Suara pecahan gelas membuat Dominic mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tampak raut wajah dingin Dominic begitu menyeramkan. Sepasang iris mata Dominic tajam dan menusuk. Ruangan gelap itu sangat misterius hingga membuat semua orang masuk pasti menganggap bahwa ini adalah neraka.
“Tuan Dominic, di depan ada cangkir kopi pecah. Saya sudah melihat CCTV, Nona Camelia yang mengantar kopi itu. Sepertinya Nona Camelia melihat apa yang Anda lakukan, Tuan,” jawab Eldon—asisten Dominic—melaporkan. Dominic terdiam mendengar laporan dari Eldon. Rupanya Camelia melihat apa yang dirinya lakukan. “Biarkan saja. Tidak usah pedulikan,” jawabnya dingin dan tegas. “Baik, Tuan.” Eldon menundukan kepalanya sopan, patuh atas apa yang dikatakan oleh Dominic. Tatapan Dominic teralih, menatap sosok pria yang baru saja ditembaknya. Darah kental membasahi lantai itu. Aroma anyir darah membaur memenuhi ruangan megah tersebut. Sosok pria berpakaian hitam tergeletak tak bernyawa di atas lantai. “Kau sudah menemukan di mana Burke?” tanya Dominic dengan nada menahan amarah dalam dirinya. “Tuan, Burke sudah lama menjadi salah satu orang kepercayaan Anda. Dia mempelajari setiap pergerakan Anda. Tidak mudah menemukannya, Tuan. Saya sudah berusaha mencari. Termasuk orang kit pun sudah mencari. Tapi Anda tidak lupa, kan? Burke kerap menggunakan topeng wajah orang lain jika tengah diburu. Butuh waktu untuk menangkapnya, Tuan.” Eldon berucap penuh sopan seraya menundukan kepalanya. “Sialan!” Dominic menggeram penuh emosi. Tangannya mengepal kuat dan amarah yang tak terkendali. Ya, Burke Moore, ayah Camelia itu adalah salah satu orang kepercayaan Dominic. Burke mengawasi klub malam milik Dominic yang tersebar luas di seluruh negara. Tidak hanya itu, dalam transaksi-transaksi penting biasanya Burke yang turun tangan. Selama ini, Dominic tak pernah turun langsung dalam transaksi penting di klub malamnya. Dominic Geovan—bungsu dari salah satu keluarga terkaya di dunia itu masih harus memegang tanggung jawab di perusahaan keluarganya. Sedangkan bisnis pribadinya tak bisa sepenuhnya dia tangani. Hal itu yang membuat Dominic memiliki beberapa orang kepercayaan. Tapi ternyata, Burke berani mengkhianatinya. Burke mengambil uang dalam jumlah yang fantastis. Bahkan Burke sampai menipu rekan bisnis Dominic. Kehilangan uang bukanlah masalah besar bagi seorang Dominic Geovan. Yang membuat Dominic marah adalah pengkhianatan Burke. Selama ini Dominic selalu membayar seluruh orangnya dengan gaji yang sangat besar. Bahkan sampai melebihi gaji seorang direktur di sebuah perusahaan. “Singkirkan dia!” Dominic menatap tajam sosok pria yang tergeletak tak berdaya di atas lantai. “Baik, Tuan.” Eldon menggerakan kepalanya pada kedua pengawal di depan untuk membawa pria yang sudah tak bernyawa itu. Pun tanpa bantahan, kedua pengawal tersebut membawa pria itu. Aroma anyir darah masih kental memenuhi ruangan megah itu. Dominic tak henti mengumpat kasar, nampaknya pria itu telah meredakan amarah yang terkumpul di dalam dirinya. Emosi seolah ingin meledak dan tak bisa terkendali. Di hadapan Dominic adalah salah satu pria yang membantu aksi Burke dalam menipu. Tak hanya menipu, tapi pria yang ditembak Dominic itu berani menggunakan klub malam milik Dominic untuk transaksi perdagangan wanita yang akan dikirim ke Russia. Aksi pria itu berhasil digagalkan oleh Eldon. Shit! Jika membayangkan ini semua membuat amarah Dominic semakin menjadi. Sebelumnya pasti ada transaksi yang berhasil dilakukan. “Pastikan hal ini tidak akan pernah terjadi lagi!” seru Dominic dengan nada tinggi. “Baik, Tuan Dominic.” Eldon menjawab patuh. Tanpa berkata, Dominic melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Sedangkan Eldon segera meminta pelayan untuk membersihkan ruangan gelap yang penuh dengan darah. Tampak sorot Dominic layaknya singa lepas yang penuh dengan amarah. *** Camelia duduk di lantai seraya memeluk lututnya. Tubuhnya bergetar hebat akibat mengingat Dominic menembak seseorang. Jantung Camelia seakan ingin berhenti berpacu. Tangan Camelia yang putih bersih sampai memucat layaknya mayat hidup yang diberikan formalin. Aura wajah Camelia menunjukan kecemasan dan kekhawatirannya. Camelia menggigit kukunya. Yang Camelia khawatirkan saat ini adalah ayahnnya. Hingga detik ini Camelia sama sekali belum bisa menghubungi ayanya. Nomor ponsel ayahnya tak aktif. Tapi tidak apa-apa. Camelia berharap ayahnya membaca pesannya tadi. “Astaga, Camelia. Kau di sini rupanya. Aku mencarimu ke seluruh isi mansion. Aku sampai pusing mencarimu, Camelia.” Hedy melangkah masuk ke dalam kamar Camelia, menatap sedikit bingung Camelia yang duduk di lantai. “Ah, Hedy. Maafkan aku. Aku sedang datang bulan. Perutku sakit, Hedy,” dusta Camelia. Terpaksa Camelia berbohong, dia tak mungkin mengatakan pada Hedy apa yang telah dirinya rasakan. Hedy menghela napas dalam. Lalu melangkah menghampiri Camelia dan berkata, “Minum obat pereda nyeri. Pasti akan jauh lebih baik. Minum juga teh hangat. Aku kalau sedang datang bulan, dan sakitnya luar biasa, biasanya aku minum obat pereda nyeri.” “I-iya, Hedy. Terima kasih sudah menyerankanku,” jawab Camelia pelan. “Yasudah, kau minumlah obat pereda nyeri sekarang. Setelah itu antarkan air lemon hangat untuk Tuan Dominic di ruang olahraganya yang ada di lantai 5. Di jam seperti ini beliau sedang berolahraga,” ujar Hedy memberi perintah. Camelia menelan salivanya susah payah. “H-Hedy, apa bisa aku melakukan pekerjaan lain? Kau saja yang mengantarkan minuman ke Tuan Dominic.” Camelia menjawab cemas. Pasalnya, Camelia masih terus ketakutan setiap kali melihat Dominic. “Camelia, setelah ini aku harus membereskan gudang. Itu tugas berat. Kalau kau yang membereskan gudang, yang ada semua semakin kacau,” balas Hedy seraya menatap Camelia. Camelia menggigit bibir bawahnya. Apa yang dikatakan Hedy adalah benar. Kalau dirinya membersihkan gudang, pasti yang ada hanya kekacauan yang terjadi. Tapi kalau dirinya bertemu dengan Dominic, itu sangat menakutkan. Dominic adalah pria yang paling kejam yang pernah Camelia dalam hidupnya. Pria yang sama sekali tak memiliki hati sedikit pun. “Camelia, ayo cepat antarkan air lemon hangat untuk Tuan Dominic. Beliau akan marah besar kalau sampai kau terlambat mengantarkan air lemon untuknya,” kata Hedy mengingatkan Camelia untuk segera mengantarkan air lemon hangat untuk Dominic. Terpaksa akhirnya Camelia menganggukan kepalanya. Dalam hal seperti ini, Camelia tak memiliki pilihan. Camelia masih bekerja di mansion Dominic. Jika Camelia tak patuh, maka masalah baru akan muncul padanya. Di dapur, Camelia membuatkan air lemon hangat. Sebelumnya, Hedy pernah mengatakan pada Camelia kalau Dominic tak menyukai minuman manis. Jadi Camelia pun menuangkan sedikit gula ke minuman air lemon tersebut. Camelia mengatur napasnya, berusaha untuk tak takut. Walau tak dipungkiri ketakutan tetaplah menghantui Camelia. Tapi Camelia berusaha mati-matian untuk menguasai diri. Dengan wajah yang sedikit pucat, Camelia melangkah menuju lift, ke lantai 5. Lantai megah di lantai 5 tersedia sebuah kolam renang khusus. Tak hanya itu saja, tapi di lantai 5 juga ruang berolah raga, lalu di sampingnya ada home theaters. Harus Camelia akui, mansion milik Dominic ini bukanlah tempat tinggal melainkan istana. Camelia kerap menyasar jika tengah berkeliling mansion. Camelia berjalan menuju ruang olahraga Dominic, mengetuk pintu, kemudian masuk ke dalam ruangan. Tampak raut wajah Camelia memucat melihat ruang olahraga bernuansa gelap dengan lampu remang-remang yang membuat bulu kuduk Camelia merinding. BUGH BUGH BUGH Tinjuan keras Dominic di samsak membuat gelas yang ada di tangan Camelia sampai bergetar hebat. Bahu Camelia turut bergetar sedangkan kakinya seolah tak mampu menginjak lantai. Napas Camelia tercekat melihat Dominic meninju samsak dengan kuat. Camelia menelan salivanya susah payah. Dibalik rasa takut Camelia, tatapan Camelia menatap tubuh Dominic yang bertelanjang dada. Celana panjang training membalut pria itu sangat sempurna. Lengan kekar dan nampak sangat kuat. Urat-urat di tangan Dominic menonjol. Otot-otot maskulin di tubuh Dominic begitu sempurna. Ditambah keringat yang memenuhi tubuh dan wajahnya membuat pria itu tampan, gagah, dan seksi. Tinjuan terakhir keras di samsak membuat Dominic menghentikan olahraga boxing. Sorot mata dingin dan tajam Dominic, menatap Camelia yang ketakutan ketika melihatnya. Dominic menghampiri Camelia. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Dominic mengambil gelas yang ada di tangan gadis itu. “S-saya permisi, T-Tuan.” Raut wajah Camelia memucat ketakutan kala berbicara. Buru-buru, gadis itu berbalik, dan hendak melangkah pergi, namun tiba-tiba keseimbangangan tubuh Camelia tak terjaga. Camelia nyaris terjatuh. Refleks, detik itu juga Dominic menangkap tubuh langsing Camelia dengan satu tangannya. Jantung Camelia sudah tak lagi beraturan kala dada Dominic menempel di dadanya. Sorot mata tajam Dominic menatap Camelia penuh amarah. Kegugupan, takut, panik melebur menjadi satu dalam diri Camelia. Aroma parfume maskulin Dominic bercampur dengan keringat meninggalkan aroma yang luar biasa seksi. Kaki Camelia bagaikan jelly yang tak mampu berdiri tegak. Mata Dominic menatap Camelia penuh emosi. Gadis itu selalu saja ceroboh dalam bertindak. Berjalan saja tidak becus, apalagi melakukan pekerjaan rumah. Dominic mendekatkan bibirnya ke telinga Camelia seraya berbisik tajam, “Jika bukan karena aku ingin menangkap ayahmu, aku bersumpah sudah menendangmu keluar dari rumahku, Camelia.”Lingkar mata Camelia sedikit gelap akibat baru bisa tertidur di pagi buta. Raut wajah Camelia tak secerah biasanya. Kemuraman melingkupi paras cantik gadis itu. Pancaran matanya menunjukan jelas rasa takut yang melebur menjadi satu dengan kecemasan dan kepanikan. Ya, sejak tadi malam otak Camelia sangatlah kacau. Ingatan Camelia terus terngiang-ngiang akan ancaman Dominic yang membuat seluruh bulu kuduk Camelia merinding. Camelia tidak pernah menyangka akan tersandera di istana pria yang kejam dan tak memiliki hati. Sungguh, Camelia khawatir akan terjadi sesuatu pada ayahnya. Jauh dari dalam lubuk hati Camelia terdalam, Camelia berharap ayahnya membaca pesan darinya. Camelia tak mau sampai ayahnya datang menjemputnya. “Astaga, Camelia. Kau masih berdiam di kamar?” Hedy melangkah masuk ke dalam kamar Camelia, menatap gadis itu yang masih berdiam diri di kamar. Terlihat raut wajah Hedy jengkel melihat Camelia yang belum juga keluar kamar. Padahal ini sudah waktunya bersih-bersih. “H-
Langit cerah mulai tertutupi oleh awan gelap. Perut Camelia sedikit berbunyi keruyukan menandakan gadis itu mulai sedikit lapar. Langkah kaki Camelia melemah. Jalanan pun nampak sepi. Camelia tersesat. Selama ini Camelia jarang sekali keluar rumah. Tak heran jika dirinya tak mengenal dunia luar. Sungguh, Camelia tak tahu dirinya ada di mana. Gadis itu hanya melangkah mengikuti arah angin yang entah membawanya ke mana. Camelia menghela napas dalam, gadis itu mengeluarkan ponselnya, melihat ternyata baterai ponselnya sudah habis. Bodoh! Camelia merutuki kebodohannya sendiri. Camelia tidak tahu kalau baterai ponselnya habis. Pun kini Camelia melihat dompetnya, dirinya hanya memiliki beberapa lembar uang saja. Tak banyak tapi paling tidak cukup untuk membuatnya bertahan tiga hari. Yang terpenting saat ini Camelia bisa bebas dari Dominic. Camelia tidak mau menjadi tawanan pria kejam itu lagi. “Aku harus ke mana?” gumam Camelia pelan dan sedikit bingung. Gadis itu mulai melangkahkan kaki
Langkah kaki Camelia gontai kala memasuki kamar megah Dominic. Camelia hendak ingin kembali menuju kamarnya, tapi sayangnya cengkraman tangan Dominic masih melingkar di pergelangan tangannya sangatlah kuat. Beberapa kali Camelia meringis kesakitan, tapi tetap tak membuat Dominic iba padanya. Sungguh, Camelia seakan merasa dirinya berada di ambang pintu neraka yang menyesakan dirinya. “T-Tuan … a-aku—” “Buka bajumu,” titah Dominic tegas yang sontak membuat mata Camelia melebar terkejut. “T-Tuan, a-apa maksudmu?” Camelia menelan salivanya susah payah, bingung dan tak mengerti akan apa yang diucapkan oleh Dominic. “Kau tidak lihat pakaianmu robek seperti itu?! Cepat buka pakaianmu!” bentak Dominic dengan nada keras dan tak suka dilawan. “T-Tuan, b-biarkan aku mengganti pakaianku di kamar. Aku akan—” “Kau akan berniat untuk melarikan diri lagi?! Iya?! Kau pikir aku bisa mudah ditipu, hah?!” seru Dominic dengan nada tinggi, hingga membuat Camelia menunduk tak berani melihat Dominic
Hujan deras membasahi bumi. Gelegar petir membelah langit gelap, menimbulkan kilat cahaya yang terang dan menyilaukan. Tampak Camelia yang tertidur di sofa bergerak-gerak gelisah. Peluh membanjiri keningnya. Suara igauan pelan dan terdengar merintih piluh seolah menunjukan bahwa gadis itu sangat menderita. “Dad … Mom … help me …” Camelia mengigau dengan kondisi mata yang masih tertutup. Dominic membuka matanya kala gelegar petir membangunkannya. Mata Dominic menyipit tajam, tak sengaja melihat Camelia yang tidur di sofa bergerak-gerak gelisah, seakan menunjukan bahwa gadis itu tengah bermimpi buruk. Ya, Camelia tertidur di sofa kamar Dominic. Sesuai apa yang diinginkan oleh Dominic. Camelia tak berdaya. Gadis itu tak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan Dominic. Dominic menyibak selimut, turun dari ranjang dan melangkah menghampiri Camelia. Raut wajah Dominic menjadi kesal melihat Camelia mengigau memanggil kedua orang tua gadis itu. Benar-benar sangat menyusahkan. Domin
“M-maaf.” Camelia kikuk salah tingkah karena mengganggu Dominic bersama dengan sosok wanita cantik yang Camelia yakini wanita itu adalah kekasih Dominic. Tampak Camelia menggigit bibir bawahnya bingung dan tak mengerti apa yang harus Camelia lakukan. Harusnya Camelia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat itu, tapi alih-alih pergi malah Camelia tak bisa menggerakan kakinya. Kaki Camelia seolah tertanam di sana tak mampu berkutik. Detik di mana Dominic mendengar perkataan maaf Camelia, pria itu langsung mendorong kasar tubuh Winola yang memeluknya, hingga membuat Winola tersungkur di lantai. Camelia yang berdiri tak jauh dari Dominic sampai terbelalak terkejut akan tindakan kasar Dominic pada Winola. “Akh—” Winola merintih kala tersungkur di lantai. Tatapan Winola berubah menjadi kesal. Ini bukan pertama kali Dominic menolaknya. Sudah berkali-kali Dominic menolak dirinya. “Dominic, kenapa kau kasar padaku? Orang tua kita menjalin hubungan baik. Aku yakin orang tuamu pasti se
Tiga hari setelah Camelia melarikan diri, Camelia sudah tak lagi diperbolehkan keluar dari rumah. Tugas Camelia hanya membersihkan rumah sesuai dengan jadwal yang Hedy berikan padanya. Jika sampai Camelia berani melanggar, maka Dominic tak akan segan-segan mengurung Camelia ke ruang bawah tanah. Tentu ancaman Dominic ini membuat Camelia tak berdaya sama sekali. Camelia tidak mungkin berani melawan apa yang sudah Dominic tetapkan. Kondisi Camelia beberapa hari ini sudah berangsur-angsur membaik. Bisa dikatakan Camelia sekarang sudah pulih. Tak lagi sakit. Selama tiga hari ini, Camelia sudah membantu Hedy untuk membersihkan rumah, hanya saja Hedy belum berani memberikan tugas terlalu berat dan susah pada Camelia. Pasalnya masih banyak yang harus Camelia pelajari. Pun Hedy bisa-bisa pusing kalau sampai Camelia membuat masalah. “Camelia, kau tidak usah membersihkan itu. Nanti pecah. Pajangan itu mahal sekali, Camelia,” seru Hedy panik kala melihat Camelia tengah membersihkan guci. “Hed
Camelia nyaris kehilangan kata mendengar perkataan Dominic. Sepasang iris mata abu-abunya melebar terkejut. Tenggorokan Camelia seakan tersumbat batu keras. Dada Camelia bergumuruh. Kata-kata Dominic terus terngiang dalam pikiran Camelia. Tidak! Camelia yakin apa yang dia dengar ini pasti salah. “T-Tuan, m-maaf, tadi k-kau bilang apa?” Camelia bertanya memastikan. Pasalnya Camelia takut kalau apa yang dia dengar ini tidak benar. “Ck! Apa kau tuli?! Aku bilang kau temani aku ke pesta!” seru Dominic dengan nada keras. Camelia menelan salivanya susah payah. Raut wajah gadis itu nampak pucat. “A-aku menemanimu, Tuan?” Camelia menunjuk dirinya sendiri. “Siapa lagi kalau bukan dirimu, Camelia? Aku dari tadi mengajakmu bicara! Kenapa kau bodoh sekali?!” Dominic memberikan tatapan tajam sekaligus kesal pada Camelia. “T-Tuan, t-tapi kenapa? Maksudku kenapa harus aku yang menemanimu ke pesta?” Camelia dibuat tak mengerti denganapa yang telah Dominic putuskan itu. “Jangan berisik! Kau ikut
Sebuah pesta mewah di salah satu hotel ternama di Madrid membuat Camelia menjadi canggung dan malu. Ditambah sejak tadi tangan Dominic terus melingkar di pinggang Camelia. Beberapa kali Camelia berusaha untuk tenang, tapi tetap saja tidak bisa. Jarak Camelia dan Dominic sangat dekat, membuat Camelia tak mampu untuk mengendalikan sebuah rasa dalam dirinya. Dada Camelia bergemuruh tak menentu seakan membuat aliran darah dalam tubuhnya terhenti. “T-Tuan—” “Berhenti memanggilku Tuan!” tukas Dominic dingin dan penuh penegasan. Camelia menggigit bibir bawahnya. “A-aku harus memanggilmu apa?” tanyanya bingung dan tak mengerti. Dominic menatap dingin dan lekat Camelia. Dengan telunjuknya, pria itu mengangkat dagu Camelia sambil berkata tegas, “Panggil namaku!” “T-tapi—” “Aku sudah bilang jangan membantahku, Camelia,” bisik Dominic tajam, menusuk. Camelia mengangguk patuh. Raut wajah gadis itu tetap dilingkupi rasa cemas dan takut tapi tetap Camelia tak bisa membantah. Apa yang bisa Cam
Pelupuk mata Camelia bergerak beriringan dengan bulu mata lentiknya. Sayup-sayup, Camelia melihat dirinya berada di kamar megah dengan sentuhan maskulin—yang sangat tak asing di matanya. Dan ketika kesadaran Camelia sudah pulih, gadis itu langsung menyadari dirinya berada di kamar milik Dominic. Raut wajah Camelia berubah menjadi bingung. Refleks, Camelia melihat ke jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh malam. Artinya, setelah tadi kaki Camelia dijahit, gadis itu malah ketiduran di kamar Dominic. “Kenapa aku bisa sampai tertidur di sini?” gumam Camelia pelan. Camelia mengingat semua kejadian yang menimpanya tadi pagi. Kejadian di mana Winola begitu jahat padanya sampai membuat kakinya harus mendapatkan jahitan. “Kau sudah bangun?” Suara berat Dominic sontak membuat Camelia sedikit terkejut. Refleks, Camelia mengalihkan pandangannya ke sumber suara itu. “T-Tuan … Maksudku, Dominic.” Camelia segera mengoreksi panggilan untuk Dominic. Gadis itu menatap Dominic yang duduk di sofa sa
“Akh—” Winola meringis kala tangan Dominic mencengkramnya dengan begitu kuat. Winola berusaha melepaskan cengkraman tangan Dominic, tapi alih-alih terlepas malah Dominic semakin mencengkram kuat pergelangan tangannya. Tampak mata Winola sudah memerah menahan rasa sakit itu. Sayangnya, meski Winola meringis sekalipun tetap tak membuat Dominic mengiba. Sorot mata Dominic begitu tajam dan menusuk seperti singa hutan yang ingin mengamuk karena ketenangannya diusik. “D-Dominic … l-lepaskan tanganku. K-kau menyakitiku,” rintih Winola memohon agar Dominic melepaskan cengkraman tangannya. Tapi alih-alih terlepas, malah Dominic semakin mencengkram kuat tangannya. Aura wajah Dominic menunjukan kemarahannya. Geraman terdengar seakan berusaha mengendalikan dirinya. Detik selanjutnya, Dominic mulai menatap Camelia yang tersungkur di lantai. Darah yang mengalir dari kaki Camelia terus berlinang. Isak tangis Camelia seakan menggetarkan hati Dominic, menyulut, hingga membuat sekujur tubuh Domin
Iris mata abu-abu Camelia sedikit melebar kala mendengar Winola datang untuk mencarinya. Tampak Camelia menggigit bibir bawahnya pelan. Camelia bingung luar biasa. Pasalnya, Camelia merasa tak memiliki persoalan pada Winola. Tapi kenapa malah Winola mencarinya? “Maaf, Nona … a-ada apa kau mencariku?” tanya Camelia seraya menatap Winola. “Well, harusnya kau mempersilahkan tamu yang datang. Bukan malah bertanya seperti itu. Di mana letak sopan santunmu? Ingat posisimu di sini hanya seorang pelayan kan?” Winola berkata begitu sarkas dan tajam. “M-maaf. Silahkan masuk.” Camelia pun akhirnya mempersilahkan masuk Winola. Meski Dominic pernah mengusir Winola, tapi buktinya para penjaga tetap membiarkan Winola masuk. Itu artinya Winola memang cukup dekat dengan Dominic. Dan Camelia tidak memiliki hak untuk mengusir Winola. Bagaimana pun, Camelia tahu akan posisinya. “Nona, kau ingin minum apa?” Camelia menawarkan minuman pada Winola. Winola tersenyum seraya duduk di sofa, wanita itu men
Gelegar petir keras membuat Camelia yang terlelap langsung terbangun. Camelia mengerjapkan mata beberapa kali. Menggeliat dan menguap. Gadis itu melihat ke arah jendela, gorden bergerak-gerak menandakan angin berembus sangatlah kencang. Rupanya jendela belum tertutup dengan rapat. Buru-buru, Camelia segera menyibak selimut, turun dari ranjang seraya melangkah menuju ke arah jendela—menutup rapat jendela itu. “Hujannya besar sekali,” gumam Camelia pelan. Tatapan Camelia melihat hujan dari balik jendela. Anginnya sangat besar, membuat cipratan air hujan menyentuh kulit Camelia. “Camelia?” Hedy melangkah masuk ke dalam kamar Camelia. Refleks, Camelia mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara itu. “Ya, Hedy?” Camelia menatap Hedy yang mendekat padanya. “Boleh aku minta tolong, antarkan minuman ke ruang olahraga Tuan Dominic?” ujar Hedy meminta tolong pada Camelia. “Tuan Dominic masih berolahraga?” tanya Camelia sedikit terkejut mendengar ucapan Hedy. Pasalnya ini sudah tengah mal
“Camelia, akhirnya kau muncul juga. Aku sudah sejak tadi menunggumu.” Hedy mendesah lega melihat Camelia yang sudah masuk ke dalam dapur. Raut wajah Hedy menunjukan jelas rasa penasaran yang tak bisa tertahan lagi. Banyak hal yang muncul dalam benak Hedy yang ingin Hedy tanyakan pada Camelia. “Maaf, aku terlambat, Hedy. Apa tugasku hari ini?” tanya Camelia pelan seraya menatap Hedy. Gadis itu sudah rapi dengan seragam pelayan yang selalu dipakainya. Hedy menarik tangan Camelia, mengajak Camelia duduk di kursi yang terdekat dengan mereka. Pun Camelia menurut dan tak membantah sama sekali kala Hedy mengajaknya untuk duduk. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Camelia,” tukas Hedy tak sabar. “Kau ingin tanya apa, Hedy?” Camelia menatap Hedy sedikit bingung. “Tadi malam aku melihatmu digendong oleh Tuan Dominic. Kau terlihat mabuk berat. Kau juga dirias dengan sedemikian cantik. Banyak pelayan yang iri, kau bisa dekat dengan Tuan Dominic, Camelia. Apa sebenarnya kau ini memiliki hubun
“Kepalaku pusing sekali. Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri.” Camelia meracau kala memasuki mansion Dominic. Tampak para pelayan yang masih terbangun di malam hari terkejut melihat Dominic menggendong Camelia. Tindakan Dominic membuat para pelayan tak mampu berkata-kata. Apalagi kondisi Camelia yang seperti mabuk berat. “Dominic! Kau pria menyebalkan! Turunkan aku!” Camelia memukul-mukul punggung kekar Dominic sekeras mungkin. Punggung yang seperti batu hingga membuat tangan Camelia kesakitan. Sungguh, Camelia merasakan kepalanya benar-benar tertusuk. Dominic tak mengindahkan ucapan Camelia. Pria itu terus melangkahkan kakinya menuju lift. Raut wajah Dominic sama sekali tidak peduli akan banyak pelayan yang menatapnya. Kali ini amarah Dominic tidak lagi tertahan. Camelia telah membuat masalah di tengah-tengah pesta. Brakkkk Dominic membanting kasar tubuh Camelia ke atas ranjang. Rintihan lolos di bibir Camelia terdengar. Tubuh Camelia langsing nyaris terpelanting akibat Dominic
