“Mami kalau masak daging pakai metode 5:30:7 aja. Nyalakan api 5 menit, lalu tunggu 30 menit, dan nyalakan api lagi 7 menit. Pasti cepet empuk dan lebih hemat gas.”
“Makasih, ya, tipsnya, Dek. Beneran cepet empuk deh!”
“Iya sama-sama, Mi!”
Suatu siang aku menelepon Mami di rumah dari kota Kendari. Berceloteh riang membahas cara efektif memasak daging sapi agar cepat empuk. Kalau Kalian dengar percakapan itu, apa aku terlihat seperti seorang koki? Mungkin. Aku seperti sudah pro dengan dunia masak memasak.
“Dek, obat diare apaan, ya? Papi sakit perut.”
“Habis makan apaan, Mi?”
“Kayaknya sih rujak manis buatan mbakmu.”
“Coba buatin oralit, Mi. Enam sendok teh gula pasir dan setengah sendok teh garam larutkan dalam seliter air. Minum satu gelas setiap 4 – 6 jam sekali. Mami bisa kasih Papi pisang. Kalau nggak membaik ke dokter aja, Mi.”
Tak berapa lama, Mami berceloteh lagi dari saluran telepon. “Manjur, Dek. Papi udah enakan.”
Suatu pagi, mami menelepon dengan tergesa-gesa. Bercerita kalau papi sakit perut karena kebanyakan rujak. Biasalah mbak Rania kalau urusan cabai nggak ingat teori. Alhasil, papi yang sudah sepuh jadi korbannya dan mami kelimpungan ke sana-sini.
Kalau percakapan ini, apa aku terlihat seperti dokter atau praktisi kesehatan? Mungkin, karena aku seperti sudah lihai betul tentang teknik pengobatan orang yang sedang sakit.
Suatu hari saat aku sedang di Surabaya menikmati rujak gobet, mas Abi menelepon dengan suara risau. Halah, mungkin gagal maning dengan yang itu. Seperti sudah kuduga, dia mencurahkan itu semua tanpa engsel dan kunci. Mungkin seperti inilah percakapan kami.
“Mas gagal lagi sama dokter itu, Dek. Nggak tahu lagi deh, kenapa dia marah-marah terus ke Mas. Padahal Mas udah pengertian terus, ngalah terus.”
“Mas pernah bahas tentang keseriusan, nggak? Wanita tuh suka diseriusin lho. Apalagi kalau udah usia siap nikah, pasti bahasnya mau yang serius terus. Tunangan atau nikah gitu.”
“Eh, iya juga, ya? Abis masih ragu ajak dia nikah, Dek. Takut aja dia nggak bisa nerima profesi Mas.”
“Belum dicoba, ‘kan, masa udah takut, Mas?”
“Oke deh. Makasih saranmu, Dek.”
“Sip, Mas!”
Pembicaraan selesai dan diakhiri dengan palm face dariku. Kalau percakapan yang ini, apa aku terlihat seperti seorang psikolog? Mungkin, karena aku seperti solusi semua masalah kejiwaan.
Well, baiklah, mungkin saja aku bisa seorang koki, dokter, atau psikolog karena keahlian-keahlian itu tadi. Tidak menutup kemungkinan aku bias saja sok tahu pada hal yang lain. Namun, nyatanya aku adalah seorang ….
“Tung!”
Sebuah bel kecil berbunyi dari atas kepalaku. Ada lampu kecil yang kemudian menyusul menyala. Hal itu membuyarkan lamunan mata lelah ini. Sebuah panggilan berasal dari seat 29H kembali membuatku tak bisa istirahat di malam ini.
Aku menyeret kakiku yang lelah dan sedang terbalut sendal kerja menuju kursi itu. Berusaha menata wajah sabar walau lelah luar biasa. Penumpang satu ini tak ingin aku cepat merem sepertinya. Ada apaan lagi, sih?
Baiklah, mari semangat, karena nyatanya aku seorang pramugari! Melenceng jauh dari perkiraan, bukan? Aku bukan profesi-profesi tadi, melainkan seorang hamba udara – yang sering kelelahan – yang mencoba bahagia siang dan malam.
“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanyaku sabar plus suara yang dikuat-kuatkan.
Tolong, mataku sudah setengah watt. Ingin merem di jumpseat bertemu mimpi indah di ketinggian 36.000 kaki.
Penumpang itu menatapku dengan wajah melas dan kusut. “Mbak, saya minta tolong. Sendal jelek butut saya, ada di bawah Bapak itu. Tolong ambilkan, Mbak. Saya takut hilang,” keluh Ibu yang mungkin lazim disebut nenek itu sambil menunjuk-nunjuk sisi bawah seat di depannya.
Kepalaku yang seberat kapal induk ini berusaha menoleh mengikuti arahan tangannya. Penumpang 29H itu adalah seorang nenek berusia sekitar 65 tahun. Berpenampilan formal dengan kebaya tipis yang dibalut jaket rajut dan rok jarik batik. Wajahnya terlihat bingung sendiri karena mengeluh kehilangan sandal.
Keributan itu tentu saja berbuntut masalah pelik. Beberapa penumpang di sekitarnya memberi banyak tatapan penuh arti. Ada yang iba, tak sedikit pula yang kesal. Bagaimana tidak, ini sudah malam dan sedang tidak ada di darat, halo!
Aku saja yang awak kabin merasa tak nyaman, meski berusaha menyaman-nyamankan diri.
Tentu perasaan penumpang lain sama denganku. Bagaimana bisa nyaman, ini sudah puluhan kali beliau ini memanggilku dan awak yang lain. Hanya untuk apa, mencarikan sandal ‘buluk’ miliknya – yang aku sendiri pun nggak tahu ada di mana.
