Sebuah pesta mewah di salah satu hotel ternama di Madrid membuat Camelia menjadi canggung dan malu. Ditambah sejak tadi tangan Dominic terus melingkar di pinggang Camelia. Beberapa kali Camelia berusaha untuk tenang, tapi tetap saja tidak bisa. Jarak Camelia dan Dominic sangat dekat, membuat Camelia tak mampu untuk mengendalikan sebuah rasa dalam dirinya. Dada Camelia bergemuruh tak menentu seakan membuat aliran darah dalam tubuhnya terhenti. “T-Tuan—” “Berhenti memanggilku Tuan!” tukas Dominic dingin dan penuh penegasan. Camelia menggigit bibir bawahnya. “A-aku harus memanggilmu apa?” tanyanya bingung dan tak mengerti. Dominic menatap dingin dan lekat Camelia. Dengan telunjuknya, pria itu mengangkat dagu Camelia sambil berkata tegas, “Panggil namaku!” “T-tapi—” “Aku sudah bilang jangan membantahku, Camelia,” bisik Dominic tajam, menusuk. Camelia mengangguk patuh. Raut wajah gadis itu tetap dilingkupi rasa cemas dan takut tapi tetap Camelia tak bisa membantah. Apa yang bisa Cam
“Camelia, kau terlihat masih sangat muda. Berapa usiamu, Sayang?” Marsha memulai percakapan kala tengah menikmati makan malam bersama. Ya, di kursi meja makan itu sudah dipenuhi kelurga Geovan. Saudara-saudara Dominic serta pasangan-pasangan mereka sudah duduk bersebelahan layaknya pasangan sempurna. Begitupun dengan Camelia yang duduk di samping Dominic. Sejak tadi Camelia dilarang berjauh-jauhan dengan Dominic. “Aku 18 tahun, Bibi. Tahun ini usiaku 19 tahun,” jawab Camelia pelan dan lembut. “Wah, Camelia! Kau masih muda sekali. Usia Dominic tahun ini 29 tahun. Kau dan Dominic berbeda 10 tahun. Daun muda memang sepertinya lebih hot,” sambung Miracle sambil mengedipkan mata menggoda adik bungsunya. Selena mengulum senyumannya. “Aku tidak menyangka memiliki calon adik ipar masih sangat muda. Ah, kalau seperti ini aku merasa diriku sudah tua.” Camelia membalas ucapan Miracle dan Selena dengan senyuman canggung di wajahnya. Sungguh, Camelia tak tahu harus mengatakan apa. Bahkan Cam
“Kepalaku pusing sekali. Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri.” Camelia meracau kala memasuki mansion Dominic. Tampak para pelayan yang masih terbangun di malam hari terkejut melihat Dominic menggendong Camelia. Tindakan Dominic membuat para pelayan tak mampu berkata-kata. Apalagi kondisi Camelia yang seperti mabuk berat. “Dominic! Kau pria menyebalkan! Turunkan aku!” Camelia memukul-mukul punggung kekar Dominic sekeras mungkin. Punggung yang seperti batu hingga membuat tangan Camelia kesakitan. Sungguh, Camelia merasakan kepalanya benar-benar tertusuk. Dominic tak mengindahkan ucapan Camelia. Pria itu terus melangkahkan kakinya menuju lift. Raut wajah Dominic sama sekali tidak peduli akan banyak pelayan yang menatapnya. Kali ini amarah Dominic tidak lagi tertahan. Camelia telah membuat masalah di tengah-tengah pesta. Brakkkk Dominic membanting kasar tubuh Camelia ke atas ranjang. Rintihan lolos di bibir Camelia terdengar. Tubuh Camelia langsing nyaris terpelanting akibat Dominic
“Camelia, akhirnya kau muncul juga. Aku sudah sejak tadi menunggumu.” Hedy mendesah lega melihat Camelia yang sudah masuk ke dalam dapur. Raut wajah Hedy menunjukan jelas rasa penasaran yang tak bisa tertahan lagi. Banyak hal yang muncul dalam benak Hedy yang ingin Hedy tanyakan pada Camelia. “Maaf, aku terlambat, Hedy. Apa tugasku hari ini?” tanya Camelia pelan seraya menatap Hedy. Gadis itu sudah rapi dengan seragam pelayan yang selalu dipakainya. Hedy menarik tangan Camelia, mengajak Camelia duduk di kursi yang terdekat dengan mereka. Pun Camelia menurut dan tak membantah sama sekali kala Hedy mengajaknya untuk duduk. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Camelia,” tukas Hedy tak sabar. “Kau ingin tanya apa, Hedy?” Camelia menatap Hedy sedikit bingung. “Tadi malam aku melihatmu digendong oleh Tuan Dominic. Kau terlihat mabuk berat. Kau juga dirias dengan sedemikian cantik. Banyak pelayan yang iri, kau bisa dekat dengan Tuan Dominic, Camelia. Apa sebenarnya kau ini memiliki hubun
Gelegar petir keras membuat Camelia yang terlelap langsung terbangun. Camelia mengerjapkan mata beberapa kali. Menggeliat dan menguap. Gadis itu melihat ke arah jendela, gorden bergerak-gerak menandakan angin berembus sangatlah kencang. Rupanya jendela belum tertutup dengan rapat. Buru-buru, Camelia segera menyibak selimut, turun dari ranjang seraya melangkah menuju ke arah jendela—menutup rapat jendela itu. “Hujannya besar sekali,” gumam Camelia pelan. Tatapan Camelia melihat hujan dari balik jendela. Anginnya sangat besar, membuat cipratan air hujan menyentuh kulit Camelia. “Camelia?” Hedy melangkah masuk ke dalam kamar Camelia. Refleks, Camelia mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara itu. “Ya, Hedy?” Camelia menatap Hedy yang mendekat padanya. “Boleh aku minta tolong, antarkan minuman ke ruang olahraga Tuan Dominic?” ujar Hedy meminta tolong pada Camelia. “Tuan Dominic masih berolahraga?” tanya Camelia sedikit terkejut mendengar ucapan Hedy. Pasalnya ini sudah tengah mal
Iris mata abu-abu Camelia sedikit melebar kala mendengar Winola datang untuk mencarinya. Tampak Camelia menggigit bibir bawahnya pelan. Camelia bingung luar biasa. Pasalnya, Camelia merasa tak memiliki persoalan pada Winola. Tapi kenapa malah Winola mencarinya? “Maaf, Nona … a-ada apa kau mencariku?” tanya Camelia seraya menatap Winola. “Well, harusnya kau mempersilahkan tamu yang datang. Bukan malah bertanya seperti itu. Di mana letak sopan santunmu? Ingat posisimu di sini hanya seorang pelayan kan?” Winola berkata begitu sarkas dan tajam. “M-maaf. Silahkan masuk.” Camelia pun akhirnya mempersilahkan masuk Winola. Meski Dominic pernah mengusir Winola, tapi buktinya para penjaga tetap membiarkan Winola masuk. Itu artinya Winola memang cukup dekat dengan Dominic. Dan Camelia tidak memiliki hak untuk mengusir Winola. Bagaimana pun, Camelia tahu akan posisinya. “Nona, kau ingin minum apa?” Camelia menawarkan minuman pada Winola. Winola tersenyum seraya duduk di sofa, wanita itu men
“Akh—” Winola meringis kala tangan Dominic mencengkramnya dengan begitu kuat. Winola berusaha melepaskan cengkraman tangan Dominic, tapi alih-alih terlepas malah Dominic semakin mencengkram kuat pergelangan tangannya. Tampak mata Winola sudah memerah menahan rasa sakit itu. Sayangnya, meski Winola meringis sekalipun tetap tak membuat Dominic mengiba. Sorot mata Dominic begitu tajam dan menusuk seperti singa hutan yang ingin mengamuk karena ketenangannya diusik. “D-Dominic … l-lepaskan tanganku. K-kau menyakitiku,” rintih Winola memohon agar Dominic melepaskan cengkraman tangannya. Tapi alih-alih terlepas, malah Dominic semakin mencengkram kuat tangannya. Aura wajah Dominic menunjukan kemarahannya. Geraman terdengar seakan berusaha mengendalikan dirinya. Detik selanjutnya, Dominic mulai menatap Camelia yang tersungkur di lantai. Darah yang mengalir dari kaki Camelia terus berlinang. Isak tangis Camelia seakan menggetarkan hati Dominic, menyulut, hingga membuat sekujur tubuh Domin
Pelupuk mata Camelia bergerak beriringan dengan bulu mata lentiknya. Sayup-sayup, Camelia melihat dirinya berada di kamar megah dengan sentuhan maskulin—yang sangat tak asing di matanya. Dan ketika kesadaran Camelia sudah pulih, gadis itu langsung menyadari dirinya berada di kamar milik Dominic. Raut wajah Camelia berubah menjadi bingung. Refleks, Camelia melihat ke jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh malam. Artinya, setelah tadi kaki Camelia dijahit, gadis itu malah ketiduran di kamar Dominic. “Kenapa aku bisa sampai tertidur di sini?” gumam Camelia pelan. Camelia mengingat semua kejadian yang menimpanya tadi pagi. Kejadian di mana Winola begitu jahat padanya sampai membuat kakinya harus mendapatkan jahitan. “Kau sudah bangun?” Suara berat Dominic sontak membuat Camelia sedikit terkejut. Refleks, Camelia mengalihkan pandangannya ke sumber suara itu. “T-Tuan … Maksudku, Dominic.” Camelia segera mengoreksi panggilan untuk Dominic. Gadis itu menatap Dominic yang duduk di sofa sa
Pelupuk mata Camelia bergerak beriringan dengan bulu mata lentiknya. Sayup-sayup, Camelia melihat dirinya berada di kamar megah dengan sentuhan maskulin—yang sangat tak asing di matanya. Dan ketika kesadaran Camelia sudah pulih, gadis itu langsung menyadari dirinya berada di kamar milik Dominic. Raut wajah Camelia berubah menjadi bingung. Refleks, Camelia melihat ke jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh malam. Artinya, setelah tadi kaki Camelia dijahit, gadis itu malah ketiduran di kamar Dominic. “Kenapa aku bisa sampai tertidur di sini?” gumam Camelia pelan. Camelia mengingat semua kejadian yang menimpanya tadi pagi. Kejadian di mana Winola begitu jahat padanya sampai membuat kakinya harus mendapatkan jahitan. “Kau sudah bangun?” Suara berat Dominic sontak membuat Camelia sedikit terkejut. Refleks, Camelia mengalihkan pandangannya ke sumber suara itu. “T-Tuan … Maksudku, Dominic.” Camelia segera mengoreksi panggilan untuk Dominic. Gadis itu menatap Dominic yang duduk di sofa sa
“Akh—” Winola meringis kala tangan Dominic mencengkramnya dengan begitu kuat. Winola berusaha melepaskan cengkraman tangan Dominic, tapi alih-alih terlepas malah Dominic semakin mencengkram kuat pergelangan tangannya. Tampak mata Winola sudah memerah menahan rasa sakit itu. Sayangnya, meski Winola meringis sekalipun tetap tak membuat Dominic mengiba. Sorot mata Dominic begitu tajam dan menusuk seperti singa hutan yang ingin mengamuk karena ketenangannya diusik. “D-Dominic … l-lepaskan tanganku. K-kau menyakitiku,” rintih Winola memohon agar Dominic melepaskan cengkraman tangannya. Tapi alih-alih terlepas, malah Dominic semakin mencengkram kuat tangannya. Aura wajah Dominic menunjukan kemarahannya. Geraman terdengar seakan berusaha mengendalikan dirinya. Detik selanjutnya, Dominic mulai menatap Camelia yang tersungkur di lantai. Darah yang mengalir dari kaki Camelia terus berlinang. Isak tangis Camelia seakan menggetarkan hati Dominic, menyulut, hingga membuat sekujur tubuh Domin
