Naya mengerjap bangun. Tubuhnya terasa lelah. Menoleh kesamping, Deaz tidak ada di sebelahnya. Beranjak bangun, Naya segera membersihkan diri lalu keluar kamar dengan celana pendek dan kemeja kebesaran milik Deaz.
Gadis itu belum membawa baju ketika diboyong kemari. Rumah yang katanya milik Deaz pribadi ini, tidak terlalu besar namun rapi. Naya sepertinya akan merasa betah tinggal di rumah suaminya itu.
Namun rasa lapar di perutnya, membuat Naya melangkah mencari dapur. Aroma lezat masakan tercium, dan disanalah Naya menemukan Rosalinda, ibu mertuanya tengah memasak. Naya jadi malu sendiri, menyadari jika dia bangun kesiangan sementara ibu mertuanya malah memasak untuknya.
"Mama?"
"Sayang? Kamu udah bangun?"
Naya segera menyalami punggung tangan kanan Rosa, dan melihat apa yang sedang ibu mertuanya itu olah.
"Maaf, Naya kesiangan."
Rosa tersenyum manis.
"Gak papa. Mama juga baru aja nyampe kok. Mama maklum sama pengantin baru."Rosa menyentuh perut Naya yang datar.
"Perut kamu aman kan? Semalam kalian mainnya pelan kan?"Naya mengangguk malu membalas pertanyaan itu. Melihat olahan diatas wajan sudah matang, Naya segera mengambil piring dan membantu Rosa menyiapkan makanan diatas meja.
"Mama gak bisa dateng kesini setiap hari. Tapi, mama udah ngomong sama Deaz dan dia setuju waktu mama bilang buat mempekerjakan pembantu. Kamu gak keberatan kan sayang?"
Naya tentu saja segera mengangguk.
"Naya soalnya gak bisa masak. Jadi, pasti langsung setuju.""Yaudah. Kamu sarapan dulu. Pasti laper kan?"
"Banget." Naya segera duduk di meja makan untuk menyantap sarapannya. Rosa juga sama, mengambil sedikit untuk menemani Naya sarapan.
"Kamu itu lagi hamil. Harus makan yang sehat-sehat. Gak boleh telat."
Naya mengangguk-angguk.
"Kalau Deaz, sedari kecil gak biasa sarapan pagi. Biasanya cuma minum segelas susu."Naya mengangkat wajahnya menatap Rosa.
Hm. Naya sampai lupa tidak menanyakan keberadaan suaminya sendiri saking lahapnya makan.
"Mama lihat--ekhem ... Mas Deaz?"
Rosa tersenyum, tahu benar Naya masih belum terbiasa memanggil Deaz dengan embel-embel mas. Tapi tidak papa, setidaknya, menantunya itu telah berusaha.
"Deaz ada diruang olahraga."
***
"Kamu ngapain?"
Naya memposisikan dirinya duduk diatas punggung Deaz yang sedang melakukan push up. Melihat kehadiran Naya, Deaz segera berhenti.
"Kamu punya mata untuk bisa melihatku sedang berolahraga."
Plak!
Naya memukul kesal punggung Deaz karena kesal. Nih laki, gak tahu basa-basi apa ya?
"Hubungan kita masih baru loh, Nay. Masa udah kdrt aja."
Naya menjebikkan bibirnya maju satu senti.
"Aku bosan." Naya membiarkan telapak tangannya bermain pada punggung telanjang Deaz yang sudah basah oleh keringat. Lalu dengan gerak cepat, Deaz memutar tubuhnya, hingga Naya sekarang menduduki perut lelaki itu yang terbentuk sempurna.
Naya masih cukup takjub dengan otot tubuh suaminya itu.
"Kamu bosan?" tanya Deaz, sambil melipat kedua tangannya dibawah kepala, menjadikan kedua lengan sebagai bantal.
Naya menganggukan kepala menjawab pertanyaan tersebut.
"Mama barusan masakin aku. Masakannya enak. Tapi aku malu. Masa, aku dimasakin sih, di hari pertama jadi menantu."
Deaz terkekeh lucu, lalu memposisikan Naya duduk di pahanya, awalnya Naya bingung, apalagi ketika lelaki itu tidak melepaskan tangannya di belakang kepala. Namun Naya tidak banyak berkomentar, sampai Deaz menaikkan tubuh atasnya--- melakukan gerakan sit up, mencium bibir Naya kemudian kembali menjatuhkan tubuhnya. Selalu seperti itu untuk beberapa saat.