Belum lagi ini sudah pukul 12 malam, waktu setempat, di ketinggian 36.000 kaki di atas permukaan air laut. Kami ada di atas udara, Kawan! Bukan sedang naik bus atau main pesawat-pesawatan. Mana bisa semua dikondisikan sesuai titah si embah. Oh God, sabar!
Sungguh sebuah keanehan yang harus kusabari, huh!
Aku berusaha tersenyum sabar sambil membuat sikap netral. Kusentuh lengannya dengan lembut. “Maaf Ibu, penumpang sedang penuh dan Bapak di depan sedang beristirahat. Nanti kalau sudah mendarat akan saya carikan. Bagaimana?” ucapku kalem dengan senyum manis yang masih sempat terbit.
“Mbak, sendal butut saya! Nanti hilang. Mbak, minta tolong!” eyelnya seperti anak PAUD yang nggak paham bahasa orang dewasa. Wops, bahkan si nenek berusaha menjangkau tanganku memohon-mohon.
Merasa aku yang jadi penjahat dan dia korbannya. Astaga nasibku gini amat sih! Iya sih, udah biasa aku direpotin penumpang karena mereka tamu yang harus dilayani. Namun, nggak harus sekarang bisa? Timing yang nggak pas sama sekali.
Aku berusaha tersenyum netral dan tentunya masih sangat suabar! “Maaf Ibu, lebih baik Ibu istirahat. Nanti pasti saya carikan kalau sudah mendarat.” Aku meraih tangan beliau berusaha ramah, kemudian kutepuk-tepuk punggung tangannya yang sudah keriput dengan hangat.
Ayolah, Bu! Izinkan saya tidur barang semenit aja. Mari kita tenang sampai mendarat. Tuhan, mohon kabulkan doa hamba, ya?
Sebuah suara sumbang akhirnya angkat bicara dari lajur depan. “Udahlah, Bu. Pesawatnya penuh! Tuh Bapak di depan udah bangun dan celingak-celinguk nyari sendalnya Ibu! Nggak ada! Tidur aja, Bu!” tegur penumpang dengan wajah tak nyaman dan mulut mengerucut.
“Iya Bu, nggak bakalan ilang kok!” timpal yang lain.
Oke, suasana mulai ricuh dan aku harusnya jadi penengah. Benar kok, aku memang berada di tengah-tengah mereka tanpa bisa berbuat apa-apa. Kecuali, memandangi mereka bergantian sambil menanti ditegur mbak senior akibat nggak bisa menguasai situasi.
Ya ampun, mimpi apaan aku dapat penerbangan ini!
“Harap tenang, Bapak dan Ibu,” kataku berusaha menenangkan suasana sembari mengayun-ayun kedua tangan di antara mereka.
“Harap tenang, ya!” pesanku sekali lagi sebab yang pertama kayak mental keluar pesawat.
Aku nggak mau bikin penumpang lain nggak nyaman. Koridor depan sudah mulai ikut celingukan. Apalagi yang kelas bisnis beberapa sudah ada yang melongok ke kabin ekonomi. Aneh, ya, bisingnya mesin jet tak bisa menutupi kericuhan ini.
Kalau mereka nggak nyaman siapa yang ditegur? Awak kabinlah! Aku dong, heuheu!
Di tengah kericuhan si nenek kembali membuat blunder. Kali ini dia membentuk suara mengiba dengan nada bergetar. “Astagfirullah … ampunilah kesalahankuu, hu ….” Dia tersedu sambil menengadahkan tangan ke angkasa, padahal kami juga di angkasa.
Tentu saja mencari iba, menutupi kesalahannya karena membuat keributan. Namun, sepertinya penumpang tak ada yang peduli. Mereka memilih kembali tenggelam di balik selimut cokelat milik maskapai. Tentu saja menyambung mimpi seperti keinginan terbesarku saat ini.
Para penumpang lain sempat menatap si nenek dengan pandangan ilfeel, kesal, pengen nampol gitulah. Gimana nggak kesal, dari tadi udah bikin keributan cuma karena sandal. Udah disamperin olehku hingga rekan yang lain, masih aja teteup ngeyel. Ditenangkan dengan sejuta jurus tetap saja berulah.
Ya udahlah, bisa apa. Mungkin ini kali pertama beliau naik pesawat. Kayaknya tadi sempat dengar dari ground staff kalau ada penumpang khusus gitulah. Apa mungkin ini, ya? Kok aku nggak dapat briefing, sih? Pasti aku ngelamun tadi, huh!
End, suasana mulai lengang setelah dialog drama yang dilontarkan si nenek tadi. Humpt! Akhirnya, aku bisa kembali ke pos ronda di galley belakang. Kembali duduk letih di jumpseat setelah menarik kesabaranku lagi. Mungkin membangunkan sejenak Icha yang asyik membuat genangan iler, karena memang giliran dia tidur.
Yup, memang beginilah pekerjaanku, menyenangkan ya melelahkan.
Pramugari itu ya gini, berusaha sabar saat hati terasa kesal. Emosi harus ditata sebaik mungkin agar tak memberi kesan buruk yang berujung pada teguran pada maskapai.
Masalah me versus pax alias aku lawan penumpang mungkin akan menghiasi curhatanku di sepanjang hari. Bertemu dengan penumpang yang baik hati dan tidak sombong mungkin akan menjadi kenangan manisku sepanjang malam. Ya begitulah asyiknya bertemu banyak karakter baru dalam sehari.
Tunggu-tunggu, bercerocos panjang lebar dari tadi hingga aku lupa memperkenalkan nama, ya? Perkenalkan wanita berseragam tosca polos dengan rok kebaya motif parang gondosuli dan berwajah lelah – tapi dicantik-cantikkan – ini bernama Bridgia. Lengkapnya, Bridgia Gantari Hyacinta. Sungguh pandai papi dan mami memberiku nama, kata mereka nama yang bagus.
Bridgia artinya sumber kekuatan dan penghubung yang kuat. Gantari artinya menyinari, dan Hyacinta adalah nama bunga yang cantik dan wangi. Biasa aku disapa Brie, nggak usah dikasih huruf ‘O’, nanti jadi merek mobil.
Korelasi antara nama dan sifatku mungkin ada. Aku cukup kuat dan sabar menghadapi masalah yang datang dalam pekerjaanku. Itu benar, pramugari adalah profesi yang berhubungan dengan banyak orang. Bertemu dengan orang baru yang punya karakter beda-beda. Melayani orang yang baru bertemu, kenal aja belum tentu. Kalau bukan karena pengabdian, apalagi dong motifnya?
Ya memang ada motif keuangan dikit, sih, hehe. Siapa sih yang nggak suka jalan-jalan gratis, tapi dibayar? Bayarannya juga nggak main-main lho, bisa dua digit kalau rajin terbang.Selain itu, aku punya sisi lain yakni, keras kepala dan terbiasa mandiri. Dalam diriku ada dua sisi yang sedikit berbeda dengan wanita lain yang suka dimanja dan bermanja-manja. Aku sih sukanya mengerjakan semua sendiri dengan kedua tanganku selagi bisa. Untuk apa sih mengandalkan orang lain, apalagi manja-manjaan sama cowok? Ya, sebut saja pacaran gitulah!
Makanya, aku lebih suka lajang – bukan jomlo.
Sesampainya di jumpseat, Icha melek dan menyapaku dengan mata merah kelelahan. “29H lagi?” bahasnya dengan suara serak. Kelelahan itu pasti.
Ini penerbangan disebut redeye, by the way!
Aku mengangguk letih dengan menghempas sisi kursi yang keras. “Iya, Cha. Kayaknya dia sakit gitu, tapi anaknya tega lepas dia sendiri naik pesawat,” ceplosku sambil menyelonjorkan kaki.
“Serius?” lonjak Icha dengan mimik terkejut.
“Iya,” aku mengangguk pelan, “tadi ada info dari ground staff, kalau kita bawa pax satu yang sakit stroke. Dan itu pasti 29H.”
“Pantes!” timpal Icha pendek bin cuek sambil membuka bungkus permen Kiss rasa apel. “Mau?” tawarnya kemudian padaku.
Aku menggeleng malas. Inginku cuma tidur. Namun, sepertinya keinginan itu menjadi mustahil karena denting kembali berbunyi dari atas kepalaku.
Tung!
Damn! Lampu itu menyala lagi, dan 29H lagi dong! Belum selesai juga sih dramanya. Iya sih beliau sakit, tapi ngeselinnya itu lho! Nggak bisa ya besok aja ketika matahari udah terbit dan menyapa Jayapura gitu?
Lupa info, kalau penerbangan redeye ini adalah penerbangan malam nan panjang. Gimana nggak rutenya Yogyakarta – Jayapura. Dari Indonesia bagian tengah ke Timur. Wow, pengen kayang!
“Gue aja!” putus Icha mengumpulkan sisa energinya karena melihat wajahku kusam, kusut kayak gombalan belum disetrika.
Untung punya temen baik macam Icha yang mau back-up kelelahanku.
“Thanks,” balasku sambil melongok ke sisi kabin.
Icha berjalan cepat, sebab energinya sudah penuh. Menghampiri si nenek dengan wajah curam, karena aslinya Icha sedikit judes. Nggak tahu mereka ngomongin apa, tapi kurang lebihnya sama.
Si nenek minta dicarikan sandal yang hilang! Dan Icha yang ngeyel nggak mau nyarikan karena sama aja mengganggu banyak penumpang lain.
Huh, haruskah kusuruh semua penumpang di depan si nenek berdiri? Kerja sama cari sebuah sendal di pukul 12 malam di ketinggian 36.000 kaki kayak gini? Boleh aja, kalau aku mau ngerasain dilempar dari jendela darurat seketika sama captain!
Lelah maksimal ngadepin satu manusia!
---
Selamat pagi Kota Jayapura!
Akhirnya, aku bisa menyapa kasur setelah pesawat ini landing beberapa jam yang lalu. Leganya bisa gegoleran santai di Kasur hotel meski masih dengan berseragam kerja. Saking letihnya nggak sempet hapus make-up dan ganti baju. Nggak disiplin dikit, maaf! Kecapaian.
Untung saja Tuhan Maha Baik sehingga badanku yang letih bisa istirahat dengan sesegera mungkin. Tidur dapat sejam dan bangun dengan lumayan segar. Sekarang sedang mempersiapkan rencana hari ini mau ke mana. Tentu saja karena penerbangan harus nge-RON, bukan ronda. Remain overnight alias nginap.
Dengan kata lain, aku bakalan ada di Jayapura selama dua hari satu malam. jalan-jalan singkat sambil kulineran. Mengenal dunia Timur Indonesia yang katanya indah itu. Benar sih, hotel ini terletak di tepi danau Sentani. Jadi, aku bisa menatap pemandangan danau yang tenang dan pesawat yang hendak landing atau take-off.
Asyik, ‘kan, kerja jadi awak kabin? Bisa tidur di angkasa terus bangun pagi di kota orang. Yaa, meskipun kadang bikin keki, tapi lunaslah dengan liburan macam ini. Kerja sambil liburan gitulah.
Aku bangun dan duduk di depan kaca. Melirik ke kasur samping, ada Icha yang masih molor dengan ponsel menyala yang menempel di telinganya. Mungkin dia teleponan dengan sang pacar sampai tidur. Dasar bucin! Ke mana-mana harus ngabarin macam akun gosip ajalah dia.
Kuabaikan Icha dan kutatap kaca hotel di depan sana. Aku tersenyum, tentu saja senyum ngenes sambil menatap wajah yang masih bantal. Cantik gini kok buluk amat. Malas bersihin wajah yang artinya jahat sama wajahku sendiri. Bersiap aja sama jerawat dan teman-temannya.
Hela napas sejenak kendurkan emosi! Hai, wajahku yang Indonesia bangets! Yaps, menurut kaca itu dan kaca mata orang, wajahku memang Indonesia banget.
Pipi tembam, alis hitam tak begitu tebal, mata bulat hitam dengan bulu mata panjang, bibir tipis dengan senyuman simetris, gigi rapi, hidung ramping tidak pesek, dan kulit kuning langsat serta rambut hitam lurus sebahu potongan bob. Ditambah dengan tinggi 165 cm dan berat 48 kg, aku cukup kurus.
Kurus nggak apa, berat badan nggak jadi masalah sebab semakin aku kurus semakin bagus. Secara hal yang harus dijaga seorang pramugari adalah berat badan. Tenang aja, aku bukannya jaga makan. Aku doyan banget makan, apa pun! Anehnya, nggak bisa gemuk. Entah ini anugerah atau kutukan? Aku memilih untuk mensyukurinya saja.
Kalau diingat, memang anak papi mami nggak ada yang gemuk. Dari mulai mbak Rania sampai mas Abi. Papi mami juga nggak gemuk amat meskipun sudah sepuh. Mereka menjaga berat badan tetap ideal meski makannya banyak.
Aku bontot dari tiga bersaudara. Kakak pertama, perempuan, bernama Rania Ayuni Cantalla. Dia seorang dosen. Kakak kedua, lelaki, bernama Abishaka Dwi Pangestu. Dia seorang pilot maskapai swasta. Dan aku, anak ketiga, seorang pramugari maskapai nasional pelat merah Indonesia.
Sebuah kebanggaan bagiku dan tentu saja keluarga besarku. Masuk ke maskapai ini nggak semudah makan bakso. Tesnya susah, saingannya banyak. Syukurlah aku bisa masuk dalam sekali coba. Mungkin sudah takdirku jadi pramugari.
Sebab aku suka terbang, suka langit, suka baunya pesawat, dan juga gerimis. Ah, puitis sekali aku ini. Kuakui, hatiku melankolis. Aku seperti dewasa dan tenang, nyatanya kadang aku orang yang manja dan perajuk. Gampang luluh dan menangis melihat adegan romantis di film. Pun saat menatap gerimis di kaca jendela, seperti saat ini.
Jayapura sedang gerimis dan itu menyenangkan. Hatiku jadi kelabu memikirkan entah apa. Galau nggak jelas padahal nggak punya pacar untuk digalaukan. Ya udahlah, bodoh amat! Gerimis selalu berhasil mendayu perasaanku.
“Haruskah kalian seindah ini?” gumamku sambil mengikuti rinai air di kaca jendela hotel.
Ini bulan Desember tanggal 1, di mana hujan dan gerimis adalah pemandangan terindah sehari-hari. Di saat rekanku yang lain sibuk makan dan jalan-jalan, aku lebih suka ngendon di hotel memandangi gerimis. Kesukaan yang aneh, ya, katakan saja aku memang aneh. Sesuka itu aku pada gerimis.
Gerimis, keadaan di mana hujan tak deras juga tak reda. Nanggung gitu, tapi indah. Sama kayak hati manusia, kadang nggak tetap dan berada di tengah sisi. Biasanya gerimis justru lebih dingin daripada hujan. Datangnya nggak sama-sama tapi membuat durasi hujan jadi lebih lama. Seru aja, awet gitu!
Apalagi kalau gerimis melanda di tengah kegalauan hati kangen keluarga, wah makin dahsyat rasanya. Meski nggak punya pacar, aku masih punya keluarga yang sering bikin galau juga.
Aku sudah empat hari nggak pulang dan ketemu papi mami. Besok setelah dari Jayapura, barulah aku pulang ke rumah. Mungkin mereka sedang merindukanku. Jelas, aku penghidup rumah itu. Apalagi Papi sering sakit belakangan ini, sedihnya aku tak bisa merawat beliau karena tuntutan pekerjaan.
Lamunanku terhenti karena sebuah getaran mampir ke ponselku di atas kasur. Aku berjalan dan mengangkat benda itu. Nama mami berkilau di sana. Tentu saja itu membuat senyumku terbit. Sedang galau kangen mami papi, kok tiba-tiba menelepon. Langsung saja kuangkat tanpa basa-basi.
“Dek, sehat, ‘kan?” tanya Mami di telepon.
Aku menyeka air mata rindu. “Sehat, Mi. Mami dan Papi gimana?”
“Kami sehat, Papimu sudah baik saja. Tuh beliau lagi asyik godain perkututnya. Mungkin karena pengen bercucu, apa daya nggak punya,” curah Mami dengan nada suara yang disedih-sedihkan.
Pernyataan Mami lebih kepada sindiran untukku. Jadi ingat dengan kelakuan ajaib mereka padaku akhir-akhir ini. Percaya nggak, aku digadangkan untuk segera nikah.
Gimana mau nikah, calon aja nggak punya. Mana sempat cari pacar kalau aku sibuk terbang terus. Lagian masih ada mbak Rania dan mas Abi, kenapa aku terus yang dirongrong? Lagian aku nggak mau pacaran apalagi nikah. Kerja masih asyik ngapain mikir pasangan coba?
“Mas Abi atau mbak Rania aja lho, Mi,” elakku seperti biasa.
“Mas dan Mbakmu nggak bisa diharapkan,” jawab Mami gantung.
“Mbakmu kayak nggak ada gairah sama lelaki apalagi cari jodoh. Masmu gonta-ganti pacar terus!” imbuh Mami yang membuatku menelan ludah pahit.
“Mi, Brie ‘kan masih asyik kerja. Nggak mikirin nikah. Lagian usia masih 22, santai ajalah, Mi!” jawabku enteng sambil meremas-remas selimut hingga kusut.
“Mau nunggu sampai uban Papimu sebanyak apa, Brie? Nggak kasihan lihat Papi Mami nimang perkutut terus?” ucap Mami yang kayak lelucon.
Aku menahan tawa. “Aduh, Mi, bisa nggak bahas yang lain?”
“Nggak bisa, Nduk! Cah Ayu, kamu satu-satunya harapan Papi Mami saat ini,” paksa Mami pura-pura memelas.
Percayalah, itu cuma akal-akalan Mami aja. Nyatanya aku denger bisikan Papi di belakang. Suara beliau teramat semangat 45. Garuk-garuk jidat aku nih. Aku bukan anak TK yang bisa dikibulin terus menerus. Udah cukup aku jadi tumbal keajaiban mereka selama ini.
“Brie tidur lagi aja, ya. Ngantuk Mi, capek!” tepisku halus sambil hendak menutup telepon.
Mami menghela napas panjang seperti hendak menahanku, seperti biasalah. “Ya udah bisa apa. Cepet pulang, ya, Dek. Nanti temenin Papi Mami ke rumah calonmu.”
“Ap – apa? Calon apa, Mi?” tanyaku gelagapan sedikit ketakutan.
“Calon suamilah, masa calon penumpang!” jawab Papi nggak sabar dengan suara empat limanya. Super semangat!
Berasa disetrum sama belut listrik, seriusan ini teh? Are you kidding me, Papi? Oh no, nggak lagi kayak gitu, please! Aku bukan burung dara yang butuh pasangan.
“Pap – Papi nggak usah bercanda! Calonnya Mbak Rania, ‘kan?” desakku ketakutan sendiri. Ngeri membayangkan kalimat selanjutnya.
“Nggak, calonmu!” putus Papi tegas.
Mulas seketika perutku ini. Tanganku lemas sampai ponselku jatuh begitu saja ke lantai. Seriusan mereka udah punya calon, ortu kunoku itu? Nggak ada kerjaan lain apa selain jodohin anak-anaknya?
Setelah gagal jodohin Mbak Rania dengan seorang tentara Angkatan Udara, sekarang jodohin aku? Entah dengan lelaki mana lagi aku akan dikurbankan? Kenapa nasibku terasa seperti di ujung tanduk?
Gimana dengan karier terbangku? Aku nggak mau berhenti, nggak mau diganggu dengan yang namanya pernikahan dan dunianya. Masih ingin jadi wanita lajang, independen, mandiri, dan bebas ke mana-mana.
Telepon sudah mati dan menyisakan aku yang kusut bukan main. Gegoleran di lantai hotel dengan wajah berantakan seperti kena tsunami. Bingung harus berkata dan berpikir apa, kecuali hanya meminta.
“Hello Desember, please be nice! Aku nggak mau nikah cepet, please!” Aku geregetan sendiri sambil menendang-nendang kasur hotel yang nggak bersalah ini.
Wanita bernama B, lengkapnya Bridgia ini akan segera dijodohkan? Oh big nooo noooo! Aku nggak mau! Somebody please help me!
Hai bertemu lagi denganku! Apa kabar kalian? Gerimis Bulan Desember ini adalah new version ya! Jadi, pasti berbeda banyak dari versi sebelumnya. Senang bertemu dengan Kalian, Temans baikku.
“Ayolah Nuuuu, kenalan sama calonnya Ibu! Hem?”Rayuan yang mampir ke telinga lelaki bertinggi 180 sentimeter itu hanya sekedar angin lalu. Di hari semendung ini, lelaki itu tengah diselimuti kelelahan setelah bekerja sepanjang hari. Sehingga lelaki berwajah tampan yang masih berseragam loreng dengan wajah penuh coretan samaran itu hanya melengos meski yang merayu adalah ibu kandungnya.Dia tak peduli, cuek selangit. Bahkan, tubuh tegapnya berhasil menepis tangan sang ibu yang hendak bersandar di bahunya. Membuat sang ibu mencibirnya gemas. Ibu berparas ayu itu sudah biasa dicuekin si bungsu yang seorang tentara itu.Lelaki bernama Inu itu menatap ibunya dengan pandangan yang sama, enggan dan frustrasi. “Ibu nggak tahu kalau Inu udah punya pacar?” omelnya dengan kesal sambil menghapus tinta samaran dengan tisu basah.Sang Ibu melengos dan terus merepet pada si bungsu yang tampak makin enggan. Tentu karena kalimat selanjutnya adalah
Malam ini, gerimis masih melanda Kota Jakarta. Jam menunjukkan pukul tujuh, tapi terasa lebih malam. Mungkin benar kata pujangga, gerimis mempercepat kelam. Sama seperti hatiku yang mulai merambat pada rasa tak keruan.Malam ini mobil papi disetiri Mas Abi. Yaps, seluruh elemen keluarga aneh ini diajak untuk bertemu dengan keluarga aneh yang lain itu. Sebut saja keluarga calon suamiku, huh! Tunggu, ini serius?Hatiku mulai berdebar aneh. Sepertinya aku mulai penasaran dengan rupa manusia itu. Penasaran saja sih, bukannya minat sama perjodohan itu, ya! Sekali lagi aku nggak mau nikah cepet di usia semuda ini.Namun, aku juga penasaran. Apa dia masih muda, seumuranku, atau malah lebih muda? Jangan-jangan dia pria paruh baya seumuran papi. Mereka terlibat perjanjian lama demi harta gitu? Terus untuk menebus utang, papi nikahin aku sama orang itu.Duh, serius nih papi jodohin aku demi harta atau sebongkah saham? Aduh, semoga nggak! Masa hargaku sebanding sama
Bridgia hanya bisa membolak-balik badannya ke kanan dan kiri. Malam ini dia tak bisa tidur, apalagi setelah pertemuan dengan Inu tadi. Mereka berjumpa lagi setelah berpisah sembilan tahun lamanya. Padahal esok pagi dia harus bangun cepat untukflightke Balikpapan. Jadwalnya tiga hari terbang, dan itu sangat menyita perhatiannya.Namun, otaknya tak ingin diajak tidur. Masih saja terus memikirkan Inu Adikara, si aneh menyebalkan itu. Di antara jutaan pria Indonesia, kenapa harus Inu, pikir Brie.Kenapa pula dia harus dijodohkan dengan lelaki macam dia? Apalagi Inu tak dalam status lajang. Hidup Brie yang indah mendadak pelik dan aneh. Susah payah melupakan Inu, bahkan sampai tak menjalin cinta dengan siapapun, buyar begitu saja.Brie kesal dengan jalan hidupnya, mendadak aneh hanya dalam hitungan hari, bahkan hitungan jam. Apalagi musim hujan dan gerimis masih panjang. Maka, masih panjanglah pula dia harus mengingat Inu Adikara. Mengingat Inu s
Bridgia POVAkhirnya, aku sampai juga di Jakarta. Rindu sejadi-jadinya pada kota padat ini setelah beberapa hari tak jumpa. Melihat landasan pacu CGK bak melihat Kasur nyamanku, ingin segera pulang dan jadi kaum rebahan. Aku super lelah karena beban kerja yang nggak main-main.Sesampainya di flops, masih sempat-sempatnya aku menyapa Mbak Maria yang akan flight ke Manado. Beliau ini memang panutanku sejak zaman pucuk dulu. Perangainya baik dan lembut pada junior. Maka dari itu, banyak yang suka padanya termasuk aku.“Safe flight, Mbak!” ucapku manis pada Mbak Maria yang juga tersenyum manis.Dia melambai padaku dengan semringah. “Kamuhave a nice sleep, ya, Dek!”Si baik hati yang ngemong sekali itu akan akan dipromosikan jadiMaitre de’ Cabin. Beliau pantas mendapatkannya karena kebaikan hati mirip bidadari udara. Seragamnya akan segera berganti ke warna un
Bridgia Gantari POVSepertinya suasana di ruang makan itu sedang genting. Tak tahan mataku ini untuk terus memandangi mereka, yakni Inu, si manja, dan Bu Nanda. Sepertinya mereka sedang terlibat perdebatan sengit hingga si manja itu menangis. Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi? Perasaan tadi katanya cuma makan siang, lhakok pakai emosi?Di saat aku sedang kepo-keponya terdengar panggilan dari suara yang bersemangat dari arah belakang. “Masayu?” pecah sebuah suara yang membuatku menoleh.“Kakek,” balasku bingung.Wajahku yang datar langsung berhias senyum lebar. Aura Kek Djoko itu beda saja. Berasa sedang menatap gambar pahlawan di tembok sekolahan. Aku tak bisa jika tidak menghormati beliau.Namun, lagi-lagi aku dipanggil Masayu. Aduh, gimana ya caranya ngadepin kakek sepuhnya Inu ini? Gimana caranya menegaskan kalau aku itu Bridgia bukan Masayu. Aku nggak enak membantah orang tua. Jadinya nurut
Hari ini aku nugas di kelas bisnis. Mengalihkan pikiran lewat pekerjaan itu kadang susah, kadang juga gampang. Untungnya aku menikmati setiap alur pekerjaanku, sehingga beban pikiran yang menyebalkan itu perlahan sirna.Bayangan wajah Inu yang menyebalkan itu bergeser dengan wajah-wajah para penumpangku. Bagiku mereka lebih penting daripada Inu, meski aku nggak kenal. Seperti lagu lama, kadang orang asing lebih menyenangkan daripada kenalan kita sendiri. Semacam itulah.“Welcome drink-nya mau apa? Apel atau jeruk, Pak?” tawarku ramah pada penumpangseat1A, kursi kelas bisnis Airbus 330.“Tomat nggak ada, ya?” tanya si bapak penasaran.Aku tersenyum. “Tomat ada.”“Mau yang tomat aja,” putus si bapak yang kubalas anggukan.“Baik tunggu sebentar, ya, Pak!” ucapku.Aku beralih pada seat 1B. “Minumnya mau apa, Pak?”“Nggak, Mba
Di sebuah ruang kerja di rumah megah, ada dua orang tentara berhadap-hadapan. Wajah mereka tidak santai, cenderung tegang. Keduanya sedang terlibat percakapan penuh emosi membahas hal yang sama, terjadi lagi. Pak Pras dan putra bungsunya kembali bertengkar karena masalah yang sama.“Apa-apaan ini Inu!” bentak Pak Prasetya sambil membanting sebuah map biru tebal ke meja kerjanya.“Saya memutuskan untuk mengajak Belva menikah, Romo. Itulah bentuk keseriusan saya sebagai laki-laki.” Inu tak bergeming kendati jenderal bintang dua itu marah dengan beringas.Pak Pras menunjuk wajah sang putra dengan emosi. “Sampai kapan pun, Romo tidak akan menandatangani pengajuan menikahmu dengan Belva! Romo hanya akan menyetujui jika calonmu Bridgia, titik!” tegas Pak Pras tanpa koma.Inu menatap sang Romo dengan tatapan tak percaya. “Kenapa, Romo?Mimik wajah Inu berubah. Alisnya naik satu dengan bibir miring. “Kenapa R
Bab 9 Hyacinta, Hay Cinta Di siang yang terik, Mami menarik tubuh lelahku ke sebuah rumah sakit besar di pusat kota. Tak hanya itu, aku juga disuruh bawa keranjang buah segede pos ronda dan beberapa tas lainnya. Berasa kuli panggul hanya untuk menjenguk orang sakit. Sayangnya, aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Langkahku gontai beda dengan mami yang semangat. Gimana nggak, aku capek berat nggak bohong. Sayangnya lagi, mami sangat enerjik untuk menjenguk Kek Djoko yang sakit sejak semalam. Aku udah paham betul kok karena semalam aku diseret-seret Inu ke tempat ini. Langkahku makin lemas dan malas saat hendak menaiki tangga, tapi Mami membuatku kaget dengan seruannya yang seperti sirine pemadam kebakaran.“Dekkk, bawain keranjang buahnya!” Mami
“Mas … makanan Noah nanti angetin di panci kukusan aja, ya? Kita nggak punya oven. Jangan lupa lima menit aja nggak usah lama-lama!”“Mas, jangan lupa jemuranku di belakang! Udah mau kering paling jam sepuluhan udah siap angkat!”“Nanti kalau ada calon Persit mau ngadep jangan lupa disenyumin, Mas! Ingat juga nanti sore suruh ngadep aku lagi, okay?”“Noah nggak suka pakai popok kalau siang jadi Mas Inu kudu rajin ngajak dia ke kamar mandi setiap sejam sekali!”“Mas … bla bla bla!”Inu hanya melongok kecil tatkala Brie tercinta mondar-mandir dari kamar satu ke kamar satunya. Jiwanya sebagai pramugari masih ada, cekatan dan suka jalan cepat. Meski begitu derap langkahnya masih anggun sama seperti saat bekerja dulu. Sama seperti rasa di hatinya yang tetap malah makin cinta.Kemudian pria yang bercelana loreng dengan banyak saku dan kaos oblong cokelat itu meraih putra kes
Anak lelaki bisa menjadi sahabat bagi bapaknya dan pelindung bagi ibunya. Pepatah itu mulai kurasakan saat Noah berusia setahun minggu lalu. Bahkan, semenjak usia delapan bulan dia laksana sahabat dan rekan terbaikku. Kini tanpa terasa usianya sudah setahun. Kami merayakan pertambahan usianya dengan sebuah syukuran sederhana di rumah romo dan ibu.Dia meniup lilin ulang tahun di kue cokelat yang kubuat sendiri dibantu ibu. Tak hanya itu, Noah juga menghabiskan sepiring besar nasi kuning buatan mami. Memang, ya, selera makan besar nurun aku.Sayang, kami harus merayakannya tanpa mas Inu karena dia sibuk di kantor seharian. Bagiku itu sudah biasa, mas Inu tidak selalu bisa hadir dalam setiap suasana karena tuntutan dinas. Bukan hanya ulang tahun anak semata wayang kami saja, tapi juga ultah ibu dan romo pernah dia lewatkan karena tugas.Yang luar biasa adalah pengertian dari Noah. Anak sekecil itu tak pernah menuntut atau rewel tatkala Didi – biasa dia meman
Inu Adikara POVSembilan bulan dua belas hari, Bridgia membawa anakku ke mana-mana. Tidur, makan, mandi, menyapu rumah, memasak, mencuci, dan aktivitas apa pun. Termasuk saat merayu dan menggodaku kesabaranku saban hari. Dia mengganggu ketenangan pagi dan malamku. Membuat permintaan yang kadang konyol dan tak masuk akal. Sampai lelah kadang menghadapi Brie.Namun, dia tak punya lelah dalam membawa anakku ke mana-mana. Tak pernah sekali saja ditaruh perut besar seksinya itu. Pasti berat, sebab aku pernah mengangkat perut buncitnya dengan tanganku. Berat karena berisi bayi dan cairan-cairan lainnya. Oleh karena itu, ibu hamil itu sangat mulia. Itulah yang membuatku sangat mencintai Brie saat ini.Untuk ukuran ibu hamil trisemester tiga, Brie tergolong bu mil yang aktif. Bahkan, saat pesta pertunangan Mbak Rania minggu lalu, dia tetap lincah membantu ini dan itu dengan perut besarnya. Dia tak suka berpangku tangan. Jiwanya sebagai pramugar
Tangan ini hanya bisa melambai ke udara saat melepasnya pergi. Petang ini kembali kulepas pujaan hati kembali ke tanah penugasan. Tak bisa dipungkiri, dia belum waktunya bersantai. Masih harus menuntaskan kewajibannya. Bisa melipir untuk mengantarku pulang saja sudah syukur.Sekali lagi kulambaikan tangan sampai di menghilang di ambang gate 10A. Kulepas Inu dengan air mata haru, bukan sebuah kesedihan. Sebab tak lama lagi dia akan kembali lagi untuk memelukku. Dan mungkin memeluk anak kami di dalam perut sini.Benar, aku tak begitu sedih karena ada yang tertinggal dari Inu di dalam tubuhku. Benihnya. Semoga saja mereka bertemu dan membuat sebuah pencapaian besar. Sebuah hadiah indah yang akan kusambut di bulan depan, semoga. Aku sangat menginginkan kehamilan ini.Secara otomatis, surat pengunduran diriku akan terkirim ke maskapai seiring dua garis itu. Aku akan mengundurkan diri dari dunia pramugari yang tlah membesarkan jiwaku. Ya, semoga.“Cepatla
“Air mata rinduku tercipta lagi. Menoleh ke samping, aku sendirian. Hanya berharap satu, andaikan kamu di sini.”Pernahkah kamu merasa sepi saat sekelilingmu ramai? Mereka tertawa lepas, tapi mulutmu terlalu berat untuk membalasnya. Semua ribut membeo, bertutur, berceloteh, sedangkan kamu hanya diam tanpa ekspresi. Seolah tak ada yang menarik selain hanya merasa sepi.Pernahkah kamu merasa berat meski sedang tidak membawa apa pun?Apa saja yang kamu rencanakan terasa susah untuk diwujudkan. Semua menjadi serba salah. Tak enak hati karena bimbang antara memilih atau menolak kenyataan.Mungkin cuma barisan orang rindu macam aku ini yang sedang merasakannya.Tidak bergairah untuk sekedar melempar senyum atau pun serba salah dalam setiap perilaku. Seolah tak ada yang menyenangkan, semua terasa buntu.Kusadari itu semua karena rindu. Kangen pada seseorang yang ditunggu kedatangannya, tetapi tak kunjung data
"Masihkah kamu mencintaiku?" tanya Inu lirih."Entah,” jawabku dengan mata kosong."Kamu sedang memikirkan apa?""Kamu,” jawabku jujur."Sudah memaafkanku?" Inu mencium punggung tanganku dengan hangat"Nggak kepikiran!""Kenapa?""Nanti kamu sakitin aku lagi."Dialog-dialog kami mengalir seperti air hujan yang tercurah dari genteng. Kami duduk bersebelahan sambil bersandar pada tembok yang dingin. Tanpa saling melihat hanya saling memegang tangan. Pandangan kosong menerawang, sesekali mengingat apa yang baru saja kami lakukan.Aku tersadar bahwa kami baru saja bercinta dengan hebat dan meminggirkan semua kerusakan yang sempat terjadi. Kini apa status kami, mungkin sepasang suami – istri yang masih cinta dan saling memperbaiki situasi.Seperti Inu Adikara yang kali ini melabuhkan pelukan lebarnya pada tubuhku yang tanpa benang sehelai saja ini. Inu makin mengeratkan pelukannya saat aku mencium dad
Hujan telah menghiasi langit Jakarta yang gelap. Pukul delapan malam, harusnya aku bahagia larut dalam pesta bujangan Sysil. Nyatanya, aku malah di dalam kamar gelap berteman pemahaman yang makin pelik. Berteman anggapan dari pikiranku yang makin rumit. Tentang pernikahan ini dan Inu Adikara.Sepertinya pernikahan ini telah menemui jalan buntu. Aku bisa memaafkan semua kesalahan Inu, tapi tidak dengan satu, perselingkuhan. Sama seperti dia yang membenci seorang peselingkuh, entah benar atau tidak, aku pun sama. Entah, mungkinkah ini akhir dari semua kebodohan ini?Di tengah kesesakan dari dada dan rasa, tiba-tiba telingaku mendengar suara deru mobil yang dimatikan. Rupanya Inu sudah datang. Tersangka utama keributan sore ini siap untuk menghancurkan sisa malam bersamaku. Mungkin ini akan jadi malam terakhir aku melihat kamar ini.Sebab setelah ini aku akan pergi meninggalkan semua, “dunia” bodoh ini.Setelahnya, te
“Ginikah Mas potongan wortelnya? Kurang kecil nggak?” Kuahnya kayak gini? Kurang kaldu apa gimana? Suka bening apa pekat?”“Suka merica apa lada hitam? Aku banyakin yang mana?”Inu menatap sang istri yang berceloteh riang sambil mengaduk-aduk spatula. Wajah sang pramugari terlihat semringah karena sore ini dia memasak untuk sang suami di rumah mertua. Dapur yang sepi berubah menjadi riuh karena perdebatan kecil di antara mereka. Ya cuma masalah potongan wortel yang kegedean, atau kuah sup sayur yang kurang pekat.“Kalau terlalu besar wortelnya, kata ibu, jadi nggak manis gitu,” lanjut Brie ceriwis.Inu mendekati pipi sang istri. “Terserah kamu, Dek! Semua masakanmu pasti kumakan.”Brie mendelik kecil sambil menaruh spatula. “Kok gitu? Nanti Kalau nggak enak aku diomeli lagi!” protes Brie.“Siapa sih yang berani ngomeli cewek galak macam kamu?&r
Ada yang lebih seram dan pekat dari awan kumulonimbus. Ada yang lebih berat dari pintu Boeing 737-800. Ada yang lebih menyesakkan dari dekompresi udara. Ada yang lebih rumit dari tombol kokpit. Dia bernama rindu. Aku mengenalnya semenjak bertemu dengan manusia itu.Rindu pada manusia yang jauh di sana – yang sekarang makin jauh. Setelah meninggalkanku ke Bandung, sekarang Inu sudah ada di Situbondo. Dia harus merampungkan tugas pada negaranya sebagai seorang penjaga bangsa yang setia.Rinduku sama dengan celotehnya, makin seru. Apalagi jika mendengar suara ceriwisnya, serasa aku ingin menembus ruang untuk bersua dengan Inu di sana.Dia menjadikanku buku diari hidup dengan bercerita banyak hal di panggilan telepon. Katanya, dia ketemu banyak prajurit dari matra lain. Maksudnya, dari Angkatan Laut dan Udara. Yang laut bawa kapal induk dan yang udara bawa jet tempur. Seru, berasa simulasi perang sungguhan. Mereka meledakkan bom di gunung, meledakkan meriam, d