Gerhana memacu kencang mobilnya melebihi batas rata-rata kecepatan. Pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Dan ia masih berada di jalan Thamrin. Sementara meetingnya dengan para investor proyek dan petinggi perusahaan akan dimulai tepat pada pukul delapan pagi. Kalau ia sampai terlambat, alamat dicor bersama dengan tiang pancanglah ia oleh Abizar. Sifat Abizar itu kan sebelas dua belas dengan Om Heru. Disiplin adalah nama tengah mereka. Apalagi ia belum genap sebulan bekerja di PT. Bina Graha Persada ini. Ia memang baru saja menamatkan kuliahnya dan menyandang gelar S.Ars alias sarjana arsirektur. Ia menjabat sebagai architect engineering di perusahaan ini.
Baru saja memikirkan konsekuensi dari keterlambatannya, ponselnya bergetar. Nah kan! Pasti itu Abizar yang memang hobby sekali merazia anak buahnya setiap pagi. Khususnya hari ini, di mana para petinggi proyek turun gunung semua. Perusahaan memenangkan tender proyek raksana dan teamnya yang akan mengeksekusi pembangunannya. Di bawah arahan Abizar sebagai manager project, diharapkan hasilnya akan maksimal. Saat ini pasti briefing sudah dimulai sementara ia sebagai architect engineeringnya malah belum sampai. Dugaannya benar seratus persen. Nama boss besar alias Abizar yang tertera di layar ponselnya. Gerhana membaca doa terlebih dahulu sebelum mengangkat ponselnya.
"Ha--"
"Apa di rumah kamu tidak ada jamnya hah? Kamu tahu tidak ini sudah jam berapa?" Teriakan boss besarnya membuat telinganya pengeng seketika.
Subhanalah, belum juga ngomong halo, boss besarnya sudah ngegas aja. Ini orang cemilannya petasan kali ya?
"Ada dong, Bang. Masalahnya tadi saya terlambat bangun. Saya lupa menyetel alarm, Bang. Makanya--"
"Jangan cari alasan! Mau kamu lupa menyetel alarm kek, ponsel kamu meledak kek, itu semua bukan urusan saya. Yang menjadi urusan saya, kamu harus sudah ada di kantor sebelum rapat dimulai. Paham kamu?! Satu hal lagi kalau masih jam kantor, panggil saya Bapak!"
Gerhana menjauhkan ponsel dari telinganya. Sepertinya gendang telinganya ikutan kaget di dalam sana. Beginilah gaya komunikasi Abizar kalau sudah membahas masalah pekerjaan. Pedesnya ngalah-ngalahin nasi goreng level 14nya Mang Rojak. Ia heran apakah Abizar tidak takut terkena penyakit stroke kalau kerjanya marah-marah melulu? Tapi ya, memang dia yang salah sih. Rapat penting bernilai triliunan rupiah seperti ini, ia malah bisa-bisanya terlambat. Semua ini gara-gara sifat pelupanya. Kalau saja ia tidak lupa menyetel alarm, pasti ia tidak akan keteteran seperti ini. Ia juga lupa membawa earphone hari ini. Sampai-sampai ia harus menyetir dengan satu tangan saat harus bolak-balik mengangkat telepon dari rekan-rekan satu divisinya. Kalau ayahnya tahu ia berkendara dengan cara seperti ini, alamat dikuliahi dari pagi sampai subuh.
Ponselnya bergetar lagi. Mampus! Jangan-jangan Abizar lagi atau salah satu rekannya. Ia mengerti saat ini rekan-rekan satu teamnya pasti sudah tidak sabar menunggu kehadirannya. Sistem pekerjaan mereka memang berhubungan satu sama lain. Satu yang error, alamat rubuh lah proyek mereka semua. Melihat nama yang muncul adalah Bagas, ia menarik napas lega. Ternyata drafter divisinya lah yang menghubunginya.
