Ya sudahlah … tinggal minta ini itu aja lebih enak. Nggak perlu repot-repot pergi keluar buat belanja
"Laura!" seru Emma seraya memeluk sahabatnya. Emma tampak begitu senang karena Laura datang mengunjunginya. Namun, senyuman Emma pudar setelah melihat sosok dua pria yang berjalan mendekat ke arahnya. "Maaf aku datang mendadak." Laura baru menghubungi Emma beberapa menit yang lalu saat di perjalanan. Beruntung, Emma sedang tak memiliki kesibukan. "Kita berangkat sekarang? Apa mereka juga ikut?" Emma menatap tak suka pada Asher dan Theo. Emma ingin menghabiskan waktu berdua bersama sang sahabat. Tetapi, ada dua orang yang tampaknya akan menjadi pengganggu acara mereka. Laura mengangguk sebagai jawaban. "Aku harus menyapa orang tuamu lebih dulu." "Tidak perlu. Semua orang sedang bekerja. Aku juga sudah bersiap. Kita berangkat saja sekarang." Sampailah mereka di pusat perbelanjaan beberapa menit kemudian. Emma selalu memeluk lengan Laura dan tak membiarkan Asher berjalan di sampingnya. "Di mana paman yang mendampingimu saat di acara pernikahanmu waktu itu, Lau?" tanya Emma dengan
“Asher.” Laura memanggil lirih dari seberang pintu. Asher tersentak dari lamunannya. Kemudian, dia masuk ke dalam mobil. Laura mengamati wanita itu melihat Asher dengan mata berkaca-kaca. “Lau, aku ingin makan malam di kafe yang biasanya kita kunjungi.” Emma dan Theo baru saja sampai. Theo pun terkejut setelah melihat ada sosok wanita yang familiar baginya. Dia langsung melirik Laura yang ternyata juga sedang menatap dirinya. ‘Benar-benar mencurigakan. Siapa wanita itu? Theo juga seperti mengenalnya. Baru kali ini, aku melihat Theo begitu gugup dan menjadi salah tingkah,’ batin Laura kian tak nyaman. “Lau? Kenapa kau melamun?” Emma mengikuti arah tatapan Laura yang kembali pada wanita itu. “Siapa dia?” bisiknya. “Entahlah. Aku juga tidak tahu.” Laura pun masuk ke dalam mobil. Saat mobil mereka meninggalkan parkiran, Laura sempat melihat wanita itu sesekali mencuri pandang ke arah mobil Asher. Sementara suaminya terlihat duduk gelisah di saat Laura terus menatapnya dengan sorot m
Laura menggeleng-geleng pelan ketika melihat Asher keluar dari kamar. Hati Laura semakin sakit karena Asher tak mau memahami dirinya. Laura sudah bertanya tentang wanita itu, tetapi Asher tak mau menjawab dengan jujur. Belum lega hati dan pikiran Laura, Asher justru menginginkan tubuhnya, tanpa mau tahu apa yang sedang Laura rasakan. Egois … begitu Laura menilai suaminya. Laura tak mencegah kepergian Asher sehingga membuat pria itu kesal. Laura seharusnya menahannya karena dia adalah suaminya. Lagi pula, Asher merasa sudah mengalah karena dia rela tak diberi jatah. Asher pun sengaja tidur di sofa depan kamar. Dia juga tak menutup pintu agar Laura melihatnya tidur tak nyaman. Mungkin, Laura akan segera menyuruhnya masuk ke dalam dan mereka bisa langsung berbaikan.Namun, harapan Asher hanya tinggal angan-angan. Laura malah tidur meringkuk meskipun matanya belum terpejam. “Ough … punggungku ….” Asher mengerang dengan suara keras ketika dia memutar badan. Laura mendengar itu, namun
Asher sangat yakin jika benda itulah yang Laura inginkan. Kartu hitam tanpa batas yang dapat Laura gunakan sesuka hati. Laura pasti terpengaruh ucapan Emma sehingga membuatnya marah karena tak diperlakukan seperti istri pada umumnya. Asher memilih untuk melanggar prinsip dan kekhawatirannya demi mendapatkan senyum Laura kembali. Lagi pula, Laura akan menjadi ibu dari anaknya. Asher tak perlu takut oleh masa lalu yang sesekali masih menghantui dirinya. Asher juga sedikit tahu jika Laura bukan orang yang akan mengkhianati dirinya setelah diberikan harta yang sebenarnya tak seberapa bagi Asher. Akan tetapi, dugaan Asher keliru. Laura tak menunjukkan tanda-tanda kebahagiaan dan tak tersenyum sama sekali. Sang istri justru tercenung dengan kening berkerut. “Apa kau tidak suka?” Asher benar-benar tak tahu lagi apa yang Laura inginkan jika kartu hitam itu tak berhasil meluluhkan hatinya. “Untuk apa ini?” Laura balas bertanya. “Tentu saja untuk membuatmu bahagia. Bukankah ini yang kau in
