“Non? Kenapa beneran jalan kaki sampai sini?”“Nggak apa-apa, Pak.” Fera langsung masuk ke mobil setelah pintu mobil dibukakan oleh sopir pribadinya. Wajahnya ditekuk kesal setengah mati karena Ayra tidak mempercayai dirinya. Fera benar-benar tidak menyangka jika persahabatan mereka mengalami keretakan.Lelaki yang sudah bekerja sebagai sopir selama kurang lebih lima tahun di rumah Fera itu menoleh ke belakang karena merasa ada yang aneh dengan Fera. Ingin bertanya lagi untuk memastikan, tetapi raut wajah Fera tampak sedang tidak bersahabat. Akhirnya ia menatap lurus ke depan dan segera melajukan mobil.“Kalian berantem, Non?” tanya sopir itu setelah berdiam beberapa menit. Rasa penasaran membuatnya berani bertanya.Fera tetap diam dan tidak mood untuk berbicara. Ia sedang tidak ingin membahas Ayra.*** “Sayang, kamu ngapain bawa aku ke sini? Aku mau tidur.” Sania bingung mengapa calon suaminya menyeretnya ke kamar yang bukan milik Attar. Padahal ia baru saja hendak ingin tidur di ka
“Kamu berusaha keras banget, Ren, buat perbaiki hubungan kita? Asal kamu tahu kalau aku sebenarnya sudah nggak peduli lagi sama kamu,” ungkap Ayra setelah kegiatan makan mereka selesai.“Tujuan kamu sebenarnya apa? Apa yang kamu cari dariku itu apa? Apa yang membuatmu berusaha banget buat baikan lagi sama aku? Bukannya dulu kamu pernah bilang kalau tipikal idaman kamu itu wanita dewasa? Bukan kekanakkan seperti aku?” lanjut Ayra menginterogasi lelaki yang masih terdiam menatapnya.“Aku nggak tahu, Ra. Aku nggak tahu kenapa kalau aku ini sangat ingin memilikimu sampai kapanpun. Aku nggak bisa jauh darimu, Ra. Kamu masih sama seperti dulu, ‘kan? Kamu masih ada rasa sama aku ‘kan, Ra?”Ayra menatap netra legam milik Rendra. Ia tidak menemukan adanya kebohongan seorang Rendra. Lelaki itu tampaknya memang masih sangat mencintai Ayra. Jika Ayra mengingat semua perjuangan bagaimana usaha Rendra mendekati dirinya yang tidak pantang menyerah meskipun ia abaikan berkali-kali, hal itu semakin j
Di pertengahan pelajaran, Ayra mengintip ponsel miliknya. Ia selalu berharap mendapatkan balasan dari Fera. Ayra mengirim pesan berupa permohonan maaf atas kejadian kemarin. Kini menanyakan bagaimana keadaan Fera di sana.Sudah belasan menit berlalu, pesan Ayra belum juga dibalas. Ayra kembali menghidupkan layar untuk mengecek ponsel. Tiba-tiba ada pesan masuk yang membuat Ayra terkejut senang. Namun ternyata, rasa senangnya langsung luntur saat membaca nama orang yang mengiriminya pesan.Rendra. Itu adalah orang yang mengirimi Ayra pesan. Padahal mereka berada di dalam satu kelas yang sama.Rendra adalah orang yang tidak bisa ditebak. Terkadang lelaki itu bisa menolong situasi Ayra yang sedang buruk. Sekarang Ayra membaca pesan dari Rendra meskipun terpaksa.Setelah pesan dibaca yang isinya adalah mengajak Ayra untuk pura-pura izin ke toilet, nantinya keluar dari sekolah untuk menjenguk Fera. Seketika wajah Ayra kembali senang. Idenya Rendra boleh juga.Tanpa pikir panjang, Ayra mel
“Udah sini diam dulu. Aku nggak akan ngapa-ngapain, kok. Kecuali kalau kamu mau,” ledek Rendra sembari menahan senyum memainkan alis. Ia pun melangkah menuju kamar miliknya meninggalkan Ayra di depan pintu kamarnya.Ayra yang masih syok karena ditarik masuk secara brutal oleh Rendra, ia hanya bernapas lega. “Cowok b*jingan!” umpat Ayra dengan napas yang terengah-engah karena ketakutan luar biasa.“Bisa-bisanya dia perlakukan aku seperti hewan?” Ayra masih bergumam tidak terima. Matanya menatap pintu kamar Rendra dengan tajam.Selang beberapa detik, pintu kamar terbuka dan Ayra bergantian menatap wajah Rendra.“Kenapa lihatin aku begitu, Ra? Kamu marah, ya? Aku minta maaf karena bikin kamu takut. Tapi seru juga.” Rendra tertawa kecil. Ia senang mengetahui Ayra yang panik. Padahal dulu Ayra yang suka membuatnya panik. Sekarang menjadi berkebalikan.“Kamu itu gila! Bisa-bisanya perlakukan aku seperti tadi?” geram Ayra di depan Rendra.Ayra melihat wajah Rendra yang tampak masih bersenang
“Ren, gi- gimana- kalau- Fera- nggak selamat?” Ayra tengah menangis di depan Rendra. Ia mencoba mengatur isak tangisnya untuk dapat berbicara senormal mungkin. Mereka berdua menunggu kabar Fera yang tengah diperiksa oleh dokter.Wajah Ayra dibasahi oleh air mata kesedihan. Ia berharap kalau sahabatnya dapat diselamatkan.Rendra yang turut merasa iba menyaksikan kekasih tercintanya menangis sebegitu menyedihkan, ia hanya mampu menghibur dengan cara mengusap pundak Ayra.Ayra masih terus berlanjut menangis. Ia bahkan tanpa sadar merapatkan jarak dengan Rendra. Memeluk laki-laki itu sebagai sandaran kesedihan yang ia alami.“Kenapa mereka nggak keluar-keluar, Ren? Aku jadi takut.” Gadis itu bersuara dengan lebih pelan. Berkali-kali mengusap air mata, tetapi selalu keluar lebih banyak.Rendra membalas pelukan Ayra dan seperti sebelumnya, ia hanya mampu menepuk punggung gadis di depannya dengan pelan. Rendra tidak bisa berucap apapun untuk menghibur Ayra.Selang beberapa saat, dokter kelua
“Ayra, kamu di mana sih? Kamu beneran di rumahnya Fera atau bukan?” Attar tengah beristirahat di dalam kantor tempat ia bekerja. Hari ini ia terpaksa lembur sampai malam.Attar duduk di kursi yang menghadap kaca jendela. Wajahnya tersorot sinar mentari yang telah berubah warna menjadi orange. Membuatnya terlihat semakin tampan dan berkarisma.Attar memegang ponsel dan menatap layarnya dengan saksama. Ada sesuatu yang ia tunggu. “Kenapa Fera nggak balas pesanku dari kemarin? Padahal nomornya aktif. Kabar Ayra gimana sekarang?” gumamnya masih dengan wajah tenang meskipun otak dan hatinya berperang. Perasaannya kacau serta berantakan.Tinggal menghitung hari ia akan menikah dengan Sania. Namun pikirannya tak pernah berhenti memikirkan sosok Ayra. Gadis itu memiliki magnet yang kuat. Benarkah Ayra baik-baik saja melihatnya menikah dengan Sania? Attar merasa sakit hati kalau Ayra tidak merasakan apapun saat ia bersama dengan wanita lain. Attar berharap kalau Ayra setidaknya mengakui perna
Ayra terdiam mematung setelah membaca surat dari almarhum sahabatnya. Kedua tangannya bergetar. Seperti sebuah warisan yang harus ia laksanakan. Apakah Fera mengetahui sesuatu lebih dari yang ia tahu? Jangan-jangan selama ini nomor asing yang pernah mengirimi Ayra gambar adalah Fera? Atau suruhannya Fera?Perlahan kertas itu jatuh dari tangan Ayra. Ia mengubah posisi menjadi duduk. Tatapannya kosong entah ke mana. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana menanggapi surat dari Fera. Apa yang harus ia lakukan?*** “Maaf, Bu karena kemarin saya bolos sekolah.” Ayra menunduk di depan guru BK. Merasa bersalah atas kejadian kemarin yang keluar dari sekolah seenaknya.“Saya juga minta maaf, Bu. Saya hanya berniat mengajak dan membantu Ayra bertemu dengan Fera.” Rendra turut meminta maaf kepada Bu Fadilah.“Ibu memanggil kalian ke sini bukan untuk membahas perihal kalian bolos. Ibu ngerti perasaan kamu, Ayra. Sebagai teman yang dekat, pasti merasa sangat bersedih karena ditinggal sahabatny
“Kenapa tiba-tiba ngomong gitu, Ra? Kamu kenapa?” Rendra menghentikan aktivitasnya. Menatap gadis di sebelahnya dengan lekat. Jantungnya seolah berhenti detak. Ia merasa begitu tercekat.Ayra menunduk. Kali ini keputusannya sudah bulat. Alih-alih mengikuti kata hatinya, ia yakin suatu saat pasti akan menemukan petunjuk kebenaran dan alasan mengapa Fera menulis surat tersebut untuknya.“Ra, jelasin sama aku. Kenapa kamu tiba-tiba minta kita putus? Kita baru saja baikan, ‘kan?” Rendra mempertegas suaranya.“Aku hanya ingin kita putus tanpa alasan. Apa itu nggak boleh? Anggap saja aku sedang fokus mengejar nilai ujian.”“Hahah, memang apa hubungannya? Kalau mau belajar, ya silahkan. Aku nggak melarangmu dan nggak akan mengganggumu!”Ayra menghela napas pelan. Ia tidak mungkin menjelaskan alasan yang dia sendiri masih belum begitu mengerti mengapa mereka harus putus. “Kamu makan saja, Ren. Setelah ini keluar dari sini,” pungkas Ayra lalu pergi dari sebelah Rendra. Ia membiarkan lelaki itu
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant