Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai.
"Nyonya sudah bangun?"
"Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun.
"Panggil saja Naya, atau Non."
Wanita paruh baya itu mengangguk.
"Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam."Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini.
"Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."
Naya mengernyit.
"Bengkel, Ngapain?""Kerja Non."
Kedua bola mata Naya membulat. Terkejut. Bodoh. Naya bahkan tidak tahu apa pekerjaan lelaki yang kini sudah menjadi suaminya itu. Awalnya, Naya pikir. Deaz bekerja di perusahaan ayahnya. Karena setahu Naya, keluarga Adam juga memiliki perusahaan yang tak kalah besarnya dengan perusahaan milik kakek Naya.
Tapi, bengkel? Sungguh diluar dugaan. Naya jadi penasaran, seperti apa tempat bekerja suaminya itu. Jika Naya boleh menebak, sepertinya Deaz adalah bos sekaligus pemilik bengkel. Tidak papa, Naya yakin Deaz tetap bisa mencukupi kebutuhan mereka meski hanya bekerja sebagai bos sebuah bengkel.
Naya menatap kearah Mbok Sam yang kembali menyapu lantai.
"Kalau boleh tahu, dimana tempat kerja Deaz ya, Mbok?"
"Kalau Non mau diantar kesana, nanti bisa bareng simbok. Kebetulan lokasinya gak jauh dari rumah ini, terus searah sama pasar tempat saya belanja."
Naya mengangguk.
"Tapi, Naya mau mandi dulu.""Iya Non. Monggo."
***
"Permisi."
Jay yang tengah duduk di kursi langsung bangkit berdiri, melihat Naya dari ujung rambut hingga ujung kepala. Lelaki yang tengah mengulum satu batang permen kaki itu tentu mengenal siapa gadis cantik yang berdiri dihadapannya kini, karena dia datang ketika Deaz dan Naya menikah.
Hanya saja, Jay merasa heran sekaligus kagum karena gadis secantik Naya mau menginjakkan kaki di bengkel seperti ini.
"Deaz-nya ada?"
"Ada mbak. Ada."
Jay tersenyum, tampak menendang-nendang kaki dibawahnya. Sementara dari bawah mobil, Deaz mengerang kesal karena tendangan di kakinya itu."Bini lo nih. Buruan keluar."
"Sebentar."
Naya terperangah. Dia tidak mengira bahwa lelaki yang tengah terbaring masuk kedalam kolong mobil tadi adalah Deaz. Suaminya itu sudah menampakan diri, tersenyum begitu pandangan kedua matanya bertemu dengan Naya.
"Kok kesini?"
Naya menelan ludah tanpa sadar.
Penampilan Deaz kenapa tampak menggoda iman. Mengenakan kaos putih tanpa lengan yang memperlihatkan otot lengan atasnya yang kekar, serta mencetak jelas bentuk tubuhnya, Deaz dua kali lipat jauh lebih tampan meskipun tubuhnya kotor karena oli. Celana bengkel yang dikenakan lelaki itu, juga mencetak jelas bokong Deaz yang kebetulan memang cukup montok untuk ukuran lelaki, membuat Naya buru-buru mengusap sudut bibirnya, takut ada air liur yang menetes disana.Deaz langsung melempar kain lap kearah Jay yang dengan sigap langsung diterima lelaki bertindik sebelah itu, setelah mencuci tangannya hingga bersih.
"Kesini sama siapa, Nay?"
Deaz segera menggiring Naya untuk masuk kedalam, mengabaikan siulan beberapa rekan kerjanya yang terus menggoda. Setelah menutup pintu, Deaz duduk di atas meja sementara Naya duduk di kursi, saling berhadapan.
"Aku dianterin Mbok Sam, sekalian pergi kepasar karena katanya searah."
Deaz mengangguk. Satu tangannya terulur membenarkan rambut Naya yang sedikit berantakan. Mungkin terkena angin. Diperlakukan seperti itu, mendadak Naya jadi salah tingkah.