"Eh Nana pikun. Lo ini nyangkut di mana sih? Meeting udah mau dimulai, Na. Bisa abis kita semua kalo lo belum nongol. Gue mau ngejelasin apa kalo hasil drawing gue belum lo cek komposisinya? Lo mau proyek kita rubuh?"
"Sabar ya, Gas. Bentar lagi gue nyampe. Maap ye, gue lupa nyetel alarm."
"Dasar pikun. Masih perawan penyakit lo udah kayak nenek-nenek. Kalo kepala lo nggak nyangkut di leher, pasti lo lupa juga narohnya di mana. Cepetan ngebut! Kalo proyek ini direject, anak bini gue mau makan apa, Na?"
Gerhana meringis. Ia tahu kalau Bagas itu mempunyai banyak tanggungan. Selain bapak dari dua orang anak kembar, ia juga menanggung biaya hidup orang tua dan juga mertuanya yang sudah tidak berpenghasilan. Memikirkan nasib rekan-rekannya yang lain, membuatnya menekan pedal gas kian dalam. Ia harus secepatnya tiba di kantor.
Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Saat akan berbelok menuju kantornya, ia menabrak stealing martabak yang diletakkan terlalu dekat ke bahu jalan. Ia menjerit ngeri dan dengan cepat membanting stir. Bunyi decitan ban yang direm mendadak, berbarengan dengan teriakan ngeri para pengguna jalan lainnya. Mobilnya berguncang karena menabrak stealing martabak walaupun ia sudah berusaha mengeremnya.
Kepalanya serasa berputar dan pandangannya berkunang-kunang. Ia mengubur kepalanya sejenak pada stir mobil. Berusaha menenangkan diri. Ia shock! Nyaris saja! Ia baru mengangkat kepalanya dari stir mobil saat telinganya mendengar suara-suara teriakan. Ramainya orang-orang yang berkerumun di sekitar jendela mobil menyadarkannya. Mereka mengetuk-ngetuk jendela dan ada beberapa orang yang menggedor-gedornya. Dengan jemari bergetar ia berusaha membuka handle pintu. Namun karena jemarinya terus saja bergetar, ia kesusahan membukanya. Tangannya selalu luput dari sasaran. Saat gedoran bertambah kencang, baru lah ia berhasil membuka pintu.
"Lo ini bisa nyetir kagak hah? Lo liat itu stealing martabaknya Bu Wardah rusak parah. Kalo baru belajar nyetir, jangan main-main di jalan dong!" Seorang preman berwajah seram membentaknya dengan kasar. Beberapa orang yang ia asumsikan sebagai teman-temannya, berjalan petantang petenteng di sekelilingnya. Berusaha mengintimidasinya. Dengan tubuh kekar dan tatto yang menghiasi sebagian besar tubuh, tingkah laku mereka sungguh memuakkan. Ia memang sangat membenci orang yang menggunakan kekuatannya untuk menindas orang lain. Tidak bermoral kalau menurut ibunya.
Setelah sedikit tenang, ia memusatkan perhatiannya pada kerusakan yang ditimbulkannya. Ia adalah anak seorang penegak hukum. Ia khatam sekali mengenai hukum dan peraturan-peraturannya. Ia tahu kalau ia salah, namun ibu-ibu penjual martabak itu juga salah. Karena ibu tersebut berjualan di tempat ilegal dan stealingnya juga melewati bahu jalan. Dua hal itu saja, sudah salah.
Keadaan stealing martabak si ibu memang rusak cukup parah. Barang dagangan si ibu juga hancur berantakan. Semuanya tumpah ruah di sisi jalan. Untungnya keadaan si ibu baik-baik saja. Hanya saja wajahnya sedikit pucat. Mungkin karena kaget.
"Bagaimana keadaan Ibu? Apakah Ibu baik-baik saja? Atau kita perlu ke rumah sakit?" Gerhana keluar dari mobil dan menghampiri si ibu. Mengecek keadaannya dengan teliti.
