"Dua garis merah?"
Naya hamil.
Cklek. (Suara pintu terbuka.)
Naya keluar dari dalam kamar mandi, dengan bathrobe yang membalut tubuh polosnya. Rambutnya yang basah ia gosok menggunakan handuk kecil, berjalan kearah lemari dan mengeluarkan pakaian dalam dari sana. Naya segera mengenakan benda tersebut, lalu mengambil sepasang pakaian yang akan dikenakannya hari ini, tergeletak diatas ranjang kamarnya.
Semua aktifitas itu, Deaz saksikan dari balik gorden jendela. Lelaki itu bersembunyi disana, menahan keinginan untuk menerkam ibu dari calon anaknya itu.
Deaz tersenyum tanpa sadar. Teringat lagi pada alat tes kehamilan yang tergeletak diatas meja nakas kamar gadis itu. Naya meletakkannya secara sembarangan. Namun, berkat itu pula, Deaz tidak perlu repot-repot mengobrak-abrik isi kamar gadis itu untuk mencarinya.
Deaz sudah mendapatkan jawaban, setelah sebulan lamanya menunggu. Menyembulkan kepalanya keluar, Deaz melihat punggung Naya yang kembali masuk kedalam kamar mandi.
Deaz segera membuka tirai jendela dan keluar dari dalam kamar gadis itu, menggunakan kesempatan untuk kabur.
***
Suara hentakan sepatu terdengar berderap cepat menuruni tangga. Tomi Sutedja yang tengah duduk di sofa ruang tengah sambil membaca koran langsung mengalihkan fokusnya kearah Deaz yang turun secara tergesa dari kamar cucunya.
"Bagaimana?"
"Positif."
Tomi seketika berdiri, "Hamil?"
"Ya."
"Berengsek."
Dugh!
Deaz meringis, mengusap kepalanya yang terkena pukul gulungan koran dari Tomi Sutedja. Lelaki separuh baya itu berkacak pinggang, ingin marah karena cucunya hamil diluar nikah, tapi juga senang karena nyatanya Naya hamil anak Deaz, lelaki pilihan yang akan dia jodohkan dengan cucu semata wayangnya itu.
"Aku tidak tahu. Rasanya aku ingin marah dan memukulimu sampai mampus karena kau telah menghamili cucuku. Tapi di sisi lain, ini ada baiknya karena mau tak mau Naya harus menerima perjodohan ini."
Deaz mengangguk dan tersenyum.
"Tapi tetap saja. Kamu itu bajingan."
Tomi menendang pelan kaki Deaz menggunakan tongkat kayunya.
"Aku berjanji akan segera melamarnya, kek. Percayalah padaku."
"Ya. Itu harus. Besok datang kemari dan bawa kedua orang tuamu. Kalian harus segera menikah."
Deaz jelas sudah mempersiapkan segalanya.
"KAKEK!" Teriakan Naya terdengar secara tiba-tiba, dari dalam kamarnya.
Panik.
Tomi segera mendorong tubuh Deaz agar segera pergi dari sana. Tak lama setelah tubuh Deaz menghilang keluar pintu, Naya muncul dari atas dengan senyuman lebar. Melihat pancar kebahagiaan di wajah cucunya itu, Tomi ikut tersenyum senang."Kakek! Aku punya kabar bagus."
Naya turun melewati setiap anak tangga dengan tergesa-gesa. Melihat itu, Tomi langsung mengerutkan keningnya.
"Kabar apa itu?"
"Kakek, harus lihat ini."
Naya menyodorkan kedua tangannya yang tertutup, lalu membukanya tepat di hadapan sangat kakek.
"Tadaa!"
Kedua alis Tomi tampak menyatu, menatap benda pipih panjang di dalamnya dengan kening berkerut bingung.
"Apa itu?"
"Kakek, tidak tahu?"
Tomi menggeleng.
"Ini testpack. Alat tes kehamilan. Naya hamil."