"Nay, kamu sakit? Pipi kamu merah gini?"
Naya reflek langsung menyentuh kedua pipinya. "Masa sih?"
"Iya, nih." Deaz menyentuh pipi Naya dengan lembut. Sementara Naya, merasakan wajahnya kian memanas. Menyadari bahwa Naya ternyata sedang gugup, Deaz tersenyum geli setelahnya.
"Kayaknya, aku kepanasan karena sinar matahari." Naya kemudian mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah.
Kemudian Deaz mengangguk, sambil mengulum senyum.
"Bukan karena pesonaku kan ya?" godanya, membuat wajah Naya semakin memerah. Namun jangan panggil dia Abinaya jika tidak pandai berkilah.
"Nggak lah. Pede banget kamu."
Naya lalu memalingkan wajah. Menghindari senyum menyebalkan Deaz yang terus menggodanya.
"Bukannya pede. Tapi, emang kenyataannya gitu kan?"
"Nggak ya."
Deaz menyerah. Kemudian beranjak berdiri untuk mengganti kaosnya karena kurang nyaman dan bau keringat. Melihat kepergian suaminya itu, Naya malah jadi panik sendiri.
"Deaz, mau kemana?"
"Ganti baju, sayang."
"Jangan!"
Deaz berhenti, menoleh kearah Naya dengan kening berkerut bingung.
"Kok jangan?"'Soalnya, kamu ganteng banget dengan penampilan begitu.' suara batin Naya, menjelaskan.
Deaz tidak jadi pergi. Lelaki itu kembali berjalan kearah Naya berada. Mengangkat dagu gadis itu dengan telunjuk kanannya.
"Kenapa sayang?"
"Itu," Naya menggigit bibir bawahnya gelisah.
Naya menarik ujung kaos Deaz membuat tubuh lelaki itu condong kearahnya. Naya segera mendekatkan bibirnya kesamping telinga suaminya itu.
"Kamu ganteng."
Deaz tersenyum.
"Pasti ada maunya?"
Naya mengangguk. Mengusap perutnya yang masih datar. Menyadari gelagat itu, mau tak mau Deaz segera menarik tubuh Naya berdiri dan menggendongnya.
"Keberatan, kalau kita main di sofa?"
Naya menggeleng, tersenyum malu-malu.
"Shit! Ingatkan aku untuk menyediakan ranjang ditempat ini, sayang."
***
"Ahh! Sebentar sayang."
Naya berhenti, merintih. Memeluk tubuh Deaz yang licin oleh keringat. Sementara Deaz segera meraba-raba meja dengan satu tangannya, meraih benda pipih panjang miliknya dan mendial sembarang nama rekan kerjanya di bengkel.
"Jay, jam istirahat dipercepat. Ajak yang lain pergi ke warung atau kemanapun sekarang."
Tidak peduli dengan balasan Jay, Deaz segera menutup sambungan dan meletakkan kembali ponselnya keatas meja. Diusapnya punggung telanjang Naya yang saat ini tengah duduk diatas pangkuannya, dengan kedua tubuh mereka yang manyatu dibawah sana.
"Kita lanjut?" Bisikan Deaz serak, menggigit daun telinga Naya hingga gadis itu bergidik. Mengangkat wajahnya yang semula bersembunyi di ceruk leher Deaz. Naya segera meraih rambut suaminya itu, kembali bergerak ketika Deaz mengecupi lehernya, menjilat dan meninggalkan banyak tanda di antara belahan payudara.
Deaz mengerang karena mulai pening, Naya merintih sementara gerakan semakin tidak beraturan. Suara desahan mereka saling bersahutan dan suara persenggamaan yang tidak ada jeda membuat suasana semakin panas dan erotis.
Itulah alasannya kenapa Deaz harus mengusir Jay dan pekerja lainnya yang mungkin sedang menguping diluar pintu. Deaz tidak ingin suara percintaan mereka menjadi fantasi liar para lelaki diluar sana, yang tentu saja bisa membuat Naya malu nantinya.
