolah tengah memberi tahu seperti apa karakter aslinya. Sungguh sebuah kenyataan yang sangat tidak menyenangkan bagi Citta. Kakak yang diharapkannya bisa mengasihi dirinya, ternyata menganggapnya saingan juga musuh.