"Oh." Tomi mengangguk, dia sudah tahu dari Deaz barusan... Eh tunggu! Tapi Tomi harus pura-pura terkejut, bukan.
"Apa! Kamu hamil, Naya!"
Naya mengangguk, kelewat antusias.
"Ya. Kakek akan punya cicit!""Bagaimana bisa? Siapa bapaknya?!" Tomi memegang dada, Pura-pura terkena serangan jantung dan segera menjatuhkan tubuhnya, duduk disofa. Melihat itu, Naya panik.
"Siapa lelaki itu? Yang sudah meniduri cucu kesayangan kakek?"
Naya menggigit bibir.
"Namanya, Deaz.""Nama panjang?"
Naya menggeleng.
"Naya gak tahu." Gadis itu lalu ikut duduk disebelah kakeknya, mengusap-usap dada kakeknya itu, seakan ingin menenangkan si jantung. Andai saja Tomi tidak tahu kenyataannya, mungkin lelaki paruh baya itu benar-benar akan terkena serangan jantung saat ini."Kakek senang kan? Akhirnya, kakek akan punya cicit. Jadi, Naya gak perlu menikah karena bayi ini yang akan meneruskan perusahaan keluarga kita kelak."
Tomi berdehem.
"Tapi, Nay. Kakek butuh pengganti untuk mengurus perusahaan itu saat ini. Kalau harus menunggu bayi di dalam perutmu itu, lahir-- lalu masih harus menunggu lagi hingga bayi itu tumbuh besar, maka kemungkinan besar kakek sudah mati.""Kakek kan masih punya Sandro." Naya menyebutkan nama asisten kakeknya, yang selama ini membantu pak tua itu dalam menghandle pekerjaan di kantor.
"Tapi, Sandro lama-lama juga bisa tua."
Naya mengibaskan satu tangannya, tidak mau peduli.
"Dahlah. Yang penting, satu masalah kita sudah beres. Kakek tidak bisa memaksaku menerima perjodohan itu lagi."
Naya berdiri, mengecup kening keriput kakeknya. "Naya, mau pergi ke mall. Beli persiapan buat baby," katanya, seraya mengusap-usap perutnya yang masih rata, pamer.
Melihat pergerakan cucunya yang hendak pergi itu, Tomi segera memanggilnya kembali karena teringat sesuatu.
"Naya, tunggu!"
Tomi menegakkan posisi duduknya, menghentikan Naya yang sudah menyentuh handle pintu.
"Nanti malam, keluarga calon suamimu akan datang kesini."
Naya memutar tubuh, mengusap perutnya lagi dan tersenyum.
"Oke. Naya juga udah gak sabar mau pamerin ini ke mereka."
***
"Hm, bagusan yang mana ya? Pink atau biru?"
"Dua-duanya, bagus."
Naya menurunkan dua warna baju bayi ditangannya, lalu muncul wajah Deaz disana. Naya terkejut akan keberadaan lelaki itu. Pasalnya, setelah hari itu. Mereka sudah tidak pernah lagi bertemu. Meskipun sempat bertukar nomor ponsel, Naya merasa hubungan mereka memang hanya sebatas one night stand semata. Dan melihat keberadaan lelaki itu lagi setelah sebulan lamanya, Naya tentu saja terkejut. Deaz tampak tersenyum tengil menggoda dirinya.
"Deaz, kamu disini?" Naya langsung mendekat.
"Ya. Ini masih mall umum, 'kan? Bukan punya keluarga kamu?"
Naya memukul lengan atas lelaki itu dengan kesal. "Dasar."
Deaz terkekeh.
"Kamu sendiri? Kenapa disini?"Teringat pada kehamilannya saat ini, Naya langsung memamerkan perutnya yang masih rata kepada Deaz.
"Aku hamil."
"Oh ya?" Deaz pura-pura terkejut. "Selamat kalau begitu."
Naya mengangguk.
"Makasih ya. Benih kamu ternyata, bibit unggul." Naya mengangkat dua jempol tangannya. Sementara Deaz, tertawa serak. Teringat momen intim mereka malam itu.Berusaha mengalihkan perhatian, Deaz kemudian berjalan kearah samping dan mengambil sepasang topi bayi.
"Omong-omong? Kamu sendiri?"
"Aku nganterin mamaku beli peralatan bayi."
Naya mengedipkan kedua matanya.
"Peralatan bayi?"Deaz mengangguk.
"Calon istriku hamil."Mendengar itu, hati Naya mendadak jadi ngilu. Tapi, Naya tidak tahu kenapa.
"Wah, selamat kalau begitu."
Naya menyodorkan tangan kanannya, Deaz mengamati sejenak uluran tangan itu sebelum membalasnya. Dalam hati, Deaz tertawa geli. Betapa polosnya, calon istrinya ini.
"Ini." Deaz menyodorkan paper bag berisi pakaian bayi yang telah dia pilih kearah Naya. Sementara, Naya melihatnya dengan kening bingung.
"Ambil."
"Ini, bukan buat calon istri kamu?"
Deaz mengambil tangan Naya dan memberikannya secara paksa.
"Itu baju-baju pilihanku, buat calon anak kita."
Setelah mengatakan itu, Deaz pamit pergi. Naya terdiam, mematung. Hatinya berdesir, terngiang kalimat terakhir Deaz yang membuatnya tanpa sadar tersenyum.
"Anak kita?"
Kedua pipi Naya terlihat merona. Naya mengintip sebentar pakaian bayi pilihan Deaz itu dan kembali tersipu.
Kenapa terdengar manis sekali, sih.
"Mbak, bajunya yang ini jadi diambil?"
Naya menggeleng.
"Gak jadi."Naya bercermin. Mengenakan dress motif floral, Naya malam ini tampil begitu manis. Tidak lupa dia menyembunyikan testpack di balik saku dressnya jika nanti Naya membutuhkan benda tersebut sebagai senjatanya malam ini. Meskipun dirinya ingin perjodohan ini berakhir, Naya tetap peduli pada penampilannya. Bagaimana pun juga, tampil cantik adalah hal yang wajib. Tok tok tok. "Non, tamunya sudah datang." "Iya, bik." Setelah memoles liptint di bibir sebagai sentuhan terakhir. Naya segera bangun, berjalan menuju ke arah pintu. Naya menarik napas dan menganggukkan kepalanya sendiri. Menyemangati diri sendiri. Jujur saja, Naya sedikit gugup. Setelah merasa yakin, gadis itu kemudain baru mau melangkah pasti menuruni tiap anak tangga satu per satu. Bisa dia lihat sepasang orang dewasa sudah duduk disofa, berbincang dengan kakeknya layaknya keluarga. Namun, Naya sedikit bingung karena tidak menemukan lelaki
Naya menangis. Terus menangis. Tidak mau berhenti. Sementara diluar ruang rawat, Rosa tampak menggigiti kuku jari tangannya sendiri, melihat Naya yang menangis tersedu diatas brankar rumah sakit. Tomi juga sama khawatirnya. Tidak pernah dia melihat cucu kesayangannya itu terus mengalirkan air mata seperti itu. Hatinya tercubit. Merasa ngilu. Sementara Deaz tampak mondar-mandir dengan bingung. Menggaruk rambutnya sendiri, kemudian melangkah kearah sang ibu. "Ma ..." "Diam kamu." Deaz tidak jadi bicara. Rosalinda, tampaknya masih sangat marah kepadanya. Percuma. Saat ini, dialah yang dituduh sebagai tersangka. Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan seorang dokter dan perawat yang baru saja keluar dalam ruang rawat itu, membuat Deaz bersama ketiga orang lainnya segera mendekat. "Dokter? Gimana ..," "Cucu saya. Cucu saya kenapa ....
