“Mas … makanan Noah nanti angetin di panci kukusan aja, ya? Kita nggak punya oven. Jangan lupa lima menit aja nggak usah lama-lama!”
“Mas, jangan lupa jemuranku di belakang! Udah mau kering paling jam sepuluhan udah siap angkat!”
“Nanti kalau ada calon Persit mau ngadep jangan lupa disenyumin, Mas! Ingat juga nanti sore suruh ngadep aku lagi, okay?”
“Noah nggak suka pakai popok kalau siang jadi Mas Inu kudu rajin ngajak dia ke kamar mandi setiap sejam sekali!”
“Mas … bla bla bla!”
Inu hanya melongok kecil tatkala Brie tercinta mondar-mandir dari kamar satu ke kamar satunya. Jiwanya sebagai pramugari masih ada, cekatan dan suka jalan cepat. Meski begitu derap langkahnya masih anggun sama seperti saat bekerja dulu. Sama seperti rasa di hatinya yang tetap malah makin cinta.
Kemudian pria yang bercelana loreng dengan banyak saku dan kaos oblong cokelat itu meraih putra kes
“Mami kalau masak daging pakai metode 5:30:7 aja. Nyalakan api 5 menit, lalu tunggu 30 menit, dan nyalakan api lagi 7 menit. Pasti cepet empuk dan lebih hemat gas.”“Makasih, ya, tipsnya, Dek. Beneran cepet empuk deh!”“Iya sama-sama, Mi!”Suatu siang aku menelepon Mami di rumah dari kota Kendari. Berceloteh riang membahas cara efektif memasak daging sapi agar cepat empuk. Kalau Kalian dengar percakapan itu, apa aku terlihat seperti seorang koki? Mungkin. Aku seperti sudah pro dengan dunia masak memasak.“Dek, obat diare apaan, ya? Papi sakit perut.”“Habis makan apaan, Mi?”“Kayaknya sih rujak manis buatan mbakmu.”“Coba buatin oralit, Mi. Enam sendok teh gula pasir dan setengah sendok teh garam larutkan dalam seliter air. Minum satu gelas setiap 4 – 6 jam sekali. Mami bisa kasih Papi pisang. K
“Ayolah Nuuuu, kenalan sama calonnya Ibu! Hem?”Rayuan yang mampir ke telinga lelaki bertinggi 180 sentimeter itu hanya sekedar angin lalu. Di hari semendung ini, lelaki itu tengah diselimuti kelelahan setelah bekerja sepanjang hari. Sehingga lelaki berwajah tampan yang masih berseragam loreng dengan wajah penuh coretan samaran itu hanya melengos meski yang merayu adalah ibu kandungnya.Dia tak peduli, cuek selangit. Bahkan, tubuh tegapnya berhasil menepis tangan sang ibu yang hendak bersandar di bahunya. Membuat sang ibu mencibirnya gemas. Ibu berparas ayu itu sudah biasa dicuekin si bungsu yang seorang tentara itu.Lelaki bernama Inu itu menatap ibunya dengan pandangan yang sama, enggan dan frustrasi. “Ibu nggak tahu kalau Inu udah punya pacar?” omelnya dengan kesal sambil menghapus tinta samaran dengan tisu basah.Sang Ibu melengos dan terus merepet pada si bungsu yang tampak makin enggan. Tentu karena kalimat selanjutnya adalah
Malam ini, gerimis masih melanda Kota Jakarta. Jam menunjukkan pukul tujuh, tapi terasa lebih malam. Mungkin benar kata pujangga, gerimis mempercepat kelam. Sama seperti hatiku yang mulai merambat pada rasa tak keruan.Malam ini mobil papi disetiri Mas Abi. Yaps, seluruh elemen keluarga aneh ini diajak untuk bertemu dengan keluarga aneh yang lain itu. Sebut saja keluarga calon suamiku, huh! Tunggu, ini serius?Hatiku mulai berdebar aneh. Sepertinya aku mulai penasaran dengan rupa manusia itu. Penasaran saja sih, bukannya minat sama perjodohan itu, ya! Sekali lagi aku nggak mau nikah cepet di usia semuda ini.Namun, aku juga penasaran. Apa dia masih muda, seumuranku, atau malah lebih muda? Jangan-jangan dia pria paruh baya seumuran papi. Mereka terlibat perjanjian lama demi harta gitu? Terus untuk menebus utang, papi nikahin aku sama orang itu.Duh, serius nih papi jodohin aku demi harta atau sebongkah saham? Aduh, semoga nggak! Masa hargaku sebanding sama
