Menjadi jaminan atas kesalahan yang tak pernah dilakukan adalah hal yang tak pernah Camelia sangka. Camelia pikir hidupnya kemarin telah benar-benar berakhir. Rumah disita bank, barang-barang diambil rentenir, lalu ayahnya melarikan diri dan meninggalkan banyak utang. Hidup Camelia layaknya berada di dalam sebuah mimpi terburuk.
Sampai suatu ketika, Camelia bertemu dengan Dominic—pria yang menyanderanya. Harusnya Camelia bersyukur mendapatkan pekerjaan di mansion orang yang sangat kaya. Karena paling tidak Camelia tak menjadi gelandangan di jalan setelah diusir dari rumahnya sendiri. Tapi alih-alih bersyukur, malah Camelia kerap merasa ketakutan. Terlebih jika berhadapan dengan Dominic, tatapan tajam pria itu selalu membuat tubuh Camelia bergetar takut. Nada bicara pria itu selalu tajam, keras, dan menusuk. “Camelia, pagi ini kau bersihkan kolam renang. Letak kolam renang berada tepat di belakang mansion ini.” Hedy melangkah menghampiri Camelia—yang baru saja keluar dari kamar dan sudah memakai seragam pelayan. Camelia mengangguk patuh. “Hm, Hedy, ada yang ingin aku tanyakan padamu.” “Kau ingin tanya apa, Camelia?” Hedy menatap Camelia lekat. “Jam berapa Tuan Dominic biasanya tidur, Hedy?” tanya Camelia pelan. “Tuan Dominic tidak tentu. Tapi beliau memang sering tidur malam. Dalam satu hari beliau selalu dua kali berolahraga. Pagi sebelum beliau memulai akivitas, dan malam sebelum beliau tidur pasti selalu berolahraga,” jawab Hedy memberitahu. “Ah, begitu. Pantas saja.” Camelia menggigit bibir bawahnya. “Pantas saja? Apa maksudmu, Camelia?” Kening Hedy mengerut, menatap bingung Camelia. “Tidak apa-apa, Hedy. Aku hanya asal bicara. Yasudah, aku harus membersihkan kolam renang dulu,” ujar Camelia lembut seraya melangkah pergi menuju kolam, meninggalkan Hedy. Saat Camelia sudah tiba di kolam renang, gadis itu nampak kebingungan bagaimana cara membersihkan kolam renang yang begitu tinggi dan besar itu. Camelia yakin kolam ini pasti sangat dalam. “Aku membersihkan kolam menggunakan baskom saja,” guman Camelia yang mendapatkan ide membersihkan kolam renang menggunakan baskom. Detik berikutnya, Camelia mengambil baskom, dan langsung membersihkan kolam renang menggunakan baskom tersebut. Hingga ketika, Camelia merasa kelelahan, keseimbangannya tak terkendali akibat baskom berisikan air di tangannya sangat berat. Kaki Camelia terpeleset. Tubuh Camelia tak seimbang, hingga membuatnya tercebur di kolam. Byurrrr Camelia berusaha menggapai tepi tapi sayangnya tak bisa. Gadis itu kelabakan di dalam kolam. Beberapa detik, tangan Camelia tak lagi meraih-raih meminta pertolongan. Tubuhnya sudah lemah dan mengambang di kolam renang. Di sisi lain, Dominic melangkah keluar kamar sudah rapi dengan pakaian formal kantor. Lengan kekar dan dada bidang pria itu terbalut sempurna di balik jas berwarna hitam. Wajah tampan itu terselimuti aura dingin, tegas, dan penuh kharisma. Sorot matanya tajam layaknya mata elang. “Selamat pagi, Tuan Dominic.” Hedy menyapa Dominic dengan sopan seraya menundukan kepalanya. Dominic mengangguk singkat. “Bagaimana pekerjaan Camelia? Apa dia becus bekerja?” tanyanya seraya merapihkan kancing jasnya. “Tuan, saya baru saja meminta Camelia untuk membersihkan kolam—” “Tolong! Tolong!” Suara seorang pelayan berlari menghampiri Hedy dengan wajah panik. “Apa ada? Kenapa kau berlari seperti itu?” tanya Hedy pada seorang pelayan. “Hedy, pelayan baru tenggelam di kolam! Aku ingin menolongnya tapi aku juga tidak bisa berenang,” seru pelayan panik yang sontak membuat Dominic terkejut. “Pelayan baru? Maksudmu Camelia?” Hedy pun ikut panik. “I-iya. Camelia. Kalau tidak salah itu, kan, namanya? Aku lupa namanya. Dia pelayan baru di sini,” seru pelayan itu lagi. “Shit!” Dominic berlari menuju kolam kala mendengar Camelia tenggelam. Makian dan umpatan terus lolos dalam hatinya. Sejak hari pertama Camelia muncul, gadis itu selalu membuat masalah yang menguji kesabaran Dominic. Di kolam renang, tatapan tajam Dominic menangkap tubuh Camelia mengambang di kolam renang. Lalu … tatapan pria itu pun menatap air yang ada di tepi kolam renang berserta dua baskom di sana. Raut wajah Dominic berubah penuh emosi. Otaknya lagsung mencerna kalau Camelia membersihkan kolam renang menggunakan baskom. “Apa gadis itu seorang princess sebelumnya?! Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menimbulkan masalah!” geram Dominic emosi. Dominic hendak tak ingin peduli, tapi tak mungkin karena gadis itu pasti akan mati kalau tak ditolong. Dengan terpaksa, Dominic membuka jasnya, melempar ke sembrangan arah, dan langsung melompat ke kolam renang. Dominic meraih tubuh Camelia, membawanya ke tepi kolam. Tubuh Camelia sudah memucat. Bibirnya biru. Dominic segera memberikan pertolongan pertama. Pria itu melakukan tindakan CPR beberapa kali, sayangnya Camelia tak kunjung membuka mata. Akhirnya Dominic pun memberikan napas buatan guna membuat Camelia bisa membuka mata. Lalu … Uhugg … uhugg … Camelia terbatuk-batuk kala berhasil membuka mata. Air keluar dari hidung dan mulut gadis itu. Tampak raut wajah Dominic menunjukan jelas kemarahannya. Sorot mata tajamnya begitu menakutkan. “Kau itu kenapa bodoh sekali! Kenapa membersihkan kolam renang menggunakan baskom?! Di mana letak otakmu, Camelia!” bentak Dominic keras. Camelia hanya menundukan kepala dan masih terbatuk-batuk. Gadis itu tak bisa menjawab ucapan Dominic. Sedangkan Dominic yang terpancing emosi, memilih untuk meninggalkan Camelia begitu saja. Tepat disaat Dominic pergi, Hedy bersama dengan satu pelayan lain membantu Camelia untuk berdiri, meninggalkan kolam renang. *** “Hedy, jadi tadi Tuan Dominic yang menyelamatkanku?” Camelia bertanya kala dirinya sudah mengganti pakaian dengan seragam pelayan baru. Beruntung di lemari memiliki beberapa pakaian pelayan. Jadi Camelia bisa menggantinya dengan yang baru kala seragam yang terakhir dia pakai sudah basah akibat tenggelam di kolam. Hedy menghela napas dalam. “Iya, Tuan Dominic yang menyelamatkanmu. Para penjaga ada di depan. Kalau aku memanggil penjaga, pasti mereka akan terlambat menyelamatkanmu. Kau itu kenapa membersihkan kolam menggunakan baskom? Harusnya kau kosongkan dulu air kolam, Camelia. Setelah itu kau bisa menggunakan alat khusus membersihkan kolam.” “Maafkan aku, Hedy. Aku belum pernah membersihkan kolam renang. Lain kali aku akan bertanya dulu padamu,” ucap Camelia penuh dengan rasa bersalah. “Yasudah lupakan saja. Tapi kau harus segera berterima kasih sekaligus minta maaf pada Tuan Dominic. Kalau saja beliau tidak menyelamatkanmu, mungkin kau pasti tidak akan tertolong. Kau tahu? Tuan Dominic sampai memberikan napas buatan padamu agar demi kau sadar,” ujar Hedy menceritakan pada Camelia. “Napas buatan?” Kening Camelia mengerut, menatap bingung sekaligus terkejut. “Maksudmu napas buatan yang melalui bibir?” tanyanya memastikan. “Memangnya kalau bukan bibir lewat mana lagi, Camelia? Kau itu mengajukan pertanyaan konyol sekali.” Hedy menggeleng-gelengkan kepalanya. Mata Camelia terbelalak. “Ya Tuhan! Itu artinya Tuan Dominic sudah menciumku.” “Camelia, itu bukan—” “Aku harus menemui Tuan Dominic sekarang.” Camelia langsung berlari meninggalkan Hedy begitu saja, tanpa mau mendengar ucapan Hedy. Setibanya di depan, Camelia menatap Dominic yang hendak menuju halaman parkir mobil. Buru-buru Camelia berjalan cepat dan menghadang Dominic dengan wajah yang berusaha untuk memberanikan diri. “Tuan. Kita harus bicara.” Camelia menggigit bibir bawahnya. “Minggir. Kalau tujuanmu hanya meminta maaf dan berterima kasih, aku tidak mau mendengarnya,” tukas Dominic dingin dan sorot mata begitu tajam. Camelia menelan salivanya susah payah. “A-ku memang ingin meminta maaf karena telah ceroboh. Aku juga ingin berterima kasih karena kau sudah menyelamatkanku. T-tapi ada hal sangat penting yang harus aku katakan padamu.” “Hal penting apa yang ingin kau katakan?” Sebelah alis Dominic terangkat, tatapan pria itu masih menatap Camelia tajam. “T-tadi kita sudah berciuman, kan?” Camelia memberanikan diri menatap tatapan tajam Dominic. “Berciuman?” Dominic dibuat bingung akan apa yang diucapkan Camelia. “Kau memberikan napas buatan padaku lewat bibir. Itu sama saja kita sudah berciuman,” kata Camelia menggebu. Dominic nyaris kehilangan kata akibat otak konyol Camelia. “Itu bukan berciuman! Aku hanya memberikan napas buatan padamu demi kau sadar! Kalau aku tidak memberikan napas buatan untukmu, kau sudah pasti mati!” serunya kesal. Camelia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Rasa takut dalam hatinya kian menelusup. Sesuatu hal muncul di dalam otak Camelia. Hal di mana pesan yang dia dengar di masa kecil. Terlihat Camelia mengatur napas agar ritme jantungnya tetap beraturan. “A-aku hamil.”“Kau jahat! Kau tega mengotoriku!” Entah keberanian dari mana Camelia melangkah maju, dan langsung memukul dada bidang Dominic sekuat tenaganya. Tak sanggup menahan air mata, Camelia menangis sekeras mungkin di depan Dominic. Tangis yang tersirat betapa menderitanya gadis itu. Kulit Camelia begitu putih, menangis sesegukan membuat wajah, hidung, dan matanya sangat merah. “Apa kau sudah gila?!” Dengan satu tangan kokoh Dominic, pria itu menangkup kedua tangan Camelia kasar. Menatap Camelia tajam, menusuk, layaknya pembunuh berdarah dingin. Hal tergila dalam hidup Dominic adalah dia tak mengerti akan maksud dari ucapan konyol Camelia. “K-kau sudah menghamiliku! Kau tega! Kau jahat!” isak Camelia sesegukan dan berusaha meronta kala Dominic mencengkram tangannya. Sayangnya, tenaga Camelia hanya bagaikan kapas untuk Dominic. Tangan Camelia tak bisa lepas dari jerat Dominic. “Apa maksud ucapanmu, Sialan! Siapa yang menghamilimu!” bentak Dominic menggelegar dan keras hingga membuat bahu C
Suara pecahan gelas membuat Dominic mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tampak raut wajah dingin Dominic begitu menyeramkan. Sepasang iris mata Dominic tajam dan menusuk. Ruangan gelap itu sangat misterius hingga membuat semua orang masuk pasti menganggap bahwa ini adalah neraka. “Tuan Dominic, di depan ada cangkir kopi pecah. Saya sudah melihat CCTV, Nona Camelia yang mengantar kopi itu. Sepertinya Nona Camelia melihat apa yang Anda lakukan, Tuan,” jawab Eldon—asisten Dominic—melaporkan. Dominic terdiam mendengar laporan dari Eldon. Rupanya Camelia melihat apa yang dirinya lakukan. “Biarkan saja. Tidak usah pedulikan,” jawabnya dingin dan tegas. “Baik, Tuan.” Eldon menundukan kepalanya sopan, patuh atas apa yang dikatakan oleh Dominic. Tatapan Dominic teralih, menatap sosok pria yang baru saja ditembaknya. Darah kental membasahi lantai itu. Aroma anyir darah membaur memenuhi ruangan megah tersebut. Sosok pria berpakaian hitam tergeletak tak bernyawa di atas lantai. “
Lingkar mata Camelia sedikit gelap akibat baru bisa tertidur di pagi buta. Raut wajah Camelia tak secerah biasanya. Kemuraman melingkupi paras cantik gadis itu. Pancaran matanya menunjukan jelas rasa takut yang melebur menjadi satu dengan kecemasan dan kepanikan. Ya, sejak tadi malam otak Camelia sangatlah kacau. Ingatan Camelia terus terngiang-ngiang akan ancaman Dominic yang membuat seluruh bulu kuduk Camelia merinding. Camelia tidak pernah menyangka akan tersandera di istana pria yang kejam dan tak memiliki hati. Sungguh, Camelia khawatir akan terjadi sesuatu pada ayahnya. Jauh dari dalam lubuk hati Camelia terdalam, Camelia berharap ayahnya membaca pesan darinya. Camelia tak mau sampai ayahnya datang menjemputnya. “Astaga, Camelia. Kau masih berdiam di kamar?” Hedy melangkah masuk ke dalam kamar Camelia, menatap gadis itu yang masih berdiam diri di kamar. Terlihat raut wajah Hedy jengkel melihat Camelia yang belum juga keluar kamar. Padahal ini sudah waktunya bersih-bersih. “H-
Langit cerah mulai tertutupi oleh awan gelap. Perut Camelia sedikit berbunyi keruyukan menandakan gadis itu mulai sedikit lapar. Langkah kaki Camelia melemah. Jalanan pun nampak sepi. Camelia tersesat. Selama ini Camelia jarang sekali keluar rumah. Tak heran jika dirinya tak mengenal dunia luar. Sungguh, Camelia tak tahu dirinya ada di mana. Gadis itu hanya melangkah mengikuti arah angin yang entah membawanya ke mana. Camelia menghela napas dalam, gadis itu mengeluarkan ponselnya, melihat ternyata baterai ponselnya sudah habis. Bodoh! Camelia merutuki kebodohannya sendiri. Camelia tidak tahu kalau baterai ponselnya habis. Pun kini Camelia melihat dompetnya, dirinya hanya memiliki beberapa lembar uang saja. Tak banyak tapi paling tidak cukup untuk membuatnya bertahan tiga hari. Yang terpenting saat ini Camelia bisa bebas dari Dominic. Camelia tidak mau menjadi tawanan pria kejam itu lagi. “Aku harus ke mana?” gumam Camelia pelan dan sedikit bingung. Gadis itu mulai melangkahkan kaki
Langkah kaki Camelia gontai kala memasuki kamar megah Dominic. Camelia hendak ingin kembali menuju kamarnya, tapi sayangnya cengkraman tangan Dominic masih melingkar di pergelangan tangannya sangatlah kuat. Beberapa kali Camelia meringis kesakitan, tapi tetap tak membuat Dominic iba padanya. Sungguh, Camelia seakan merasa dirinya berada di ambang pintu neraka yang menyesakan dirinya. “T-Tuan … a-aku—” “Buka bajumu,” titah Dominic tegas yang sontak membuat mata Camelia melebar terkejut. “T-Tuan, a-apa maksudmu?” Camelia menelan salivanya susah payah, bingung dan tak mengerti akan apa yang diucapkan oleh Dominic. “Kau tidak lihat pakaianmu robek seperti itu?! Cepat buka pakaianmu!” bentak Dominic dengan nada keras dan tak suka dilawan. “T-Tuan, b-biarkan aku mengganti pakaianku di kamar. Aku akan—” “Kau akan berniat untuk melarikan diri lagi?! Iya?! Kau pikir aku bisa mudah ditipu, hah?!” seru Dominic dengan nada tinggi, hingga membuat Camelia menunduk tak berani melihat Dominic
Hujan deras membasahi bumi. Gelegar petir membelah langit gelap, menimbulkan kilat cahaya yang terang dan menyilaukan. Tampak Camelia yang tertidur di sofa bergerak-gerak gelisah. Peluh membanjiri keningnya. Suara igauan pelan dan terdengar merintih piluh seolah menunjukan bahwa gadis itu sangat menderita. “Dad … Mom … help me …” Camelia mengigau dengan kondisi mata yang masih tertutup. Dominic membuka matanya kala gelegar petir membangunkannya. Mata Dominic menyipit tajam, tak sengaja melihat Camelia yang tidur di sofa bergerak-gerak gelisah, seakan menunjukan bahwa gadis itu tengah bermimpi buruk. Ya, Camelia tertidur di sofa kamar Dominic. Sesuai apa yang diinginkan oleh Dominic. Camelia tak berdaya. Gadis itu tak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan Dominic. Dominic menyibak selimut, turun dari ranjang dan melangkah menghampiri Camelia. Raut wajah Dominic menjadi kesal melihat Camelia mengigau memanggil kedua orang tua gadis itu. Benar-benar sangat menyusahkan. Domin
“M-maaf.” Camelia kikuk salah tingkah karena mengganggu Dominic bersama dengan sosok wanita cantik yang Camelia yakini wanita itu adalah kekasih Dominic. Tampak Camelia menggigit bibir bawahnya bingung dan tak mengerti apa yang harus Camelia lakukan. Harusnya Camelia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat itu, tapi alih-alih pergi malah Camelia tak bisa menggerakan kakinya. Kaki Camelia seolah tertanam di sana tak mampu berkutik. Detik di mana Dominic mendengar perkataan maaf Camelia, pria itu langsung mendorong kasar tubuh Winola yang memeluknya, hingga membuat Winola tersungkur di lantai. Camelia yang berdiri tak jauh dari Dominic sampai terbelalak terkejut akan tindakan kasar Dominic pada Winola. “Akh—” Winola merintih kala tersungkur di lantai. Tatapan Winola berubah menjadi kesal. Ini bukan pertama kali Dominic menolaknya. Sudah berkali-kali Dominic menolak dirinya. “Dominic, kenapa kau kasar padaku? Orang tua kita menjalin hubungan baik. Aku yakin orang tuamu pasti se
Tiga hari setelah Camelia melarikan diri, Camelia sudah tak lagi diperbolehkan keluar dari rumah. Tugas Camelia hanya membersihkan rumah sesuai dengan jadwal yang Hedy berikan padanya. Jika sampai Camelia berani melanggar, maka Dominic tak akan segan-segan mengurung Camelia ke ruang bawah tanah. Tentu ancaman Dominic ini membuat Camelia tak berdaya sama sekali. Camelia tidak mungkin berani melawan apa yang sudah Dominic tetapkan. Kondisi Camelia beberapa hari ini sudah berangsur-angsur membaik. Bisa dikatakan Camelia sekarang sudah pulih. Tak lagi sakit. Selama tiga hari ini, Camelia sudah membantu Hedy untuk membersihkan rumah, hanya saja Hedy belum berani memberikan tugas terlalu berat dan susah pada Camelia. Pasalnya masih banyak yang harus Camelia pelajari. Pun Hedy bisa-bisa pusing kalau sampai Camelia membuat masalah. “Camelia, kau tidak usah membersihkan itu. Nanti pecah. Pajangan itu mahal sekali, Camelia,” seru Hedy panik kala melihat Camelia tengah membersihkan guci. “Hed
Pelupuk mata Camelia bergerak beriringan dengan bulu mata lentiknya. Sayup-sayup, Camelia melihat dirinya berada di kamar megah dengan sentuhan maskulin—yang sangat tak asing di matanya. Dan ketika kesadaran Camelia sudah pulih, gadis itu langsung menyadari dirinya berada di kamar milik Dominic. Raut wajah Camelia berubah menjadi bingung. Refleks, Camelia melihat ke jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh malam. Artinya, setelah tadi kaki Camelia dijahit, gadis itu malah ketiduran di kamar Dominic. “Kenapa aku bisa sampai tertidur di sini?” gumam Camelia pelan. Camelia mengingat semua kejadian yang menimpanya tadi pagi. Kejadian di mana Winola begitu jahat padanya sampai membuat kakinya harus mendapatkan jahitan. “Kau sudah bangun?” Suara berat Dominic sontak membuat Camelia sedikit terkejut. Refleks, Camelia mengalihkan pandangannya ke sumber suara itu. “T-Tuan … Maksudku, Dominic.” Camelia segera mengoreksi panggilan untuk Dominic. Gadis itu menatap Dominic yang duduk di sofa sa
“Akh—” Winola meringis kala tangan Dominic mencengkramnya dengan begitu kuat. Winola berusaha melepaskan cengkraman tangan Dominic, tapi alih-alih terlepas malah Dominic semakin mencengkram kuat pergelangan tangannya. Tampak mata Winola sudah memerah menahan rasa sakit itu. Sayangnya, meski Winola meringis sekalipun tetap tak membuat Dominic mengiba. Sorot mata Dominic begitu tajam dan menusuk seperti singa hutan yang ingin mengamuk karena ketenangannya diusik. “D-Dominic … l-lepaskan tanganku. K-kau menyakitiku,” rintih Winola memohon agar Dominic melepaskan cengkraman tangannya. Tapi alih-alih terlepas, malah Dominic semakin mencengkram kuat tangannya. Aura wajah Dominic menunjukan kemarahannya. Geraman terdengar seakan berusaha mengendalikan dirinya. Detik selanjutnya, Dominic mulai menatap Camelia yang tersungkur di lantai. Darah yang mengalir dari kaki Camelia terus berlinang. Isak tangis Camelia seakan menggetarkan hati Dominic, menyulut, hingga membuat sekujur tubuh Domin
Iris mata abu-abu Camelia sedikit melebar kala mendengar Winola datang untuk mencarinya. Tampak Camelia menggigit bibir bawahnya pelan. Camelia bingung luar biasa. Pasalnya, Camelia merasa tak memiliki persoalan pada Winola. Tapi kenapa malah Winola mencarinya? “Maaf, Nona … a-ada apa kau mencariku?” tanya Camelia seraya menatap Winola. “Well, harusnya kau mempersilahkan tamu yang datang. Bukan malah bertanya seperti itu. Di mana letak sopan santunmu? Ingat posisimu di sini hanya seorang pelayan kan?” Winola berkata begitu sarkas dan tajam. “M-maaf. Silahkan masuk.” Camelia pun akhirnya mempersilahkan masuk Winola. Meski Dominic pernah mengusir Winola, tapi buktinya para penjaga tetap membiarkan Winola masuk. Itu artinya Winola memang cukup dekat dengan Dominic. Dan Camelia tidak memiliki hak untuk mengusir Winola. Bagaimana pun, Camelia tahu akan posisinya. “Nona, kau ingin minum apa?” Camelia menawarkan minuman pada Winola. Winola tersenyum seraya duduk di sofa, wanita itu men
Gelegar petir keras membuat Camelia yang terlelap langsung terbangun. Camelia mengerjapkan mata beberapa kali. Menggeliat dan menguap. Gadis itu melihat ke arah jendela, gorden bergerak-gerak menandakan angin berembus sangatlah kencang. Rupanya jendela belum tertutup dengan rapat. Buru-buru, Camelia segera menyibak selimut, turun dari ranjang seraya melangkah menuju ke arah jendela—menutup rapat jendela itu. “Hujannya besar sekali,” gumam Camelia pelan. Tatapan Camelia melihat hujan dari balik jendela. Anginnya sangat besar, membuat cipratan air hujan menyentuh kulit Camelia. “Camelia?” Hedy melangkah masuk ke dalam kamar Camelia. Refleks, Camelia mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara itu. “Ya, Hedy?” Camelia menatap Hedy yang mendekat padanya. “Boleh aku minta tolong, antarkan minuman ke ruang olahraga Tuan Dominic?” ujar Hedy meminta tolong pada Camelia. “Tuan Dominic masih berolahraga?” tanya Camelia sedikit terkejut mendengar ucapan Hedy. Pasalnya ini sudah tengah mal
“Camelia, akhirnya kau muncul juga. Aku sudah sejak tadi menunggumu.” Hedy mendesah lega melihat Camelia yang sudah masuk ke dalam dapur. Raut wajah Hedy menunjukan jelas rasa penasaran yang tak bisa tertahan lagi. Banyak hal yang muncul dalam benak Hedy yang ingin Hedy tanyakan pada Camelia. “Maaf, aku terlambat, Hedy. Apa tugasku hari ini?” tanya Camelia pelan seraya menatap Hedy. Gadis itu sudah rapi dengan seragam pelayan yang selalu dipakainya. Hedy menarik tangan Camelia, mengajak Camelia duduk di kursi yang terdekat dengan mereka. Pun Camelia menurut dan tak membantah sama sekali kala Hedy mengajaknya untuk duduk. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Camelia,” tukas Hedy tak sabar. “Kau ingin tanya apa, Hedy?” Camelia menatap Hedy sedikit bingung. “Tadi malam aku melihatmu digendong oleh Tuan Dominic. Kau terlihat mabuk berat. Kau juga dirias dengan sedemikian cantik. Banyak pelayan yang iri, kau bisa dekat dengan Tuan Dominic, Camelia. Apa sebenarnya kau ini memiliki hubun
“Kepalaku pusing sekali. Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri.” Camelia meracau kala memasuki mansion Dominic. Tampak para pelayan yang masih terbangun di malam hari terkejut melihat Dominic menggendong Camelia. Tindakan Dominic membuat para pelayan tak mampu berkata-kata. Apalagi kondisi Camelia yang seperti mabuk berat. “Dominic! Kau pria menyebalkan! Turunkan aku!” Camelia memukul-mukul punggung kekar Dominic sekeras mungkin. Punggung yang seperti batu hingga membuat tangan Camelia kesakitan. Sungguh, Camelia merasakan kepalanya benar-benar tertusuk. Dominic tak mengindahkan ucapan Camelia. Pria itu terus melangkahkan kakinya menuju lift. Raut wajah Dominic sama sekali tidak peduli akan banyak pelayan yang menatapnya. Kali ini amarah Dominic tidak lagi tertahan. Camelia telah membuat masalah di tengah-tengah pesta. Brakkkk Dominic membanting kasar tubuh Camelia ke atas ranjang. Rintihan lolos di bibir Camelia terdengar. Tubuh Camelia langsing nyaris terpelanting akibat Dominic