Iris mata abu-abu Camelia sedikit melebar kala mendengar Winola datang untuk mencarinya. Tampak Camelia menggigit bibir bawahnya pelan. Camelia bingung luar biasa. Pasalnya, Camelia merasa tak memiliki persoalan pada Winola. Tapi kenapa malah Winola mencarinya? “Maaf, Nona … a-ada apa kau mencariku?” tanya Camelia seraya menatap Winola. “Well, harusnya kau mempersilahkan tamu yang datang. Bukan malah bertanya seperti itu. Di mana letak sopan santunmu? Ingat posisimu di sini hanya seorang pelayan kan?” Winola berkata begitu sarkas dan tajam. “M-maaf. Silahkan masuk.” Camelia pun akhirnya mempersilahkan masuk Winola. Meski Dominic pernah mengusir Winola, tapi buktinya para penjaga tetap membiarkan Winola masuk. Itu artinya Winola memang cukup dekat dengan Dominic. Dan Camelia tidak memiliki hak untuk mengusir Winola. Bagaimana pun, Camelia tahu akan posisinya. “Nona, kau ingin minum apa?” Camelia menawarkan minuman pada Winola. Winola tersenyum seraya duduk di sofa, wanita itu men
Gelegar petir keras membuat Camelia yang terlelap langsung terbangun. Camelia mengerjapkan mata beberapa kali. Menggeliat dan menguap. Gadis itu melihat ke arah jendela, gorden bergerak-gerak menandakan angin berembus sangatlah kencang. Rupanya jendela belum tertutup dengan rapat. Buru-buru, Camelia segera menyibak selimut, turun dari ranjang seraya melangkah menuju ke arah jendela—menutup rapat jendela itu. “Hujannya besar sekali,” gumam Camelia pelan. Tatapan Camelia melihat hujan dari balik jendela. Anginnya sangat besar, membuat cipratan air hujan menyentuh kulit Camelia. “Camelia?” Hedy melangkah masuk ke dalam kamar Camelia. Refleks, Camelia mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara itu. “Ya, Hedy?” Camelia menatap Hedy yang mendekat padanya. “Boleh aku minta tolong, antarkan minuman ke ruang olahraga Tuan Dominic?” ujar Hedy meminta tolong pada Camelia. “Tuan Dominic masih berolahraga?” tanya Camelia sedikit terkejut mendengar ucapan Hedy. Pasalnya ini sudah tengah mal
“Camelia, akhirnya kau muncul juga. Aku sudah sejak tadi menunggumu.” Hedy mendesah lega melihat Camelia yang sudah masuk ke dalam dapur. Raut wajah Hedy menunjukan jelas rasa penasaran yang tak bisa tertahan lagi. Banyak hal yang muncul dalam benak Hedy yang ingin Hedy tanyakan pada Camelia. “Maaf, aku terlambat, Hedy. Apa tugasku hari ini?” tanya Camelia pelan seraya menatap Hedy. Gadis itu sudah rapi dengan seragam pelayan yang selalu dipakainya. Hedy menarik tangan Camelia, mengajak Camelia duduk di kursi yang terdekat dengan mereka. Pun Camelia menurut dan tak membantah sama sekali kala Hedy mengajaknya untuk duduk. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Camelia,” tukas Hedy tak sabar. “Kau ingin tanya apa, Hedy?” Camelia menatap Hedy sedikit bingung. “Tadi malam aku melihatmu digendong oleh Tuan Dominic. Kau terlihat mabuk berat. Kau juga dirias dengan sedemikian cantik. Banyak pelayan yang iri, kau bisa dekat dengan Tuan Dominic, Camelia. Apa sebenarnya kau ini memiliki hubun
“Kepalaku pusing sekali. Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri.” Camelia meracau kala memasuki mansion Dominic. Tampak para pelayan yang masih terbangun di malam hari terkejut melihat Dominic menggendong Camelia. Tindakan Dominic membuat para pelayan tak mampu berkata-kata. Apalagi kondisi Camelia yang seperti mabuk berat. “Dominic! Kau pria menyebalkan! Turunkan aku!” Camelia memukul-mukul punggung kekar Dominic sekeras mungkin. Punggung yang seperti batu hingga membuat tangan Camelia kesakitan. Sungguh, Camelia merasakan kepalanya benar-benar tertusuk. Dominic tak mengindahkan ucapan Camelia. Pria itu terus melangkahkan kakinya menuju lift. Raut wajah Dominic sama sekali tidak peduli akan banyak pelayan yang menatapnya. Kali ini amarah Dominic tidak lagi tertahan. Camelia telah membuat masalah di tengah-tengah pesta. Brakkkk Dominic membanting kasar tubuh Camelia ke atas ranjang. Rintihan lolos di bibir Camelia terdengar. Tubuh Camelia langsing nyaris terpelanting akibat Dominic