"Ibu nggak apa-apa, Neng. Ibu cuma kaget," jawaban si ibu melegakan hatinya. Syukurlah.
"Eh lo harus mengganti semua kerugian Bu Wardah ini. Jangan cuma nanya-nanya doang!" Si Preman kembali mendekatinya sambil membuat gerakan meludah yang menyebalkan. Beberapa temannya mengikuti dan mulai mengelilinginya.
"Sudah, Barda, Jaka. Ibu kan tidak apa-apa. Jangan mengganggu gadis ini." Si Ibu berupaya menjauhkan beberapa orang preman yang terus saja mengelilinginya. Gerhana mundur teratur sampai punggungnya menabrak sesuatu yang keras. Dengan cepat ia berbalik. Ternyata ia menabrak bahu kekar seorang preman lainnya. Hanya saja penampilan preman ini begitu berbeda dengan preman-preman lainnya. Tubuh preman ini tinggi menjulang. Saat berdiri berhadapan seperti ini, tingginya hanya mencapai dadanya. Ia sampai harus mendongak saat menatap wajahnya. Walaupun penampilannya sangar dan wajahnya seram, namun struktur wajahnya sangat indah untuk dilihat. Rahangnya tegas dan dipenuhi dengan bulu-halus halus yang rapi. Hidungnya tegak lurus. Mancung tetapi berkesan angkuh. Alis kanannya terdapat bekas luka seperti disayat. Terlepas dari semua itu, tatap matanya sangat dingin dan datar. Gerhana merasa bisa membeku jika menatapnya terlalu lama.
"Anda siapa? Salah satu teman dari mereka?" Gerhana menunjuk beberapa preman yang mengelilinginya. Suaranya sengaja ia buat galak, padahal sesungguhnya ia ketakutan setengah mati. Seumur hidupnya ia tidak pernah berkonfrotasi dengan orang lain. Sekali-kalinya bermasalah, musuhnya malah preman-preman sangar. Mana mainnya keroyokan lagi. Bagaimana ia tidak gentar coba?
Sosok seram itu diam saja. Ia tidak menggubris pertanyaannya dan melewatinya begitu saja. Si Preman malah menghampiri si ibu. Dalam diam si preman memeriksa semua bagian tubuh si ibu dengan hati-hati. Ia terdengar mendesah lega saat tidak mendapati luka apapun di tubuh si ibu.
"Ibu tidak apa-apa?" Akhirnya si preman bersuara juga. Gerhana sempat mengira kali aja si preman itu bisu tuli. Karena ia hanya diam saja saat ditanya. Eh rupanya bisa ngomong juga. Sok sok cool kayak kulkas.
"Ibu nggak apa-apa, Nak. Cuma kaget saja."
Oh, ternyata preman kayak orang bisu tuli ini anaknya si ibu.
"Nggak apa-apa bagaimana? Orang Ibu pucet begini?" Preman yang dipanggil Barda tadi mulai nyolot. "Mbak ini harus membayar biaya berobat ibu lo dan juga semua kerusakan yang dia buat, Guh. Lihat stealing ibu lo, hancur! Martabaknya juga rusak semua,"
"Saya memang salah dan saya akan bertanggung jawab. Saya tidak akan lari dari kewajiban saya. Tapi Ibu ini juga salah karena sudah berjualan di luar fungsi jalan atau trotoar.
Berdasarkan Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014, dilarang untuk berdagang atau berjualan di jalan dan trotoar, kecuali tempat tersebut telah ditetapkan oleh Gubernur sebagai tempat usaha pedagang kaki lima. Jadi intinya Ibu ini juga salah dan--"
"Pergi," ujar preman anak si ibu martabak datar.
"Maksud Anda?"
"Maksud saja jelas. Kamu pergi saja dari tempat ini. Satu hal lagi, saya tidak butuh pertanggungjawaban kamu karena ibu saya baik-baik saja. Lain cerita kalau ibu saya kenapa-kenapa. Kalau itu sampai terjadi, ke neraka pun kamu akan saya kejar. Sekarang, pergi!"
Gerhana cengo. Beneran ini ia disuruh pergi begitu saja? Tapi kan ia belum membayar ganti rugi kerusakan stealing dan martabak-martabak si ibu? Ia bukanlah orang yang suka lari dari tanggung jawab. Tetapi saat teringat pada jadwal meetingnya yang pasti semakin mepet, ia segera berlari ke mobil. Sebelumnya ia menjejalkan kartu namanya pada anak si ibu, dan berpesan agar ia bisa mencarinya di kantor. Ia sedang buru-buru katanya. Memikirkan nasib teman-teman satu devisinya, ia kembali tancap gas. Hanya saja kali ini ia lebih berhati-hati.
==================================
Gerhana tiba di kantor saat rapat baru saja akan dimulai. Ia seolah-olah bisa mendengar helaan napas rekan-rekan satu divisinya. Bagas mengelus dadanya seakan-akan baru saja terlepas dari azab sakratul maut. Selena dari staff admin, Bayu dari quality control staff, Rico yang menjabat sebagai structure engineering, bahkan Pak Hamzah sang mechanic, seperti mengucap kalimat alhamdullilah berjamaah tanpa suara. Drama pagi satu babaknya akhirnya bisa diselesaikan tepat waktu. Alhamdullilah.
Setelah meeting usai, barulah ia merasakan efek dari kecelakaannya tadi. Keningnya berdenyut-denyut nyeri. Ia ingat kalau saat kecelakaan tadi keningnya menghantam kemudi dengan cukup keras. Ketika kejadian mungkin tidak terasa karena ia masih dalam keadaan kaget. Ketika meeting pun belum terlalu terasa karena pikirannya terfokus pada masalah pekerjaan. Namun saat santai begini, semuanya baru terasa.
Ruangan meeting telah sepi. Para pesertanya telah kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Hanya tinggal ia sendiri yang masih duduk dalam ruangan. Ia masih sedikit pusing. Denyutan pada keningnya terasa makin intens. Perlahan ia meraba keningnya yang tadi memang sengaja ia tutupi dengan rambut panjangnya. Ia meringis kesakitan saat meraba ada sedikit benjolan di sana. Karena berkonsentrasi dengan lukanya, ia sama sekali tidak menyadari ada langkah-langkah kaki yang menghampirinya.
"Kamu kenapa, Na?"
"Eh tokek, kadal, biawak!" Ia nyaris terlompat dari kursinya karena kaget. Abizar muncul tiba-tiba dari belakangnya.
"Kenapa cuma tokek, kadal dan biawak saja yang kamu sebut? Buayanya mana?" Abizar menoyor pelan pelipis pelipisnya. Gerhana memutar bola matanya. Lah ngapain coba seseorang menyanyakan keberadaan dirinya sendiri? Udah gitu, nggak sadar lagi!
"Buayanya kan ada di depan saya. Ngapain lagi saya sebut-sebut coba?" Gerhana nyengir yang sejurus kemudian meringis kesakitan. Keningnya berdenyut-denyut lagi.
"Kualat kamu kan ngata-ngatain orang yang lebih tua. Saya ulang pertanyaan saya sekali lagi, kamu kenapa?" Abizar kembali mengulangi pertanyaannya. Architect engineering sekaligus anak sahabat ibunya ini memang gemar sekali menguji kesabarannya. Ada-ada saja kelakuannya yang acap kali membuat emosinya terkait. Tetapi tetap saja, ia tidak bisa marah berlama-lama dengan makhluk imut ini. Ia menyukai Gerhana meskipun ia tahu kalau Gerhana hanya menganggapnya seperti seorang kakak. Tidak lebih. Makanya ia berusaha moved on dan memacari Maharani Ajisaka Prahasta. Putri bungsu Om Rendra dan Tante Cindy, teman baik kedua orang tuanya. Usia Rani ini sepantaran dengannya. Jika Gerhana itu kekanakan, heboh dan rada pikun, maka Rani adalah kebalikannya. Rani dewasa, smart dan mandiri. Kata smart membuatnya jadi tampak seksi. Sudah hampir tiga bulan ia memacari Rani.
"Saya baik-baik aja kok, Bang eh Pak. Masih jam kantor ini soalnya ya? Hehehe. Cuma tadi ada insiden kecil. Mobil saya mencium kios martabak karena saya ngebut," Air muka Abizar seketika berubah. Gerhana tahu, pasti Abizar merasa bersalah. Makanya ia mencoba bercanda untuk menghilangkan rasa tidak enak di hati Abizar.
Abizar menghela napas. Ia merasa bersalah karena secara tidak langsung, ia lah menyebabkan Gerhana terluka. Gerhana mengebut pasti karena amukannya. Coba kalau ia tidak membentak-bentak Gerhana, pasti keadaan gadis ini akan baik-baik saja.
"Mana lukanya? Coba sini saya periksa?" Abizar mendekatkan kepalanya. Gerhana seketika menjauh. Bukan apa-apa. Abizar itu kan sudah punya pacar. Tidak baik kalau ia terlalu akrab dengan pacar orang, walau pun ia sudah menganggap Abizar seperti kakaknya sendiri. Tetapi tetap saja, bagi orang lain sikap mereka tidak enak dilihat. Ia tidak mau menyakiti hati Mbak Rani.
"Nggak usah, Bang. Beneran kok, saya nggak apa-apa." Gerhana masih berupaya menolak. Tetapi Abizar memaksa dengan memegang belakang kepalanya.
"Saya lihat dulu. Setelah itu baru saya putuskan kamu itu tidak apa-apa atau memang kenapa-kenapa." Abizar bersikukuh dengan keinginannya.
"Ehm, kalian sedang apa Mas Izar, Dek Nana?"
Mbak Rani!
Nah kan! Baru aja dibatinin, eh udah kejadian aja.
"Eh ada Mbak Rani. Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Kepala saya cuma benjut dikit doang. Soalnya tadi pagi mobil saya nyium kios martabak, dan Bang eh Pak Izar bermaksud untuk memeriksa luka saya." Gerhana buru-buru menjauhkan kepalanya sehingga tangan Abizar hanya menyentuh udara. Ia segera berdiri dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Mbak Rani. Ia tidak ingin menciptakan kesalahpahaman di antara dua orang kekasih."Eh kamu kok berdiri, Dek? Duduk aja lagi. Kening kamu memar itu kayaknya," kata Mbak Rani spontan. Gerhana menghela napas lega. Syukurlah. Setidaknya adegan ala-ala sinetron tidak terjadi. Mbak Rani memang dewasa lahir batin. Buktinya si mbak sekarang malah ikut memperhatikan keningnya. Aman lah dunia."Sebaiknya kamu ke rumah sakit deh, Dek. Lihat, keningmu sampai benjol begitu. Atau kamu mau Mbak panggilin si Dika? Si Dika pasti pasti lebih kompeten mengobati luka kamu dari pada dokter abal-abal ini. Kalau Dika itu
Suasana arena pertarungan liar masih terasa panas. Masing-masing kubu meneriakan yel-yel penyemangat bagi petarung jagoan mereka. Bagaimana tidak, mereka telah mempertaruhkan banyak uang demi mendapatkan pundi-pundi rupiah yang berkali-kali lipat dari yang mereka pasang. Kalau jagoan mereka sampai kalah, hilang jugalah semua uang-uang mereka. Bagi mereka tugas petarung yang mereka jagokan adalah baku hantam habis-habisan bagaikan dua ekor banteng aduan. Kalau tidak hidup ya mati. Hidup dan mati bagi petarung-petarung bayaran seperti mereka ini memang sedekat nadi bukan? Mereka jahat? Tidak juga. Toh kehidupan seperti ini merekalah yang memilih. Tidak ada paksaan. Lo menang, gue bayar. Lo mati, gue kubur. Hidup ini keras, kawan.Tangguh melompat dengan satu kaki dan mengarahkan dengkulnya ke dada lawan. Ketika lawannya terjatuh, ia menggerakkan siku kanan secara horizontal, memotong pelipis lawan. Darah seketika mengucur deras. Saat melihat lawannya kesulitan ber
