"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon."
Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi.
"Bukan honeymoon tauk."
Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?"
"Baby Moon."
Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak.
"Dasar bocah."
Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh lembut perut Naya yang masih rata dengan tangan kanannya.
"Anak papa, lapar gak?"
"Laper." Naya yang menjawab.
"Mau makan apa?"
Gerakan jemari Naya pada layar ponsel mendadak berhenti. Naya menoleh kearah Deaz, menunjukkan tatapan puppy eyes yang membuat Deaz menelan ludah susah payah.
"Jangan bilang, kamu mau makan aku lagi?" Deaz tercengir, merasa percaya diri. Dengan senang hati akan melanjutkan percintaan mereka lagi jika Naya memaksa, namun satu pukulan mendarat di kepala lelaki itu dengan pelan. Naya melotot garang.
"Mesum."
***
"Deaz, bengkel ini punya kamu?"
"Bukan."
Naya mengangkat wajahnya. Namun tetap memasukkan sesuap demi suap makanan kedalam mulut. Sementara Deaz juga melakukan hal yang sama, duduk tenang di seberang Naya.
"Jadi bukan punya kamu?"
"Bukan sayang."
Naya diam. Pikirannya mulai bercabang. Ia pikir, Deaz bos di bengkel tersebut. Namun, faktanya, suaminya itu hanya pekerja biasa. Naya jadi sanksi, berapa gaji Deaz selama satu bulan. Ingin bertanya, tapi Naya merasa tidak sopan.
Naya menghela napas, lalu gerakan hendak menyuap makanannya kembali berhenti. Mendadak, gadis itu mengingat hal lain.
"Deaz, kita tadi. Itu ... Bos kamu, apa gak marah?"
Deaz menangkap apa yang istrinya maksud lalu membalasnya dengan tenang.
"Kalau pun marah, kita pasti sudah diusir dari tadi kan?"
Naya mengangguk. Tapi tetap saja, Naya jadi merasa tidak enak hati. Dia pikir, Deaz adalah bosnya ditempat ini. Dan mereka berdua sekarang malah enak-enakan makan. Naya cepat-cepat menghabiskan makanannya agar Deaz bisa kembali bekerja. Bisa gawat kalau suaminya itu dipecat hanya karena Naya.
Deaz yang melihat Naya jadi lahap mendadak bingung.
"Nay, pelan-pelan makannya."
"Aku harus minta maaf, sama bos kamu. Siapa nama bos kamu?"
Deaz bingung. Gimana ya, orang dia bosnya.
"Deaz, bos kamu siapa?"
"Keanu."
Naya segera berdiri. Melihat itu, Deaz segera menyusul istrinya keluar.
Sesampainya diluar, Naya bingung. Dia tidak mengenal seorang pun ditempat ini. Namun, ketika ia melihat lelaki pertama yang diajaknya bicara sesampainya di bengkel tadi pagi, Naya segera menghampiri orang itu.
"Jay?"
Jay, yang merasa namanya dipanggil langsung menoleh. Sedikit terkejut ketika mendapati Naya disana, mengajaknya bicara.
Jay segera berdiri dari posisinya jongkok membenarkan motor.
"Nama kamu, Jay kan?"
Jay mengangguk, membenarkan.
"Bos kamu. Ehm ... maksud ku Keanu. Yang mana orang itu?"
Jay mengernyit bingung, lalu ketika pandangannya menemukan keberadaan Deaz di belakang Naya, yang tengah memberikan sinyal dan kode melalui gerakan tangan dan bibir. Jay segera mengangguk, mengerti. Naya bingung melihat keterdiaman lelaki itu.
"Jay?"
"Eh, itu. Keanu gak ada. Maksudku, dia kan bos, jadi dateng ke bengkel cuma sesekali, karena tugasnya cuma mantau pekerjaan anak buah."
Naya mendesah lega sekaligus kecewa. Lega karena Deaz tidak akan kena pecat dan kecewa karena Naya tidak bisa berkenalan dengan bos dari suaminya. Naya, hanya merasa sedikit berdosa karena telah menyalahgunakan ruangan di dalam sebagai tempatnya memadu kasih dengan sang suami.
Melihat keterdiaman Naya, Jay menjadi bingung.
