“Rendra kamu apa-apaan sih?!” tegas Ayra sembari menutupi rok sekolahnya yang sedikit terkena angin. Ia menatap Rendra dengan tatapan tak suka.“Kamu ada apa sama Farid?”“Aku sama dia nggak ada apa-apa,” ungkap Ayra. Ia merasa tertekan karena tampaknya Rendra akan mencurigai bahwa dirinya dan Farid memiliki hubungan. Padahal itu sama sekali tidak benar. Ayra saja bingung dengan sikap Farid yang tiba-tiba seperti itu terhadapnya.“Nggak usah bohong!”“Ren, kembalikan jaket itu.” Ayra berusaha meraih jaket yang berada di tangan Rendra. Ia mulai merasa tidak nyaman sebab sejak tadi anginnya kurang bersahabat dan terus menerjang rok sekolahnya.“Nggak akan. Sebelum kamu menjelaskan yang sebenarnya ada hubungan apa antara kamu sama Farid?” Rendra menjauhkan jaket itu dari jangkauan tangan Ayra.“Aku sudah menjelaskan sama kamu, aku sama dia nggak ada apa-apa!” teriak Ayra merasa frustrasi.“Terus? Hubungan kita yang sekarang ini apa? Kamu pikir kita sudah putus? Nggak, kita nggak akan per
“Ra, kamu ngaco?”“Nggak, Ren. Aku serius.” Ayra menatap wajah Rendra dengan tatapan datar.“Ada laki-laki lain? Siapa?” Rendra masih sangat syok dengan pernyataan Ayra. Wajahnya bahkan terlihat ingin tertawa karena saking tidak percayanya terhadap gadis tersebut.“Haha, kamu masih suka bercanda. Seru juga kamu, Ra.” Akhirnya tawa Rendra pecah sembari terus memperhatikan raut wajah Ayra hingga perlahan ia menyadari jika gadis di sebelahnya kemungkinan besar tidak sedang bergurau.Sekarang wajah Rendra berubah menjadi pucat. Tawanya seketika luntur. Ia menelan saliva dengan berat. Rasa takut mulai menyeruak dan menjadikan berbagai prasangka buruk di dalam pikirannya.“A- a- apa kamu serius, Ra?” tanyanya dengan terbata.Ayra mengangguk kecil. Tatapannya masih tidak beralih dari Rendra. “Aku nggak sedang bercanda.” Ayra sendiri tidak mengerti mengapa seyakin itu jika ada lelaki lain di hatinya, padahal tidak tahu siapa pria tersebut. Namun yang jelas, ia tidak akan pernah bersama Rendra
Rendra menatap ke arah Reti. Perlahan lelaki itu berdiri dan berhadapan dengan Reti yang berada di dekatnya.“Ren, aku hamil,” ulang Reti sembari memperlihatkan test pack di depan Rendra sebagai bukti bahwa gadis tersebut benar-benar hamil. Rendra pun menatap benda itu dengan tatapan yang lama-lama menjadi kosong.Kedua mata Reti tampak berkaca-kaca. Bibirnya bergetar. Siapapun yang melihatnya akan tahu kalau gadis tersebut tidak berpura-pura. Reti tampak memohon pertanggungjawaban dari Rendra.Ayra melongo bingung. Ia berulang kali mengibaskan wajah sendiri berharap semuanya hanyalah mimpi. Saking terkejut dan tidak menyangka dengan berita yang ia saksikan sendiri.Hati Ayra merasa seperti ditusuk ribuan jarum yang menyakitinya. Membuat retak lalu perlahan menghancurkan perasaannya. Ia tidak menyangka jika dugaan yang sempat singgah, kini membuahkan bukti yang nyata.Baru saja Rendra memohon cinta kepada Ayra, lalu sekarang Ayra harus menerima kenyataan menjijikkan. Kali ini ia bena
"Jadi, nomor yang nggak aku kenal itu kamu?" Ayra bertanya untuk memastikan lagi. Ia menatap Farid tanpa berkedip.Farid mengangguk santai. "Bukannya aku bermaksud mau merusak hubungan kalian. Tapi aku kasihan sama kamu, Ra," ungkap Farid dengan tulus."Tapi kenapa kamu nggak ngaku aja sih? Aku blokir nomor kamu karena mengganggu pikiranku terus-menerus," ketus Ayra merasa kesal."Jhihh, maaf." Farid terkekeh pelan."Tapi makasih, ya? Jadi selama ini kamu paham dengan mereka?" Ayra menunjuk ke arah Reti dan Rendra yang tampak masih bercakap di tengah rooftop."Iya, aku tahu lah. Dia hamil, 'kan?" Farid mengendikkan bahu menunjuk Reti."Aku benar-benar nggak nyangka." Ayra menekan setiap suku kata. Ia enggan berada di sana terus. Lebih baik segera pergi agar kepalanya tidak bertambah pening.Hari-hari Ayra kian terasa menggelap dan sendu. Sekarang semua orang telah pergi. Ia hanya harus memperkuat diri.Gadis itu berjalan menuju kelas. Hari ini tidak ada pelajaran khusus yang diajarkan