Bridgia hanya bisa membolak-balik badannya ke kanan dan kiri. Malam ini dia tak bisa tidur, apalagi setelah pertemuan dengan Inu tadi. Mereka berjumpa lagi setelah berpisah sembilan tahun lamanya. Padahal esok pagi dia harus bangun cepat untukflightke Balikpapan. Jadwalnya tiga hari terbang, dan itu sangat menyita perhatiannya.Namun, otaknya tak ingin diajak tidur. Masih saja terus memikirkan Inu Adikara, si aneh menyebalkan itu. Di antara jutaan pria Indonesia, kenapa harus Inu, pikir Brie.Kenapa pula dia harus dijodohkan dengan lelaki macam dia? Apalagi Inu tak dalam status lajang. Hidup Brie yang indah mendadak pelik dan aneh. Susah payah melupakan Inu, bahkan sampai tak menjalin cinta dengan siapapun, buyar begitu saja.Brie kesal dengan jalan hidupnya, mendadak aneh hanya dalam hitungan hari, bahkan hitungan jam. Apalagi musim hujan dan gerimis masih panjang. Maka, masih panjanglah pula dia harus mengingat Inu Adikara. Mengingat Inu s
Bridgia POVAkhirnya, aku sampai juga di Jakarta. Rindu sejadi-jadinya pada kota padat ini setelah beberapa hari tak jumpa. Melihat landasan pacu CGK bak melihat Kasur nyamanku, ingin segera pulang dan jadi kaum rebahan. Aku super lelah karena beban kerja yang nggak main-main.Sesampainya di flops, masih sempat-sempatnya aku menyapa Mbak Maria yang akan flight ke Manado. Beliau ini memang panutanku sejak zaman pucuk dulu. Perangainya baik dan lembut pada junior. Maka dari itu, banyak yang suka padanya termasuk aku.“Safe flight, Mbak!” ucapku manis pada Mbak Maria yang juga tersenyum manis.Dia melambai padaku dengan semringah. “Kamuhave a nice sleep, ya, Dek!”Si baik hati yang ngemong sekali itu akan akan dipromosikan jadiMaitre de’ Cabin. Beliau pantas mendapatkannya karena kebaikan hati mirip bidadari udara. Seragamnya akan segera berganti ke warna un
Bridgia Gantari POVSepertinya suasana di ruang makan itu sedang genting. Tak tahan mataku ini untuk terus memandangi mereka, yakni Inu, si manja, dan Bu Nanda. Sepertinya mereka sedang terlibat perdebatan sengit hingga si manja itu menangis. Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi? Perasaan tadi katanya cuma makan siang, lhakok pakai emosi?Di saat aku sedang kepo-keponya terdengar panggilan dari suara yang bersemangat dari arah belakang. “Masayu?” pecah sebuah suara yang membuatku menoleh.“Kakek,” balasku bingung.Wajahku yang datar langsung berhias senyum lebar. Aura Kek Djoko itu beda saja. Berasa sedang menatap gambar pahlawan di tembok sekolahan. Aku tak bisa jika tidak menghormati beliau.Namun, lagi-lagi aku dipanggil Masayu. Aduh, gimana ya caranya ngadepin kakek sepuhnya Inu ini? Gimana caranya menegaskan kalau aku itu Bridgia bukan Masayu. Aku nggak enak membantah orang tua. Jadinya nurut