"Itu, kapan-kapan mbak bisa kesini lagi kalau mau kenalan sama bos."
Deaz mendelik kearah Jay yang meringis.
"Hehe, tapi kayaknya bos gak akan dateng kesini lagi dalam waktu dekat-dekat ini," lanjut lelaki itu.
Naya mengangguk.
"Yaudah. Makasih ya Jay.""Iya mbak."
Naya berbalik saat itulah dia menemukan Deaz sudah berdiri di belakangnya, entah sejak kapan. Naya menaikkan satu alis, membuat Deaz melangkah maju mendekatinya.
"Gimana, udah ketemu sama bosnya?"
Naya memicing.
"Kenapa gak bilang kalau bos kamu gak ada?"Deaz meringis, "aku udah mau bilang, tapi kamu keburu keluar."
Naya menghembuskan napas, maju dan berjinjit untuk memberikan kecupan singkat tepat dibibir suaminya itu. Deaz tampak mematung ditempat, tidak menyangka Naya akan menciumnya di tempat ramai, maksudnya jelas para pekerja yang bekerja di bengkel itu melirik kearah mereka.
"Aku mau pulang, semangat ya kerjanya."
"Aku anterin?"
Naya segera menolaknya dengan gelengan kepala. "Jangan. Gak enak sama temen-temenmu yang lain. Kamu kan harus kerja."
Naya melenggang pergi. Deaz membuntuti.
"Aku anterin pulang deh. Masak kamu sendirian.""Ih ... Jangan. Aku gak mau makin merasa bersalah karena udah ganggu waktu kerja kamu. Tadi, harusnya aku gak kesini."
Deaz paham. Deaz mengerti pasti Naya merasa bersalah karena berpikir kedatangannya telah mengganggu semua orang yang bekerja di bengkel. Padahal sejujurnya, Deaz senang Naya datang ketempat ini. Toh, dia adalah bosnya--- Deaz bisa melakukan apapun bersama istrinya, termasuk bercinta seperti tadi. Tapi.... Ah sudahlah! Deaz tidak punya pilihan lain.
"Hati-hati."
Naya pamit pergi.
***
Naya menghela napas di sepanjang jalan. Kakinya mulai pegal, padahal jarak dari bengkel ke rumah Deaz terbilang cukup dekat, Naya saja yang payah tidak pernah jalan kaki selama ini.
Teriknya matahari membuat Naya memutuskan untuk beristirahat, duduk di sebuah pos kamling. Naya meluruskan kedua kakinya dan menunduk.
"Mau minum."
Naya terkejut. Menatap uluran sebotol air minum dari seseorang yang entah sejak kapan sudah duduk disebelahnya. Melihat seorang pemuda yang menghisap rokok, Naya sedikit bergerak menjauh.
"Gue Rega."
Naya tidak berniat kenalan.
Apalagi dengan orang asing. Tapi sejujurnya, Naya haus. Udara yang panas ditambah tadi ketika ia makan Naya lupa minum, membuat tenggorokan gadis itu kering kerontang. Naya berdehem canggung menyadari lelaki disebelahnya mulai mematikan rokoknya."Lo gak suka asap rokok?"
"Aku hamil."
"Wow. Gue kira kita seumuran."
Lelaki itu mengulurkan botol air mineralnya lagi. "Tenang aja. Gak gue racun. Gue tahu lo haus. Kasihan dedek--- ekhem bayi dalam perut lo."
Naya meraih botol air mineral itu secepat mungkin. Membukanya tanpa susah payah dan segera minum. Senyum mengembang lebar di bibir lelaki bernama Rega itu.
"Lo bukan orang sini kan? Gue baru lihat soalnya?"
Naya tidak tahu, apa perlu dia menanggapi pertanyaan itu. Tapi mengingat dia telah menerima air minum yang diberikan lelaki itu, tidak sopan rasanya jika Naya tetap diam.
"Baru pindah kemarin. Dirumah suami."
Naya terus membawa kata suami dalam menjawab pertanyaan itu. Lelaki itu juga sudah tahu bahwa Naya sedang hamil. Jadi, seharusnya tidak ada pikiran kotor untuk mendekati Naya, itu yang Naya pikirkan saat ini.
"Suami lo, kerja di bengkel tadi?"