Deaz menyukai sensasi ini. Naya yang merintih lirih ketika mencapai pelepasan. Sementara dirinya masih bergerak untuk mendapatkan klimaksnya sendiri.
"Capek?"
Naya mengangguk.
"Butuh mandi nggak?"
"Mandi doang. Gak ada ronde lain kan?" tanya Naya memastikan.
"Itu, kita pikirkan nanti di dalam."
"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon." Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi. "Bukan honeymoon tauk." Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?" "Baby Moon." Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak. "Dasar bocah." Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh le
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. "Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan. Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru m
1 MINGGU KEMUDIAN. "Makasih ya pak." Usai mengantarkan supir taksi yang menurunkan barang-barang bawaannya keluar rumah, Naya kembali masuk kedalam ruang tengah dan mengamati oleh-oleh miliknya sembari berkacak pinggang. Satu minggu liburan yang cukup melelahkan. Naya mendudukkan diri di sofa, mengamati seisi rumah yang tidak berubah. Setelah menghabiskan waktu untuk diam beberapa menit, Naya kemudian memutuskan untuk membongkar semua oleh-oleh yang ia bawa. Naya baru menoleh ketika mendengar suara derit pintu yang dibuka dari arah luar. "Hai?" Deaz masih diam diambang pintu. Mengamati Naya dan ruang tengah rumahnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa kardus dan paper bag merk brand ternama. Naya segera berdiri dan menghampiri Deaz yang belum juga masuk kedalam rumahnya sendiri. "Kangen gak
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cukup terkeju
"Mama?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brankar. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam tangan Deaz dengan tangan kanan dan menyentuh dahi suaminya yang berkeringat itu dengan tangan kirinya. Deaz menggumam pelan dan memeluk tangan Naya dalam tidurnya. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khawatir. Kedua mata Naya bahkan sudah tampak berkaca-kaca. "Maaf. Naya gak tahu kalau Deaz sakit." Rosa mengangguk, memaklumi. "Mama tahu kalian sedang ada masalah. Tapi, jangan terlalu berlar
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cu
"Mama Rosa?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brangkar rumah sakit. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam satu tangan Deaz dengan tangan kanan, lalu menyentuh dahi suaminya itu yang berkeringat dengan punggung tangan satunya lagi. Deaz tampak menggumam pelan dalam tidurnya, lantas bergerak memeluk tangan Naya dalam tidur lelapnya itu. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia tak jauh dari brangkar mengingat Naya sedang mengandung. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan banyak cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khaw
Hoeek! Hoeek! Naya terlonjak bangun dari atas ranjangnya. Mengusap pelan kedua mata ketika mendengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi, Naya memungut cepat celana dan baju untuk dia kenakan dan langsung bergegas menyusul suara yang Naya tebak adalah suaminya. "Deaz?" Dari pantulan cermin, Naya bisa melihat wajah kusut bangun tidur Deaz yang tampak begitu kacau dengan rambut berantakan. Naya mendekat ketika tatapan mereka bertemu melalui pantulan cermin. "Kenapa masuk kesini?" "Kamu muntah lagi?" "Keluar, Nay. Nanti kamu jijik."
Mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, Deaz tampak mengetuk-etukan jemari tangan kanannya di atas lutut kaki kanan, duduk cemas tepat di tengah-tengah pengadilan agama, menunggu Abinaya yang belum datang di persidangan kali ini. Pikiran Deaz sangat kacau kini. Keringat bahkan muncul di kedua telapak tangannya yang dingin. Kedua orangtuanya sudah mengambil tempat duduk sedari tadi, namun keberadaan Tomi Sutedja juga belum terlihat disana. Deaz menarik napas, menghembuskannya dengan berat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh dirinya kalau akan mengalami saat-saat yang seperti ini. Duduk di hadapan para hakim dan para saksi untuk proses perceraiannya dengan sang istri. Deaz takut. Dia tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perpisahan. Tapi, mereka sudah sejauh ini. Deaz sudah sangat terlambat untuk memperjuangkan pernikahan mereka yang bahkan belum satu tahun terjalin. "Maaf, saya sedikit terlambat." Deaz menoleh ke arah
Deaz mengendari mobilnya teramat pelan. Tidak ada hasrat untuk pulang, namun Deaz juga tidak mungkin terus terpuruk dengan keadaan. Lelaki itu masih sibuk bekerja lalu pulang seperti biasanya, meski bayang-bayang Naya terus menghantuinya bagai kaset rusak. Deaz tetap harus hidup. Deaz masih ingin hidup untuk kembali bersama Naya dan calon anak mereka. Kerumunan tepat di depan sana, menghentikan laju Deaz secara tiba-tiba. Deaz mengerutkan keningnya, mengamati keadaan di depan sana yang terlihat begitu tegang. Bahkan ada pula mobil polisi yang terparkir di sana. Merasa penasaran, Deaz pun memutuskan untuk turun dan berjalan mendekat. Deaz terkejut saat menyadari rumah itu adalah rumah yang sama, saat Deaz menolong Tsania dan bayinya yang dikurung Endru di dalam kamar rumah itu, satu minggu yang lalu. "Maaf, kalau boleh tahu, apa yang sedang terjadi di sini?" Seorang ibu-ibu berhijab yang Deaz tanyai pun menjawab. "Ada korban kasus pem
Deaz meletakkan kepalanya di kemudi mobil, memejamkan mata namun tidak tidur. Sudah satu minggu hidup lelaki itu kacau, sangat. Naya pergi dan Tsania terus menyalahkan dirinya atas kematian putrinya. Begitu mendengar suara gerbang yang di geser terbuka, Deaz mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah kusut kurang tidur lelaki itu. Inilah yang Deaz tunggu-tunggu, Mobil Tomi Sutedja keluar dari gerbang besar itu. Buru-buru Deaz pun menyalakan mesin mobil miliknya dan melaju perlahan mengikuti mobil tersebut. Kegiatan seperti inilah yang Deaz lakukan selama satu minggu ini. Mengikuti mobil Tomi Sutedja diam-diam dan berakhir kecewa saat mobil itu lagi-lagi berhenti di perusahaan Sutedja Company. Deaz memukul stir, mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar persis orang gila sekarang. Deaz bahkan lupa mandi, dan makan jika memang perutnya sudah terasa perih. Deaz sudah tidak lagi menangis, air mata buayanya mungkin sudah habis. Toh, d
1 MINGGU KEMUDIAN. Paris, Perancis. Naya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bel rumah yang terdengar. Perempuan itu kemudian keluar dari kamarnya, melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Hai, apa aku mengganggu?" "Lumayan, aku baru saja bangun." "Oh. Maaf kalau begitu," kata Shawn, sambil menggaruk belakang lehernya. Naya tertawa renyah melihat tingkah lelaki itu. "Bercanda." Shawn mengangguk, kemudian mengulurkan sesuatu yang dia bawa untuk Naya. "Untukmu." "Wah. Aku merepotkan lagi." "Tidak masalah. Aku senang di repotkan." "Mau masuk?" Tawar Naya. "Ah itu, sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Bagaimana?" Naya terdiam, tampak menimang.