Gerhana mengikat satu rambut panjangnya menjadi kuncir kuda. Tidak lupa ia memberi tambahan pita rambut merah muda yang imut abis. Untuk wajah ia hanya memakai sedikit pelembab, bedak tabur, eyeliner dan seulas lip gloss berwarna orange. Ia memandang bayangannya sendiri di kaca meja rias. Hasilnya cukup lumayan. Sebentar lagi ia akan ke Astronomix. Untuk itu ia harus berdandan yang cantik namun tetap natural. Saat ini ia mengenakan kaus putih polos dipadu dengan overall berbahan jeans. Pakaian yang keren namun tetap rapi dan aman. Teman-temannya bahkan Mbak Nuri kerap menertawai cara berpakaiannya. Mereka menyebut style-nya terlalu childish. Tidak sesuai umur. Mungkin ini akibat dari pengaruh ibunya yang suka mendandaninya dengan gaya kanak-kanak yang imut sedari kecil. Gemesin kalau menurut istilah ibunya. Maklum saja ibunya dulu adalah seorang guru TK. Hanya saja gaya childish-nya itu terbawa sampai sekarang. Ia masih suka berdandan ala anak-anak begini. Simple dan praktis. Ia tid
"Tapi--tapi---" Gerhana tergagap."Tidak ada kata tetapi. Bukannya tadi kamu bilang kalau kamu itu selalu dididik menjadi orang yang bertanggung jawab? Ini adalah saat yang paling tepat untuk membuktikan semua omonganmu."Tangguh berjalan cepat melewati rombongan muda-mudi yang baru saja masuk. Malam minggu seperti ini club memang sedang ramai-ramainya. Pekerjaannya pasti menumpuk malam ini. Kalau sudah mabuk biasanya mereka ini cenderung suka membuat keributan. Dimulai dari saling pandang dan tidak sengaja tersenggol, bisa menjadi pemicu perkelahian. Dan tugasnyalah meredam semua kemungkinan-kemungkinan buruk itu. Sebaiknya ia mengurus bocah ini secepatnya dan segera kembali ke sini.Saat melewati beberapa laki-laki yang sedang hang over, ia menepis tangan-tangan jahil yang berniat untuk menyentuh Gerhana. Mata-mata penuh nafsu juga memandangi bocah ini dengan penuh minat. Walaupun memakai overall jeans, tapi kaus
Tangguh memeriksa penampilannya sekali lagi. Sebisa mungkin menutupi luka-luka di tubuhnya dengan jaket. Kedua sikunya yang beset karena tergesek aspal, telah ia obati seadanya. Hanya saja luka di keningnya tidak bisa ia tutupi. Ia sudah mencoba mengakalinya dengan menempelkan tiga buah hansaplast sekaligus. Overall, lumayanlah. Setidaknya luka-lukanya sudah tidak terlalu kentara. Bukan apa-apa. Ia hanya tidak suka membuat ibunya khawatir. Setelah merasa penampilannya cukup baik, barulah ia mengetuk pintu."Astaga, kamu kenapa, Guh? Kok keningmu bisa terluka?" Belum sempat menjawab pertanyaan ibunya, aksi ibunya telah membungkam apapun alasannya. Ibunya membuka jaketnya begitu saja. Luka-luka di kedua sikunya yang tergesek aspal terlihat juga oleh ibunya. Ibunya ini memang sudah sangat hapal dengan segala tindak tanduknya. Ia tidak pernah mempercayai begitu saja ucapannya tanpa membuktikannya secara langsung."Jangan bilang kalau kamu habis