Naya menoleh, sedikit terkejut.
"Jangan salah paham, gue cuma asal nebak karena lo jalan dari arah bengkel."
Naya kemudian berdiri.
"Makasih air minumnya. Aku duluan."Rega mengangguk. Melihat kepergian Naya dengan seringai dibibir. Mengeluarkan satu batang rokok lagi dan menyalakan pematiknya, Rega tersenyum memandang tubuh Naya yang menghilang di persimpangan jalan.
Rega menghisap nikotin dan menghembuskan asapnya ke udara.
"Cantik."
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. "Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan. Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru m
1 MINGGU KEMUDIAN. "Makasih ya pak." Usai mengantarkan supir taksi yang menurunkan barang-barang bawaannya keluar rumah, Naya kembali masuk kedalam ruang tengah dan mengamati oleh-oleh miliknya sembari berkacak pinggang. Satu minggu liburan yang cukup melelahkan. Naya mendudukkan diri di sofa, mengamati seisi rumah yang tidak berubah. Setelah menghabiskan waktu untuk diam beberapa menit, Naya kemudian memutuskan untuk membongkar semua oleh-oleh yang ia bawa. Naya baru menoleh ketika mendengar suara derit pintu yang dibuka dari arah luar. "Hai?" Deaz masih diam diambang pintu. Mengamati Naya dan ruang tengah rumahnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa kardus dan paper bag merk brand ternama. Naya segera berdiri dan menghampiri Deaz yang belum juga masuk kedalam rumahnya sendiri. "Kangen gak
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cukup terkeju
"Mama?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brankar. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam tangan Deaz dengan tangan kanan dan menyentuh dahi suaminya yang berkeringat itu dengan tangan kirinya. Deaz menggumam pelan dan memeluk tangan Naya dalam tidurnya. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khawatir. Kedua mata Naya bahkan sudah tampak berkaca-kaca. "Maaf. Naya gak tahu kalau Deaz sakit." Rosa mengangguk, memaklumi. "Mama tahu kalian sedang ada masalah. Tapi, jangan terlalu berlar
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cu
"Mama Rosa?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brangkar rumah sakit. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam satu tangan Deaz dengan tangan kanan, lalu menyentuh dahi suaminya itu yang berkeringat dengan punggung tangan satunya lagi. Deaz tampak menggumam pelan dalam tidurnya, lantas bergerak memeluk tangan Naya dalam tidur lelapnya itu. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia tak jauh dari brangkar mengingat Naya sedang mengandung. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan banyak cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khaw
Hoeek! Hoeek! Naya terlonjak bangun dari atas ranjangnya. Mengusap pelan kedua mata ketika mendengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi, Naya memungut cepat celana dan baju untuk dia kenakan dan langsung bergegas menyusul suara yang Naya tebak adalah suaminya. "Deaz?" Dari pantulan cermin, Naya bisa melihat wajah kusut bangun tidur Deaz yang tampak begitu kacau dengan rambut berantakan. Naya mendekat ketika tatapan mereka bertemu melalui pantulan cermin. "Kenapa masuk kesini?" "Kamu muntah lagi?" "Keluar, Nay. Nanti kamu jijik."