“Camelia, kau terlihat masih sangat muda. Berapa usiamu, Sayang?” Marsha memulai percakapan kala tengah menikmati makan malam bersama. Ya, di kursi meja makan itu sudah dipenuhi kelurga Geovan. Saudara-saudara Dominic serta pasangan-pasangan mereka sudah duduk bersebelahan layaknya pasangan sempurna. Begitupun dengan Camelia yang duduk di samping Dominic. Sejak tadi Camelia dilarang berjauh-jauhan dengan Dominic. “Aku 18 tahun, Bibi. Tahun ini usiaku 19 tahun,” jawab Camelia pelan dan lembut. “Wah, Camelia! Kau masih muda sekali. Usia Dominic tahun ini 29 tahun. Kau dan Dominic berbeda 10 tahun. Daun muda memang sepertinya lebih hot,” sambung Miracle sambil mengedipkan mata menggoda adik bungsunya. Selena mengulum senyumannya. “Aku tidak menyangka memiliki calon adik ipar masih sangat muda. Ah, kalau seperti ini aku merasa diriku sudah tua.” Camelia membalas ucapan Miracle dan Selena dengan senyuman canggung di wajahnya. Sungguh, Camelia tak tahu harus mengatakan apa. Bahkan Cam
Sebuah pesta mewah di salah satu hotel ternama di Madrid membuat Camelia menjadi canggung dan malu. Ditambah sejak tadi tangan Dominic terus melingkar di pinggang Camelia. Beberapa kali Camelia berusaha untuk tenang, tapi tetap saja tidak bisa. Jarak Camelia dan Dominic sangat dekat, membuat Camelia tak mampu untuk mengendalikan sebuah rasa dalam dirinya. Dada Camelia bergemuruh tak menentu seakan membuat aliran darah dalam tubuhnya terhenti. “T-Tuan—” “Berhenti memanggilku Tuan!” tukas Dominic dingin dan penuh penegasan. Camelia menggigit bibir bawahnya. “A-aku harus memanggilmu apa?” tanyanya bingung dan tak mengerti. Dominic menatap dingin dan lekat Camelia. Dengan telunjuknya, pria itu mengangkat dagu Camelia sambil berkata tegas, “Panggil namaku!” “T-tapi—” “Aku sudah bilang jangan membantahku, Camelia,” bisik Dominic tajam, menusuk. Camelia mengangguk patuh. Raut wajah gadis itu tetap dilingkupi rasa cemas dan takut tapi tetap Camelia tak bisa membantah. Apa yang bisa Cam
Camelia nyaris kehilangan kata mendengar perkataan Dominic. Sepasang iris mata abu-abunya melebar terkejut. Tenggorokan Camelia seakan tersumbat batu keras. Dada Camelia bergumuruh. Kata-kata Dominic terus terngiang dalam pikiran Camelia. Tidak! Camelia yakin apa yang dia dengar ini pasti salah. “T-Tuan, m-maaf, tadi k-kau bilang apa?” Camelia bertanya memastikan. Pasalnya Camelia takut kalau apa yang dia dengar ini tidak benar. “Ck! Apa kau tuli?! Aku bilang kau temani aku ke pesta!” seru Dominic dengan nada keras. Camelia menelan salivanya susah payah. Raut wajah gadis itu nampak pucat. “A-aku menemanimu, Tuan?” Camelia menunjuk dirinya sendiri. “Siapa lagi kalau bukan dirimu, Camelia? Aku dari tadi mengajakmu bicara! Kenapa kau bodoh sekali?!” Dominic memberikan tatapan tajam sekaligus kesal pada Camelia. “T-Tuan, t-tapi kenapa? Maksudku kenapa harus aku yang menemanimu ke pesta?” Camelia dibuat tak mengerti denganapa yang telah Dominic putuskan itu. “Jangan berisik! Kau ikut