"Itu tandanya. Mamaku sayang kamu."
Naya mengulum senyum malu-malu.
"Masih bosan?" tanya Deaz disela kegiatannya itu. Naya tidak menjawab. Ia hanya menikmati ciuman-ciuman yang diberikan Deaz padanya.
Kegiatan berlanjut, dengan Naya yang berbaring telentang diatas lantai. Sementara Deaz melakukan gerakan push up lagi, seraya mencium bibir Naya. Tidak peduli pada keringat yang menetes dari tubuh suaminya itu, Naya sungguh merasa terhibur dan bahagia.
Sungguh. Ternyata, menikah tidak seburuk yang Naya bayangkan dulu. Tahu begitu, Naya menikah saja dari dulu, pikir gadis itu geli sendiri.
"Kamu gak capek apa?" Naya mengalungkan kedua lengannya dileher Deaz, menghentikan gerakan lelaki itu.
"Mau mandi bareng?" tawar Deaz dengan seringai nakalnya seperti biasa
Naya tentu saja segera mengangguk. Membiarkan Deaz mengangkat tubuhnya dengan mudah dan keduanya masuk kedalam kamar mandi.
***
"Naya pulang!"
Suara toa itu, mengejutkan Tomi yang sedang menyeruput kopi. Menyadari kehadiran cucu perempuan satu-satunya itu, Tomi cepat-cepat meletakkan kopinya kembali ke atas meja dan hendak menutupinya dengan koran. Namun terlambat. Naya sudah melihatnya terlebih dahulu.
"Kakek minum kopi?"
Tomi gelagapan sendiri. Sementara Deaz baru saja menyusul masuk, tepat di belakang Naya dan segera menyalami Tomi setelah Naya. Deaz segera mengambil duduk di sebelah Tomi Sutedja.
"Kok gak ngabarin kalau mau kesini?" Tomi berusaha mengalihkan topik. Namun tampaknya, Naya masih kesal diposisi yang sama tampak bersedekap dada menatap kakeknya yang mulai meringis merasa bersalah.
Deaz mengamati ekspresi kedua orang itu dengan kening berkerut bingung.
"Kakek mulai bandel ya?""Itu cuma kopi susu ...."
"Tetep aja kopi. Ada kafeinnya. Kakek gak boleh minum jenis kopi apapun kata dokter," tegas Naya kesal bukan main. Sudah berkali-kali diperingatkan, namun kakeknya itu sangat keras kepala.
Naya takut. Di umur sang kakek yang sudah lansia, Naya akan segera kehilangan kakeknya. Satu-satunya keluarga yang Naya punya. Sungguh, Tomi Sutedja, lebih dari sekedar kakek bagi Naya. Tomi adalah hidup Naya. Sosok Ayah, ibu, kakak, teman, bahkan musuh sekalipun. Naya belum siap kehilangan lelaki tua itu.
Tanpa sadar air mata Naya menetes. Buru-buru, Naya menghapusnya dengan jari tangan. Tomi merasa kian bersalah, sementara Deaz sedikit panik, hendak berdiri namun Naya sudah berbalik dan melangkah pergi meninggalkan ruang tengah. Naya melangkah kearah dapur.
"Bibi!" Suara teriakan Naya menggema di dalam rumah.
"Iya, Non?!"
"Buang semua kopi dirumah!"
Tomi meringis. Lalu terdengar suara bantingan keras dari arah dapur. Mungkin tong sampah. Deaz ikut meringis mendengar suara itu.
Naya keluar dari arah dapur, melengos melewati ruang tengah dan bergegas menaiki anak tangga menuju ke arah kamarnya. Namun, langkah Naya berhenti di tengah, menoleh kearah sang Kakek dan mengacungkan telunjuknya dari atas tangga.
Tomi sedikit terkejut melihat tampang galak Naya yang tertuju kearahnya.
"Awas aja ya! Kalau sampai besok masih ada kopi dirumah ini, kakek Naya pecat jadi kakek Naya!" Setelahnya, Naya kembali melangkah naik, membanting pintu kamar.
Tomi mengusap dadanya sendiri, hendak mengambil cangkir kopi diatas meja kembali, namun ditahan oleh Deaz.
"Kek ...," Deaz memelas, menggelengkan kepala. Berharap Tomi menuruti kata-kata Naya barusan. Masalahnya, mood Naya sedang buruk, Deaz tidak mau itu akan berimbas pada hubungan pernikahan mereka yang baru sehari semalam.