“Camelia, kau terlihat masih sangat muda. Berapa usiamu, Sayang?” Marsha memulai percakapan kala tengah menikmati makan malam bersama. Ya, di kursi meja makan itu sudah dipenuhi kelurga Geovan. Saudara-saudara Dominic serta pasangan-pasangan mereka sudah duduk bersebelahan layaknya pasangan sempurna. Begitupun dengan Camelia yang duduk di samping Dominic. Sejak tadi Camelia dilarang berjauh-jauhan dengan Dominic. “Aku 18 tahun, Bibi. Tahun ini usiaku 19 tahun,” jawab Camelia pelan dan lembut. “Wah, Camelia! Kau masih muda sekali. Usia Dominic tahun ini 29 tahun. Kau dan Dominic berbeda 10 tahun. Daun muda memang sepertinya lebih hot,” sambung Miracle sambil mengedipkan mata menggoda adik bungsunya. Selena mengulum senyumannya. “Aku tidak menyangka memiliki calon adik ipar masih sangat muda. Ah, kalau seperti ini aku merasa diriku sudah tua.” Camelia membalas ucapan Miracle dan Selena dengan senyuman canggung di wajahnya. Sungguh, Camelia tak tahu harus mengatakan apa. Bahkan Cam
Sebuah pesta mewah di salah satu hotel ternama di Madrid membuat Camelia menjadi canggung dan malu. Ditambah sejak tadi tangan Dominic terus melingkar di pinggang Camelia. Beberapa kali Camelia berusaha untuk tenang, tapi tetap saja tidak bisa. Jarak Camelia dan Dominic sangat dekat, membuat Camelia tak mampu untuk mengendalikan sebuah rasa dalam dirinya. Dada Camelia bergemuruh tak menentu seakan membuat aliran darah dalam tubuhnya terhenti. “T-Tuan—” “Berhenti memanggilku Tuan!” tukas Dominic dingin dan penuh penegasan. Camelia menggigit bibir bawahnya. “A-aku harus memanggilmu apa?” tanyanya bingung dan tak mengerti. Dominic menatap dingin dan lekat Camelia. Dengan telunjuknya, pria itu mengangkat dagu Camelia sambil berkata tegas, “Panggil namaku!” “T-tapi—” “Aku sudah bilang jangan membantahku, Camelia,” bisik Dominic tajam, menusuk. Camelia mengangguk patuh. Raut wajah gadis itu tetap dilingkupi rasa cemas dan takut tapi tetap Camelia tak bisa membantah. Apa yang bisa Cam
Camelia nyaris kehilangan kata mendengar perkataan Dominic. Sepasang iris mata abu-abunya melebar terkejut. Tenggorokan Camelia seakan tersumbat batu keras. Dada Camelia bergumuruh. Kata-kata Dominic terus terngiang dalam pikiran Camelia. Tidak! Camelia yakin apa yang dia dengar ini pasti salah. “T-Tuan, m-maaf, tadi k-kau bilang apa?” Camelia bertanya memastikan. Pasalnya Camelia takut kalau apa yang dia dengar ini tidak benar. “Ck! Apa kau tuli?! Aku bilang kau temani aku ke pesta!” seru Dominic dengan nada keras. Camelia menelan salivanya susah payah. Raut wajah gadis itu nampak pucat. “A-aku menemanimu, Tuan?” Camelia menunjuk dirinya sendiri. “Siapa lagi kalau bukan dirimu, Camelia? Aku dari tadi mengajakmu bicara! Kenapa kau bodoh sekali?!” Dominic memberikan tatapan tajam sekaligus kesal pada Camelia. “T-Tuan, t-tapi kenapa? Maksudku kenapa harus aku yang menemanimu ke pesta?” Camelia dibuat tak mengerti denganapa yang telah Dominic putuskan itu. “Jangan berisik! Kau ikut