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang, tapi Gerhana dan Bagas masih berkutat dengan desain dan hitungan-hitungan perencanaan struktur bangunan. Kertas-kertas gambar bertebaran. Penuh coretan sebagai tanda akan adanya revisi besar-besaran. Divisinya memang memang merevisi habis-habisan desain gambar akibat kontruksi yang rubuh kemarin. Masalah tanah yang lembek, debit air, proteksi lereng, ia perhitungkan dengan matang sesuai dengan permintaan Pak Antonio kemarin. Seharusnya proyek apartemen ini dipegang oleh anak-anak divisi II di bawah kepemimpinan Ramzi. Namun karena Ramzi telah dipecat secara tidak hormat oleh Abizar, team divisi II pun bubar jalan. Alhasil team divisi I lah yang maju, di bawah kepemimpinan Abizar langsung sebagai kepala proyek. Makanya sekarang divisinya sibuk bukan kepalang. Bayangkan saja, teamnya memegang dua proyek besar secara bersamaan."Lo besok beneran mau ikut ke proyek, Na?" Bagas membuka pembicaraan disela-sela kesib
Gerhana memeriksa sekali lagi penampilannya. Sebentar lagi ia akan ikut meninjau proyek di lapangan. Hari ini ia mengenakan baju safari dan celana berpipa lurus khas para pekerja kontruksi proyek. Untuk pertama kalinya ia bergaya macho setelah biasanya ia selalu tampil ala-ala abege yang girly. Lihatlah baju safari berwarna coklat muda list hitam ini nyaris menenggelamkan tubuhnya. Gerhana sampai harus melipat lengan bajunya berkali-kali baru tangannya bisa terlihat. Belum lagi celana panjangnya yang kerap melorot dan nyaris jatuh apabila ia tidak mengikatnya kencang dengan ikat pinggang. Tapi jatuh-jatuhnya jadi terlihat jelek. Bagian pinggang celananya mengkerut seperti berkaret karena kebesaran. Ditambah dengan sepatu proyek steel toe boots yang berfungsi untuk melindungi jari-jari kakinya dari kejatuhan bahan-bahan bangunan di lapangan, satu kata yang bisa ia simpulkan. Penampilannya aneh! Oh ya, belum lagi helm proyek berwarna putih yang ia kenakan di atas buntut kudanya. Penam
Gerhana menatap nanar taksi online yang meninggalkannya sendirian. Ia sadar keberadaannya sendirian di tempat ini sangat beresiko. Sedikit saja ia salah bersikap, fatal lah akibatnya. Oleh karena itu, walaupun sesungguhnya ia sangat ketakutan, tetapi ia tetap berusaha bersikap tenang. Keselamatannya tergantung pada pengendalian dirinya sendiri. Dengan catatan, kalau ia beruntung.Puluhan orang langsung mengepungnya saat melihatnya turun dati mobil. Mengelilinginya diiringi dengan bentakan dan makian tentang ketidak adilan masalah ganti rugi lahan. Semakin lama semakin banyak orang yang merubunginya, Gerhana semakin gugup. Ia benar-benar dikepung dari segala arah saat ini. Ia tidak punya ruang untuk bergerak."Mengapa tanah saya tidak diberi uang ganti rugi padahal saya sudah puluhan tahun tinggal di sini?" Beberapa laki-laki yang ada di depannya langsung mencecarnya. Massa yang lainnya mengamini sambil meneriakkan kata tidak adil