"Jangan."
"Ini terakhir kalinya kakek minum kopi deh, janji."
Deaz segera menyingkirkan kopinya menjauh dari jangkauan Tomi.
"Demi Naya, cucu kesayangan kakek."Tomi menghela napas pasrah, menyerah.
Suara dari anak tangga mengalihkan kedua orang itu, keduanya melotot begitu melihat Naya yang kesusahan mengangkat satu koper besar menuruni satu-persatu anak tangga dari kamarnya."Stop Nay! Kamu bisa jatuh!" Deaz segera berdiri dan menyusul gadis itu. Mengambil alih koper Naya dan melotot galak kearah gadis itu.
"Kamu lupa, kamu lagi hamil."
"Itu gak berat kok, badan aku aja yang kecil."
"Ck. Kenapa gak panggil aku sih. Gunanya aku disini, selain anterin kamu, aku juga mau jagain kamu. Nanti kalau ada apa-apa sama kamu gimana?"
Naya melengkungkan bibirnya sedih, lalu berjalan menuruni anak tangga satu persatu lebih dulu. Deaz segera menyusul sambil mengangkat koper itu.
"Nay, udah mau pulang?"
Naya melirik kearah Tomi, kemudian melengos.
"Naya cuma mau ambil baju," kemudian Naya, pergi begitu saja tanpa berpamitan.
Deaz menghela napas melihat itu.
"Jangan diambil hati kek, nanti biar Deaz yang ngomong sama Naya."Deaz menyalami Tomi untuk pamit pulang. Namun Tomi segera menahan lelaki itu.
"Ada yang mau kakek omongin dulu sama kamu."Deaz mengangguk.
Naya cemberut, menunggu Deaz di dalam mobil. Sambil melipat kedua tangannya, gadis itu baru mau menoleh ketika terdengar pintu mobil yang di buka, lalu di tutup kembali ketika Deaz sudah masuk dan menempati kursi di balik kemudi. Melihat wajah memberenggut gadis itu, Deaz sontak menyentil halus bibir Naya sambil tersenyum tengil. Naya memandang kesal Deaz yang kemudian memasang sabuk pelindungnya sebelum mobil ia jalankan. Deaz menatap fokus ke depan, namun tetap melirik ke arah Naya sesekali. "Kenapa tadi lama banget? Ngomongin apa kamu sama kakek?" "Kakek cuma bilang, dia nitipin kamu ke aku buat aku jagain. Gak boleh disakitin." "Kenapa lama?" "Ada sedikit petuah tentang laki-laki." "Maksudnya?" Deaz menyeringai, "tentang bagaimana seharusnya lelaki melakukan sex yang baik dan benar terhadap perempuan hamil." kata Deaz, sambil mengedipkan satu matanya ke arah Naya. Melihat itu, sontak saja Naya langsung m
Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai. "Nyonya sudah bangun?" "Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun. "Panggil saja Naya, atau Non." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam." Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini. "Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."
"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon." Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi. "Bukan honeymoon tauk." Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?" "Baby Moon." Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak. "Dasar bocah." Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh le
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. "Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan. Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru m
1 MINGGU KEMUDIAN. "Makasih ya pak." Usai mengantarkan supir taksi yang menurunkan barang-barang bawaannya keluar rumah, Naya kembali masuk kedalam ruang tengah dan mengamati oleh-oleh miliknya sembari berkacak pinggang. Satu minggu liburan yang cukup melelahkan. Naya mendudukkan diri di sofa, mengamati seisi rumah yang tidak berubah. Setelah menghabiskan waktu untuk diam beberapa menit, Naya kemudian memutuskan untuk membongkar semua oleh-oleh yang ia bawa. Naya baru menoleh ketika mendengar suara derit pintu yang dibuka dari arah luar. "Hai?" Deaz masih diam diambang pintu. Mengamati Naya dan ruang tengah rumahnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa kardus dan paper bag merk brand ternama. Naya segera berdiri dan menghampiri Deaz yang belum juga masuk kedalam rumahnya sendiri. "Kangen gak
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cukup terkeju
