Home / Romansa / Gerimis Bulan Desember / Bab 4 Pergolakan Batin Dimulai

Share

Bab 4 Pergolakan Batin Dimulai

last update Last Updated: 2021-04-05 14:58:05

Bridgia hanya bisa membolak-balik badannya ke kanan dan kiri. Malam ini dia tak bisa tidur, apalagi setelah pertemuan dengan Inu tadi. Mereka berjumpa lagi setelah berpisah sembilan tahun lamanya. Padahal esok pagi dia harus bangun cepat untuk flight ke Balikpapan. Jadwalnya tiga hari terbang, dan itu sangat menyita perhatiannya.

Namun, otaknya tak ingin diajak tidur. Masih saja terus memikirkan Inu Adikara, si aneh menyebalkan itu. Di antara jutaan pria Indonesia, kenapa harus Inu, pikir Brie.

Kenapa pula dia harus dijodohkan dengan lelaki macam dia? Apalagi Inu tak dalam status lajang. Hidup Brie yang indah mendadak pelik dan aneh. Susah payah melupakan Inu, bahkan sampai tak menjalin cinta dengan siapapun, buyar begitu saja.

Brie kesal dengan jalan hidupnya, mendadak aneh hanya dalam hitungan hari, bahkan hitungan jam. Apalagi musim hujan dan gerimis masih panjang. Maka, masih panjanglah pula dia harus mengingat Inu Adikara. Mengingat Inu sekaligus kecewa pada ingatan itu.

“Wajahnya doang baik-baik, kayak lelaki sabar dan penyayang. Padahal aslinya nyebelin banget. Wajahnya kayak serius, ramah, padahal aslinya malesin!” gumam Brie tak ada hentinya saat jam sudah menunjuk pukul 11 malam.

Mata indah hitam lentiknya masih terpaku pada foto Inu Adikara di media sosial. Pertemuan aneh tadi diakhiri dengan bertukaran alamat media sosial antara Brie dan Inu. Bukan suka rela, melainkan dipaksa kedua belah orang tua.

Perjodohan itu tak main-main, bukan bualan. Semakin lama semakin serius. Brie dipaksa dekat dengan Inu meski dia tak ingin Inu kembali dalam hidupnya. Yang dulu sudah cukup, Brie tak mau lagi.

Namun, gadis itu sekarang malah larut dalam sebuah pengintaian. Dia menghabiskan 60 menitnya untuk menyelami isi media sosial Inu. Sesekali dia bergidik ngeri. Kadang dia mencibir dan bergumam tanpa alasan.

“Dasar budak cinta! Berhamba banget ke pacarnya, jijik!” Brie bergidik ngeri sambil melihat isi Instagram Inu yang dipenuhi fotonya dan sang kekasih.

Teng … teng … teng! Jam besar di ruang keluarga rumah Brie berdetak 12 kali. Ini sudah jam 12 malam dan gadis cantik itu belum tidur.

“Astaga! Besok aku harus flight! Lupakan Inu! Lupaaa! Tidur aja mendingan!” putus Brie gusar.

Dia membuang ponsel sembarangan dan memilih tak peduli lagi pada orang yang namanya Inu Adikara. Kariernya lebih penting dari apapun! Maka dia memutuskan tidur.

Tak berapa lama, Brie mulai masuk dalam alam mimpi. Alam di mana dia tak bisa mengatur siapa pun dan adegan apa yang muncul. Dia hanya bisa menahan napasnya sambil berusaha membuka mata. Sialnya, Brie harus menikmati mimpi buruk itu.

“Kakak nggak bisa ya berhenti nyuruh aku ngerjain PR? Aku capek, Kak. Aku pusing belajar pelajaran anak SMA. Mana mbakku nggak mau ngajarin lagi. Aku dimarahi abis-abisan, Kak. Pelajaran Kak Inu tuh susah."

“Kamu nggak sayang Kakak? Katanya mau bantuin.”

“Emang sayang itu gimana sih, Kak? Aku nggak ngerti.”

Bee harus bantuin Kakak ngerjain tugas ini, please! Kakak harus nonton Persija! Harus banget!”

“Apa artinya Kakak harus bolos sekolah?”

“Kakak nggak bolos, cuma nggak masuk aja tanpa pamitan. Pokoknya kalau Bee sayang Kak Inu, harus bantu, ya!”

Kemudian gadis kecil bermata indah berkuncir dua itu hanya diam. Dia menyerah lagi. Brie menurut pada permintaan pacar pertamanya yang seorang anak SMA bernama Inu.

Adegan yang tak disukai Brie itu terus bergulir. Kali ini percakapan yang beda muncul lagi entah dari mana.

“Kak, kata temenku, Kak Inu kemarin bolos sekolah? Itu nggak boleh, Kak. Nakal namanya!”

“Nggak apa-apa, biasa cowok gitu Bee! Gimana tugasku, udah selesai, ‘kan?”

“Belum! Aku pusing, Kak. Udahlah Kakak aja yang kerjain!”

“Gue mana paham, Bee. Kamu yang lebih paham sama pelajaran gue!”

“Apaan sih, kok gitu! Katanya Kak Inu janji mau belajar, kok sekarang ogah-ogahan?”

“Belajar itu urusan nanti, kalau nggak ada niat bisa apa.”

“Kok Kak Inu nakal sih! Niat sekolah nggak sih?”

“Bee sayang Kakak nggak sih?”

“Aku nggak tahu apa itu sayang, Kak. Kakak selalu bilang sayang kalau mau nyuruh aku.”

Inu hanya tertawa kosong. Antara tega dan tak tega melihat wajah polos gadis di depannya. Anak SMP yang lima tahun lebih muda darinya itu terlihat polos apa adanya. Namun, dimanfaatkan begitu saja cuma dengan modal kata “sayang”.

Mimpi liar Brie makin tak terkendali. Kali ini berganti adegan yang menyakitkan itu. Ya, potongan nyata dari kejadian masa lalunya dulu.

“Gue cuma manfaatin dia, Coyy!”

“Wah, gila lo, Nu! Anak kecil itu!”

“Bomat, yang penting tugas gue selesai, ‘kan? Nggak perlu dihukum lagi gue. Enak lho pacaran sama anak SMP, ha ha ha.”

Gadis bermata indah itu menangis pelan. “Maksudnya apa, Kak? Dimanfaatin apa?”

“Mampus lo, Nu!”

“Bee!” panggil Inu cepat-cepat, kartu AS-nya terbuka begitu saja. “Kamu salah denger. Maksudnya aku senang dibantu kamu.”

“Aku nggak budek, Kak. Aku denger jelas dan ngerti banget maksud kalimatmu. Nilai Bindoku 100, nggak bego masalah kalimat.”

“Gue bilang, gue senang lo bantuin tugas dan PR, Bee! Lo percaya gue apa anggapan lo sendiri sih?”

“Udah cukup, Kak. Aku nggak bego! Jadi, sayang yang Kakak maksud adalah memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi. Kakak jahat!”

Bridgia yang masih berseragam putih biru beranjak pergi. Sementara itu, Inu Adikara menahannya.

“Kamu pergi, kita putus!” ancam Inu.

“Putus aja! Pacaran kayak apa aja aku nggak tahu. Kakak cuma bikin aku pusing dan susah.”

“Cewek bego!”

“Cowok stres!”

Hubungan aneh itu selesai begitu saja. Mereka berpisah di persimpangan jalan. Mimpi menyesakkan itu berhenti dan berakhir.

---

Cahaya terang mulai berganti pemandangan kamar bernuansa merah muda dan putih. Gadis cantik itu mulai terjaga dari tidurnya di pukul enam pagi. Malam akhirnya berganti pagi. Dan gadis kecil yang sudah dewasa itu mulai menggeliat dengan mata yang terlihat lelah. Bridgia mulai menata pikirannya setelah bermimpi buruk.

“Bad dream,” gumamnya kecut. “Gila, mimpi aneh itu lagi! Kenapa sih aku nggak bisa lupa, kejadian itu biasa aja tapi bikin aku trauma sampai sekarang! Sialan!” racau Brie sambil bangkit dari tempat tidurnya.

Dia memukul kecil pelipisnya. Berharap pikiran acaknya itu bisa tersusun rapi dan menghilang.

“Mendingan siap-siap kerja ajalah!” putusnya kacau.

Dia mandi, tak butuh waktu lama cukup lima menit. Berganti baju mandi dengan seragam, bawahan batik Parang Gondosuli dan atasan kebaya polos warna tosca. Wajahnya datar kendati tangannya cekatan memasang beberapa emblem. Pun saat menyisir rambut hitam lembutnya, wajahnya tak banyak berekspresi.

Mimpi barusan mengacaukan pagi indahnya.

Brie menatap jendela kamarnya setelah menyemprot parfum yang lembut di belakang telinga. Dia berdecak kecewa. “Gerimis, sambutan yang manis untuk hari ini,” ucap Brie setengah menyindir cuaca.

Dia mulai memoles wajah cantiknya. Alis yang cukup tebal dibingkai dengan polesan mata berwarna coklat. Senyum manis yang dipoles dengan lipstik warna merah muda. Sandal hak tinggi warna hitam sebagai pelengkap kaki mungil sibuknya. Brie mulai siap memulai hari ini. Yang mungkin akan terasa beda dari hari kemarin.

Kemudian pramugari itu turun dari kamarnya di lantai dua sambil memandang Abi yang sedang sarapan roti. Dengan gontai Brie melangkah menuju meja makan sambil menyeret kopernya.

“Cieee yang udah mau jadi pengantin,” goda Abi sambil mengunyah roti bakar selai madunya saat Brie baru saja duduk.

Brie hanya mencep sambil duduk dan meletakkan handbag di kursi. “Siapa? Mas Abi?” tanyanya malas.

“Ckck, nggak usah pura-pura bego, Brie. Mas minta seserahan lho karena dilangkahi,” cerocos Abi lagi.

Sementara itu, Rania yang juga hendak pergi mengajar terlihat angkuh. Dia duduk di sebelah Abi dengan mata curam tak ramah. “Seharusnya kamu resign aja, Brie. Mulai belajar tentang rumah tangga, supaya calon suamimu jatuh cinta. By the way, nggak nyangka ya ternyata dia mantan pacarmu waktu SMP,” celotehnya yang membuat Brie makin malas.

Brie melirik sang kakak dengan mata sayu. “Kenapa nggak Mbak aja yang belajar deketin pria? Biar cepet nikah dan memulai hidup baru,” sindirnya.

“Maksudmu?” tuding Rania sinis.

“Iri bilang, Mbak!” celetuk Brie yang membuat Abi melipat mulutnya.

Pilot muda itu merasa kikuk di antara perdebatan kakak dan adiknya. Dua orang perempuan yang sedang bertengkar itu lebih seram dari badai angkasa, pikir Abi.

“Eh, kamu terbang ke mana, Brie?” alih Abi supaya suasana cair

Brie memandang Abi dengan santai tanpa mempedulikan Rania. “Balikpapan, Medan, dan Singapura. Aku flight 3 hari, Mas. Lumayanlah nggak denger suara sumbang di rumah.” Brie setengah melirik sinis Rania.

“Aku nggak iri meskipun kamu bakal nikah duluan. Meskipun kamu kelihatan lebih sibuk dariku, aku biasa. Cuma sikapmu itu, Brie. Mau pamer kalau laku banget gitu?” lanjut Rania tak mau menutup mulutnya.

Brie membanting lap makan. “Mbak, siapa yang mulai duluan? Siapa yang sinis duluan? Mbak, ‘kan? Ketika ada kabar aku dijodohin, siapa yang kebakaran jenggot? Mbak, ‘kan?” tuding Brie bertubi-tubi.

“Hah,” Rania terperangah. “Aku cuma nggak habis pikir aja sama kamu. Nggak ada syukurnya jadi anak. Udah bagus dibantu cari jodoh, kamu kira jadi perawan tua macam aku ini enak? Malah menolak mentah-mentah,” celoteh Rania panjang lebar.

Brie menata suaranya. Dia lebih suka mengeluarkan keanggunan berbicaranya untuk menghadapi sang kakak. “Gini, ya, Mbak. Seharusnya Mbak bangga sama diri sendiri. Mbak kerja, dosen pula. Belum nikah belum tentu nggak laku. Mungkin Mbak masih dikasih kesempatan buat eksplor diri sendiri. Please, pikiran jangan skeptis!” ujar Brie dengan taktis, tapi menyebalkan bagi Rania.

“Anak zaman sekarang, ya, sarapan pakai debat. Papi bangga benar sama anak-anak ini. Otaknya main semua, pintar bermain kalimat!” Pak Pram datang dan menengahi masalah.

“Brie sudah kenyang! Lima menit lagi mobil maskapai jemput. Makasih Papi sarapannya! Berangkat dulu, ya?” Brie mencium tangan sang papi dan pamit bekerja dengan pandangan dingin. Hatinya masih tak baik dan harus menghadapi keanehan sang kakak pertama.

“Hati-hati Cah Ayu, calon pengantin harus jaga diri,” timpal sang papi yang membuat wajah Brie makin kusut.

Sementara itu, Rania hanya mengaduk isi piringnya. Sereal itu tak enak sama sekali, apalagi saat sang papi menatapnya tajam. “Pagi, Pi!” sapa Rania berusaha biasa.

“Pilot Batik boleh numpang mobil Garuda nggak, Brie?” pecah Abi semangat sambil menyambar tas cangklongnya.

“Tauk!” sahut Brie sekenanya.

“Pi, Abi berangkat, ya?” pamit Abi dengan wajah semringah dan mencium punggung tangan sang papi. Dia selalu easy going dalam keluarga ini.

Sang Papi menatapnya lekat. “Kerja yang bener kamu, Bi! Jaga adikmu baik-baik.”

“Ehe, kami beda maskapai lo, Pi,” jawab Abi kikuk.

“Yang penting, ‘kan, sama-sama di udara,” simpul sang papi sekenanya.

“Iye deh,” ucap Abi pasrah. Ngalah sama orang tua mungkin.

“Ehem!” Sang Papi berdehem sambil duduk menghadapi Rania yang masih mengaduk isi mangkoknya.

“Kok masih nggak rukun sama adikmu, Ran?” sapa sang papi.

“Papi yang bikin semua gini,” ucap Rania sekenanya.

“Masih nyalahin Papi? Kenapa kamu nggak coba bercermin sama diri sendiri sih?”

Rania menatap sang papi pias. “Pi, daripada sibuk menjodohkan Brie yang nggak pengen nikah, kenapa nggak nikahin Rania aja sih! Yang seharusnya papi mami pikirkan itu saya, Rania Pi! Bukannya Brie! Dia masih anak kecil!” Rania memukul-mukul dadanya emosi.

“Hem,” Pak Pram menghela napasnya berat. “Mau sampai kapan kamu memungkiri kenyataan, Ran? Sudah berapa kali Papi kenalkan kamu dengan laki-laki mapan? Puluhan! Nyatanya apa, selalu gagal. Kamu yang rewel menolaki mereka,” jelas Pak Pram dengan suara berat.

“Tapi, Pi …,” ucap Rania gantung.

“Mau sampai kapan kamu biarkan Papi dan Mami menua sia-sia? Kami juga ingin menimang cucu. Atau setidaknya melihat salah satu dari kalian rumah tangga. Siapa? Kamu? Abi? Kalian berdua terus saja mengecewakan kami. Cuma Bridgia, cuma dia satunya harapan kami,” imbuh Pak Pram tanpa bisa dijeda.

“Apa Papi yakin perjodohan ini bakalan berhasil? Mereka dulu pernah pacaran dan gagal. Teorinya, dua orang yang pernah terlibat cinta yang gagal biasanya sulit untuk kembali.” Rania terus saja menguji kesabaran sang papi.

“Rania,” potong sang Mami dari arah kamar. “Lebih baik kamu berangkat kerja daripada memusingkan Papimu pakai teori.”

“Kalau memang nggak ada solusi buat masalah ini, Rania juga nggak akan kasih restu Brie nikah. Rania nggak mau dilangkahi!” Rania bangkit dari duduknya sembari beringsut pergi.

“Rania kerja dulu Pi, Mi,” pamitnya dingin. Dia mencium tangan kedua orang tua tanpa banyak berekspresi.

“Rania …,” panggil sang papi yang tak ditanggap oleh si dosen muda.

“Udah, Pi. Nanti kita bujuk lagi anak itu. Mungkin memang sulit menghadapi keras kepalanya. Dia masih tidak bisa nerima kalau akan dilangkahi Brie.” Bu Syahnaz berusaha menenangkan sang suami.

“Iya, Mi. Lagipula kok bisa Brie dijodohkan sama mantan pacarnya waktu SMP itu? Dunia sesempit ini?” tanya Pak Pram penuh pikiran.

“Mungkin memang mereka jodoh, Pi. Udah deh, kita jalani aja. Sekarang semua terserah Brie dan Inu mau bawa ini ke mana,” jawab Bu Syahnaz pasrah.

“Tapi Papi ingin hubungan mereka berhasil, Mi. Cuma Bridgia yang bisa kabulkan harapan kita. Dia pendiam walau keras kepala juga, tapi masih manut sama orang tua.”

“Santai aja, Pi. Udah yang sabar. Nanti tensi Papi naik. Mendingan mandiin si Kutut tuh!” bujuk Bu Syahnaz berusaha menghibur Pak Pram.

“Oalah Mi, burung lagi. Papi pengen mandikan bayi,” Pak Pram terlihat gusar.

Bu Syahnaz hanya bisa mengelus pundak sang suami untuk menyabarkannya. Kedua pasutri yang mulai sepuh itu beranjak menuju beranda belakang rumah megah mereka. Berharap salah satu buah hati mereka memenuhi harapan terbesar itu.

---

“Silakan, Pak!” ucap Brie sopan pada salah satu penumpang kelas bisnis.

“Apa ini, Mbak?” tanya penumpang yang seorang bapak.

“Handuk panas, buat melap wajah atau tangan. Supaya tidak kering atau dingin karena AC,” jawab Brie ramah menjelaskan kepada salah satu penumpang kelas bisnis yang kelihatan bingung.

Nggak semua penumpang bisnis tahu apa fungsi handuk panas. Sebab nggak semua orang biasa naik pesawat. Dan Brie tahu itu, dia tak pernah meremehkan orang lain apalagi itu penumpangnya. Hatinya tulus karena teramat mencintai pekerjaan ini.

Penumpang itu tersenyum dan berterima kasih. Brie membalasnya dengan ramah dan wajah semringah. Sejenak meminggirkan masalah pelik hidupnya. Mendingan memandangi gerimis di jendela pesawat sebelum lepas landas ini. Dia masih suka gerimis walau sempat kecewa.

Hari telah malam, pukul 8, tanggal 4 Desember. Lima belas menit lagi pesawat akan lepas landas menuju Singapura. Pesawat type Airbus A330 itu akan tiba di Singapura pada pukul 23.05 waktu setempat. Rencana setelah itu, Brie akan menginap semalam di Singapura sebelum kembali ke tanah air keesokan harinya.

Penerbangan malam tak banyak menyita tenaga para awak kabin termasuk Brie. Maskapai full service memang sibuk karena melayani banyak fasilitas. Namun, biasanya malam hari para penumpang kebanyakan tidur, istirahat. Maka dari itu, Brie bisa sejenak menyelonjorkan kaki di jumpseat. Dia bisa mengumpulkan sisa energi karena telah terbang sejak pagi.

Andai papi maminya tahu betapa sibuknya dia bekerja, mungkin mereka tak sampai hati menambah masalah hidup Brie dengan perjodohan. Apa mungkin karena mereka tahu sibuknya dunia pramugari, maka Brie mending dinikahkan saja? Entahlah.

Kelelahan itulah yang membuat Brie bisa tertidur dengan pulas meski duduk di atas kursi kecil dengan hanya bersandar pada tembok pesawat. Belum lagi dia tak menapak daratan dan sedang berada di ketinggian 32.000 kaki. Ya seperti saat ini.

“Mbak, mbak yang ini nggak apa-apa?” Salah satu penumpang terlihat cemas karena melihat Brie duduk menunduk dengan rambut acak-acakan ke arah depan semua.

Fanita, rekan sesama awak kabin, tersenyum gusar sambil menghalangi tubuh Brie. “Hehe, tidak apa-apa Bu. Dia sedang tidur, biasanya emang gitu.”

“Jadi, pramugari bisa tidur di pesawat juga, ya?” komen penumpang itu heran.

“Iya, Bu. Kalau ada waktu ya kami tidur,” jawab Fanita berusaha ramah.

Penumpang yang sedikit peduli itupun ngeloyor pergi. Fanita menyenggol bahu Brie cukup keras hingga gadis ayu itu terbangun. Tak lupa dia menghapus sedikit liur di sudut bibir indahnya, maklum capek. Brie sadar dia sedang melakukan keanehan, sebut saja sedikit ngiler. Lantas dia menata rambut dan wajahnya dengan cepat.

Brie kemudian menatap Fanita yang seperti heran dengan kelakuannya. “Ngapa sih lo, Brie?” bisik Fanita sedikit keras, karena suara mesin pesawat lumayan menderu.

“Capek gue, Fan,” keluh Brie.

“Secapeknya elo, nggak pernah gue lihat lo tidur kayak zombie. Kenapa sih?” desak Fanita seolah membaca wajah Brie.

Brie menenggak sebotol air mineral. “Kalau lo tiba-tiba dijodohin dan mau dinikahin sama cowok aneh, gimana?”

“Baguslah, gue bisa resign. Gue capek jadi FA,” ucap Fanita santai.

Brie mencibir rekannya. “Nggak ada kebanggaan lo!”

“Bodo, gue juga sering diremehin di sini, sama orang yang nggak gue kenal pulak!”

“Betewe, lo mau dijodohin sama siapa?” sambung Fanita yang membuat Brie salah tingkah.

“Lo boleh kaget, kemarin gue dijodohin sama mantan gue pas SMP,” kontan mata Fanita membola, kaget bukan kepalang.

“Serius? Lo punya waktu buat gituan? Dalam ingatan gue, Bridgia Gantari Hyacinta itu si gila kerja deh. Mana ada waktu ngurusin cinta, apalagi mantan,” celoteh Fanita sambil mengunyah kacang.

“Nggak masuk akal, ‘kan? Namun, terjadi di gue, Fan,” keluh Brie lesu.

Fanita menepuk pundak Brie pelan. “Kalau dia kaya, mapan, nggak masalah sih Brie. Urusan look, belakanganlah!”

“Lo mau lihat fotonya?” Brie membongkar isi ponselnya pada rekan satu batch-nya saat pendidikan pramugari itu.

“Nih dia! Dulu badung, suka tawuran dan bolos, tapi sekarang udah jadi kayak gini!” Brie menunjukkan foto Inu Adikara yang sedang tersenyum dalam balutan loreng.

“Oh my wow! Ganteng gila, Brie! Tentara, ya! Calon istri tentara dong lo, seremmm!” lonjak Fanita dengan mata blink-blink. “Eh tapi, di sebelahnya siapa?”

“Pacarnya! Gila, ‘kan? Gue dijodohin sama mantan yang udah nggak lajang lagi. Hidup gue sengenes ini!” curah Brie putus asa.

“Fatal sih itu, Brie,” pandangan Fanita kecut seketika. “Maklum kalau lo capek. Sabar ye!”

“Huft!” keluh Brie buntu.

“Dah lo tidur aja lagi. Gue yang kerja,” putus Fanita iba.

Tung!

Fanita bangkit menuju interkom. Ada panggilan dari ruang kokpit dan dia menjawabnya. “Siap, Capt!”

“Brie, Captain minta teh panas dan puding dingin!” ucap Fanita yang membuat Brie bangkit juga.

“Biar gue yang prepare. Lo tidur aja nggak apa, Brie,” larang Fanita sambil mendudukkan Brie di jumpseat lagi.

“Nggak usah, Fan. Gue bisa gila kalau nggak kerja,” tepis Brie tak nyaman.

Tangannya sibuk mempersiapkan apa yang diminta captain. Dia harus kembali pada kenyataan, gadis cekatan yang telah tiga tahun menjadi pramugari. Apalagi kali ini dia bertugas di galley depan, melayani kelas bisnis dan juga ruang kokpit. Baiklah, Brie bertekad untuk sejenak menyisihkan keanehan hidupnya sekali lagi, demi kualitas pekerjaannya.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Eirena Pandanan
Gk ush nge-gas gt dong Rania. Kan bukan salah dan maunya Brie dia di jodohkan. Salah sendiri lagian udh di jodohkan berkali2 tp sllu di tolak. Terlalu milih2 sih. Coba jalani dl sm salah satu cowok yg di jodohkan ke Rania.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Gerimis Bulan Desember   Bab 5 Makan Siang Pakai Emosi

    Bridgia POVAkhirnya, aku sampai juga di Jakarta. Rindu sejadi-jadinya pada kota padat ini setelah beberapa hari tak jumpa. Melihat landasan pacu CGK bak melihat Kasur nyamanku, ingin segera pulang dan jadi kaum rebahan. Aku super lelah karena beban kerja yang nggak main-main.Sesampainya di flops, masih sempat-sempatnya aku menyapa Mbak Maria yang akan flight ke Manado. Beliau ini memang panutanku sejak zaman pucuk dulu. Perangainya baik dan lembut pada junior. Maka dari itu, banyak yang suka padanya termasuk aku.“Safe flight, Mbak!” ucapku manis pada Mbak Maria yang juga tersenyum manis.Dia melambai padaku dengan semringah. “Kamuhave a nice sleep, ya, Dek!”Si baik hati yang ngemong sekali itu akan akan dipromosikan jadiMaitre de’ Cabin. Beliau pantas mendapatkannya karena kebaikan hati mirip bidadari udara. Seragamnya akan segera berganti ke warna un

    Last Updated : 2021-04-05
  • Gerimis Bulan Desember   Bab 6 Jangan Ganggu Aku Lagi

    Bridgia Gantari POVSepertinya suasana di ruang makan itu sedang genting. Tak tahan mataku ini untuk terus memandangi mereka, yakni Inu, si manja, dan Bu Nanda. Sepertinya mereka sedang terlibat perdebatan sengit hingga si manja itu menangis. Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi? Perasaan tadi katanya cuma makan siang, lhakok pakai emosi?Di saat aku sedang kepo-keponya terdengar panggilan dari suara yang bersemangat dari arah belakang. “Masayu?” pecah sebuah suara yang membuatku menoleh.“Kakek,” balasku bingung.Wajahku yang datar langsung berhias senyum lebar. Aura Kek Djoko itu beda saja. Berasa sedang menatap gambar pahlawan di tembok sekolahan. Aku tak bisa jika tidak menghormati beliau.Namun, lagi-lagi aku dipanggil Masayu. Aduh, gimana ya caranya ngadepin kakek sepuhnya Inu ini? Gimana caranya menegaskan kalau aku itu Bridgia bukan Masayu. Aku nggak enak membantah orang tua. Jadinya nurut

    Last Updated : 2021-04-05
  • Gerimis Bulan Desember   Bab 7 Diculik Part 2

    Hari ini aku nugas di kelas bisnis. Mengalihkan pikiran lewat pekerjaan itu kadang susah, kadang juga gampang. Untungnya aku menikmati setiap alur pekerjaanku, sehingga beban pikiran yang menyebalkan itu perlahan sirna.Bayangan wajah Inu yang menyebalkan itu bergeser dengan wajah-wajah para penumpangku. Bagiku mereka lebih penting daripada Inu, meski aku nggak kenal. Seperti lagu lama, kadang orang asing lebih menyenangkan daripada kenalan kita sendiri. Semacam itulah.“Welcome drink-nya mau apa? Apel atau jeruk, Pak?” tawarku ramah pada penumpangseat1A, kursi kelas bisnis Airbus 330.“Tomat nggak ada, ya?” tanya si bapak penasaran.Aku tersenyum. “Tomat ada.”“Mau yang tomat aja,” putus si bapak yang kubalas anggukan.“Baik tunggu sebentar, ya, Pak!” ucapku.Aku beralih pada seat 1B. “Minumnya mau apa, Pak?”“Nggak, Mba

    Last Updated : 2021-04-05
  • Gerimis Bulan Desember   Bab 8 (Bukan) Saksi Bisu

    Di sebuah ruang kerja di rumah megah, ada dua orang tentara berhadap-hadapan. Wajah mereka tidak santai, cenderung tegang. Keduanya sedang terlibat percakapan penuh emosi membahas hal yang sama, terjadi lagi. Pak Pras dan putra bungsunya kembali bertengkar karena masalah yang sama.“Apa-apaan ini Inu!” bentak Pak Prasetya sambil membanting sebuah map biru tebal ke meja kerjanya.“Saya memutuskan untuk mengajak Belva menikah, Romo. Itulah bentuk keseriusan saya sebagai laki-laki.” Inu tak bergeming kendati jenderal bintang dua itu marah dengan beringas.Pak Pras menunjuk wajah sang putra dengan emosi. “Sampai kapan pun, Romo tidak akan menandatangani pengajuan menikahmu dengan Belva! Romo hanya akan menyetujui jika calonmu Bridgia, titik!” tegas Pak Pras tanpa koma.Inu menatap sang Romo dengan tatapan tak percaya. “Kenapa, Romo?Mimik wajah Inu berubah. Alisnya naik satu dengan bibir miring. “Kenapa R

    Last Updated : 2021-04-26
  • Gerimis Bulan Desember   Bab 9 Hyacinta, Hay Cinta?

    Bab 9 Hyacinta, Hay Cinta Di siang yang terik, Mami menarik tubuh lelahku ke sebuah rumah sakit besar di pusat kota. Tak hanya itu, aku juga disuruh bawa keranjang buah segede pos ronda dan beberapa tas lainnya. Berasa kuli panggul hanya untuk menjenguk orang sakit. Sayangnya, aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Langkahku gontai beda dengan mami yang semangat. Gimana nggak, aku capek berat nggak bohong. Sayangnya lagi, mami sangat enerjik untuk menjenguk Kek Djoko yang sakit sejak semalam. Aku udah paham betul kok karena semalam aku diseret-seret Inu ke tempat ini. Langkahku makin lemas dan malas saat hendak menaiki tangga, tapi Mami membuatku kaget dengan seruannya yang seperti sirine pemadam kebakaran.“Dekkk, bawain keranjang buahnya!” Mami

    Last Updated : 2021-04-26
  • Gerimis Bulan Desember   Bab 10 The Day After Tomorrow

    Pikiran ini bak berada di awang-awang. Seolah mulut dan otak tidak sinkron saat berucap kalimat itu. Untaian kata dari lisanku mengalir bak tetesan air hujan dari genteng yang jatuh ke tanah ….“Saya … akan menikah dengan Mas Inu ...,” gelontorku begitu saja.Mataku menerawang lurus tanpa berani berkontak dengan siapa pun.Apa kau sudah gila, Bridgia? Keputusan apa yang telah kamu ambil lima menit yang lalu, ha? Di mana akal sehatmu? Bagaimana bisa kamu menerima mantan terkutuk itu menjadi suamimu?Entah!Aku seperti dalam mode autopilot, berasa kena hipnotis, kena gendam! Aku sedangon the wayke neraka dunia dengan menerima sebuah perjodohan, dengan Inu Adikara pula. Iya, itu sama saja dengan memakan kulit ayam padahal aku nggak suka.Analogiku kacau, sekacau jalan hidupku di depan sana.Namun, untung kewarasanku masih bersisa 0,5%. Jadi, aku masih punya celah untuk bebas dari pa

    Last Updated : 2021-04-26
  • Gerimis Bulan Desember   Bab 11 Welcome to The Hell

    Menurutku long flight alias penerbangan panjang adalah neraka mini. Lelahnya dobel, stresnya dobel. Kenapa aku bisa bilang gitu, karena beban pekerjaan serasa tambah berat. Harus menerjang zona waktu yang beda. Bedanya bisa nggak main-main, dua zona waktu dari WIB ke WITA, WITA ke WIT.Rasanya udah mirip kayak jetlag, padahal masih di satu wilayah Indonesia. Ya kayak sekarang inilah. Badan masih serasa di Jakarta, tapi fisik udah di Timika.Belum lagi ketemu penumpangnya yang banyak karakter. Rerata penumpang daerah timur itu agak susah dibilangi. Agak rumpik dan banyak maunya, menurutku sih. Jadi, membutuhkan kesabaran ekstra dalam menghadapinya.Ya udahlah bisa apa. Jalani aja meskipun bantalan mata panda mulai muncul saat aku berkaca. Gimana nggak setelah menempuh penerbangan panjang lokal rasa jetlag, aku cuma istirahat 9 jam di Timika. Setelah itu, aku harus balik kerja rute baru yakni, Timika – Bali – Jakarta.Tiga zona waktu da

    Last Updated : 2021-04-26
  • Gerimis Bulan Desember   Bab 12 Kontrak di Malam Berdebar

    Suasana ramai terlihat di sebuah rumah berhalaman luas. Tampak sebuah acara pernikahan akan berlangsung sebentar lagi. Di depan rumah sudah ada dua buah janur kuning besar yang melengkung ke bawah. Tak hanya itu, jejeran karangan bunga bertuliskan “Happy Wedding Wisnu dan Bridgia” terlihat memenuhi sepanjang jalan rumah itu.Sudah jelas pernikahan siapa, Brie dan Inu. Di pagi yang tidak terlalu cerah ini keduanya akan menikah. Bahkan semenjak Subuh, Brie sudah dirias dengan riasan adat Putri Solo. Pramugari muda itu cantik sekali, berulang-ulang dapat pujian dari sana-sini.Namun, kesibukan itu berbanding terbalik dengan suasana hati Brie yang terasa sepi. Dia merasa sepi di tengah riuhnya suasana. Setelah dirias, dia lebih suka menepi di tepi jendela kamar. Tak banyak meminta sesuatu atau pun bersuara.Dia hanya ingin hening berteman air matanya.Iya, memang betul air mata Brie tak hentinya mengalir. Sama seperti hujan gerimis yang mulai turu

    Last Updated : 2021-04-28

Latest chapter

  • Gerimis Bulan Desember   Special Part 2 Menjaga Takdir Itu Susah, Ya?

    “Mas … makanan Noah nanti angetin di panci kukusan aja, ya? Kita nggak punya oven. Jangan lupa lima menit aja nggak usah lama-lama!”“Mas, jangan lupa jemuranku di belakang! Udah mau kering paling jam sepuluhan udah siap angkat!”“Nanti kalau ada calon Persit mau ngadep jangan lupa disenyumin, Mas! Ingat juga nanti sore suruh ngadep aku lagi, okay?”“Noah nggak suka pakai popok kalau siang jadi Mas Inu kudu rajin ngajak dia ke kamar mandi setiap sejam sekali!”“Mas … bla bla bla!”Inu hanya melongok kecil tatkala Brie tercinta mondar-mandir dari kamar satu ke kamar satunya. Jiwanya sebagai pramugari masih ada, cekatan dan suka jalan cepat. Meski begitu derap langkahnya masih anggun sama seperti saat bekerja dulu. Sama seperti rasa di hatinya yang tetap malah makin cinta.Kemudian pria yang bercelana loreng dengan banyak saku dan kaos oblong cokelat itu meraih putra kes

  • Gerimis Bulan Desember   Spesial Part 1 Balada Mamak Muda

    Anak lelaki bisa menjadi sahabat bagi bapaknya dan pelindung bagi ibunya. Pepatah itu mulai kurasakan saat Noah berusia setahun minggu lalu. Bahkan, semenjak usia delapan bulan dia laksana sahabat dan rekan terbaikku. Kini tanpa terasa usianya sudah setahun. Kami merayakan pertambahan usianya dengan sebuah syukuran sederhana di rumah romo dan ibu.Dia meniup lilin ulang tahun di kue cokelat yang kubuat sendiri dibantu ibu. Tak hanya itu, Noah juga menghabiskan sepiring besar nasi kuning buatan mami. Memang, ya, selera makan besar nurun aku.Sayang, kami harus merayakannya tanpa mas Inu karena dia sibuk di kantor seharian. Bagiku itu sudah biasa, mas Inu tidak selalu bisa hadir dalam setiap suasana karena tuntutan dinas. Bukan hanya ulang tahun anak semata wayang kami saja, tapi juga ultah ibu dan romo pernah dia lewatkan karena tugas.Yang luar biasa adalah pengertian dari Noah. Anak sekecil itu tak pernah menuntut atau rewel tatkala Didi – biasa dia meman

  • Gerimis Bulan Desember   Bab 35 Never Ending Story

    Inu Adikara POVSembilan bulan dua belas hari, Bridgia membawa anakku ke mana-mana. Tidur, makan, mandi, menyapu rumah, memasak, mencuci, dan aktivitas apa pun. Termasuk saat merayu dan menggodaku kesabaranku saban hari. Dia mengganggu ketenangan pagi dan malamku. Membuat permintaan yang kadang konyol dan tak masuk akal. Sampai lelah kadang menghadapi Brie.Namun, dia tak punya lelah dalam membawa anakku ke mana-mana. Tak pernah sekali saja ditaruh perut besar seksinya itu. Pasti berat, sebab aku pernah mengangkat perut buncitnya dengan tanganku. Berat karena berisi bayi dan cairan-cairan lainnya. Oleh karena itu, ibu hamil itu sangat mulia. Itulah yang membuatku sangat mencintai Brie saat ini.Untuk ukuran ibu hamil trisemester tiga, Brie tergolong bu mil yang aktif. Bahkan, saat pesta pertunangan Mbak Rania minggu lalu, dia tetap lincah membantu ini dan itu dengan perut besarnya. Dia tak suka berpangku tangan. Jiwanya sebagai pramugar

  • Gerimis Bulan Desember   Bab 34 Perpisahan

    Tangan ini hanya bisa melambai ke udara saat melepasnya pergi. Petang ini kembali kulepas pujaan hati kembali ke tanah penugasan. Tak bisa dipungkiri, dia belum waktunya bersantai. Masih harus menuntaskan kewajibannya. Bisa melipir untuk mengantarku pulang saja sudah syukur.Sekali lagi kulambaikan tangan sampai di menghilang di ambang gate 10A. Kulepas Inu dengan air mata haru, bukan sebuah kesedihan. Sebab tak lama lagi dia akan kembali lagi untuk memelukku. Dan mungkin memeluk anak kami di dalam perut sini.Benar, aku tak begitu sedih karena ada yang tertinggal dari Inu di dalam tubuhku. Benihnya. Semoga saja mereka bertemu dan membuat sebuah pencapaian besar. Sebuah hadiah indah yang akan kusambut di bulan depan, semoga. Aku sangat menginginkan kehamilan ini.Secara otomatis, surat pengunduran diriku akan terkirim ke maskapai seiring dua garis itu. Aku akan mengundurkan diri dari dunia pramugari yang tlah membesarkan jiwaku. Ya, semoga.“Cepatla

  • Gerimis Bulan Desember   Bab 33 I Wish You Were Here

    “Air mata rinduku tercipta lagi. Menoleh ke samping, aku sendirian. Hanya berharap satu, andaikan kamu di sini.”Pernahkah kamu merasa sepi saat sekelilingmu ramai? Mereka tertawa lepas, tapi mulutmu terlalu berat untuk membalasnya. Semua ribut membeo, bertutur, berceloteh, sedangkan kamu hanya diam tanpa ekspresi. Seolah tak ada yang menarik selain hanya merasa sepi.Pernahkah kamu merasa berat meski sedang tidak membawa apa pun?Apa saja yang kamu rencanakan terasa susah untuk diwujudkan. Semua menjadi serba salah. Tak enak hati karena bimbang antara memilih atau menolak kenyataan.Mungkin cuma barisan orang rindu macam aku ini yang sedang merasakannya.Tidak bergairah untuk sekedar melempar senyum atau pun serba salah dalam setiap perilaku. Seolah tak ada yang menyenangkan, semua terasa buntu.Kusadari itu semua karena rindu. Kangen pada seseorang yang ditunggu kedatangannya, tetapi tak kunjung data

  • Gerimis Bulan Desember   Bab 32 Gerimis Rindu di Desember

    "Masihkah kamu mencintaiku?" tanya Inu lirih."Entah,” jawabku dengan mata kosong."Kamu sedang memikirkan apa?""Kamu,” jawabku jujur."Sudah memaafkanku?" Inu mencium punggung tanganku dengan hangat"Nggak kepikiran!""Kenapa?""Nanti kamu sakitin aku lagi."Dialog-dialog kami mengalir seperti air hujan yang tercurah dari genteng. Kami duduk bersebelahan sambil bersandar pada tembok yang dingin. Tanpa saling melihat hanya saling memegang tangan. Pandangan kosong menerawang, sesekali mengingat apa yang baru saja kami lakukan.Aku tersadar bahwa kami baru saja bercinta dengan hebat dan meminggirkan semua kerusakan yang sempat terjadi. Kini apa status kami, mungkin sepasang suami – istri yang masih cinta dan saling memperbaiki situasi.Seperti Inu Adikara yang kali ini melabuhkan pelukan lebarnya pada tubuhku yang tanpa benang sehelai saja ini. Inu makin mengeratkan pelukannya saat aku mencium dad

  • Gerimis Bulan Desember   Bab 31 Rusak

    Hujan telah menghiasi langit Jakarta yang gelap. Pukul delapan malam, harusnya aku bahagia larut dalam pesta bujangan Sysil. Nyatanya, aku malah di dalam kamar gelap berteman pemahaman yang makin pelik. Berteman anggapan dari pikiranku yang makin rumit. Tentang pernikahan ini dan Inu Adikara.Sepertinya pernikahan ini telah menemui jalan buntu. Aku bisa memaafkan semua kesalahan Inu, tapi tidak dengan satu, perselingkuhan. Sama seperti dia yang membenci seorang peselingkuh, entah benar atau tidak, aku pun sama. Entah, mungkinkah ini akhir dari semua kebodohan ini?Di tengah kesesakan dari dada dan rasa, tiba-tiba telingaku mendengar suara deru mobil yang dimatikan. Rupanya Inu sudah datang. Tersangka utama keributan sore ini siap untuk menghancurkan sisa malam bersamaku. Mungkin ini akan jadi malam terakhir aku melihat kamar ini.Sebab setelah ini aku akan pergi meninggalkan semua, “dunia” bodoh ini.Setelahnya, te

  • Gerimis Bulan Desember   Bab 30 Risiko Istri Tentara

    “Ginikah Mas potongan wortelnya? Kurang kecil nggak?” Kuahnya kayak gini? Kurang kaldu apa gimana? Suka bening apa pekat?”“Suka merica apa lada hitam? Aku banyakin yang mana?”Inu menatap sang istri yang berceloteh riang sambil mengaduk-aduk spatula. Wajah sang pramugari terlihat semringah karena sore ini dia memasak untuk sang suami di rumah mertua. Dapur yang sepi berubah menjadi riuh karena perdebatan kecil di antara mereka. Ya cuma masalah potongan wortel yang kegedean, atau kuah sup sayur yang kurang pekat.“Kalau terlalu besar wortelnya, kata ibu, jadi nggak manis gitu,” lanjut Brie ceriwis.Inu mendekati pipi sang istri. “Terserah kamu, Dek! Semua masakanmu pasti kumakan.”Brie mendelik kecil sambil menaruh spatula. “Kok gitu? Nanti Kalau nggak enak aku diomeli lagi!” protes Brie.“Siapa sih yang berani ngomeli cewek galak macam kamu?&r

  • Gerimis Bulan Desember   Bab 29 Kencan di Udara

    Ada yang lebih seram dan pekat dari awan kumulonimbus. Ada yang lebih berat dari pintu Boeing 737-800. Ada yang lebih menyesakkan dari dekompresi udara. Ada yang lebih rumit dari tombol kokpit. Dia bernama rindu. Aku mengenalnya semenjak bertemu dengan manusia itu.Rindu pada manusia yang jauh di sana – yang sekarang makin jauh. Setelah meninggalkanku ke Bandung, sekarang Inu sudah ada di Situbondo. Dia harus merampungkan tugas pada negaranya sebagai seorang penjaga bangsa yang setia.Rinduku sama dengan celotehnya, makin seru. Apalagi jika mendengar suara ceriwisnya, serasa aku ingin menembus ruang untuk bersua dengan Inu di sana.Dia menjadikanku buku diari hidup dengan bercerita banyak hal di panggilan telepon. Katanya, dia ketemu banyak prajurit dari matra lain. Maksudnya, dari Angkatan Laut dan Udara. Yang laut bawa kapal induk dan yang udara bawa jet tempur. Seru, berasa simulasi perang sungguhan. Mereka meledakkan bom di gunung, meledakkan meriam, d

DMCA.com Protection Status