“Ren, gi- gimana- kalau- Fera- nggak selamat?” Ayra tengah menangis di depan Rendra. Ia mencoba mengatur isak tangisnya untuk dapat berbicara senormal mungkin. Mereka berdua menunggu kabar Fera yang tengah diperiksa oleh dokter.Wajah Ayra dibasahi oleh air mata kesedihan. Ia berharap kalau sahabatnya dapat diselamatkan.Rendra yang turut merasa iba menyaksikan kekasih tercintanya menangis sebegitu menyedihkan, ia hanya mampu menghibur dengan cara mengusap pundak Ayra.Ayra masih terus berlanjut menangis. Ia bahkan tanpa sadar merapatkan jarak dengan Rendra. Memeluk laki-laki itu sebagai sandaran kesedihan yang ia alami.“Kenapa mereka nggak keluar-keluar, Ren? Aku jadi takut.” Gadis itu bersuara dengan lebih pelan. Berkali-kali mengusap air mata, tetapi selalu keluar lebih banyak.Rendra membalas pelukan Ayra dan seperti sebelumnya, ia hanya mampu menepuk punggung gadis di depannya dengan pelan. Rendra tidak bisa berucap apapun untuk menghibur Ayra.Selang beberapa saat, dokter kelua
“Ayra, kamu di mana sih? Kamu beneran di rumahnya Fera atau bukan?” Attar tengah beristirahat di dalam kantor tempat ia bekerja. Hari ini ia terpaksa lembur sampai malam.Attar duduk di kursi yang menghadap kaca jendela. Wajahnya tersorot sinar mentari yang telah berubah warna menjadi orange. Membuatnya terlihat semakin tampan dan berkarisma.Attar memegang ponsel dan menatap layarnya dengan saksama. Ada sesuatu yang ia tunggu. “Kenapa Fera nggak balas pesanku dari kemarin? Padahal nomornya aktif. Kabar Ayra gimana sekarang?” gumamnya masih dengan wajah tenang meskipun otak dan hatinya berperang. Perasaannya kacau serta berantakan.Tinggal menghitung hari ia akan menikah dengan Sania. Namun pikirannya tak pernah berhenti memikirkan sosok Ayra. Gadis itu memiliki magnet yang kuat. Benarkah Ayra baik-baik saja melihatnya menikah dengan Sania? Attar merasa sakit hati kalau Ayra tidak merasakan apapun saat ia bersama dengan wanita lain. Attar berharap kalau Ayra setidaknya mengakui perna
Ayra terdiam mematung setelah membaca surat dari almarhum sahabatnya. Kedua tangannya bergetar. Seperti sebuah warisan yang harus ia laksanakan. Apakah Fera mengetahui sesuatu lebih dari yang ia tahu? Jangan-jangan selama ini nomor asing yang pernah mengirimi Ayra gambar adalah Fera? Atau suruhannya Fera?Perlahan kertas itu jatuh dari tangan Ayra. Ia mengubah posisi menjadi duduk. Tatapannya kosong entah ke mana. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana menanggapi surat dari Fera. Apa yang harus ia lakukan?*** “Maaf, Bu karena kemarin saya bolos sekolah.” Ayra menunduk di depan guru BK. Merasa bersalah atas kejadian kemarin yang keluar dari sekolah seenaknya.“Saya juga minta maaf, Bu. Saya hanya berniat mengajak dan membantu Ayra bertemu dengan Fera.” Rendra turut meminta maaf kepada Bu Fadilah.“Ibu memanggil kalian ke sini bukan untuk membahas perihal kalian bolos. Ibu ngerti perasaan kamu, Ayra. Sebagai teman yang dekat, pasti merasa sangat bersedih karena ditinggal sahabatny
“Kenapa tiba-tiba ngomong gitu, Ra? Kamu kenapa?” Rendra menghentikan aktivitasnya. Menatap gadis di sebelahnya dengan lekat. Jantungnya seolah berhenti detak. Ia merasa begitu tercekat.Ayra menunduk. Kali ini keputusannya sudah bulat. Alih-alih mengikuti kata hatinya, ia yakin suatu saat pasti akan menemukan petunjuk kebenaran dan alasan mengapa Fera menulis surat tersebut untuknya.“Ra, jelasin sama aku. Kenapa kamu tiba-tiba minta kita putus? Kita baru saja baikan, ‘kan?” Rendra mempertegas suaranya.“Aku hanya ingin kita putus tanpa alasan. Apa itu nggak boleh? Anggap saja aku sedang fokus mengejar nilai ujian.”“Hahah, memang apa hubungannya? Kalau mau belajar, ya silahkan. Aku nggak melarangmu dan nggak akan mengganggumu!”Ayra menghela napas pelan. Ia tidak mungkin menjelaskan alasan yang dia sendiri masih belum begitu mengerti mengapa mereka harus putus. “Kamu makan saja, Ren. Setelah ini keluar dari sini,” pungkas Ayra lalu pergi dari sebelah Rendra. Ia membiarkan lelaki itu
“Dari mana Tante bisa tahu nama itu? Apa Tante mengenal orangnya? Atau Tante membaca pesan yang ada di Hp-nya Fera? Saya mau lihat pesan itu, Tante.” Ayra langsung berdiri dan hendak merebut ponsel milik Fera yang ada di genggaman tangan ibunya Fera. Namun, ibunya Fera langsung menyingkirkan benda tersebut dari Ayra.Ibunya Fera tahu kalau anaknya sempat bertengkar dengan Ayra perkara Fera yang berikirim pesan dengan Attar. Wanita itu tahu dari pesan yang Ayra kirim kepada Fera sebelum meninggal. Ayra yang meminta maaf atas pertengkaran mereka karena perihal berkirim pesan antara Fera dengan Attar. Jadi, ibunya Fera tidak akan membiarkan Ayra melihat isi pesan tersebut. Ia paham kalau Fera pun tidak akan mengizinkan Ayra membaca pesan dari Attar.“Ini punya anak tante dan tante nggak akan biarin kamu melihat isi HP-nya Fera.”“Tante, saya mohon, aya mau lihat isi pesan mereka.”“Ayra, bukankah seharunya kamu merasa bersalah atas kejadian ini? Gara-gara pertengkaran kalian, anak tan
“Tuan, apa akhir-akhir ini Tuan ada masalah?”Attar menoleh saat mendengar suara Mbok Inah berjalan mendekatinya. Wanita paruh baya itu datang ke kamar Attar untuk mengantarkan minuman hangat, sedangkan Attar tengah berdiri di belakang kaca jendela yang luas, memandang ke arah luar. “Jujur saja sejak kemarin saya merasa kasihan melihat Tuan yang tampak murung dan sedih. Tuan Attar ada masalah apa? Cerita saja sama mbok. Siapa tahu mbok bisa kasih solusi untuk Tuan.” Mbok Inah kini berdiri tak jauh dari Attar setelah meletakkan minuman yang Attar mau.Sekarang tatapan Attar beralih ke bawah. Ia menunduk. Benar, dia memang sedang bersedih. Bukan bahagia seperti calon pengantin pada umumnya. “Saya mikirin Ayra, Mbok.”Mbok Inah terdiam mendengar jawaban Attar. Dulu sempat mengira kalau Attar dan Ayra memiliki hubungan khusus, tetapi ternyata Attar membawa pulang calon istrinya dan itu bukanlah Ayra. Jadi, selama ini hubungan lelaki tersebut dengan Ayra normal-normal saja, bukan?“Saya b
“Rendra kamu apa-apaan sih?!” tegas Ayra sembari menutupi rok sekolahnya yang sedikit terkena angin. Ia menatap Rendra dengan tatapan tak suka.“Kamu ada apa sama Farid?”“Aku sama dia nggak ada apa-apa,” ungkap Ayra. Ia merasa tertekan karena tampaknya Rendra akan mencurigai bahwa dirinya dan Farid memiliki hubungan. Padahal itu sama sekali tidak benar. Ayra saja bingung dengan sikap Farid yang tiba-tiba seperti itu terhadapnya.“Nggak usah bohong!”“Ren, kembalikan jaket itu.” Ayra berusaha meraih jaket yang berada di tangan Rendra. Ia mulai merasa tidak nyaman sebab sejak tadi anginnya kurang bersahabat dan terus menerjang rok sekolahnya.“Nggak akan. Sebelum kamu menjelaskan yang sebenarnya ada hubungan apa antara kamu sama Farid?” Rendra menjauhkan jaket itu dari jangkauan tangan Ayra.“Aku sudah menjelaskan sama kamu, aku sama dia nggak ada apa-apa!” teriak Ayra merasa frustrasi.“Terus? Hubungan kita yang sekarang ini apa? Kamu pikir kita sudah putus? Nggak, kita nggak akan per
“Ra, kamu ngaco?”“Nggak, Ren. Aku serius.” Ayra menatap wajah Rendra dengan tatapan datar.“Ada laki-laki lain? Siapa?” Rendra masih sangat syok dengan pernyataan Ayra. Wajahnya bahkan terlihat ingin tertawa karena saking tidak percayanya terhadap gadis tersebut.“Haha, kamu masih suka bercanda. Seru juga kamu, Ra.” Akhirnya tawa Rendra pecah sembari terus memperhatikan raut wajah Ayra hingga perlahan ia menyadari jika gadis di sebelahnya kemungkinan besar tidak sedang bergurau.Sekarang wajah Rendra berubah menjadi pucat. Tawanya seketika luntur. Ia menelan saliva dengan berat. Rasa takut mulai menyeruak dan menjadikan berbagai prasangka buruk di dalam pikirannya.“A- a- apa kamu serius, Ra?” tanyanya dengan terbata.Ayra mengangguk kecil. Tatapannya masih tidak beralih dari Rendra. “Aku nggak sedang bercanda.” Ayra sendiri tidak mengerti mengapa seyakin itu jika ada lelaki lain di hatinya, padahal tidak tahu siapa pria tersebut. Namun yang jelas, ia tidak akan pernah bersama Rendra