"Mama?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brankar. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam tangan Deaz dengan tangan kanan dan menyentuh dahi suaminya yang berkeringat itu dengan tangan kirinya. Deaz menggumam pelan dan memeluk tangan Naya dalam tidurnya. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khawatir. Kedua mata Naya bahkan sudah tampak berkaca-kaca. "Maaf. Naya gak tahu kalau Deaz sakit." Rosa mengangguk, memaklumi. "Mama tahu kalian sedang ada masalah. Tapi, jangan terlalu berlar
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cu
Mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, Deaz tampak mengetuk-etukan jemari tangan kanannya di atas lutut kaki kanan, duduk cemas tepat di tengah-tengah pengadilan agama, menunggu Abinaya yang belum datang di persidangan kali ini. Pikiran Deaz sangat kacau kini. Keringat bahkan muncul di kedua telapak tangannya yang dingin. Kedua orangtuanya sudah mengambil tempat duduk sedari tadi, namun keberadaan Tomi Sutedja juga belum terlihat disana. Deaz menarik napas, menghembuskannya dengan berat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh dirinya kalau akan mengalami saat-saat yang seperti ini. Duduk di hadapan para hakim dan para saksi untuk proses perceraiannya dengan sang istri. Deaz takut. Dia tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perpisahan. Tapi, mereka sudah sejauh ini. Deaz sudah sangat terlambat untuk memperjuangkan pernikahan mereka yang bahkan belum satu tahun terjalin. "Maaf, saya sedikit terlambat." Deaz menoleh ke arah
Deaz mengendari mobilnya teramat pelan. Tidak ada hasrat untuk pulang, namun Deaz juga tidak mungkin terus terpuruk dengan keadaan. Lelaki itu masih sibuk bekerja lalu pulang seperti biasanya, meski bayang-bayang Naya terus menghantuinya bagai kaset rusak. Deaz tetap harus hidup. Deaz masih ingin hidup untuk kembali bersama Naya dan calon anak mereka. Kerumunan tepat di depan sana, menghentikan laju Deaz secara tiba-tiba. Deaz mengerutkan keningnya, mengamati keadaan di depan sana yang terlihat begitu tegang. Bahkan ada pula mobil polisi yang terparkir di sana. Merasa penasaran, Deaz pun memutuskan untuk turun dan berjalan mendekat. Deaz terkejut saat menyadari rumah itu adalah rumah yang sama, saat Deaz menolong Tsania dan bayinya yang dikurung Endru di dalam kamar rumah itu, satu minggu yang lalu. "Maaf, kalau boleh tahu, apa yang sedang terjadi di sini?" Seorang ibu-ibu berhijab yang Deaz tanyai pun menjawab. "Ada korban kasus pem
Deaz meletakkan kepalanya di kemudi mobil, memejamkan mata namun tidak tidur. Sudah satu minggu hidup lelaki itu kacau, sangat. Naya pergi dan Tsania terus menyalahkan dirinya atas kematian putrinya. Begitu mendengar suara gerbang yang di geser terbuka, Deaz mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah kusut kurang tidur lelaki itu. Inilah yang Deaz tunggu-tunggu, Mobil Tomi Sutedja keluar dari gerbang besar itu. Buru-buru Deaz pun menyalakan mesin mobil miliknya dan melaju perlahan mengikuti mobil tersebut. Kegiatan seperti inilah yang Deaz lakukan selama satu minggu ini. Mengikuti mobil Tomi Sutedja diam-diam dan berakhir kecewa saat mobil itu lagi-lagi berhenti di perusahaan Sutedja Company. Deaz memukul stir, mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar persis orang gila sekarang. Deaz bahkan lupa mandi, dan makan jika memang perutnya sudah terasa perih. Deaz sudah tidak lagi menangis, air mata buayanya mungkin sudah habis. Toh, d
1 MINGGU KEMUDIAN. Paris, Perancis. Naya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bel rumah yang terdengar. Perempuan itu kemudian keluar dari kamarnya, melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Hai, apa aku mengganggu?" "Lumayan, aku baru saja bangun." "Oh. Maaf kalau begitu," kata Shawn, sambil menggaruk belakang lehernya. Naya tertawa renyah melihat tingkah lelaki itu. "Bercanda." Shawn mengangguk, kemudian mengulurkan sesuatu yang dia bawa untuk Naya. "Untukmu." "Wah. Aku merepotkan lagi." "Tidak masalah. Aku senang di repotkan." "Mau masuk?" Tawar Naya. "Ah itu, sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Bagaimana?" Naya terdiam, tampak menimang.