“Camelia, kau terlihat masih sangat muda. Berapa usiamu, Sayang?” Marsha memulai percakapan kala tengah menikmati makan malam bersama. Ya, di kursi meja makan itu sudah dipenuhi kelurga Geovan. Saudara-saudara Dominic serta pasangan-pasangan mereka sudah duduk bersebelahan layaknya pasangan sempurna. Begitupun dengan Camelia yang duduk di samping Dominic. Sejak tadi Camelia dilarang berjauh-jauhan dengan Dominic. “Aku 18 tahun, Bibi. Tahun ini usiaku 19 tahun,” jawab Camelia pelan dan lembut. “Wah, Camelia! Kau masih muda sekali. Usia Dominic tahun ini 29 tahun. Kau dan Dominic berbeda 10 tahun. Daun muda memang sepertinya lebih hot,” sambung Miracle sambil mengedipkan mata menggoda adik bungsunya. Selena mengulum senyumannya. “Aku tidak menyangka memiliki calon adik ipar masih sangat muda. Ah, kalau seperti ini aku merasa diriku sudah tua.” Camelia membalas ucapan Miracle dan Selena dengan senyuman canggung di wajahnya. Sungguh, Camelia tak tahu harus mengatakan apa. Bahkan Cam
Sebuah pesta mewah di salah satu hotel ternama di Madrid membuat Camelia menjadi canggung dan malu. Ditambah sejak tadi tangan Dominic terus melingkar di pinggang Camelia. Beberapa kali Camelia berusaha untuk tenang, tapi tetap saja tidak bisa. Jarak Camelia dan Dominic sangat dekat, membuat Camelia tak mampu untuk mengendalikan sebuah rasa dalam dirinya. Dada Camelia bergemuruh tak menentu seakan membuat aliran darah dalam tubuhnya terhenti. “T-Tuan—” “Berhenti memanggilku Tuan!” tukas Dominic dingin dan penuh penegasan. Camelia menggigit bibir bawahnya. “A-aku harus memanggilmu apa?” tanyanya bingung dan tak mengerti. Dominic menatap dingin dan lekat Camelia. Dengan telunjuknya, pria itu mengangkat dagu Camelia sambil berkata tegas, “Panggil namaku!” “T-tapi—” “Aku sudah bilang jangan membantahku, Camelia,” bisik Dominic tajam, menusuk. Camelia mengangguk patuh. Raut wajah gadis itu tetap dilingkupi rasa cemas dan takut tapi tetap Camelia tak bisa membantah. Apa yang bisa Cam
Camelia nyaris kehilangan kata mendengar perkataan Dominic. Sepasang iris mata abu-abunya melebar terkejut. Tenggorokan Camelia seakan tersumbat batu keras. Dada Camelia bergumuruh. Kata-kata Dominic terus terngiang dalam pikiran Camelia. Tidak! Camelia yakin apa yang dia dengar ini pasti salah. “T-Tuan, m-maaf, tadi k-kau bilang apa?” Camelia bertanya memastikan. Pasalnya Camelia takut kalau apa yang dia dengar ini tidak benar. “Ck! Apa kau tuli?! Aku bilang kau temani aku ke pesta!” seru Dominic dengan nada keras. Camelia menelan salivanya susah payah. Raut wajah gadis itu nampak pucat. “A-aku menemanimu, Tuan?” Camelia menunjuk dirinya sendiri. “Siapa lagi kalau bukan dirimu, Camelia? Aku dari tadi mengajakmu bicara! Kenapa kau bodoh sekali?!” Dominic memberikan tatapan tajam sekaligus kesal pada Camelia. “T-Tuan, t-tapi kenapa? Maksudku kenapa harus aku yang menemanimu ke pesta?” Camelia dibuat tak mengerti denganapa yang telah Dominic putuskan itu. “Jangan berisik! Kau ikut