Sebuah makam tengah dikunjungi oleh seorang gadis berseragam SMA. Gadis yang merupakan sahabat dekat dari orang yang kini telah terbaring di dalam tanah. Hanya ada satu orang di sana. Keadaan pemakaman begitu sepi.Ayra berjongkok di sebelah makam milik Fera. Kedua tangannya mengulurkan satu buket bunga yang disusun rapi dan cantik. Ia letakkan di atas gundukan tanah, dekat dengan batu nisan."Bunganya wangi, Fer. Ini bunga yang biasa kamu beli di toko itu. Makasih, ya, udah ngenalin aku ke penjaga toko bunga itu. Itu tandanya, kamu benar-benar sahabat aku yang paling baik. Kamu menganggapku sahabat spesial."Ayra menyunggingkan senyuman meskipun air matanya bergulir berjatuhan. Telapak tangannya meraba batu nisan dan mengusapnya dengan halus. "Terima kasih karena selama ini kamu sudah menjadi bagian dari hidupku. Kamu sahabat berharga yang kumiliki hingga akhirnya kamu pergi. Aku tahu kepergianmu begitu cepat. Namun aku akan belajar ikhlas, Fer.""Ternyata isi surat kamu ada benarnya
Ayra menatap layar ponsel di atas kasur hingga berjam-jam. Berharap Attar menghubunginya. Ia bahkan mengabaikan pelajaran yang seharusnya ia pelajari untuk ujian besok hari Senin. Karena besok pagi masih hari Sabtu. Jadi, Ayra merasa santai.Meskipun sudah menunggu begitu lama, kenyataannya tak ada satu kalipun Attar menghubunginya. Ia jadi ragu untuk menggagalkan pernikahan itu. Jangan-jangan Attar memang sudah mantap dengan wanita pilihannya sendiri. Apapun itu, bisakah Ayra tetap menggagalkan acara pernikahan Attar? Jika besok ia benar-benar melakukannya, apakah dirinya berdosa?"Aku harus gimana? Benarkah aku harus menggagalkan pernikahan mereka? Apa aku nggak jahat?" gumam Ayra pelan. Ia memejamkan mata dan mendadak seluruh kenangan bersama Attar di rumah itu menyeruak mengusik pikirannya. Ayra perlahan meneteskan air mata karena merindukan sosok Attar.Ayra juga sangat mengingat jelas ketika Attar menyuruhnya agar putus dengan Rendra. Mungkin sejak itulah Attar sudah tahu dan p
Ayra duduk memeluk lutut sembari mengeluarkan air mata bahagia, sedih, takut, dan rasa bersalah. Semuanya bercampur menjadi satu. Ia merasa bersalah karena telah mengganggu acara pernikahan Attar hingga dapat dipastikan pernikahan tersebut benar-benar batal sebab Attar akan datang menemuinya.Di sisi lain, Ayra merasa lega untuk egonya. Ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan, sesuai dengan pesan dari Fera. Mungkin pesan itulah yang menuntunnya pada sebuah takdir yang selama ini tidak ada di bayangan Ayra. Membuat keberanian dirinya mengungkapkan kejujuran. Lagipula Ayra tidak bersalah karena sejak dulu Attar pernah mengatakan untuk menikah dengannya. Attar pula memiliki rasa cinta yang lebih besar untuk Ayra daripada untuk Sania.Sementara itu, Attar segera melepas jas pernikahan lalu diletakkan di kursi kosong. Matanya beredar memandang ke sekeliling. Kebetulan, di tempat itu tidak ada orang lain. Ia memakai masker dan kacamata hitam andalannya. Kemudian menyelinap keluar dari ged
"Mbak, mempelai prianya di mana, ya? Saya cari nggak ada," tanya salah satu perias pengantin kepada Sania yang masih dirias. Hampir selesai.Sania perlahan menoleh ke sumber suara dengan perasaan biasa-biasa saja. Ia mengira kalau Attar paling pergi sebentar untuk urusan kecil. "Paling ke toilet, Mbak. Tunggu aja." Sania menyahut santai. Ia membalikkan wajah menghadap cermin. Orang di sebelahnya yang bertugas meriasnya pun melanjutkan tugas finishing."Saya sudah menunggu lebih dari tiga puluh menit loh, Mbak. Saya mau nambahin make-up dia sedikit. Tapi saya sudah cari ke mana-mana nggak ada. Tanya sama orang-orang yang hadir di depan pun nggak ada," kekeh wanita berusia tiga puluh tahunan itu yang berdiri di belakang Sania.Sania membuka kedua kelopak mata. Jantungnya seolah direbut paksa dan dibawa pergi. Firasatnya mendadak tidak enak. "Sebentar, Mbak." Sania menginterupsi periasnya agar berhenti dulu merias dirinya. Ia mengambil ponsel yang berada di dalam tas tak jauh darinya.S