Air mata Naya terus mengalir turun. Gadis itu berulangkali mengusapnya namun tidak mau berhenti juga. Sopir taksi sampai heran melihat wanita hamil yang duduk di belakang itu. Naya menatap keluar jendela, membiarkan angin menyapa wajahnya yang memerah karena terus menangis. Cukup lama perjalanan dari bengkel ke rumah Tomi Sutedja, akhirnya taksi pun berhenti tepat di depan gerbang besar rumah mewah itu. Naya segera turun tanpa membayar uang taksi terlebih dahulu, seorang satpam yang membukakan gerbang yang akan membayar tagihan untuk cucu kesayangan Tomi Sutedja. Naya kemudian melangkah masuk kedalam rumah karena pintunya memang tidak di tutup. Naya melangkah cepat ke arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan dari sana sambil menahan perut besarnya dengan tangan kanan. Dan begitu melihat Tomi Sutedja yang duduk di sofa panjang ruang tamu, Naya langsung be
"Hai." Naya mengangguk singkat membalas sapaan itu. Gadis itu segera duduk di kursi restoran yang berseberangan dengan tempat duduk Endru. "Maaf, karena telah mengganggu waktumu dengan memintamu datang kemari." "Ada apa?" Tanya Naya to the point. Endru kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, membuat Naya mengernyitkan kening melihat itu. Endru kemudian menjelaskan.. "Itu riwayat kesehatan milik saya. Saya penderita ...." "Borderline personality disorder. Ya, aku sudah tahu." Endru menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. "Dari Tsania?" Naya mengangguk. "Ya. Endru menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Naya menatap dalam diam lelaki di hadapannya itu. "Saya tidak akan menceraikan Tsania." "Saya sangat m
"Kenapa lama?" Naya kembali duduk di kursinya usai dari kamar mandi. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Deaz. "Maaf. Tadi BAB." "Tapi kamu gak papa kan?" Deaz bertanya dengan mimik wajah khawatir. "Enggak kok." "Serius, Nay?" "Iya, aku serius." Deaz mengangguk, meski masih menatap ke arah Naya dengan seksama. Dihadapannya, Naya mulai kembali menikmati makanannya yang tadi sempat tertunda, namun entah kenapa Deaz merasa Naya menyembunyikan sesuatu darinya. Sementara Naya diam-diam kembali memikirkan pertemuannya dengan lelaki asing di depan toilet tadi. "Apakah, kita saling mengenal?" "Saya suami Tsania." Naya terbelalak mendengar informasi tersebut. Langkah kedua kakinya terayun mundur. Senyum ramah yang Endru pasang sedari tadi pun p
Perlahan, kedua kaki Naya bergerak mundur, tidak jadi masuk kedalam. Dadanya sesak. Naya tidak sanggup membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kedua matanya terasa sangat panas, meski di lubuk hati kecilnya, Naya masih menaruh kepercayaan pada Deaz. Deaz tidak mungkin selingkuh. Deaz tidak mungkin berkhianat. Deaz tidak mungkin... "Akh!" Naya memekik, hampir saja tubuhnya akan terjatuh ketika gadis itu ingin berlari pergi dari sana, jika saja kedua tangan kokoh seseorang tidak dengan sigap menahannya. "Sayang?" Naya mengangkat pandangannya dan terkejut. "De-deaz?" "Kamu, ngapain disini?" "Itu ... kamu, kenapa kamu ...." "Bang! Tsania mau lahiran ini!" Teriakan itu, langsung mengalihkan perhatian Deaz dan Naya secara bersamaan. &nbs
"Setelah melarikan diri, ternyata di sini kamu malah selingkuh." "Bajingan!" Teriak Deaz kesal ketika melihat Tsania ditampar. Namun satu tonjokan langsung melayang di rahang Deaz ketika lelaki itu hendak bergerak maju. Dua lawan satu, jelas saja Deaz tidak bisa menyeimbangi kedua lelaki berbadan besar itu. Tubuh Deaz berulangkali di hajar hingga punggungnya membentur tembok. Sementara Tsania hanya bisa menangis dan menjerit, memohon pada suaminya untuk melepaskan Deaz. "Endru! Kumohon jangan! Lepaskan Deaz! Kumohon suruh kedua anak buahmu untuk berhenti." Brak! "Endru!" Kepala Deaz pening. Kepalanya baru saja menghantam meja namun lelaki itu masih bisa berdiri dan langsung membalas pukulan dua orang lelaki yang baru saja merusak ketampannya itu. Deaz marah bukan main. "Deaz! Kumohon Berhenti! Pergilah dari