Di pertengahan pelajaran, Ayra mengintip ponsel miliknya. Ia selalu berharap mendapatkan balasan dari Fera. Ayra mengirim pesan berupa permohonan maaf atas kejadian kemarin. Kini menanyakan bagaimana keadaan Fera di sana.Sudah belasan menit berlalu, pesan Ayra belum juga dibalas. Ayra kembali menghidupkan layar untuk mengecek ponsel. Tiba-tiba ada pesan masuk yang membuat Ayra terkejut senang. Namun ternyata, rasa senangnya langsung luntur saat membaca nama orang yang mengiriminya pesan.Rendra. Itu adalah orang yang mengirimi Ayra pesan. Padahal mereka berada di dalam satu kelas yang sama.Rendra adalah orang yang tidak bisa ditebak. Terkadang lelaki itu bisa menolong situasi Ayra yang sedang buruk. Sekarang Ayra membaca pesan dari Rendra meskipun terpaksa.Setelah pesan dibaca yang isinya adalah mengajak Ayra untuk pura-pura izin ke toilet, nantinya keluar dari sekolah untuk menjenguk Fera. Seketika wajah Ayra kembali senang. Idenya Rendra boleh juga.Tanpa pikir panjang, Ayra mel
“Udah sini diam dulu. Aku nggak akan ngapa-ngapain, kok. Kecuali kalau kamu mau,” ledek Rendra sembari menahan senyum memainkan alis. Ia pun melangkah menuju kamar miliknya meninggalkan Ayra di depan pintu kamarnya.Ayra yang masih syok karena ditarik masuk secara brutal oleh Rendra, ia hanya bernapas lega. “Cowok b*jingan!” umpat Ayra dengan napas yang terengah-engah karena ketakutan luar biasa.“Bisa-bisanya dia perlakukan aku seperti hewan?” Ayra masih bergumam tidak terima. Matanya menatap pintu kamar Rendra dengan tajam.Selang beberapa detik, pintu kamar terbuka dan Ayra bergantian menatap wajah Rendra.“Kenapa lihatin aku begitu, Ra? Kamu marah, ya? Aku minta maaf karena bikin kamu takut. Tapi seru juga.” Rendra tertawa kecil. Ia senang mengetahui Ayra yang panik. Padahal dulu Ayra yang suka membuatnya panik. Sekarang menjadi berkebalikan.“Kamu itu gila! Bisa-bisanya perlakukan aku seperti tadi?” geram Ayra di depan Rendra.Ayra melihat wajah Rendra yang tampak masih bersenang
“Ren, gi- gimana- kalau- Fera- nggak selamat?” Ayra tengah menangis di depan Rendra. Ia mencoba mengatur isak tangisnya untuk dapat berbicara senormal mungkin. Mereka berdua menunggu kabar Fera yang tengah diperiksa oleh dokter.Wajah Ayra dibasahi oleh air mata kesedihan. Ia berharap kalau sahabatnya dapat diselamatkan.Rendra yang turut merasa iba menyaksikan kekasih tercintanya menangis sebegitu menyedihkan, ia hanya mampu menghibur dengan cara mengusap pundak Ayra.Ayra masih terus berlanjut menangis. Ia bahkan tanpa sadar merapatkan jarak dengan Rendra. Memeluk laki-laki itu sebagai sandaran kesedihan yang ia alami.“Kenapa mereka nggak keluar-keluar, Ren? Aku jadi takut.” Gadis itu bersuara dengan lebih pelan. Berkali-kali mengusap air mata, tetapi selalu keluar lebih banyak.Rendra membalas pelukan Ayra dan seperti sebelumnya, ia hanya mampu menepuk punggung gadis di depannya dengan pelan. Rendra tidak bisa berucap apapun untuk menghibur Ayra.Selang beberapa saat, dokter kelua
“Ayra, kamu di mana sih? Kamu beneran di rumahnya Fera atau bukan?” Attar tengah beristirahat di dalam kantor tempat ia bekerja. Hari ini ia terpaksa lembur sampai malam.Attar duduk di kursi yang menghadap kaca jendela. Wajahnya tersorot sinar mentari yang telah berubah warna menjadi orange. Membuatnya terlihat semakin tampan dan berkarisma.Attar memegang ponsel dan menatap layarnya dengan saksama. Ada sesuatu yang ia tunggu. “Kenapa Fera nggak balas pesanku dari kemarin? Padahal nomornya aktif. Kabar Ayra gimana sekarang?” gumamnya masih dengan wajah tenang meskipun otak dan hatinya berperang. Perasaannya kacau serta berantakan.Tinggal menghitung hari ia akan menikah dengan Sania. Namun pikirannya tak pernah berhenti memikirkan sosok Ayra. Gadis itu memiliki magnet yang kuat. Benarkah Ayra baik-baik saja melihatnya menikah dengan Sania? Attar merasa sakit hati kalau Ayra tidak merasakan apapun saat ia bersama dengan wanita lain. Attar berharap kalau Ayra setidaknya mengakui perna
