Naya bercermin. Mengenakan dress motif floral, Naya malam ini tampil begitu manis. Tidak lupa dia menyembunyikan testpack di balik saku dressnya jika nanti Naya membutuhkan benda tersebut sebagai senjatanya malam ini.
Meskipun dirinya ingin perjodohan ini berakhir, Naya tetap peduli pada penampilannya. Bagaimana pun juga, tampil cantik adalah hal yang wajib.
Tok tok tok.
"Non, tamunya sudah datang."
"Iya, bik." Setelah memoles liptint di bibir sebagai sentuhan terakhir. Naya segera bangun, berjalan menuju ke arah pintu. Naya menarik napas dan menganggukkan kepalanya sendiri. Menyemangati diri sendiri. Jujur saja, Naya sedikit gugup. Setelah merasa yakin, gadis itu kemudain baru mau melangkah pasti menuruni tiap anak tangga satu per satu. Bisa dia lihat sepasang orang dewasa sudah duduk disofa, berbincang dengan kakeknya layaknya keluarga. Namun, Naya sedikit bingung karena tidak menemukan lelaki muda yang akan di jodohkan dengannya.
"Ah, itu Naya!"
Tersadar dari pikirannya, Naya segera mendekat dan menyambut pelukan seorang wanita dewasa disana.
"Cantik ya? Tante lihat kamu dulu waktu masih kecil, Nay. Sekarang udah sebesar ini."
Naya tersenyum. Gadis itu kemudian duduk tepat di samping kakeknya. Naya hendak membuka mulut untuk bertanya, dimana lelaki yang akan di jodohkan dengannya, namun belum sempat Naya melakukan hal tersebut, rupanya wanita dewasa yang memperkenalkan diri sebagai Rosa itu langsung menjelaskannya.
"Maaf ya Nay. Kamu pasti bertanya-tanya, tentang keberadaan calon suami kamu. Immanuel sedikit terlambat. Dia terjebak macet katanya. Soalnya, putra tante ini sudah punya rumah sendiri. Jadi, tidak satu rumah dengan kami, orangtuanya."
Naya mengangguk. Oh, namanya Immanuel.
Tomi segera membuka kembali topik. Mencairkan suasana agar lebih nyaman. Naya tanpa sadar meremas jari tangan satu sama lain dibawah meja, mendadak dia jadi gugup. Dialog yang sebelumnya, telah dia hafalkan mendadak buyar. Bagaimana ini?
"Naya, kenapa?"
Naya mengangkat kepala, terkejut. Rosa menatapnya lekat, membuat Naya mendadak ingin menangis. Dan benar saja, air matanya luruh. Melihat itu, semua orang langsung terkejut, termasuk Tomi.
"Eh---eh ... Kok nangis?"
Kepalang tanggung, Naya lanjutkan saja momen itu untuk membatalkan perjodohan. Ya, begitu lebih baik.
"Tante ... Naya, mau minta maaf."
Sebagai seorang wanita, Rosa segera beranjak, duduk disebelah Naya dan membawa gadis itu kedalam pelukannya. Rosa sepertinya bisa memahami apa yang terjadi dengan calon menantunya itu.
"Naya kotor tante."
Rosa mengusap rambut gadis itu. Siap mendengarkan keluh kesah gadis itu.
"Naya hamil diluar nikah, hiks. Naya bukan gadis baik-baik, seperti yang tante dan om harapkan."
Rosa ikut sedih, Tomi bahkan turut merasakan sesak dihatinya. Meski tahu itu pasti merupakan bagian dari rencana Naya agar perjodohan ini dibatalkan. Hanya Pras, Satu-satunya orang yang tidak merasa sedih di ruangan itu.
Naya semakin menangis, sesenggukan. Hanya demi untuk membatalkan perjodohan ini, Naya sampai rela menjatuhkan harga dirinya seperti ini.
"Tante pasti malu kan? Punya calon menantu seperti Naya? Keluarga tante orang baik. Naya mau membatalkan perjodohan ini. Naya gak mau mencemari nama baik keluarga tante."
Naya mengusap ingusnya. Berharap Rosa akan mengangguk dan mengatakan ya. Memangnya, keluarga sinting mana yang mau menerima perempuan hamil diluar nikah menjadi menantu di keluarga mereka. Apalagi, Adam dikenal sebagai nama keluarga baik-baik, yang menjunjung tinggi norma dan etika.
"Atas nama anak tante. Tante mau minta maaf ya sayang."
Naya mengangguk.
"Tante gak tahu lagi harus ngomong apa sama kamu dan kakek kamu. Hanya kata maaf yang bisa tante sampaikan."
Naya mengangguk lagi. Senyumnya mulai terbit.
"Tante sekeluarga gak perlu minta maaf. Naya dan kakek dengan senang hati menerima keputusan ini."
Rosa segera mengecup kening gadis yang sudah ia anggap anaknya sendiri itu dengan sayang. Naya tersenyum lebar. Merasa lega. Air matanya surut begitu saja.
"Jadi, perjodohannya batalkan?"
Rosa mengusap air mata dipipinya, kemudian mengernyit, "Kok batal? Ya gak dong sayang. Mana mungkin batal kalau seminggu lagi kalian akan menikah."
Senyum lebar Naya menghilang. Berganti menjadi kernyitan di kening.
"Tapi, tadi bukannya ...."
"Maaf, saya datang terlambat."
Suara familiar itu, membuat semua orang menoleh kearah pintu--- termasuk Abinaya.
"Deaz?!" Pekik Naya terkejut.
Sangat berbanding terbalik dengan ekspresi wajah Deaz yang kelewat bahagia begitu menemukan Naya di sana.
"Halo, sayang," sapa lelaki itu riang.
Naya melongo. Otaknya blank.
Sementara Rosalinda, yang melihat kehadiran putranya itu langsung berdiri menghampiri Deaz.
"Ma ... Aw! Aw! Aw! Ma, kenapa tiba-tiba ...."
"Kamu bohong kan sama, Mama!" Tak tanggung-tanggung, satu tangan Rosalinda sudah menjambak rambut Deaz yang tadinya sudah tertata rapi. Memang selalu begitu. Alih-alih menarik telinga, Rosa memang lebih suka menjambak rambut jika sedang emosi. Katanya, lebih memuaskan.
"Kamu bilang, kalian berdua melakukannya karena sama-sama suka? Tapi apa, kenyataannya? Kamu menghamili Naya secara paksa, 'kan?!"
Deaz terbelalak. Dituduh seperti itu oleh mamanya sendiri, tentu saja Deaz tidak terima. Sementara Naya, tampak bingung ditempatnya berdiri. Bolak-balik ia tatap, Deaz dan Rosalinda.
"Ayo jawab! Kamu sengaja perkosa Naya kan?! Kamu bohong sama Mama dan Papa?"
"Mana ada! Deaz kan anak mama. Mana mungkin Deaz berani bohong sama mama."
"Halah bulshit! Mama gak percaya sama omongan buaya."
"Buaya lagi segala dibawa-bawa."
"T-tunggu, tante. Naya ... Naya mau minta penjelasan." Naya menginterupsi, meminta perhatian. Rosa menoleh kearah gadis yang sedang mengandung calon cucunya itu seraya tersenyum.
"Sebentar Naya sayang. Tante harus menghukum anak tante ini dulu. Ini juga demi kamu." Setelah bicara pada Naya, Rosa kembali menjambak rambut Deaz dan melotot tajam kearah putranya itu."Ngaku gak kamu?"
"Ma, sakit nih?" Rengek Deaz. Kepalanya benar-benar pedih karena jambakan Rosalinda.
"Lebih sakit mana sama harga diri Naya yang kamu nodai."
"Mama dengerin penjelasan, Deaz dulu dong."
"Gak. Omongan kamu itu gak bisa dipercaya."
"Naya yang godain Deaz loh."
"Gak mungkin. Orang Naya polos gitu."
Deaz tertawa. Sarkas.
Sementara Tomi hanya duduk pasrah menonton kejadian itu. Dia sudah terlalu tua untuk menengahi mereka. Bahkan Prasetya, calon ayah mertua Naya hanya duduk diam tidak berniat menenangkan istrinya yang sedang marah-marah.Hanya Naya yang plonga-plongo bingung berdiri diantara Deaz dan mamanya.
'Immanuel, yang katanya nama dari calon suaminya, kenapa berubah jadi Deaz!' Pikir Naya bingung.
Naya mengacak rambutnya frustasi. Sementara perdebatan sengit antara anak dan mama itu terus terjadi.
"Tau ah! Naya pusing!"
Deaz menoleh kearah Naya yang baru saja berteriak.
"Kamu pusing? Perut kamu mules?" tanyanya khawatir. Rosa langsung memukul lengan atas lelaki itu.
"Hih! Kamu pikir Naya mau melahirkan apa?! Belum umur!"
"Ya kalik, Maa."
"Deaz, tolong, tolong ... sebut nama kamu." Suara Naya berubah jadi lirih. Namun Tomi dan Pras masih dapat mendengar suara yang penuh dengan nada putus asa itu. Rosalinda dan Deaz menoleh menatap Naya dengan kening berkerut bingung.
"Ha?"
"Bukan 'ha', nama kamu."
"Namaku?"
"Ya."
"Deaz."
"Bukan itu!" Naya menghentakkan kedua kakinya kesal.
"Iya namaku Deaz, sayang."
"Nama panjang!"
"Deeeeeaaaaaaaaaz."
"Nama panjang kamu!"
"Immanuel Randeaz Adam."
Detik itu juga, Naya jatuh pingsan.
Naya menangis. Terus menangis. Tidak mau berhenti. Sementara diluar ruang rawat, Rosa tampak menggigiti kuku jari tangannya sendiri, melihat Naya yang menangis tersedu diatas brankar rumah sakit. Tomi juga sama khawatirnya. Tidak pernah dia melihat cucu kesayangannya itu terus mengalirkan air mata seperti itu. Hatinya tercubit. Merasa ngilu. Sementara Deaz tampak mondar-mandir dengan bingung. Menggaruk rambutnya sendiri, kemudian melangkah kearah sang ibu. "Ma ..." "Diam kamu." Deaz tidak jadi bicara. Rosalinda, tampaknya masih sangat marah kepadanya. Percuma. Saat ini, dialah yang dituduh sebagai tersangka. Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan seorang dokter dan perawat yang baru saja keluar dalam ruang rawat itu, membuat Deaz bersama ketiga orang lainnya segera mendekat. "Dokter? Gimana ..," "Cucu saya. Cucu saya kenapa ....
Naya mengerjap bangun. Tubuhnya terasa lelah. Menoleh kesamping, Deaz tidak ada di sebelahnya. Beranjak bangun, Naya segera membersihkan diri lalu keluar kamar dengan celana pendek dan kemeja kebesaran milik Deaz. Gadis itu belum membawa baju ketika diboyong kemari. Rumah yang katanya milik Deaz pribadi ini, tidak terlalu besar namun rapi. Naya sepertinya akan merasa betah tinggal di rumah suaminya itu. Namun rasa lapar di perutnya, membuat Naya melangkah mencari dapur. Aroma lezat masakan tercium, dan disanalah Naya menemukan Rosalinda, ibu mertuanya tengah memasak. Naya jadi malu sendiri, menyadari jika dia bangun kesiangan sementara ibu mertuanya malah memasak untuknya. "Mama?" "Sayang? Kamu udah bangun?" Naya segera menyalami punggung tangan kanan Rosa, dan melihat apa yang sedang ibu mertuanya itu olah. "Maaf, Naya kesiangan." Rosa tersenyum ma
Naya cemberut, menunggu Deaz di dalam mobil. Sambil melipat kedua tangannya, gadis itu baru mau menoleh ketika terdengar pintu mobil yang di buka, lalu di tutup kembali ketika Deaz sudah masuk dan menempati kursi di balik kemudi. Melihat wajah memberenggut gadis itu, Deaz sontak menyentil halus bibir Naya sambil tersenyum tengil. Naya memandang kesal Deaz yang kemudian memasang sabuk pelindungnya sebelum mobil ia jalankan. Deaz menatap fokus ke depan, namun tetap melirik ke arah Naya sesekali. "Kenapa tadi lama banget? Ngomongin apa kamu sama kakek?" "Kakek cuma bilang, dia nitipin kamu ke aku buat aku jagain. Gak boleh disakitin." "Kenapa lama?" "Ada sedikit petuah tentang laki-laki." "Maksudnya?" Deaz menyeringai, "tentang bagaimana seharusnya lelaki melakukan sex yang baik dan benar terhadap perempuan hamil." kata Deaz, sambil mengedipkan satu matanya ke arah Naya. Melihat itu, sontak saja Naya langsung m
Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai. "Nyonya sudah bangun?" "Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun. "Panggil saja Naya, atau Non." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam." Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini. "Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."
"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon." Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi. "Bukan honeymoon tauk." Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?" "Baby Moon." Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak. "Dasar bocah." Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh le
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. "Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan. Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru m
1 MINGGU KEMUDIAN. "Makasih ya pak." Usai mengantarkan supir taksi yang menurunkan barang-barang bawaannya keluar rumah, Naya kembali masuk kedalam ruang tengah dan mengamati oleh-oleh miliknya sembari berkacak pinggang. Satu minggu liburan yang cukup melelahkan. Naya mendudukkan diri di sofa, mengamati seisi rumah yang tidak berubah. Setelah menghabiskan waktu untuk diam beberapa menit, Naya kemudian memutuskan untuk membongkar semua oleh-oleh yang ia bawa. Naya baru menoleh ketika mendengar suara derit pintu yang dibuka dari arah luar. "Hai?" Deaz masih diam diambang pintu. Mengamati Naya dan ruang tengah rumahnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa kardus dan paper bag merk brand ternama. Naya segera berdiri dan menghampiri Deaz yang belum juga masuk kedalam rumahnya sendiri. "Kangen gak
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cukup terkeju
Mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, Deaz tampak mengetuk-etukan jemari tangan kanannya di atas lutut kaki kanan, duduk cemas tepat di tengah-tengah pengadilan agama, menunggu Abinaya yang belum datang di persidangan kali ini. Pikiran Deaz sangat kacau kini. Keringat bahkan muncul di kedua telapak tangannya yang dingin. Kedua orangtuanya sudah mengambil tempat duduk sedari tadi, namun keberadaan Tomi Sutedja juga belum terlihat disana. Deaz menarik napas, menghembuskannya dengan berat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh dirinya kalau akan mengalami saat-saat yang seperti ini. Duduk di hadapan para hakim dan para saksi untuk proses perceraiannya dengan sang istri. Deaz takut. Dia tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perpisahan. Tapi, mereka sudah sejauh ini. Deaz sudah sangat terlambat untuk memperjuangkan pernikahan mereka yang bahkan belum satu tahun terjalin. "Maaf, saya sedikit terlambat." Deaz menoleh ke arah
Deaz mengendari mobilnya teramat pelan. Tidak ada hasrat untuk pulang, namun Deaz juga tidak mungkin terus terpuruk dengan keadaan. Lelaki itu masih sibuk bekerja lalu pulang seperti biasanya, meski bayang-bayang Naya terus menghantuinya bagai kaset rusak. Deaz tetap harus hidup. Deaz masih ingin hidup untuk kembali bersama Naya dan calon anak mereka. Kerumunan tepat di depan sana, menghentikan laju Deaz secara tiba-tiba. Deaz mengerutkan keningnya, mengamati keadaan di depan sana yang terlihat begitu tegang. Bahkan ada pula mobil polisi yang terparkir di sana. Merasa penasaran, Deaz pun memutuskan untuk turun dan berjalan mendekat. Deaz terkejut saat menyadari rumah itu adalah rumah yang sama, saat Deaz menolong Tsania dan bayinya yang dikurung Endru di dalam kamar rumah itu, satu minggu yang lalu. "Maaf, kalau boleh tahu, apa yang sedang terjadi di sini?" Seorang ibu-ibu berhijab yang Deaz tanyai pun menjawab. "Ada korban kasus pem
Deaz meletakkan kepalanya di kemudi mobil, memejamkan mata namun tidak tidur. Sudah satu minggu hidup lelaki itu kacau, sangat. Naya pergi dan Tsania terus menyalahkan dirinya atas kematian putrinya. Begitu mendengar suara gerbang yang di geser terbuka, Deaz mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah kusut kurang tidur lelaki itu. Inilah yang Deaz tunggu-tunggu, Mobil Tomi Sutedja keluar dari gerbang besar itu. Buru-buru Deaz pun menyalakan mesin mobil miliknya dan melaju perlahan mengikuti mobil tersebut. Kegiatan seperti inilah yang Deaz lakukan selama satu minggu ini. Mengikuti mobil Tomi Sutedja diam-diam dan berakhir kecewa saat mobil itu lagi-lagi berhenti di perusahaan Sutedja Company. Deaz memukul stir, mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar persis orang gila sekarang. Deaz bahkan lupa mandi, dan makan jika memang perutnya sudah terasa perih. Deaz sudah tidak lagi menangis, air mata buayanya mungkin sudah habis. Toh, d
1 MINGGU KEMUDIAN. Paris, Perancis. Naya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bel rumah yang terdengar. Perempuan itu kemudian keluar dari kamarnya, melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Hai, apa aku mengganggu?" "Lumayan, aku baru saja bangun." "Oh. Maaf kalau begitu," kata Shawn, sambil menggaruk belakang lehernya. Naya tertawa renyah melihat tingkah lelaki itu. "Bercanda." Shawn mengangguk, kemudian mengulurkan sesuatu yang dia bawa untuk Naya. "Untukmu." "Wah. Aku merepotkan lagi." "Tidak masalah. Aku senang di repotkan." "Mau masuk?" Tawar Naya. "Ah itu, sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Bagaimana?" Naya terdiam, tampak menimang.