Air mata Naya terus mengalir turun. Gadis itu berulangkali mengusapnya namun tidak mau berhenti juga. Sopir taksi sampai heran melihat wanita hamil yang duduk di belakang itu. Naya menatap keluar jendela, membiarkan angin menyapa wajahnya yang memerah karena terus menangis. Cukup lama perjalanan dari bengkel ke rumah Tomi Sutedja, akhirnya taksi pun berhenti tepat di depan gerbang besar rumah mewah itu. Naya segera turun tanpa membayar uang taksi terlebih dahulu, seorang satpam yang membukakan gerbang yang akan membayar tagihan untuk cucu kesayangan Tomi Sutedja. Naya kemudian melangkah masuk kedalam rumah karena pintunya memang tidak di tutup. Naya melangkah cepat ke arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan dari sana sambil menahan perut besarnya dengan tangan kanan. Dan begitu melihat Tomi Sutedja yang duduk di sofa panjang ruang tamu, Naya langsung be
"Hai." Naya mengangguk singkat membalas sapaan itu. Gadis itu segera duduk di kursi restoran yang berseberangan dengan tempat duduk Endru. "Maaf, karena telah mengganggu waktumu dengan memintamu datang kemari." "Ada apa?" Tanya Naya to the point. Endru kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, membuat Naya mengernyitkan kening melihat itu. Endru kemudian menjelaskan.. "Itu riwayat kesehatan milik saya. Saya penderita ...." "Borderline personality disorder. Ya, aku sudah tahu." Endru menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. "Dari Tsania?" Naya mengangguk. "Ya. Endru menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Naya menatap dalam diam lelaki di hadapannya itu. "Saya tidak akan menceraikan Tsania." "Saya sangat m
"Kenapa lama?" Naya kembali duduk di kursinya usai dari kamar mandi. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Deaz. "Maaf. Tadi BAB." "Tapi kamu gak papa kan?" Deaz bertanya dengan mimik wajah khawatir. "Enggak kok." "Serius, Nay?" "Iya, aku serius." Deaz mengangguk, meski masih menatap ke arah Naya dengan seksama. Dihadapannya, Naya mulai kembali menikmati makanannya yang tadi sempat tertunda, namun entah kenapa Deaz merasa Naya menyembunyikan sesuatu darinya. Sementara Naya diam-diam kembali memikirkan pertemuannya dengan lelaki asing di depan toilet tadi. "Apakah, kita saling mengenal?" "Saya suami Tsania." Naya terbelalak mendengar informasi tersebut. Langkah kedua kakinya terayun mundur. Senyum ramah yang Endru pasang sedari tadi pun p
Perlahan, kedua kaki Naya bergerak mundur, tidak jadi masuk kedalam. Dadanya sesak. Naya tidak sanggup membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kedua matanya terasa sangat panas, meski di lubuk hati kecilnya, Naya masih menaruh kepercayaan pada Deaz. Deaz tidak mungkin selingkuh. Deaz tidak mungkin berkhianat. Deaz tidak mungkin... "Akh!" Naya memekik, hampir saja tubuhnya akan terjatuh ketika gadis itu ingin berlari pergi dari sana, jika saja kedua tangan kokoh seseorang tidak dengan sigap menahannya. "Sayang?" Naya mengangkat pandangannya dan terkejut. "De-deaz?" "Kamu, ngapain disini?" "Itu ... kamu, kenapa kamu ...." "Bang! Tsania mau lahiran ini!" Teriakan itu, langsung mengalihkan perhatian Deaz dan Naya secara bersamaan. &nbs
"Setelah melarikan diri, ternyata di sini kamu malah selingkuh." "Bajingan!" Teriak Deaz kesal ketika melihat Tsania ditampar. Namun satu tonjokan langsung melayang di rahang Deaz ketika lelaki itu hendak bergerak maju. Dua lawan satu, jelas saja Deaz tidak bisa menyeimbangi kedua lelaki berbadan besar itu. Tubuh Deaz berulangkali di hajar hingga punggungnya membentur tembok. Sementara Tsania hanya bisa menangis dan menjerit, memohon pada suaminya untuk melepaskan Deaz. "Endru! Kumohon jangan! Lepaskan Deaz! Kumohon suruh kedua anak buahmu untuk berhenti." Brak! "Endru!" Kepala Deaz pening. Kepalanya baru saja menghantam meja namun lelaki itu masih bisa berdiri dan langsung membalas pukulan dua orang lelaki yang baru saja merusak ketampannya itu. Deaz marah bukan main. "Deaz! Kumohon Berhenti! Pergilah dari