Naya mengerjap bangun. Tubuhnya terasa lelah. Menoleh kesamping, Deaz tidak ada di sebelahnya. Beranjak bangun, Naya segera membersihkan diri lalu keluar kamar dengan celana pendek dan kemeja kebesaran milik Deaz. Gadis itu belum membawa baju ketika diboyong kemari. Rumah yang katanya milik Deaz pribadi ini, tidak terlalu besar namun rapi. Naya sepertinya akan merasa betah tinggal di rumah suaminya itu. Namun rasa lapar di perutnya, membuat Naya melangkah mencari dapur. Aroma lezat masakan tercium, dan disanalah Naya menemukan Rosalinda, ibu mertuanya tengah memasak. Naya jadi malu sendiri, menyadari jika dia bangun kesiangan sementara ibu mertuanya malah memasak untuknya. "Mama?" "Sayang? Kamu udah bangun?" Naya segera menyalami punggung tangan kanan Rosa, dan melihat apa yang sedang ibu mertuanya itu olah. "Maaf, Naya kesiangan." Rosa tersenyum ma
Naya cemberut, menunggu Deaz di dalam mobil. Sambil melipat kedua tangannya, gadis itu baru mau menoleh ketika terdengar pintu mobil yang di buka, lalu di tutup kembali ketika Deaz sudah masuk dan menempati kursi di balik kemudi. Melihat wajah memberenggut gadis itu, Deaz sontak menyentil halus bibir Naya sambil tersenyum tengil. Naya memandang kesal Deaz yang kemudian memasang sabuk pelindungnya sebelum mobil ia jalankan. Deaz menatap fokus ke depan, namun tetap melirik ke arah Naya sesekali. "Kenapa tadi lama banget? Ngomongin apa kamu sama kakek?" "Kakek cuma bilang, dia nitipin kamu ke aku buat aku jagain. Gak boleh disakitin." "Kenapa lama?" "Ada sedikit petuah tentang laki-laki." "Maksudnya?" Deaz menyeringai, "tentang bagaimana seharusnya lelaki melakukan sex yang baik dan benar terhadap perempuan hamil." kata Deaz, sambil mengedipkan satu matanya ke arah Naya. Melihat itu, sontak saja Naya langsung m
Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai. "Nyonya sudah bangun?" "Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun. "Panggil saja Naya, atau Non." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam." Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini. "Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."
"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon." Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi. "Bukan honeymoon tauk." Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?" "Baby Moon." Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak. "Dasar bocah." Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh le
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. "Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan. Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru m
1 MINGGU KEMUDIAN. "Makasih ya pak." Usai mengantarkan supir taksi yang menurunkan barang-barang bawaannya keluar rumah, Naya kembali masuk kedalam ruang tengah dan mengamati oleh-oleh miliknya sembari berkacak pinggang. Satu minggu liburan yang cukup melelahkan. Naya mendudukkan diri di sofa, mengamati seisi rumah yang tidak berubah. Setelah menghabiskan waktu untuk diam beberapa menit, Naya kemudian memutuskan untuk membongkar semua oleh-oleh yang ia bawa. Naya baru menoleh ketika mendengar suara derit pintu yang dibuka dari arah luar. "Hai?" Deaz masih diam diambang pintu. Mengamati Naya dan ruang tengah rumahnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa kardus dan paper bag merk brand ternama. Naya segera berdiri dan menghampiri Deaz yang belum juga masuk kedalam rumahnya sendiri. "Kangen gak
Mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, Deaz tampak mengetuk-etukan jemari tangan kanannya di atas lutut kaki kanan, duduk cemas tepat di tengah-tengah pengadilan agama, menunggu Abinaya yang belum datang di persidangan kali ini. Pikiran Deaz sangat kacau kini. Keringat bahkan muncul di kedua telapak tangannya yang dingin. Kedua orangtuanya sudah mengambil tempat duduk sedari tadi, namun keberadaan Tomi Sutedja juga belum terlihat disana. Deaz menarik napas, menghembuskannya dengan berat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh dirinya kalau akan mengalami saat-saat yang seperti ini. Duduk di hadapan para hakim dan para saksi untuk proses perceraiannya dengan sang istri. Deaz takut. Dia tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perpisahan. Tapi, mereka sudah sejauh ini. Deaz sudah sangat terlambat untuk memperjuangkan pernikahan mereka yang bahkan belum satu tahun terjalin. "Maaf, saya sedikit terlambat." Deaz menoleh ke arah
Deaz mengendari mobilnya teramat pelan. Tidak ada hasrat untuk pulang, namun Deaz juga tidak mungkin terus terpuruk dengan keadaan. Lelaki itu masih sibuk bekerja lalu pulang seperti biasanya, meski bayang-bayang Naya terus menghantuinya bagai kaset rusak. Deaz tetap harus hidup. Deaz masih ingin hidup untuk kembali bersama Naya dan calon anak mereka. Kerumunan tepat di depan sana, menghentikan laju Deaz secara tiba-tiba. Deaz mengerutkan keningnya, mengamati keadaan di depan sana yang terlihat begitu tegang. Bahkan ada pula mobil polisi yang terparkir di sana. Merasa penasaran, Deaz pun memutuskan untuk turun dan berjalan mendekat. Deaz terkejut saat menyadari rumah itu adalah rumah yang sama, saat Deaz menolong Tsania dan bayinya yang dikurung Endru di dalam kamar rumah itu, satu minggu yang lalu. "Maaf, kalau boleh tahu, apa yang sedang terjadi di sini?" Seorang ibu-ibu berhijab yang Deaz tanyai pun menjawab. "Ada korban kasus pem
Deaz meletakkan kepalanya di kemudi mobil, memejamkan mata namun tidak tidur. Sudah satu minggu hidup lelaki itu kacau, sangat. Naya pergi dan Tsania terus menyalahkan dirinya atas kematian putrinya. Begitu mendengar suara gerbang yang di geser terbuka, Deaz mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah kusut kurang tidur lelaki itu. Inilah yang Deaz tunggu-tunggu, Mobil Tomi Sutedja keluar dari gerbang besar itu. Buru-buru Deaz pun menyalakan mesin mobil miliknya dan melaju perlahan mengikuti mobil tersebut. Kegiatan seperti inilah yang Deaz lakukan selama satu minggu ini. Mengikuti mobil Tomi Sutedja diam-diam dan berakhir kecewa saat mobil itu lagi-lagi berhenti di perusahaan Sutedja Company. Deaz memukul stir, mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar persis orang gila sekarang. Deaz bahkan lupa mandi, dan makan jika memang perutnya sudah terasa perih. Deaz sudah tidak lagi menangis, air mata buayanya mungkin sudah habis. Toh, d
1 MINGGU KEMUDIAN. Paris, Perancis. Naya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bel rumah yang terdengar. Perempuan itu kemudian keluar dari kamarnya, melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Hai, apa aku mengganggu?" "Lumayan, aku baru saja bangun." "Oh. Maaf kalau begitu," kata Shawn, sambil menggaruk belakang lehernya. Naya tertawa renyah melihat tingkah lelaki itu. "Bercanda." Shawn mengangguk, kemudian mengulurkan sesuatu yang dia bawa untuk Naya. "Untukmu." "Wah. Aku merepotkan lagi." "Tidak masalah. Aku senang di repotkan." "Mau masuk?" Tawar Naya. "Ah itu, sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Bagaimana?" Naya terdiam, tampak menimang.