Hari ini aku nugas di kelas bisnis. Mengalihkan pikiran lewat pekerjaan itu kadang susah, kadang juga gampang. Untungnya aku menikmati setiap alur pekerjaanku, sehingga beban pikiran yang menyebalkan itu perlahan sirna.Bayangan wajah Inu yang menyebalkan itu bergeser dengan wajah-wajah para penumpangku. Bagiku mereka lebih penting daripada Inu, meski aku nggak kenal. Seperti lagu lama, kadang orang asing lebih menyenangkan daripada kenalan kita sendiri. Semacam itulah.“Welcome drink-nya mau apa? Apel atau jeruk, Pak?” tawarku ramah pada penumpangseat1A, kursi kelas bisnis Airbus 330.“Tomat nggak ada, ya?” tanya si bapak penasaran.Aku tersenyum. “Tomat ada.”“Mau yang tomat aja,” putus si bapak yang kubalas anggukan.“Baik tunggu sebentar, ya, Pak!” ucapku.Aku beralih pada seat 1B. “Minumnya mau apa, Pak?”“Nggak, Mba
Di sebuah ruang kerja di rumah megah, ada dua orang tentara berhadap-hadapan. Wajah mereka tidak santai, cenderung tegang. Keduanya sedang terlibat percakapan penuh emosi membahas hal yang sama, terjadi lagi. Pak Pras dan putra bungsunya kembali bertengkar karena masalah yang sama.“Apa-apaan ini Inu!” bentak Pak Prasetya sambil membanting sebuah map biru tebal ke meja kerjanya.“Saya memutuskan untuk mengajak Belva menikah, Romo. Itulah bentuk keseriusan saya sebagai laki-laki.” Inu tak bergeming kendati jenderal bintang dua itu marah dengan beringas.Pak Pras menunjuk wajah sang putra dengan emosi. “Sampai kapan pun, Romo tidak akan menandatangani pengajuan menikahmu dengan Belva! Romo hanya akan menyetujui jika calonmu Bridgia, titik!” tegas Pak Pras tanpa koma.Inu menatap sang Romo dengan tatapan tak percaya. “Kenapa, Romo?Mimik wajah Inu berubah. Alisnya naik satu dengan bibir miring. “Kenapa R
“Mas … makanan Noah nanti angetin di panci kukusan aja, ya? Kita nggak punya oven. Jangan lupa lima menit aja nggak usah lama-lama!”“Mas, jangan lupa jemuranku di belakang! Udah mau kering paling jam sepuluhan udah siap angkat!”“Nanti kalau ada calon Persit mau ngadep jangan lupa disenyumin, Mas! Ingat juga nanti sore suruh ngadep aku lagi, okay?”“Noah nggak suka pakai popok kalau siang jadi Mas Inu kudu rajin ngajak dia ke kamar mandi setiap sejam sekali!”“Mas … bla bla bla!”Inu hanya melongok kecil tatkala Brie tercinta mondar-mandir dari kamar satu ke kamar satunya. Jiwanya sebagai pramugari masih ada, cekatan dan suka jalan cepat. Meski begitu derap langkahnya masih anggun sama seperti saat bekerja dulu. Sama seperti rasa di hatinya yang tetap malah makin cinta.Kemudian pria yang bercelana loreng dengan banyak saku dan kaos oblong cokelat itu meraih putra kes
Anak lelaki bisa menjadi sahabat bagi bapaknya dan pelindung bagi ibunya. Pepatah itu mulai kurasakan saat Noah berusia setahun minggu lalu. Bahkan, semenjak usia delapan bulan dia laksana sahabat dan rekan terbaikku. Kini tanpa terasa usianya sudah setahun. Kami merayakan pertambahan usianya dengan sebuah syukuran sederhana di rumah romo dan ibu.Dia meniup lilin ulang tahun di kue cokelat yang kubuat sendiri dibantu ibu. Tak hanya itu, Noah juga menghabiskan sepiring besar nasi kuning buatan mami. Memang, ya, selera makan besar nurun aku.Sayang, kami harus merayakannya tanpa mas Inu karena dia sibuk di kantor seharian. Bagiku itu sudah biasa, mas Inu tidak selalu bisa hadir dalam setiap suasana karena tuntutan dinas. Bukan hanya ulang tahun anak semata wayang kami saja, tapi juga ultah ibu dan romo pernah dia lewatkan karena tugas.Yang luar biasa adalah pengertian dari Noah. Anak sekecil itu tak pernah menuntut atau rewel tatkala Didi – biasa dia meman
Inu Adikara POVSembilan bulan dua belas hari, Bridgia membawa anakku ke mana-mana. Tidur, makan, mandi, menyapu rumah, memasak, mencuci, dan aktivitas apa pun. Termasuk saat merayu dan menggodaku kesabaranku saban hari. Dia mengganggu ketenangan pagi dan malamku. Membuat permintaan yang kadang konyol dan tak masuk akal. Sampai lelah kadang menghadapi Brie.Namun, dia tak punya lelah dalam membawa anakku ke mana-mana. Tak pernah sekali saja ditaruh perut besar seksinya itu. Pasti berat, sebab aku pernah mengangkat perut buncitnya dengan tanganku. Berat karena berisi bayi dan cairan-cairan lainnya. Oleh karena itu, ibu hamil itu sangat mulia. Itulah yang membuatku sangat mencintai Brie saat ini.Untuk ukuran ibu hamil trisemester tiga, Brie tergolong bu mil yang aktif. Bahkan, saat pesta pertunangan Mbak Rania minggu lalu, dia tetap lincah membantu ini dan itu dengan perut besarnya. Dia tak suka berpangku tangan. Jiwanya sebagai pramugar
Tangan ini hanya bisa melambai ke udara saat melepasnya pergi. Petang ini kembali kulepas pujaan hati kembali ke tanah penugasan. Tak bisa dipungkiri, dia belum waktunya bersantai. Masih harus menuntaskan kewajibannya. Bisa melipir untuk mengantarku pulang saja sudah syukur.Sekali lagi kulambaikan tangan sampai di menghilang di ambang gate 10A. Kulepas Inu dengan air mata haru, bukan sebuah kesedihan. Sebab tak lama lagi dia akan kembali lagi untuk memelukku. Dan mungkin memeluk anak kami di dalam perut sini.Benar, aku tak begitu sedih karena ada yang tertinggal dari Inu di dalam tubuhku. Benihnya. Semoga saja mereka bertemu dan membuat sebuah pencapaian besar. Sebuah hadiah indah yang akan kusambut di bulan depan, semoga. Aku sangat menginginkan kehamilan ini.Secara otomatis, surat pengunduran diriku akan terkirim ke maskapai seiring dua garis itu. Aku akan mengundurkan diri dari dunia pramugari yang tlah membesarkan jiwaku. Ya, semoga.“Cepatla
“Air mata rinduku tercipta lagi. Menoleh ke samping, aku sendirian. Hanya berharap satu, andaikan kamu di sini.”Pernahkah kamu merasa sepi saat sekelilingmu ramai? Mereka tertawa lepas, tapi mulutmu terlalu berat untuk membalasnya. Semua ribut membeo, bertutur, berceloteh, sedangkan kamu hanya diam tanpa ekspresi. Seolah tak ada yang menarik selain hanya merasa sepi.Pernahkah kamu merasa berat meski sedang tidak membawa apa pun?Apa saja yang kamu rencanakan terasa susah untuk diwujudkan. Semua menjadi serba salah. Tak enak hati karena bimbang antara memilih atau menolak kenyataan.Mungkin cuma barisan orang rindu macam aku ini yang sedang merasakannya.Tidak bergairah untuk sekedar melempar senyum atau pun serba salah dalam setiap perilaku. Seolah tak ada yang menyenangkan, semua terasa buntu.Kusadari itu semua karena rindu. Kangen pada seseorang yang ditunggu kedatangannya, tetapi tak kunjung data
"Masihkah kamu mencintaiku?" tanya Inu lirih."Entah,” jawabku dengan mata kosong."Kamu sedang memikirkan apa?""Kamu,” jawabku jujur."Sudah memaafkanku?" Inu mencium punggung tanganku dengan hangat"Nggak kepikiran!""Kenapa?""Nanti kamu sakitin aku lagi."Dialog-dialog kami mengalir seperti air hujan yang tercurah dari genteng. Kami duduk bersebelahan sambil bersandar pada tembok yang dingin. Tanpa saling melihat hanya saling memegang tangan. Pandangan kosong menerawang, sesekali mengingat apa yang baru saja kami lakukan.Aku tersadar bahwa kami baru saja bercinta dengan hebat dan meminggirkan semua kerusakan yang sempat terjadi. Kini apa status kami, mungkin sepasang suami – istri yang masih cinta dan saling memperbaiki situasi.Seperti Inu Adikara yang kali ini melabuhkan pelukan lebarnya pada tubuhku yang tanpa benang sehelai saja ini. Inu makin mengeratkan pelukannya saat aku mencium dad
Hujan telah menghiasi langit Jakarta yang gelap. Pukul delapan malam, harusnya aku bahagia larut dalam pesta bujangan Sysil. Nyatanya, aku malah di dalam kamar gelap berteman pemahaman yang makin pelik. Berteman anggapan dari pikiranku yang makin rumit. Tentang pernikahan ini dan Inu Adikara.Sepertinya pernikahan ini telah menemui jalan buntu. Aku bisa memaafkan semua kesalahan Inu, tapi tidak dengan satu, perselingkuhan. Sama seperti dia yang membenci seorang peselingkuh, entah benar atau tidak, aku pun sama. Entah, mungkinkah ini akhir dari semua kebodohan ini?Di tengah kesesakan dari dada dan rasa, tiba-tiba telingaku mendengar suara deru mobil yang dimatikan. Rupanya Inu sudah datang. Tersangka utama keributan sore ini siap untuk menghancurkan sisa malam bersamaku. Mungkin ini akan jadi malam terakhir aku melihat kamar ini.Sebab setelah ini aku akan pergi meninggalkan semua, “dunia” bodoh ini.Setelahnya, te
“Ginikah Mas potongan wortelnya? Kurang kecil nggak?” Kuahnya kayak gini? Kurang kaldu apa gimana? Suka bening apa pekat?”“Suka merica apa lada hitam? Aku banyakin yang mana?”Inu menatap sang istri yang berceloteh riang sambil mengaduk-aduk spatula. Wajah sang pramugari terlihat semringah karena sore ini dia memasak untuk sang suami di rumah mertua. Dapur yang sepi berubah menjadi riuh karena perdebatan kecil di antara mereka. Ya cuma masalah potongan wortel yang kegedean, atau kuah sup sayur yang kurang pekat.“Kalau terlalu besar wortelnya, kata ibu, jadi nggak manis gitu,” lanjut Brie ceriwis.Inu mendekati pipi sang istri. “Terserah kamu, Dek! Semua masakanmu pasti kumakan.”Brie mendelik kecil sambil menaruh spatula. “Kok gitu? Nanti Kalau nggak enak aku diomeli lagi!” protes Brie.“Siapa sih yang berani ngomeli cewek galak macam kamu?&r
Ada yang lebih seram dan pekat dari awan kumulonimbus. Ada yang lebih berat dari pintu Boeing 737-800. Ada yang lebih menyesakkan dari dekompresi udara. Ada yang lebih rumit dari tombol kokpit. Dia bernama rindu. Aku mengenalnya semenjak bertemu dengan manusia itu.Rindu pada manusia yang jauh di sana – yang sekarang makin jauh. Setelah meninggalkanku ke Bandung, sekarang Inu sudah ada di Situbondo. Dia harus merampungkan tugas pada negaranya sebagai seorang penjaga bangsa yang setia.Rinduku sama dengan celotehnya, makin seru. Apalagi jika mendengar suara ceriwisnya, serasa aku ingin menembus ruang untuk bersua dengan Inu di sana.Dia menjadikanku buku diari hidup dengan bercerita banyak hal di panggilan telepon. Katanya, dia ketemu banyak prajurit dari matra lain. Maksudnya, dari Angkatan Laut dan Udara. Yang laut bawa kapal induk dan yang udara bawa jet tempur. Seru, berasa simulasi perang sungguhan. Mereka meledakkan bom di gunung, meledakkan meriam, d