"Yakin, aku tinggal sendirian gak papa. Teman-teman kamu belum datang loh." Naya mengangguk meyakinkan suaminya itu. Saat ini, Naya sudah tiba di mall kawasan jabodetabek. Deaz yang mengantarkan Naya kesini, sementara lelaki itu akan berangkat ke bengkel. "Yakin kok. Sebentar lagi, palingan Celine sama Agatha udah nyampe. Kamu berangkat kerja aja sekarang." Deaz mengangguk. "Sini, aku mau cium kamu dulu." Dari jendela depan mobil, Deaz segera melabuhkan satu ciuman di kening untuk Naya sebelum melajukan mobilnya pergi meninggalkan gadis itu sendiri. Melihat kepergian mobil Deaz, yang telah berbaur dengan mobil-mobil yang lain di jalan raya itu, Naya segera merogoh ponselnya dari dalam tas. Mendial nomor salah satu
Mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, Deaz tampak mengetuk-etukan jemari tangan kanannya di atas lutut kaki kanan, duduk cemas tepat di tengah-tengah pengadilan agama, menunggu Abinaya yang belum datang di persidangan kali ini. Pikiran Deaz sangat kacau kini. Keringat bahkan muncul di kedua telapak tangannya yang dingin. Kedua orangtuanya sudah mengambil tempat duduk sedari tadi, namun keberadaan Tomi Sutedja juga belum terlihat disana. Deaz menarik napas, menghembuskannya dengan berat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh dirinya kalau akan mengalami saat-saat yang seperti ini. Duduk di hadapan para hakim dan para saksi untuk proses perceraiannya dengan sang istri. Deaz takut. Dia tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perpisahan. Tapi, mereka sudah sejauh ini. Deaz sudah sangat terlambat untuk memperjuangkan pernikahan mereka yang bahkan belum satu tahun terjalin. "Maaf, saya sedikit terlambat." Deaz menoleh ke arah
Deaz mengendari mobilnya teramat pelan. Tidak ada hasrat untuk pulang, namun Deaz juga tidak mungkin terus terpuruk dengan keadaan. Lelaki itu masih sibuk bekerja lalu pulang seperti biasanya, meski bayang-bayang Naya terus menghantuinya bagai kaset rusak. Deaz tetap harus hidup. Deaz masih ingin hidup untuk kembali bersama Naya dan calon anak mereka. Kerumunan tepat di depan sana, menghentikan laju Deaz secara tiba-tiba. Deaz mengerutkan keningnya, mengamati keadaan di depan sana yang terlihat begitu tegang. Bahkan ada pula mobil polisi yang terparkir di sana. Merasa penasaran, Deaz pun memutuskan untuk turun dan berjalan mendekat. Deaz terkejut saat menyadari rumah itu adalah rumah yang sama, saat Deaz menolong Tsania dan bayinya yang dikurung Endru di dalam kamar rumah itu, satu minggu yang lalu. "Maaf, kalau boleh tahu, apa yang sedang terjadi di sini?" Seorang ibu-ibu berhijab yang Deaz tanyai pun menjawab. "Ada korban kasus pem
Deaz meletakkan kepalanya di kemudi mobil, memejamkan mata namun tidak tidur. Sudah satu minggu hidup lelaki itu kacau, sangat. Naya pergi dan Tsania terus menyalahkan dirinya atas kematian putrinya. Begitu mendengar suara gerbang yang di geser terbuka, Deaz mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah kusut kurang tidur lelaki itu. Inilah yang Deaz tunggu-tunggu, Mobil Tomi Sutedja keluar dari gerbang besar itu. Buru-buru Deaz pun menyalakan mesin mobil miliknya dan melaju perlahan mengikuti mobil tersebut. Kegiatan seperti inilah yang Deaz lakukan selama satu minggu ini. Mengikuti mobil Tomi Sutedja diam-diam dan berakhir kecewa saat mobil itu lagi-lagi berhenti di perusahaan Sutedja Company. Deaz memukul stir, mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar persis orang gila sekarang. Deaz bahkan lupa mandi, dan makan jika memang perutnya sudah terasa perih. Deaz sudah tidak lagi menangis, air mata buayanya mungkin sudah habis. Toh, d
1 MINGGU KEMUDIAN. Paris, Perancis. Naya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bel rumah yang terdengar. Perempuan itu kemudian keluar dari kamarnya, melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Hai, apa aku mengganggu?" "Lumayan, aku baru saja bangun." "Oh. Maaf kalau begitu," kata Shawn, sambil menggaruk belakang lehernya. Naya tertawa renyah melihat tingkah lelaki itu. "Bercanda." Shawn mengangguk, kemudian mengulurkan sesuatu yang dia bawa untuk Naya. "Untukmu." "Wah. Aku merepotkan lagi." "Tidak masalah. Aku senang di repotkan." "Mau masuk?" Tawar Naya. "Ah itu, sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Bagaimana?" Naya terdiam, tampak menimang.
Air mata Naya terus mengalir turun. Gadis itu berulangkali mengusapnya namun tidak mau berhenti juga. Sopir taksi sampai heran melihat wanita hamil yang duduk di belakang itu. Naya menatap keluar jendela, membiarkan angin menyapa wajahnya yang memerah karena terus menangis. Cukup lama perjalanan dari bengkel ke rumah Tomi Sutedja, akhirnya taksi pun berhenti tepat di depan gerbang besar rumah mewah itu. Naya segera turun tanpa membayar uang taksi terlebih dahulu, seorang satpam yang membukakan gerbang yang akan membayar tagihan untuk cucu kesayangan Tomi Sutedja. Naya kemudian melangkah masuk kedalam rumah karena pintunya memang tidak di tutup. Naya melangkah cepat ke arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan dari sana sambil menahan perut besarnya dengan tangan kanan. Dan begitu melihat Tomi Sutedja yang duduk di sofa panjang ruang tamu, Naya langsung be
"Hai." Naya mengangguk singkat membalas sapaan itu. Gadis itu segera duduk di kursi restoran yang berseberangan dengan tempat duduk Endru. "Maaf, karena telah mengganggu waktumu dengan memintamu datang kemari." "Ada apa?" Tanya Naya to the point. Endru kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, membuat Naya mengernyitkan kening melihat itu. Endru kemudian menjelaskan.. "Itu riwayat kesehatan milik saya. Saya penderita ...." "Borderline personality disorder. Ya, aku sudah tahu." Endru menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. "Dari Tsania?" Naya mengangguk. "Ya. Endru menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Naya menatap dalam diam lelaki di hadapannya itu. "Saya tidak akan menceraikan Tsania." "Saya sangat m
"Kenapa lama?" Naya kembali duduk di kursinya usai dari kamar mandi. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Deaz. "Maaf. Tadi BAB." "Tapi kamu gak papa kan?" Deaz bertanya dengan mimik wajah khawatir. "Enggak kok." "Serius, Nay?" "Iya, aku serius." Deaz mengangguk, meski masih menatap ke arah Naya dengan seksama. Dihadapannya, Naya mulai kembali menikmati makanannya yang tadi sempat tertunda, namun entah kenapa Deaz merasa Naya menyembunyikan sesuatu darinya. Sementara Naya diam-diam kembali memikirkan pertemuannya dengan lelaki asing di depan toilet tadi. "Apakah, kita saling mengenal?" "Saya suami Tsania." Naya terbelalak mendengar informasi tersebut. Langkah kedua kakinya terayun mundur. Senyum ramah yang Endru pasang sedari tadi pun p
Perlahan, kedua kaki Naya bergerak mundur, tidak jadi masuk kedalam. Dadanya sesak. Naya tidak sanggup membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kedua matanya terasa sangat panas, meski di lubuk hati kecilnya, Naya masih menaruh kepercayaan pada Deaz. Deaz tidak mungkin selingkuh. Deaz tidak mungkin berkhianat. Deaz tidak mungkin... "Akh!" Naya memekik, hampir saja tubuhnya akan terjatuh ketika gadis itu ingin berlari pergi dari sana, jika saja kedua tangan kokoh seseorang tidak dengan sigap menahannya. "Sayang?" Naya mengangkat pandangannya dan terkejut. "De-deaz?" "Kamu, ngapain disini?" "Itu ... kamu, kenapa kamu ...." "Bang! Tsania mau lahiran ini!" Teriakan itu, langsung mengalihkan perhatian Deaz dan Naya secara bersamaan. &nbs
"Setelah melarikan diri, ternyata di sini kamu malah selingkuh." "Bajingan!" Teriak Deaz kesal ketika melihat Tsania ditampar. Namun satu tonjokan langsung melayang di rahang Deaz ketika lelaki itu hendak bergerak maju. Dua lawan satu, jelas saja Deaz tidak bisa menyeimbangi kedua lelaki berbadan besar itu. Tubuh Deaz berulangkali di hajar hingga punggungnya membentur tembok. Sementara Tsania hanya bisa menangis dan menjerit, memohon pada suaminya untuk melepaskan Deaz. "Endru! Kumohon jangan! Lepaskan Deaz! Kumohon suruh kedua anak buahmu untuk berhenti." Brak! "Endru!" Kepala Deaz pening. Kepalanya baru saja menghantam meja namun lelaki itu masih bisa berdiri dan langsung membalas pukulan dua orang lelaki yang baru saja merusak ketampannya itu. Deaz marah bukan main. "Deaz! Kumohon Berhenti! Pergilah dari