Ayra berjalan mendekati lemari pakaian. Dia mencarikan pakaian kerja untuk suaminya pagi ini. Satu-persatu Ayra amati dan melihatnya dengan jeli, mana yang akan diambil olehnya yang kira-kira cocok untuk Attar.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Attar yang baru selesai mandi. Dia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di perut hingga lutut.Pria itu berjalan mendekati sang istri. Kemudian memeluk Ayra dari belakang. Attar menunggu Ayra memilihkan pakaian untuk dipakai pergi ke kantor olehnya. Seketika aroma sabun yang berbau madu bercampur susu menyapa indra penciuman Ayra. Hal itu sudah terbiasa di setiap paginya.“Pagi, Mas.” Ayra menyahut tanpa menoleh. Matanya sibuk menyapu kemeja yang ada di depannya.“Mas, mau pakai baju yang mana? Aku bingung mau milih yang mana,” tanya Ayra. Kebanyakan pakaian yang Attar digunakan untuk bekerja mempunyai warna pastel.“Eumm ....” Attar tampak memilih. “Hari ini aku mau pakai yang warna biru pastel aja,” ucapnya sambil menunju
“Loh, loh? Mau ke mana? Ini arum manisnya udah aku beliin, Sayang. Kamu mau pergi ke mana? Wajah kamu kenapa sedih gitu?” Begitu tiba di dalam rumah, Attar mendapati Ayra yang baru menuruni tangga dengan pakaian serba gelap seperti orang yang tengah berduka. “Mas, kamu mau nemenin aku nggak?” Ayra membalas tatapan Attar dengan tatapan sendu. “Ke mana? Ini udah sore, loh.” “Aku mau ke makam mama sama papa. Aku kangen sama mereka, Mas,” ucapnya. Attar menyaksikan air bening di pelupuk mata Ayra, menghalangi bola mata indah yang menjadi pusat perhatiannya. Dia segera memeluk wanita itu dengan lembut. “Tunggu aku mandi sebentar, ya? Nggak akan lama, kok. Aku akan nemenin kamu ke sana.” Attar berbisik. Kepala Ayra mengangguk pelan. “Aku tunggu, Mas.” Attar pun melepaskan lagi pelukannya dari Ayra. Kemudian meletakkan dua bungkus arum manis di meja ruang tamu. Padahal saat pulang tadi, Attar berniat untuk langsung memberikan kabar gembira yang dia peroleh. Namun sepertinya suasana hat
“Rendra.” Reti memanggil suaminya sebelum lelaki itu berangkat kuliah. Mereka belum bersalaman, tetapi Rendra malah hendak pergi begitu saja.Pemilik nama yang dipanggil itu pun berbalik badan. Dia hampir lupa pada kebiasaan istrinya yang terkadang masih belum bisa diterima. Seharusnya yang seperti ini padanya adalah Ayra, bukan Reti sebab Rendra dan Ayra pernah berjanji untuk saling menikah.Namun Rendra segera tersadar bahwa dia tidak boleh terus berlarut dalam ingatan masa lalu dirinya tentang Ayra. Ayra sudah berbahagia dengan pria lain, sedangkan dia pun harus bertanggung jawab terhadap wanita yang tengah mengandung anaknya.“Maaf, aku lupa.” Rendra membalas tatapan Reti, tepat pada netra legam wanita itu. Kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan sang istri. Ucapan maaf dari Rendra barusan membuat hati Reti meleleh.Senyuman tipis terpatri di wajah Reti. Dia lalu mencium punggung tangan Rendra. “Ren, aku boleh minta uang lebih nggak?” tutur Reti dengan penuh kehati-
Satu pertanyaan lagi yang membuat Reti benar-benar merasa bahwa Rendra saat ini bukanlah Rendra yang kemarin. Semenjak tadi malam, Rendra sudah terlihat berbeda.Wanita itu masih membeku dengan suara Rendra yang masih terngiang di telinganya. Beberapa detik setelahnya, Reti baru menjawab, “aku nggak benci sama kamu, Ren. Kadang aku cuma sakit hati karena perlakuanmu padaku.”“Aku ngerasa kalau aku ini suami yang buruk buat kamu dan calon ayah yang nggak pantas untuk anak kita. Aku selalu nggak bisa gimana caranya perbaiki hubungan kita karena udah terlanjur sering nyakitin kamu.” Rendra masih mendekap Reti. Dia merenungi kesalahannya selama ini. Ingin memperbaiki berulang kali meskipun selalu gagal. Kali ini, Rendra berharap dirinya bisa menjadi orang yang lebih baik lagi.“Aku ngerti keadaan kamu, kok, Ren. Kamu pasti masih syok buat jadi seorang suami sekaligus calon ayah. Dua gelar ini terlalu cepat buat kamu karena sebenarnya kamu belum siap. Aku yang salah. Aku yang lebih dulu me