Air mata Naya terus mengalir turun. Gadis itu berulangkali mengusapnya namun tidak mau berhenti juga. Sopir taksi sampai heran melihat wanita hamil yang duduk di belakang itu. Naya menatap keluar jendela, membiarkan angin menyapa wajahnya yang memerah karena terus menangis. Cukup lama perjalanan dari bengkel ke rumah Tomi Sutedja, akhirnya taksi pun berhenti tepat di depan gerbang besar rumah mewah itu. Naya segera turun tanpa membayar uang taksi terlebih dahulu, seorang satpam yang membukakan gerbang yang akan membayar tagihan untuk cucu kesayangan Tomi Sutedja. Naya kemudian melangkah masuk kedalam rumah karena pintunya memang tidak di tutup. Naya melangkah cepat ke arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan dari sana sambil menahan perut besarnya dengan tangan kanan. Dan begitu melihat Tomi Sutedja yang duduk di sofa panjang ruang tamu, Naya langsung be
"Hai." Naya mengangguk singkat membalas sapaan itu. Gadis itu segera duduk di kursi restoran yang berseberangan dengan tempat duduk Endru. "Maaf, karena telah mengganggu waktumu dengan memintamu datang kemari." "Ada apa?" Tanya Naya to the point. Endru kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, membuat Naya mengernyitkan kening melihat itu. Endru kemudian menjelaskan.. "Itu riwayat kesehatan milik saya. Saya penderita ...." "Borderline personality disorder. Ya, aku sudah tahu." Endru menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. "Dari Tsania?" Naya mengangguk. "Ya. Endru menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Naya menatap dalam diam lelaki di hadapannya itu. "Saya tidak akan menceraikan Tsania." "Saya sangat m
"Kenapa lama?" Naya kembali duduk di kursinya usai dari kamar mandi. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Deaz. "Maaf. Tadi BAB." "Tapi kamu gak papa kan?" Deaz bertanya dengan mimik wajah khawatir. "Enggak kok." "Serius, Nay?" "Iya, aku serius." Deaz mengangguk, meski masih menatap ke arah Naya dengan seksama. Dihadapannya, Naya mulai kembali menikmati makanannya yang tadi sempat tertunda, namun entah kenapa Deaz merasa Naya menyembunyikan sesuatu darinya. Sementara Naya diam-diam kembali memikirkan pertemuannya dengan lelaki asing di depan toilet tadi. "Apakah, kita saling mengenal?" "Saya suami Tsania." Naya terbelalak mendengar informasi tersebut. Langkah kedua kakinya terayun mundur. Senyum ramah yang Endru pasang sedari tadi pun p
Perlahan, kedua kaki Naya bergerak mundur, tidak jadi masuk kedalam. Dadanya sesak. Naya tidak sanggup membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kedua matanya terasa sangat panas, meski di lubuk hati kecilnya, Naya masih menaruh kepercayaan pada Deaz. Deaz tidak mungkin selingkuh. Deaz tidak mungkin berkhianat. Deaz tidak mungkin... "Akh!" Naya memekik, hampir saja tubuhnya akan terjatuh ketika gadis itu ingin berlari pergi dari sana, jika saja kedua tangan kokoh seseorang tidak dengan sigap menahannya. "Sayang?" Naya mengangkat pandangannya dan terkejut. "De-deaz?" "Kamu, ngapain disini?" "Itu ... kamu, kenapa kamu ...." "Bang! Tsania mau lahiran ini!" Teriakan itu, langsung mengalihkan perhatian Deaz dan Naya secara bersamaan. &nbs
"Setelah melarikan diri, ternyata di sini kamu malah selingkuh." "Bajingan!" Teriak Deaz kesal ketika melihat Tsania ditampar. Namun satu tonjokan langsung melayang di rahang Deaz ketika lelaki itu hendak bergerak maju. Dua lawan satu, jelas saja Deaz tidak bisa menyeimbangi kedua lelaki berbadan besar itu. Tubuh Deaz berulangkali di hajar hingga punggungnya membentur tembok. Sementara Tsania hanya bisa menangis dan menjerit, memohon pada suaminya untuk melepaskan Deaz. "Endru! Kumohon jangan! Lepaskan Deaz! Kumohon suruh kedua anak buahmu untuk berhenti." Brak! "Endru!" Kepala Deaz pening. Kepalanya baru saja menghantam meja namun lelaki itu masih bisa berdiri dan langsung membalas pukulan dua orang lelaki yang baru saja merusak ketampannya itu. Deaz marah bukan main. "Deaz! Kumohon Berhenti! Pergilah dari