Air mata Naya terus mengalir turun. Gadis itu berulangkali mengusapnya namun tidak mau berhenti juga. Sopir taksi sampai heran melihat wanita hamil yang duduk di belakang itu. Naya menatap keluar jendela, membiarkan angin menyapa wajahnya yang memerah karena terus menangis. Cukup lama perjalanan dari bengkel ke rumah Tomi Sutedja, akhirnya taksi pun berhenti tepat di depan gerbang besar rumah mewah itu. Naya segera turun tanpa membayar uang taksi terlebih dahulu, seorang satpam yang membukakan gerbang yang akan membayar tagihan untuk cucu kesayangan Tomi Sutedja. Naya kemudian melangkah masuk kedalam rumah karena pintunya memang tidak di tutup. Naya melangkah cepat ke arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan dari sana sambil menahan perut besarnya dengan tangan kanan. Dan begitu melihat Tomi Sutedja yang duduk di sofa panjang ruang tamu, Naya langsung be
"Hai." Naya mengangguk singkat membalas sapaan itu. Gadis itu segera duduk di kursi restoran yang berseberangan dengan tempat duduk Endru. "Maaf, karena telah mengganggu waktumu dengan memintamu datang kemari." "Ada apa?" Tanya Naya to the point. Endru kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, membuat Naya mengernyitkan kening melihat itu. Endru kemudian menjelaskan.. "Itu riwayat kesehatan milik saya. Saya penderita ...." "Borderline personality disorder. Ya, aku sudah tahu." Endru menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. "Dari Tsania?" Naya mengangguk. "Ya. Endru menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Naya menatap dalam diam lelaki di hadapannya itu. "Saya tidak akan menceraikan Tsania." "Saya sangat m
"Kenapa lama?" Naya kembali duduk di kursinya usai dari kamar mandi. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Deaz. "Maaf. Tadi BAB." "Tapi kamu gak papa kan?" Deaz bertanya dengan mimik wajah khawatir. "Enggak kok." "Serius, Nay?" "Iya, aku serius." Deaz mengangguk, meski masih menatap ke arah Naya dengan seksama. Dihadapannya, Naya mulai kembali menikmati makanannya yang tadi sempat tertunda, namun entah kenapa Deaz merasa Naya menyembunyikan sesuatu darinya. Sementara Naya diam-diam kembali memikirkan pertemuannya dengan lelaki asing di depan toilet tadi. "Apakah, kita saling mengenal?" "Saya suami Tsania." Naya terbelalak mendengar informasi tersebut. Langkah kedua kakinya terayun mundur. Senyum ramah yang Endru pasang sedari tadi pun p
Perlahan, kedua kaki Naya bergerak mundur, tidak jadi masuk kedalam. Dadanya sesak. Naya tidak sanggup membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kedua matanya terasa sangat panas, meski di lubuk hati kecilnya, Naya masih menaruh kepercayaan pada Deaz. Deaz tidak mungkin selingkuh. Deaz tidak mungkin berkhianat. Deaz tidak mungkin... "Akh!" Naya memekik, hampir saja tubuhnya akan terjatuh ketika gadis itu ingin berlari pergi dari sana, jika saja kedua tangan kokoh seseorang tidak dengan sigap menahannya. "Sayang?" Naya mengangkat pandangannya dan terkejut. "De-deaz?" "Kamu, ngapain disini?" "Itu ... kamu, kenapa kamu ...." "Bang! Tsania mau lahiran ini!" Teriakan itu, langsung mengalihkan perhatian Deaz dan Naya secara bersamaan. &nbs
"Setelah melarikan diri, ternyata di sini kamu malah selingkuh." "Bajingan!" Teriak Deaz kesal ketika melihat Tsania ditampar. Namun satu tonjokan langsung melayang di rahang Deaz ketika lelaki itu hendak bergerak maju. Dua lawan satu, jelas saja Deaz tidak bisa menyeimbangi kedua lelaki berbadan besar itu. Tubuh Deaz berulangkali di hajar hingga punggungnya membentur tembok. Sementara Tsania hanya bisa menangis dan menjerit, memohon pada suaminya untuk melepaskan Deaz. "Endru! Kumohon jangan! Lepaskan Deaz! Kumohon suruh kedua anak buahmu untuk berhenti." Brak! "Endru!" Kepala Deaz pening. Kepalanya baru saja menghantam meja namun lelaki itu masih bisa berdiri dan langsung membalas pukulan dua orang lelaki yang baru saja merusak ketampannya itu. Deaz marah bukan main. "Deaz! Kumohon Berhenti! Pergilah dari