Ayra terdiam mematung setelah membaca surat dari almarhum sahabatnya. Kedua tangannya bergetar. Seperti sebuah warisan yang harus ia laksanakan. Apakah Fera mengetahui sesuatu lebih dari yang ia tahu? Jangan-jangan selama ini nomor asing yang pernah mengirimi Ayra gambar adalah Fera? Atau suruhannya Fera?Perlahan kertas itu jatuh dari tangan Ayra. Ia mengubah posisi menjadi duduk. Tatapannya kosong entah ke mana. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana menanggapi surat dari Fera. Apa yang harus ia lakukan?*** “Maaf, Bu karena kemarin saya bolos sekolah.” Ayra menunduk di depan guru BK. Merasa bersalah atas kejadian kemarin yang keluar dari sekolah seenaknya.“Saya juga minta maaf, Bu. Saya hanya berniat mengajak dan membantu Ayra bertemu dengan Fera.” Rendra turut meminta maaf kepada Bu Fadilah.“Ibu memanggil kalian ke sini bukan untuk membahas perihal kalian bolos. Ibu ngerti perasaan kamu, Ayra. Sebagai teman yang dekat, pasti merasa sangat bersedih karena ditinggal sahabatny
“Kenapa tiba-tiba ngomong gitu, Ra? Kamu kenapa?” Rendra menghentikan aktivitasnya. Menatap gadis di sebelahnya dengan lekat. Jantungnya seolah berhenti detak. Ia merasa begitu tercekat.Ayra menunduk. Kali ini keputusannya sudah bulat. Alih-alih mengikuti kata hatinya, ia yakin suatu saat pasti akan menemukan petunjuk kebenaran dan alasan mengapa Fera menulis surat tersebut untuknya.“Ra, jelasin sama aku. Kenapa kamu tiba-tiba minta kita putus? Kita baru saja baikan, ‘kan?” Rendra mempertegas suaranya.“Aku hanya ingin kita putus tanpa alasan. Apa itu nggak boleh? Anggap saja aku sedang fokus mengejar nilai ujian.”“Hahah, memang apa hubungannya? Kalau mau belajar, ya silahkan. Aku nggak melarangmu dan nggak akan mengganggumu!”Ayra menghela napas pelan. Ia tidak mungkin menjelaskan alasan yang dia sendiri masih belum begitu mengerti mengapa mereka harus putus. “Kamu makan saja, Ren. Setelah ini keluar dari sini,” pungkas Ayra lalu pergi dari sebelah Rendra. Ia membiarkan lelaki itu
“Dari mana Tante bisa tahu nama itu? Apa Tante mengenal orangnya? Atau Tante membaca pesan yang ada di Hp-nya Fera? Saya mau lihat pesan itu, Tante.” Ayra langsung berdiri dan hendak merebut ponsel milik Fera yang ada di genggaman tangan ibunya Fera. Namun, ibunya Fera langsung menyingkirkan benda tersebut dari Ayra.Ibunya Fera tahu kalau anaknya sempat bertengkar dengan Ayra perkara Fera yang berikirim pesan dengan Attar. Wanita itu tahu dari pesan yang Ayra kirim kepada Fera sebelum meninggal. Ayra yang meminta maaf atas pertengkaran mereka karena perihal berkirim pesan antara Fera dengan Attar. Jadi, ibunya Fera tidak akan membiarkan Ayra melihat isi pesan tersebut. Ia paham kalau Fera pun tidak akan mengizinkan Ayra membaca pesan dari Attar.“Ini punya anak tante dan tante nggak akan biarin kamu melihat isi HP-nya Fera.”“Tante, saya mohon, aya mau lihat isi pesan mereka.”“Ayra, bukankah seharunya kamu merasa bersalah atas kejadian ini? Gara-gara pertengkaran kalian, anak tan
“Tuan, apa akhir-akhir ini Tuan ada masalah?”Attar menoleh saat mendengar suara Mbok Inah berjalan mendekatinya. Wanita paruh baya itu datang ke kamar Attar untuk mengantarkan minuman hangat, sedangkan Attar tengah berdiri di belakang kaca jendela yang luas, memandang ke arah luar. “Jujur saja sejak kemarin saya merasa kasihan melihat Tuan yang tampak murung dan sedih. Tuan Attar ada masalah apa? Cerita saja sama mbok. Siapa tahu mbok bisa kasih solusi untuk Tuan.” Mbok Inah kini berdiri tak jauh dari Attar setelah meletakkan minuman yang Attar mau.Sekarang tatapan Attar beralih ke bawah. Ia menunduk. Benar, dia memang sedang bersedih. Bukan bahagia seperti calon pengantin pada umumnya. “Saya mikirin Ayra, Mbok.”Mbok Inah terdiam mendengar jawaban Attar. Dulu sempat mengira kalau Attar dan Ayra memiliki hubungan khusus, tetapi ternyata Attar membawa pulang calon istrinya dan itu bukanlah Ayra. Jadi, selama ini hubungan lelaki tersebut dengan Ayra normal-normal saja, bukan?“Saya b