“Ren, aku udah masak enak buat kamu. Aku harap kamu belum makan malam di luar.” Reti menyambut kepulangan Rendra seperti biasa, yakni pada malam hari. Dia berjalan di belakang Rendra yang baru saja masuk ke rumah.Reti melihat tas Rendra dan berinisiatif untuk membawakan benda tersebut karena sepertinya Rendra terlihat begitu lelah.“Ren, aku bawain tas kamu, ya?” ucap Reti sembari tangannya yang sudah mengambil tas di punggung Rendra.Rendra pun mendadak menghentikan langkah kakinya. Dia menoleh ke arah Reti, menatapnya dengan lekat.Embusan napas panjang pun terdengar di indra pendengaran Reti. Membuat wanita itu menjadi sedikit takut. Takut apabila tiba-tiba Rendra justru marah karena dirinya yang banyak bicara.Tatapan Rendra mengubah nyali Reti menjadi ciut. Dia pun menundukkan pandangannya dan siap menerima omelan dari sang suami. Namun yang Reti dapat justru sebaliknya.Kedua tangan Rendra menangkup bahu Reti. Kemudian dia membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan wanita di dep
Rendra tidak merespon apapun. Juga tidak menyingkirkan tubuh Reti. Dia hanya terdiam membiarkan wanita di sebelahnya memeluk dirinya. Tidak ada pikiran untuk menyentuh lebih.Rendra mengecup Reti sebelumnya juga hanya bermaksud agar Reti merasa lebih disayang dan lebih tenang.Pria itu mencoba mengatur napasnya supaya lebih teratur. Dia sedikit kurang nyaman karena posisinya yang tercapit tangan dan tubuh Reti. Namun Rendra tidak mau mengusik tidur istrinya yang telah lelap.“Harusnya suami istri yang udah menikah secara sah, hidup mereka akan bahagia dan saling menyayangi, saling berbagi kasih. Bisa bergurau dan tertawa. Kenapa sekarang aku justru merasa hambar? Padahal Reti pernah jadi wanita impianku.”“Apa karena aku udah dapatin apa yang dulu aku mau, makanya sekarang rasa penasaranku udah hilang, berganti jadi hambar?” Rendra mengeluhkan diri sendiri yang dirasa membingungkan atas perasaannya.Saat ini dia hanya menjalani hidup dengan mengikuti alur yang ada, dengan menjaga Reti
Setelah menjelajahi beberapa tempat wisata yang Ayra inginkan bersama Attar, mereka pun beristirahat di sebuah kedai makanan. Keduanya membeli olahan ayam beserta makanan lain untuk mengisi perut yang sudah terasa begitu lapar.Sembari menunggu pesanan datang, Ayra sibuk melihat-lihat hasil foto objek wisata yang diambil olehnya. Ada beberapa gambar dirinya dan Attar, baik sendiri-sendiri maupun foto bersama.Berulang kali Ayra tersenyum bahkan tertawa kecil saat sebagian besar hasil gambar di layar pipih itu tidak mengecewakan sama sekali.“Ahaha, lucu banget,” gumam Ayra. Jemari tangannya masih menggeser-geser layar ponsel yang tengah dipandanginya.Attar yang duduk di depan Ayra hanya menyaksikan kesenangan istrinya seharian ini. Sesekali ikut tersenyum dengan perasaan bersyukur.“Ih, fotonya Mas Attar baru sedikit banget. Di sini kebanyakan fotoku sama foto objek wisata. Mas Attar kenapa susah banget buat diajak foto, sih?” Ayra melempar tatapan kesal ke arah suaminya.Dia menatap
“Aku yakin kalau aku cuma salah lihat. Masa iya dia di sini?” Sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah, Reti tak hentinya memikirkan perempuan yang sempat dilihat olehnya di dalam kedai tempat dia membeli makanan tadi.Perempuan yang Reti lihat bersama dengan seorang pria itu sangat mirip dengan Ayra, masa lalu suaminya. Reti sengaja buru-buru menghindari tatapan Ayra saat itu guna menghindari kalau saja dirinya dihampiri oleh Ayra.“Tapi itu jelas-jelas Ayra. Di sini nggak mungkin ada orang yang mirip banget sama dia, apalagi wajahnya sangat khas asli Indonsesia. Tapi buat apa dia datang jauh-jauh ke sini? Bersama seorang pria juga? Pria itu siapanya dia?” Reti menggigit bibir bawahnya.Dia mulai merasa gelisah sekaligus ketakutan. Takut kalau saja itu benar bahwa yang dilihatnya di sana memang Ayra. Itu tandanya keberadaan Ayra sangat dekat dengan Rendra?Bagaimana kalau dalam waktu dekat ini mereka saling bertemu atau masing-masing berjanjian untuk bisa saling bertemu? Bagaimana
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant