Bridgia POV
Akhirnya, aku sampai juga di Jakarta. Rindu sejadi-jadinya pada kota padat ini setelah beberapa hari tak jumpa. Melihat landasan pacu CGK bak melihat Kasur nyamanku, ingin segera pulang dan jadi kaum rebahan. Aku super lelah karena beban kerja yang nggak main-main.
Sesampainya di flops, masih sempat-sempatnya aku menyapa Mbak Maria yang akan flight ke Manado. Beliau ini memang panutanku sejak zaman pucuk dulu. Perangainya baik dan lembut pada junior. Maka dari itu, banyak yang suka padanya termasuk aku.
“Safe flight, Mbak!” ucapku manis pada Mbak Maria yang juga tersenyum manis.
Dia melambai padaku dengan semringah. “Kamu have a nice sleep, ya, Dek!”
Si baik hati yang ngemong sekali itu akan akan dipromosikan jadi Maitre de’ Cabin. Beliau pantas mendapatkannya karena kebaikan hati mirip bidadari udara. Seragamnya akan segera berganti ke warna ungu, anggun betul. Seragam impianku lho itu. Memang mbak Maria adalah panutanku, cita-citaku menjadi seperti beliau.
Siang ini, tepat saat azan Zuhur, aku keluar dari GOC sembari menyeret koper yang berat dengan oleh-oleh, serta menunggu mobil yang akan mengantarku pulang ke rumah. Sesekali bercanda lepas dengan sesama awak kabin atau mungkin kapten pesawat. Membicarakan hal nggak penting seputar penerbangan, macam rasa makanan pesawat atau aroma lavatory.
Kadang tingkah laku penumpang juga jadi bahan pembicaraan kami. Tenang aja, itu cuma buat koreksi sikap kami ke depannya kok. Bukan buat bahan gosip, swear! Semisal saat penumpang nggak mau balas salam kami, mungkin karena suara kami kurang keras atau wajah kurang ramah. Semacam itulah.
Mungkin juga mereka nggak puas sama pelayanan kami, sehingga menjadi koreksi untuk ke depannya.
“Datang juga si Tayo!” seloroh Capt. Luki sambil melihat Hiace hitam mendekat, semacam minibus gitu maksudnya.
Biasalah awak kabin memang bahasanya aneh-aneh.
“Let’s go home!” ajak Mbak Nenden bahagia.
Ya, aku juga sudah kangen kamar dan kasur serta elemen lainnya. Seperti tadi, ‘kan, melihat landasan pacu bak melihat kasur. Semoga nuansa rumah kondusif sehingga aku bisa istirahat dengan damai. Nggak ada perdebatan sengit nggak penting seputar pernikahan atau perjodohan bodoh itu.
Baru saja berharap tak ada gangguan dalam hati, suara mirip manusia tak jelas itu mampir ke telinga lelahku.
“Bee!” panggil sebuah suara yang membuatku langsung menoleh.
Seketika aku menemukan asal suara. Panggilan aneh itu hanya diucapkan oleh satu orang, ya dialah! Inu Adikara yang aneh dan sombong, menyebalkan pula! Dan benar saja, lelaki tinggi tegap dalam balutan seragam loreng dan berkaca mata hitam itu sedang menatapku sambil bersandar pada punggung Outlander Sport hitam. Nggak tahu nyuri mobil di mana dia.
“Ngapain sih, lo!” tanyaku sinis.
Oke, sambutanku cukup bersahabat, ya? Gimana nggak, ini semua akibat bisik-bisik usil mulai terdengar dari teman-temanku yang hendak masuk ke mobil antar jemput. Duh, haruskah dia mengacau di dunia kerjaku juga!
“Jemput kamulah!” jawabnya santai sambil melenggang ke arahku.
Kok pakai ‘kamu’, ada yang aneh nih.
“Nggak usah sok akrab!” tepisku dingin. “Dari mana kamu tahu jadwal pulangku?” berondongku tidak sopan.
“Aku ditelepon mamimu. Walau terpaksa, aku harus jemput kamu karena ibuku juga pengen ketemu.” Inu memainkan kunci mobilnya dengan wajah santai, tanpa melepas kaca mata hitam aneh itu.
“Nggak mau!” tolakku kekeuh.
Lha ngapain, ya, ‘kan? Mendingan pulang dan tidur. Masalah mami yang bakalan ngomel urusan entar. Aku malas berurusan sama Inu dan keluarganya lagi.
Namun, sebuah tarikan lagi-lagi mendarat di tanganku. Aku mendelik karena tangan Inu menahan tanganku. Tangan kekar berhias jam tangan Swiss Army hijau lumut itu terlihat kuat menahanku. Sialan! Mana bisikan usil makin kencang.
“Lepasin!” ancamku sambil menekan suara. Mata cantikku tentu saja sudah melotot bulat.
“Kalau kamu nggak mau kupermalukan, nurut!” ancamnya tak mau kalah. Matanya yang tajam itu penuh ancaman.
Wajah kalem itu berubah menjadi judes dan dingin. Cadas kayak musik rock. Udah kubilang ‘kan kalau wajahnya yang kayak pria baik-baik itu cuma tipuan. Aslinya dia itu galak, judes, dan suka maksa. Nyebelin banget pokoknya mah.
Inu menyeretku penuh paksa masuk ke mobilnya. Dengan mudahnya dia memasukkan koper beratku ke jok tengah. Diri ini bak troli tatkala dia mendorongku masuk ke kabin mobil. Ekor mataku hanya mengikuti badannya yang berjalan masuk ke ruang kemudi.
Tindakan nekatnya ini diiringi pandangan usil rekan kerjaku. Buat apa sih Inu membawaku paksa untuk bertemu ibunya? Kenapa mendadak hidupku sekacau ini sih? Aku capek woy, tiga hari flight! Dan masih harus ngadepi dia dan keluarganya? Aarrgghtt!
Dirt!
Fanita Lestari
Have a nice nite, Brie Sayank. Cerita ya gimana rasanya digeret manja kayak gitu. Awww, he’s so hawt Babe!Pesan Fanita makin terasa menyebalkan. Panas sih, sampai aku mau meledak karena kelakuannya. Ganteng sih, tapi kelakuan minus. Bukannya bikin nyaman dengan menghargai orang lain, malah bikin kesel.
Sumpah, ya, kok bisa pacarnya tahan sama cowok model gini? Jangan-jangan dia beda lagi kalau sama si manja itu. Kepribadian ganda gitu? Serem amat sih!
“Aku bisa laporin kamu ke polisi dengan tuduhan mengganggu kenyamanan orang lain,” kataku sinis sambil melepas sepatu hak tinggi begitu saja. Kaki pegel bok!
Dia melengos cuek sambil mengeluarkan kertas parkir. “Laporin aja! Palingan polisinya yang malu nangkep aku,” balasnya sengit.
“Mana mau mereka nangkap tentara,” ujarnya kemudian dengan sombong.
“Crazy!” umpatku pelan sambil menggigit bibir yang lipstiknya mulai rusak.
Aku melirik Inu yang sedang memutar kemudi dengan satu tangan tegapnya itu. Bukankah itu adegan kesukaanku? Menurutku, cowok jadi kelihatan macho kalau bisa nyetir dengan satu tangan.
Jadi, yang tadi itu rasa tangannya Inu? Iyalah baru pertama kali ini aku menyentuhnya, walau dulu pernah pacaran. Ya, dulu pacaran cuma buat lucu-lucuan karena aku masih anak SMP.
Oke, rasa tangannya nggak buruk juga. Tangan besar yang hangat. Kayak merasa terlindungi gitu kalau memegang tangannya. Semacam kayak memegang mantel bulu yang tebal nan hangat di musim dingin gitulah. Nyaman aja.
Oh nggak, nggak Bridgia! Jangan bego, jangan mikir macam-macam! Di sampingmu ini nggak lebih dari lelaki psiko yang aneh dan nyebelin. Jangan memikirkan hal apapun, tolong! Lagian dia udah punya pacar, jadi nggak usah mikir yang liar!
“Ngapain sih lo serepot ini?” Aku membuka percakapan karena suasana terlalu hening.
Dia melirikku kemudian focus lagi pada jalanan. “Ibuku mau makan siang sama kamu,” ucapnya pelan.
“Tapi harus ya saat aku baru pulang kerja, masih pakai seragam pula! Kamu tahu nggak, aku itu capek pengen istirahat. Demi apa aku harus mejeng di depan keluargamu sekarang? Kamu melanggar kenyamananku, Kak!” Keluhanku sepanjang kereta dan itu kuucapkan tanpa ragu, tanpa ingin menatap wajahnya.
“Wops, kayaknya kamu harus ganti panggilan ‘kak’ dengan ‘mas’ kalau nggak mau diomelin ibuku,” putusnya tanpa menanggapiku.
Aku langsung merengut. “Ogah! Suka-suka gue!” ucapku sewot.
Kayaknya ngomong sama Inu tuh searah aja, kayak ngomong sendiri-sendiri. Aku ngomong apa, dia nanggepinnya apa. Berasa lagi ngomong sama gedebok pisang. Tahu gedebok, ‘kan? Itu pohon pisang, iye sama banget kayak Inu. Dingin, tinggi, kaku lurus, idup pulak.
“Lagian ada hak apa sih keluargamu ngatur hidupku? Itu nggak etis, tahu nggak!” omelku kesal sambil mengacak-acak rambut. Sanggulku sudah rusak ke mana-mana.
“Kamu lupa kalau bentar lagi kita nikah,” jawabnya dengan wajah datar.
Aku langsung melotot. Rasanya bola mataku capek kalau bicara sama Inu. “Wait, nikah?” pekikku spontan.
“Bukannya kamu bilang kalau kita nggak bakalan nikah? Bukannya kamu mau seriusin pacarmu yang manja itu, ‘kan?” celotehku kemudian. Aku tak perlu sabar dan kalem lagi.
Dia menunjukku dengan emosi. “Hei, kamu nggak ada hak bilang pacarku manja,” bela Inu.
Hmm, hamba cinta, ckck.
“Terus apa? Sebegitu menye-menyenya kamu sampai nggak mampu ngenalin pacar ke keluarga, ya? Kalau kamu tegas, perjodohan ini nggak bakalan sampe ke permukaan!” ejekku sengit.
Kok aku serasa ketemu temen debat, ya? Sayang materi debatnya nggak bermutu, gubrak!
“Heh!” bentaknya dingin. “Kamu nggak tahu urusan hidup percintaanku. Nggak usah komen!” omelnya judes.
“Baper!” kutukku pelan.
Inu tak menjawab lagi. Dia kembali tenggelam dalam keheningan. Asyik menyetir menyisir jalanan ibukota yang padat. Namun, sepertinya ini bukan jalan menuju rumah Inu. Dan benar saja, dia berhenti di halte depan sebuah rumah sakit megah di kawasan Jakarta Pusat.
Tak berapa lama, ada seorang perempuan modis berjas putih dengan rambut kecokelatan melambai manis. Itu bukannya si manja, mau apa dia? Lantas mau apa Inu menjemputnya, saat ada aku di dalam mobilnya? Oh, aku mau dijadikan obat nyamuk? Sialan kuadrat!
“Lo pindah ke belakang!” suruh Inu sambil mencolek lenganku dengan berani.
Oh gaya bahasanya berubah lagi, ya? Beneran psiko ni orang!
“Ogah!” tolakku alot.
“Terus lo mau di samping gue? Terus pacar gue di belakang, gitu? Pede amat lo!” semprot Inu galak.
“Pindah lo!” usirnya lagi.
Tentu saja aku masih a lot seperti kulit sapi. “Ogah, enak aja lo ngatur gue!”
Dia menyerah, sambil berkacak pinggang Inu meletakkan kunci mobil di pangkuanku. “Ya udah lo yang nyetir sampe ke rumah. Disetiri pramugari boleh juga!” putus Inu sambil turun dari kemudi dan menyongsong pacarnya.
Dia cuek dan menjadikan aku sebagai sopirnya dalam hitungan detik. Triple sial! Kok situasi makin aneh dan mendadak berubah gini sih? Seriusan ini teh aku disuruh jadi supir mobil ini? Setega itukah Inu sama aku? Aku cewek lho! Oke, salah ngomong kali ya perihal aku wanita independen, kuat, dan mandiri? Iyaaa, salah besar Bridgia!
Si manja itu tentu saja langsung tahu keanehan ini. Pandangan matanya seperti laser yang mampu memindai apa pun, termasuk kelakuan ajaib Inu. Dengan wajah tengil, dia menunjukku yang masih duduk penuh percaya diri di sebelah ruang sopir.
“Beb, dia siapa?” tanya si manja nggak tahu diri.
“Sopir baru,” jawab Inu sekenanya.
“Kurang ajar lo!” umpatku emosi. Keanggunanku sebagai pramugari sudah lenyap.
“Cinta, kok dia marahin kamu! Ada apa sih?” berondong si manja mulai bingung. “Kayaknya seragam Mbak ini bukan seragam sopir deh, Cinta. Siapa sih?”
Wajahnya yang menor itu benar-benar penuh pertanyaan. Sungguh malas aku melihatnya.
“Udah deh, nanti aku jelasin! Sekarang masuk aja, Cinta. Mayan disetiri pramugari!” desak Inu sambil mendorong tubuh si manja ke kabin tengah.
Oh Tuhan, sabarkanlah hatiku sedikit lagi. Entah kesalahan apa yang kuperbuat di masa lalu hingga aku dihukum model gini? Pulang kerja, capek dan cuma kangen kasur. Malah ketemu sama manusia kurang ajar yang nggak pernah makan bangku sekolah macam dia!
Kelakuan mirip suku pedalaman yang barbar dan nggak pernah tahu dunia modern.
“Ayo berangkat!” suruh Inu yang membuatku sangat amat terpaksa pindah duduk ke kursi kemudi.
Aku menyerah bukan karena takut. Namun, karena aku malas bikin masalah. Aku ikuti ritme permainan licik Inu dan berharap semua segera selesai. Aku cuma mau pulang meski nggak tahu lagi apa wajahku masih berbentuk manusia normal atau udah kayak drakula mau gigit orang.
---
Inu Adikara POV
“Bu, tolong hargai keputusan saya! Saya sudah membawa calon ke rumah, kenapa ditolak gitu aja? Sekarang malah saya dijodohkan sama perempuan lain, apa Ibu tega melihat saya menyakiti Belva?”
“Sudah Ibu bilang, Nu, kami semua tidak setuju dengan Belva. Dia nggak cocok denganmu.”
“Yang mau nikah siapa? Saya, ‘kan, Bu! Kenapa harus cocok segala sama keluarga? Yang penting saya nyaman!”
“Sekarang Ibu nanya, masihkah kami penting bagimu? Keluarga ini adalah pendukungmu sejak lama, Nu. Kami menyayangimu lebih daripada pacarmu itu.”
“Kenalan sama Bridgia dulu sajalah, Nu. Mungkin kamu menolaknya karena belum kenal.”
“Saya kenal Bridgia lebih dari keluarga ini!”
Bagaimana ekspresi Belva jika tahu petikan percakapanku dengan ibu tempo lalu? Pasti dia sedih, merasa tak diterima dengan baik. Tentu Belva merasa tertolak sebelum berjuang. Itu sangat tidak adil untuknya yang sudah menemaniku sejak lama. Bukan apa, Belva termasuk wanita yang berjasa bagiku.
Dia semangatku saat harapanku kendur dulu. Dia napasku saat aku sesak menyelam dunia militer di Magelang dulu. Dia segalanya saat aku merasa tak punya apa pun.
“Cinta? Cint!” buyar Belva yang membuatku sadar dari lamunan. Sentuhan hangatnya membuat hatiku sedih.
Tentu saja aku langsung gelagapan seperti orang bodoh. “Hah?” Kudapati wajah Belva ditekuk-tekuk setelah aku tersadar.
“Kamu ngelamunin apa sih? Dan bisa jelasin nggak situasi saat ini? Kenapa Mbak pramugari itu turun dan disambut ibumu?” berondong Belva sambil menunjuk kaca dengan kuku runcingnya.
Meresahkan melihat cara ibu memperlakukan Bridgia yang bukan siapa – siapa itu. Bridgia sedang bercipika-cipiki dengan Ibu dan Budhe Isma. Wajah mereka tampak semringah menyambut Brie. Beda sekali tatkala aku membawa Belva ke rumah. Wajah mereka masam, malas menyambut pacarku.
“Inu!” panggil Ibu sambil melambaikan tangan padaku.
Wajah Ibu terlihat bersemangat dan hangat tatkala ingin meminta sesuatu dariku. Tentu saja beliau ingin aku berbaik hati pada Brie. Padahal Ibu sudah tahu apa jawabanku. Namun, gegas aku menghampiri Ibu sambil menggandeng Belva. Tak perlu ada yang disembunyikan lagi.
Aku harus berani mengakui Belva mulai sekarang. Tidak peduli rintangan apa di depan. Perilaku dan keputusanku ini membuat raut wajah Ibu berubah. Jelas tak suka dengan kehadiran si cantik kesayanganku ini.
Ibu menarik tanganku dan mendekati telinga ini, “ngapain sih kamu bawa dia?” bisik Ibu dengan sinis.
“Memangnya kenapa, Bu? Kalau Ibu pengen lunch sama Brie, saya juga ingin lunch dengan dokter Belvara!” jawabku sinis dan terang-terangan.
Ibu berdecak dan menatapku kecewa. “Ckck, bikin Ibu mulas saja kamu, Nu.”
Sepertinya Belva sudah menangkap jalan yang kubentuk. Buktinya, dia mendekati Ibu dan Budhe Isma untuk memberi salam. “Selamat siang, Tante, Budhe!” sapa Belva ramah sambil mencium punggung tangan keduanya.
Wajahnya terlihat dinyaman-nyamankan, sungguh kasihan. Namun, pergolakanku melawan keluarga ini baru saja dimulai. Aku kecewa pada keluarga ini. Dulu tak setuju pada Belvara karena dianggap terlalu wah, sekarang malah nggak setuju karena perjodohan sinting ini.
“Siang, Bel!” sambut Budhe Isma dengan wajah terpaksa dan mata yang meneliti ke bagian tubuh Belva. “Cat rambut baru lagi?” sindirnya mantap.
Doh, kenapa aku baru sadar kalau cat rambut Belva terlalu gonjreng!
Ibu merangkul Brie dengan hangat. “Bagusan rambut hitam, ya, nggak Brieee …,” Ibuku makin menjadi dengan menyindir Belva menggunakan Brie.
“Ehehe, iya Bu,” ucap Brie kikuk.
Sepertinya Brie tak nyaman dengan situasi ini. Maaf harus memanfaatkanmu, Brie. Namun, kembali padamu lagi bukan cita-citaku. Kamu nggak lebih dari anak ingusan yang kukenal saat SMA dulu. Entah takdir apa yang sedang bermain, kenapa kamu kembali lagi ke hidupku dengan cara seperti ini.
Belva terlihat tetap tenang dan mengumbar senyum palsu. “Maaf Tante dan Budhe, salonnya kemarin salah kasih warna catnya,” ujar Belva berbohong.
Maaf Cinta, harus membuatmu berbohong dan nggak nyaman sepanjang waktu. Kita harus kuat agar memenangkan peperangan ini.
Hubunganku dan Belva ada dalam kekacauan fatal cuma karena satu kata, perjodohan. Bagaimana bisa romo yang seorang pejabat besar bisa begitu kolot dalam urusan cinta? Urusan pasangan pun harus diatur seperti burung merpati?
“Masuk aja, yuk! Ibu buat rujak gobet!” Ibuku menggandeng Brie dengan penuh sayang. Beda dengan pacarku yang dicuekin gitu aja.
Tak pikir lama, aku yang menggandeng tangan halus Belva. “Masuk aja, yuk! Nanti aku jelasin semua,” ajakku berusaha menetralkan kebingungan di mata Belva.
Kami masuk ke dalam rumah. Berjalan langsung ke ruang makan. Suasana ruang itu semarak dengan makanan khas Jawa yang memenuhi meja. Sungguh aneh, cuma ngajak makan seorang Bridgia saja harus seheboh ini. Beneran nggak adil buat Belvara, yang kemarin cuma disajikan sayur asam. Benar-benar kurang asam sekali situasi saat itu, sama kayak sekarang.
“Brie mau makan apa? Sop ayam? Ayam lodho? Rujak gobet? Atau apa?” berondong Ibuku ceriwis. Tanpa mau menatap pacarku sama sekali.
“Kamu mau apa, Cinta?” tanyaku penuh sayang, sekalian unjuk rasa di depan Ibu dan Budhe Isma. Pembalasan dimulai!
“Mau ayam aja, Cinta,” jawab Belva manja.
“Saya rujak serut aja, Bu. Kayaknya seger,” jawab Brie pelan, berbarengan dengan jawaban Belva.
Kemudian si Brie memasang wajah malu yang entah dibuat-buat atau alami. Aku nggak bisa baca pikiran cewek itu karena terlalu kompleks dan ruwet. Pura-pura malu atau apa, kamu! Dasar caper!
Ibu meletakkan piring rujak dengan suka cita. “Ini! Dimakan yang banyak, ya?” sambut Ibu bahagia.
“Bu,” panggilku pelan. “Saya mau bicara dengan Ibu dan Belvara. Bisa?”
Ibu menoleh dan senyumnya hilang. “Mas Inu nggak lihat kita sedang ada tamu? Bridgia datang siang-siang tanpa melepas seragamnya demi bertemu dengan Ibu.”
Brie hanya diam sambil mengunyah serutan mentimun dan kedondong.
“Memangnya Mbak ini siapanya Tante sih?” sela Belva tak tahan. Wajahnya tak bisa dikondisikan lagi.
Ibu memasang wajah penuh pertimbangan sambil menatap Brie dan Belva bergantian. “Ibu yang jawab atau Inu?” tantang Ibuku kalem, tapi pandangan beliau menusuk hati.
Sementara itu, si Brie cewek aneh masih asyik makan. Dasar buta hati dia itu. Nggak merasa apa lagi disindir dan diomongin. Bener-bener nyesel ketemu Bridgia.
“Biar saya,” aku menengahi, “asal bertiga dengan Ibu dan Belva.”
“Uhuk!” Brie tersedak kuah rujak. Mukanya merah padam karena pasti tenggorokannya panas.
Akhirnya, sadar juga ini manusia. Cepat enyah sana kau manusia bebal!
“Alon-alon, Nduk!” Budhe Isma menepuk pelan punggung Brie. (pelan-pelan)
“Iya Budhe. Maaf saya cuma kaget,” jawabnya pelan setelah meredakan sakit tenggorokan.
Aku hanya mencep cuek menatap kelakuan sok polosnya.
Merasa tak mau semua makin berlarut-larut, Ibu menyerah dan menyetujui ideku. “Brie, maaf ya, Ibu harus bicara sebentar dengan Mas Inu. Mau ngobrol sebentar dengan Budhe Isma, ‘kan? Brie ganti baju saja, jangan pakai seragam pramugari gitu kalau nggak nyaman.”
Ibuku menatap Brie dengan lembut dan penuh sayang. Sementara itu, pandangan pacarku tak terdefinisikan lagi, antara sedih dan iri pada keramahan Ibu. Tentu saja merasa makin penasaran dengan siapa Bridgia sebenarnya, kenapa sikap Ibu begitu baik padanya?
“Mas Inu?” tekan Belva bingung sambil menatapku, “Sebenarnya ada apa ini, Nu?” desak Belva lirih.
“Saya permisi dulu, Bu,” pamit Brie pada akhirnya setelah melap mulutnya dengan lap makan.
Syukurlah dia masih si penurut yang taat aturan. Si tinggi hati yang penurut pada orang tua juga rupanya. Tak ingin menambah pelik situasiku saat ini. Ada pinternya juga cewek itu.
“Nu, ada apa sih?” ulang Belva tak sabar lagi.
“Na-Nu Na-Nu, kamu nggak bisa manggil Inu lebih hormat lagi? Mas Inu, lebih baik, ‘kan?” semprot Ibuku saat Brie sudah keluar ruangan.
Oke, suasana mulai runyam dan panas. Genderang perang mulai ditabuh. Aku sudah bersiap dengan senjata. Semoga Belva membantuku “bertempur” melawan ibu.
“Bu, berhentilah bersikap kekanakan seperti ini! Tidak bisakah Ibu lebih bijak pada orang lain? Belva ini juga orang, Bu. Bukan rumput di tepi jalan yang pantas diabaikan!” ucapku keras.
Ibu menghela napas sabar. “Le, Ibu seperti ini karena sudah jelas sikap Ibu pada hubungan kalian. Ibu nggak pernah merestuimu bersama Belva.”
“Kenapa, Tante? Apakah semata-mata karena penampilan saya?” potong Belva tak mau sabar. Emosional, karena air matanya telah berleleran.
Belva memukul sendiri dadanya berulang-ulang. “Setidaksukanya Tante pada saya, tidak bisakah disembunyikan saja? Tidak bisakah diutarakan secara jelas apa alasan membenci saya?” lanjut Belva yang membuat hatiku tertekan.
Ibu menatap Belva penuh kekecewaan. “Kamu tahu, Bel? Sejak berhubungan denganmu, Inu banyak melawan kedua orang tuanya. Dia banyak berdebat dengan saya, ibunya. Inu banyak berubah …,” ucap Ibuku yang tak tuntas.
Sebab aku sudah memotong kalimat beliau dengan mata merah menahan emosi. “Saya berubah bukan karena Belva, Bu. Namun, karena saya sudah muak diatur selayaknya anak kecil. Saya sudah 27 tahun! Saya seorang tentara yang punya wibawa. Berhentilah memperlakukan saya seperti anak kecil, Bu. Izinkan saya menentukan hidup dan pilihan saya sendiri,” kataku sembari menekan suara.
Aku merasa tak enak sebab Brie mulai memasang wajah ingin tahu dari balik kaca jendela beranda belakang. Dia tampak menatap pertengkaran kami di ruang makan dari balik jendela. Memalukan jika dia sampai tahu masalah hidupku. Makin getol dia mengejekku nanti.
Kenapa sih dia tidak bisa mengabaikanku sekali ini saja? Brie terlalu kepo dan ikut campur. Lama-lama aku jengah juga dengan kehadirannya.
Belva menarik tanganku hingga wajah kami berhadap-hadapan. “Inu, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba mengajakku ke rumah ini lagi? Siapa perempuan berseragam pramugari tadi, Nu? Siapa?” Air mata Belva masih mengalir dengan deras.
Aku menatapnya nanar. “Dia …,” ucapku yang tiba-tiba dipotong Ibu.
“Calon istri Inu, Belva!” potong Ibu dengan suara datar.
Aku menunduk. Merasa konyol dengan peristiwa siang ini. Pertengkaran tak elit yang terjadi, konflik receh yang meledak begitu saja. Aku cuma ingin menikahi perempuan yang kusuka, kenapa sesulit ini? Kenapa harus ada perjodohan segala?
Kalau aku sampai gagal memperjuangkan Belva berarti benar kata Brie, aku hanyalah lelaki menye-menye yang lembek sama sesuatu.
Sama seperti saat ini. Aku tak berdaya saat Belva memulai penghakiman. Pandangannya nanar. “Calon istrimu, Nu? Kamu pasti bercanda, ‘kan?” tegas Belva tak mempercayai pendengarannya.
Aku menatapnya lesu. “Walau terdengar bodoh, itu benar Bel. Makanya aku ajak kamu ke sini siang ini, untuk melawan perjodohan ini. Kamu mau, ‘kan, berjuang demi cinta kita?” uraiku tak kuasa.
“Apa …,” desah Belva dengan hati hancur.
Kemudian Belva menatap Ibu dengan tajam dan meminta jawaban jujur. “Tante, apakah alasan saya tidak disukai adalah perjodohan ini? Atau murni karena pribadi saya?” tanya Belva sambil menatap putus asa pada Ibuku.
“Dua alasan itu benar semua, Belva.” Jawaban Ibuku membuat Belva makin hancur.
Aku kembali angkat bicara. “Ibu sungguh tega menyakiti hati Belva. Bu, Belva ini juga punya orang tua. Ibu bayangkan jika anak ibu diperlakukan yang sama, apa terima?”
Ibu berusaha mengelus lenganku. “Inu, Ibu dan keluarga ini punya alasan. Suatu saat kamu pasti tahu. Sekarang selesaikan masalahmu dengan Belva. Ibu ingin ngobrol saja dengan Bridgia. Yang ingin bertemu dengannya adalah Ibu,” bujuk Ibu berusaha mengalihkan suasana.
Ibuku pergi begitu saja dengan wajah lesu. Apakah beliau sedih dengan perlawananku? Mengingat betapa beliau memanjakanku selama ini? Apa aku telah mengecewakannya sebagai seorang anak?
“Kenapa kamu nggak ngomong, Nu!?” bentak Belva yang menandakan bahwa pertengkaran ini belum usai.
Aku menatapnya dengan mata iba ingin semua selesai saat ini juga. “Aku juga baru tahu, Bel, tentang perjodohan bodoh ini! Baru beberapa hari yang lalu,” bujukku.
“Kamu beneran kejam, Nu!” Belva memukuli dadaku emosi.
Aku menahan tangannya. “Bel, sumpah aku nggak tahu! Yang aku tahu adalah sekarang kita berjuang demi cinta kita ini! Kamu mau, ‘kan?” bujukku lagi.
“Makin sulit aja hubungan kita, Nu. Aku nggak yakin. Apalagi ibumu kayak sayang banget sama cewek tadi!” urai Belva putus asa.
“Kamu masih bisa mengambil hati ibuku, Bel. Yang ingin kunikahi cuma kamu,” ujarku kukuh sambil meraih wajahnya yang berusaha disembunyikan. Aku perlu meyakinkan hati Belva.
“Bahkan, aku nggak tahu apa kamu masih cinta sama aku atau nggak!” elaknya enggan.
Aku menatapnya tak percaya. “Kamu meragukanku?” tanyaku sedikit kecewa.
“Terus apa? Hubungan kita makin ambyar aja! Kamu nggak denger tadi? Ibumu mau kita selesai. Udah itu, jawabannya itu!” berondong Belva keras.
Aku merengkuh kedua pundaknya. “Cinta, ayo kita berjuang! Hem? Aku cuma mau nikah sama kamu!”
Belva tak menjawab, dia menangis tersedu. Aku memeluknya erat. Tak peduli tempat dan apa yang masih kupakai. Kubiarkan Belva membasahi lorengku. Dia salah satu alasan kenapa aku rajin dinas dan menjaga negara ini. Dia salah satu alasan kenapa aku memakai seragam ini. Dialah wanita yang ingin kujaga sesuai semboyan ABRI.
“Keluargaku bisa saja mengakhiri hubungan kita, tapi aku nggak. Aku bakalan tetep pertahanin kamu, Bel. Karena aku cinta kamu,” bisikku manis. Berharap bisa meredakan tangisnya.
Hari ini agendanya bukanlah makan siang, melainkan memacu emosi bersama Belva dan ibu. Itu baru ibu, belum romo. Tak terbayangkan betapa sengit perlawananku pada romo nanti. Mungkin lebih pelik daripada hari ini. Entah kita lihat saja nanti.
Siapa yang akan menang dan siapa yang akan hancur!
***Bridgia Gantari POVSepertinya suasana di ruang makan itu sedang genting. Tak tahan mataku ini untuk terus memandangi mereka, yakni Inu, si manja, dan Bu Nanda. Sepertinya mereka sedang terlibat perdebatan sengit hingga si manja itu menangis. Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi? Perasaan tadi katanya cuma makan siang, lhakok pakai emosi?Di saat aku sedang kepo-keponya terdengar panggilan dari suara yang bersemangat dari arah belakang. “Masayu?” pecah sebuah suara yang membuatku menoleh.“Kakek,” balasku bingung.Wajahku yang datar langsung berhias senyum lebar. Aura Kek Djoko itu beda saja. Berasa sedang menatap gambar pahlawan di tembok sekolahan. Aku tak bisa jika tidak menghormati beliau.Namun, lagi-lagi aku dipanggil Masayu. Aduh, gimana ya caranya ngadepin kakek sepuhnya Inu ini? Gimana caranya menegaskan kalau aku itu Bridgia bukan Masayu. Aku nggak enak membantah orang tua. Jadinya nurut
Hari ini aku nugas di kelas bisnis. Mengalihkan pikiran lewat pekerjaan itu kadang susah, kadang juga gampang. Untungnya aku menikmati setiap alur pekerjaanku, sehingga beban pikiran yang menyebalkan itu perlahan sirna.Bayangan wajah Inu yang menyebalkan itu bergeser dengan wajah-wajah para penumpangku. Bagiku mereka lebih penting daripada Inu, meski aku nggak kenal. Seperti lagu lama, kadang orang asing lebih menyenangkan daripada kenalan kita sendiri. Semacam itulah.“Welcome drink-nya mau apa? Apel atau jeruk, Pak?” tawarku ramah pada penumpangseat1A, kursi kelas bisnis Airbus 330.“Tomat nggak ada, ya?” tanya si bapak penasaran.Aku tersenyum. “Tomat ada.”“Mau yang tomat aja,” putus si bapak yang kubalas anggukan.“Baik tunggu sebentar, ya, Pak!” ucapku.Aku beralih pada seat 1B. “Minumnya mau apa, Pak?”“Nggak, Mba
Di sebuah ruang kerja di rumah megah, ada dua orang tentara berhadap-hadapan. Wajah mereka tidak santai, cenderung tegang. Keduanya sedang terlibat percakapan penuh emosi membahas hal yang sama, terjadi lagi. Pak Pras dan putra bungsunya kembali bertengkar karena masalah yang sama.“Apa-apaan ini Inu!” bentak Pak Prasetya sambil membanting sebuah map biru tebal ke meja kerjanya.“Saya memutuskan untuk mengajak Belva menikah, Romo. Itulah bentuk keseriusan saya sebagai laki-laki.” Inu tak bergeming kendati jenderal bintang dua itu marah dengan beringas.Pak Pras menunjuk wajah sang putra dengan emosi. “Sampai kapan pun, Romo tidak akan menandatangani pengajuan menikahmu dengan Belva! Romo hanya akan menyetujui jika calonmu Bridgia, titik!” tegas Pak Pras tanpa koma.Inu menatap sang Romo dengan tatapan tak percaya. “Kenapa, Romo?Mimik wajah Inu berubah. Alisnya naik satu dengan bibir miring. “Kenapa R
Bab 9 Hyacinta, Hay Cinta Di siang yang terik, Mami menarik tubuh lelahku ke sebuah rumah sakit besar di pusat kota. Tak hanya itu, aku juga disuruh bawa keranjang buah segede pos ronda dan beberapa tas lainnya. Berasa kuli panggul hanya untuk menjenguk orang sakit. Sayangnya, aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Langkahku gontai beda dengan mami yang semangat. Gimana nggak, aku capek berat nggak bohong. Sayangnya lagi, mami sangat enerjik untuk menjenguk Kek Djoko yang sakit sejak semalam. Aku udah paham betul kok karena semalam aku diseret-seret Inu ke tempat ini. Langkahku makin lemas dan malas saat hendak menaiki tangga, tapi Mami membuatku kaget dengan seruannya yang seperti sirine pemadam kebakaran.“Dekkk, bawain keranjang buahnya!” Mami
Pikiran ini bak berada di awang-awang. Seolah mulut dan otak tidak sinkron saat berucap kalimat itu. Untaian kata dari lisanku mengalir bak tetesan air hujan dari genteng yang jatuh ke tanah ….“Saya … akan menikah dengan Mas Inu ...,” gelontorku begitu saja.Mataku menerawang lurus tanpa berani berkontak dengan siapa pun.Apa kau sudah gila, Bridgia? Keputusan apa yang telah kamu ambil lima menit yang lalu, ha? Di mana akal sehatmu? Bagaimana bisa kamu menerima mantan terkutuk itu menjadi suamimu?Entah!Aku seperti dalam mode autopilot, berasa kena hipnotis, kena gendam! Aku sedangon the wayke neraka dunia dengan menerima sebuah perjodohan, dengan Inu Adikara pula. Iya, itu sama saja dengan memakan kulit ayam padahal aku nggak suka.Analogiku kacau, sekacau jalan hidupku di depan sana.Namun, untung kewarasanku masih bersisa 0,5%. Jadi, aku masih punya celah untuk bebas dari pa
Menurutku long flight alias penerbangan panjang adalah neraka mini. Lelahnya dobel, stresnya dobel. Kenapa aku bisa bilang gitu, karena beban pekerjaan serasa tambah berat. Harus menerjang zona waktu yang beda. Bedanya bisa nggak main-main, dua zona waktu dari WIB ke WITA, WITA ke WIT.Rasanya udah mirip kayak jetlag, padahal masih di satu wilayah Indonesia. Ya kayak sekarang inilah. Badan masih serasa di Jakarta, tapi fisik udah di Timika.Belum lagi ketemu penumpangnya yang banyak karakter. Rerata penumpang daerah timur itu agak susah dibilangi. Agak rumpik dan banyak maunya, menurutku sih. Jadi, membutuhkan kesabaran ekstra dalam menghadapinya.Ya udahlah bisa apa. Jalani aja meskipun bantalan mata panda mulai muncul saat aku berkaca. Gimana nggak setelah menempuh penerbangan panjang lokal rasa jetlag, aku cuma istirahat 9 jam di Timika. Setelah itu, aku harus balik kerja rute baru yakni, Timika – Bali – Jakarta.Tiga zona waktu da
Suasana ramai terlihat di sebuah rumah berhalaman luas. Tampak sebuah acara pernikahan akan berlangsung sebentar lagi. Di depan rumah sudah ada dua buah janur kuning besar yang melengkung ke bawah. Tak hanya itu, jejeran karangan bunga bertuliskan “Happy Wedding Wisnu dan Bridgia” terlihat memenuhi sepanjang jalan rumah itu.Sudah jelas pernikahan siapa, Brie dan Inu. Di pagi yang tidak terlalu cerah ini keduanya akan menikah. Bahkan semenjak Subuh, Brie sudah dirias dengan riasan adat Putri Solo. Pramugari muda itu cantik sekali, berulang-ulang dapat pujian dari sana-sini.Namun, kesibukan itu berbanding terbalik dengan suasana hati Brie yang terasa sepi. Dia merasa sepi di tengah riuhnya suasana. Setelah dirias, dia lebih suka menepi di tepi jendela kamar. Tak banyak meminta sesuatu atau pun bersuara.Dia hanya ingin hening berteman air matanya.Iya, memang betul air mata Brie tak hentinya mengalir. Sama seperti hujan gerimis yang mulai turu
Aku membalur badan dengancream sunblock. Demi kulit agar tak gosong sebab siang ini aku akan berjalan santai di pantai. Rupanya anggapan santai kayak di pantai itu benar.Otakku yang jenuh karena masalah akhir-akhir ini terasa mulai mengendur.Mulai rileks, meskipun suasana tegang. Gimana nggak, kedatanganku ke pantai ini adalah dalam rangka bulan madu. Yeap, bulan madu!Namun, ya udahlah. Aku nggak perlu membahas hal yang tidak penting. Terpenting adalah aku bisa liburan. Thanks toInu karena ngajak aku ke penginapannya di kawasan Pulau Seribu. Walaupun, aku juga nggak mau deketan sama dia. Sumpah dia serem. Bergidik ngeri kala mengingat tindak tanduknya selama berada di dekatku.Dia suka mendekatiku, tak membiarkanku lepas dari pandangannya. Inu bahkan mulai menunjukkan gesture tubuh yang aneh. Semacam akan menerkamku. Jadi ngeri sendiri karena aku tak suka kontak fisik dengan lawan jenis. Sama penumpang aja aku jaran
“Mas … makanan Noah nanti angetin di panci kukusan aja, ya? Kita nggak punya oven. Jangan lupa lima menit aja nggak usah lama-lama!”“Mas, jangan lupa jemuranku di belakang! Udah mau kering paling jam sepuluhan udah siap angkat!”“Nanti kalau ada calon Persit mau ngadep jangan lupa disenyumin, Mas! Ingat juga nanti sore suruh ngadep aku lagi, okay?”“Noah nggak suka pakai popok kalau siang jadi Mas Inu kudu rajin ngajak dia ke kamar mandi setiap sejam sekali!”“Mas … bla bla bla!”Inu hanya melongok kecil tatkala Brie tercinta mondar-mandir dari kamar satu ke kamar satunya. Jiwanya sebagai pramugari masih ada, cekatan dan suka jalan cepat. Meski begitu derap langkahnya masih anggun sama seperti saat bekerja dulu. Sama seperti rasa di hatinya yang tetap malah makin cinta.Kemudian pria yang bercelana loreng dengan banyak saku dan kaos oblong cokelat itu meraih putra kes
Anak lelaki bisa menjadi sahabat bagi bapaknya dan pelindung bagi ibunya. Pepatah itu mulai kurasakan saat Noah berusia setahun minggu lalu. Bahkan, semenjak usia delapan bulan dia laksana sahabat dan rekan terbaikku. Kini tanpa terasa usianya sudah setahun. Kami merayakan pertambahan usianya dengan sebuah syukuran sederhana di rumah romo dan ibu.Dia meniup lilin ulang tahun di kue cokelat yang kubuat sendiri dibantu ibu. Tak hanya itu, Noah juga menghabiskan sepiring besar nasi kuning buatan mami. Memang, ya, selera makan besar nurun aku.Sayang, kami harus merayakannya tanpa mas Inu karena dia sibuk di kantor seharian. Bagiku itu sudah biasa, mas Inu tidak selalu bisa hadir dalam setiap suasana karena tuntutan dinas. Bukan hanya ulang tahun anak semata wayang kami saja, tapi juga ultah ibu dan romo pernah dia lewatkan karena tugas.Yang luar biasa adalah pengertian dari Noah. Anak sekecil itu tak pernah menuntut atau rewel tatkala Didi – biasa dia meman
Inu Adikara POVSembilan bulan dua belas hari, Bridgia membawa anakku ke mana-mana. Tidur, makan, mandi, menyapu rumah, memasak, mencuci, dan aktivitas apa pun. Termasuk saat merayu dan menggodaku kesabaranku saban hari. Dia mengganggu ketenangan pagi dan malamku. Membuat permintaan yang kadang konyol dan tak masuk akal. Sampai lelah kadang menghadapi Brie.Namun, dia tak punya lelah dalam membawa anakku ke mana-mana. Tak pernah sekali saja ditaruh perut besar seksinya itu. Pasti berat, sebab aku pernah mengangkat perut buncitnya dengan tanganku. Berat karena berisi bayi dan cairan-cairan lainnya. Oleh karena itu, ibu hamil itu sangat mulia. Itulah yang membuatku sangat mencintai Brie saat ini.Untuk ukuran ibu hamil trisemester tiga, Brie tergolong bu mil yang aktif. Bahkan, saat pesta pertunangan Mbak Rania minggu lalu, dia tetap lincah membantu ini dan itu dengan perut besarnya. Dia tak suka berpangku tangan. Jiwanya sebagai pramugar
Tangan ini hanya bisa melambai ke udara saat melepasnya pergi. Petang ini kembali kulepas pujaan hati kembali ke tanah penugasan. Tak bisa dipungkiri, dia belum waktunya bersantai. Masih harus menuntaskan kewajibannya. Bisa melipir untuk mengantarku pulang saja sudah syukur.Sekali lagi kulambaikan tangan sampai di menghilang di ambang gate 10A. Kulepas Inu dengan air mata haru, bukan sebuah kesedihan. Sebab tak lama lagi dia akan kembali lagi untuk memelukku. Dan mungkin memeluk anak kami di dalam perut sini.Benar, aku tak begitu sedih karena ada yang tertinggal dari Inu di dalam tubuhku. Benihnya. Semoga saja mereka bertemu dan membuat sebuah pencapaian besar. Sebuah hadiah indah yang akan kusambut di bulan depan, semoga. Aku sangat menginginkan kehamilan ini.Secara otomatis, surat pengunduran diriku akan terkirim ke maskapai seiring dua garis itu. Aku akan mengundurkan diri dari dunia pramugari yang tlah membesarkan jiwaku. Ya, semoga.“Cepatla
“Air mata rinduku tercipta lagi. Menoleh ke samping, aku sendirian. Hanya berharap satu, andaikan kamu di sini.”Pernahkah kamu merasa sepi saat sekelilingmu ramai? Mereka tertawa lepas, tapi mulutmu terlalu berat untuk membalasnya. Semua ribut membeo, bertutur, berceloteh, sedangkan kamu hanya diam tanpa ekspresi. Seolah tak ada yang menarik selain hanya merasa sepi.Pernahkah kamu merasa berat meski sedang tidak membawa apa pun?Apa saja yang kamu rencanakan terasa susah untuk diwujudkan. Semua menjadi serba salah. Tak enak hati karena bimbang antara memilih atau menolak kenyataan.Mungkin cuma barisan orang rindu macam aku ini yang sedang merasakannya.Tidak bergairah untuk sekedar melempar senyum atau pun serba salah dalam setiap perilaku. Seolah tak ada yang menyenangkan, semua terasa buntu.Kusadari itu semua karena rindu. Kangen pada seseorang yang ditunggu kedatangannya, tetapi tak kunjung data
"Masihkah kamu mencintaiku?" tanya Inu lirih."Entah,” jawabku dengan mata kosong."Kamu sedang memikirkan apa?""Kamu,” jawabku jujur."Sudah memaafkanku?" Inu mencium punggung tanganku dengan hangat"Nggak kepikiran!""Kenapa?""Nanti kamu sakitin aku lagi."Dialog-dialog kami mengalir seperti air hujan yang tercurah dari genteng. Kami duduk bersebelahan sambil bersandar pada tembok yang dingin. Tanpa saling melihat hanya saling memegang tangan. Pandangan kosong menerawang, sesekali mengingat apa yang baru saja kami lakukan.Aku tersadar bahwa kami baru saja bercinta dengan hebat dan meminggirkan semua kerusakan yang sempat terjadi. Kini apa status kami, mungkin sepasang suami – istri yang masih cinta dan saling memperbaiki situasi.Seperti Inu Adikara yang kali ini melabuhkan pelukan lebarnya pada tubuhku yang tanpa benang sehelai saja ini. Inu makin mengeratkan pelukannya saat aku mencium dad
Hujan telah menghiasi langit Jakarta yang gelap. Pukul delapan malam, harusnya aku bahagia larut dalam pesta bujangan Sysil. Nyatanya, aku malah di dalam kamar gelap berteman pemahaman yang makin pelik. Berteman anggapan dari pikiranku yang makin rumit. Tentang pernikahan ini dan Inu Adikara.Sepertinya pernikahan ini telah menemui jalan buntu. Aku bisa memaafkan semua kesalahan Inu, tapi tidak dengan satu, perselingkuhan. Sama seperti dia yang membenci seorang peselingkuh, entah benar atau tidak, aku pun sama. Entah, mungkinkah ini akhir dari semua kebodohan ini?Di tengah kesesakan dari dada dan rasa, tiba-tiba telingaku mendengar suara deru mobil yang dimatikan. Rupanya Inu sudah datang. Tersangka utama keributan sore ini siap untuk menghancurkan sisa malam bersamaku. Mungkin ini akan jadi malam terakhir aku melihat kamar ini.Sebab setelah ini aku akan pergi meninggalkan semua, “dunia” bodoh ini.Setelahnya, te
“Ginikah Mas potongan wortelnya? Kurang kecil nggak?” Kuahnya kayak gini? Kurang kaldu apa gimana? Suka bening apa pekat?”“Suka merica apa lada hitam? Aku banyakin yang mana?”Inu menatap sang istri yang berceloteh riang sambil mengaduk-aduk spatula. Wajah sang pramugari terlihat semringah karena sore ini dia memasak untuk sang suami di rumah mertua. Dapur yang sepi berubah menjadi riuh karena perdebatan kecil di antara mereka. Ya cuma masalah potongan wortel yang kegedean, atau kuah sup sayur yang kurang pekat.“Kalau terlalu besar wortelnya, kata ibu, jadi nggak manis gitu,” lanjut Brie ceriwis.Inu mendekati pipi sang istri. “Terserah kamu, Dek! Semua masakanmu pasti kumakan.”Brie mendelik kecil sambil menaruh spatula. “Kok gitu? Nanti Kalau nggak enak aku diomeli lagi!” protes Brie.“Siapa sih yang berani ngomeli cewek galak macam kamu?&r
Ada yang lebih seram dan pekat dari awan kumulonimbus. Ada yang lebih berat dari pintu Boeing 737-800. Ada yang lebih menyesakkan dari dekompresi udara. Ada yang lebih rumit dari tombol kokpit. Dia bernama rindu. Aku mengenalnya semenjak bertemu dengan manusia itu.Rindu pada manusia yang jauh di sana – yang sekarang makin jauh. Setelah meninggalkanku ke Bandung, sekarang Inu sudah ada di Situbondo. Dia harus merampungkan tugas pada negaranya sebagai seorang penjaga bangsa yang setia.Rinduku sama dengan celotehnya, makin seru. Apalagi jika mendengar suara ceriwisnya, serasa aku ingin menembus ruang untuk bersua dengan Inu di sana.Dia menjadikanku buku diari hidup dengan bercerita banyak hal di panggilan telepon. Katanya, dia ketemu banyak prajurit dari matra lain. Maksudnya, dari Angkatan Laut dan Udara. Yang laut bawa kapal induk dan yang udara bawa jet tempur. Seru, berasa simulasi perang sungguhan. Mereka meledakkan bom di gunung, meledakkan meriam, d