Laura menatap takut wajah pria yang ada tepat di atasnya. Cuping hidung Asher kembang-kempis dengan cepat. Terlihat jelas jika Asher begitu menggebu-gebu menantinya bicara. “I-Itu … karena-” “Karena apa?” potong Asher tak sabar. Laura jadi semakin gugup. Apa yang ingin suaminya dengar? Apakah jika dia mengatakan kalimat yang salah, Asher akan marah atau kecewa padanya? “Karena … aku istrimu … aku tidak mau suamiku memikirkan wanita lain.” Laura akhirnya mengatakan apa adanya, yang benar-benar ingin diucapkannya. Mata Asher yang tadinya berbinar-binar jadi sayu, mulutnya melengkung ke bawah dan bahunya melemas. Asher kemudian berbaring miring dan memeluk Laura tanpa merespon istrinya. ‘Apa aku salah bicara? Kenapa dia terlihat kecewa? Lalu apa yang harus aku katakan?’ Laura benar-benar tak mengerti dengan kemauan suaminya, pun dia enggan bertanya karena tahu jika Asher tidak pernah menginginkan apa pun dengan semua yang telah dimilikinya. Setidaknya, Laura sedikit paham jika Ash
Teman wanita yang seperti apa? Apakah Asher berkencan dengannya? Laura tak bisa tidak memikirkannya. “Selagi kita ada di sini, kenapa kita tidak mengunjungi temanmu?” Laura ingin bertemu dengan teman wanita suaminya, juga ingin tahu hubungan mereka. Sejak pertemuan dengan wanita mencurigakan di parkiran, Laura jadi selalu terganggu saat suaminya menyebut wanita lain. Walaupun Laura sendiri yang bertanya dan curiga tanpa bukti apa pun.“Kenapa kita harus ke sana? Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Lagi pula, aku tidak begitu dekat dengannya,” tolak Asher tanpa menatap sang istri. Asher sebelumnya mengatakan bahwa dirinya banyak tahu tentang Kota Bloomhorn karena memiliki teman di kota itu. Namun, baru saja dia bilang jika tak begitu mengenal temannya. Laura memicingkan mata curiga. Kalau benar tak ada hubungan apa pun antara Asher dan teman wanitanya, mengapa Asher menolak bertemu dengannya? “Apa yang kau pikirkan sampai melihatku seperti itu?” Asher dapat membaca dengan
“Ough … terus seperti itu ….” Asher memejamkan mata seraya mencengkeram dan menggerakkan pinggul Laura di atas pahanya. “Kau jadi semakin berani padaku ….” Laura tak mengindahkan kata-kata Asher yang semakin lama kian bertambah vulgar. Dia fokus mencari kenikmatannya sendiri. Namun, Laura segera letih karena posisinya tak nyaman dengan lutut dan kaki yang bersentuhan dengan bebatuan di dasar kolam. “Aku lelah …,” bisik Laura saat tubuhnya ambruk di dada Asher. Asher mengusap lembut rambut Laura dengan tangannya yang basah. Dia menunggu Laura menstabilkan pernapasannya. Lalu berdiri sambil menarik Laura bersamanya. “Putar badanmu,” titah Asher. “Aaahh ….” Laura tersenyum samar ketika merasakan bagian tubuh suaminya di dalam tubuhnya yang lebih terasa dari sebelumnya. Laura menyukai posisinya sekarang hingga suara desahannya tak berhenti memenuhi ruangan itu. Meskipun dia ingin melihat raut muka Asher yang ada di belakangnya.“Anak nakal harus dihukum!” Asher mengumpulkan rambut p
Jika Asher tak mau mengaku kenal wanita yang sebelumnya bertemu di parkiran, Laura masih memakluminya. Karena Laura tak benar-benar tahu, Asher mengenal wanita itu atau tidak. Hanya insting Laura saja yang mengatakan bahwa Asher mengenalnya. Berbeda dari sekarang. Asher dengan tegas mengatakan tak mengenal dekat dengan teman wanitanya yang ada di kota ini. Akan tetapi, dari cara wanita itu bicara, mereka tampak cukup dekat hingga menyuruh Asher menghubunginya sebelum datang. Bahkan, wanita itu akan menyediakan kamar untuk Asher!Sudah jelas jika Asher selalu menemui wanita itu ketika datang di Kota Bloomhorn. Dan untuk pertama kalinya, Laura dapat melihat kegugupan yang ditunjukkan sang suami. Laura jadi semakin marah pada Asher. ‘Dasar pembohong!’ Laura memindai penampilan wanita itu dengan seksama. Wanita itu sepertinya seumuran dengan sang suami. Laura menduga jika Asher dan wanita itu sudah saling mengenal cukup lama.‘Cantik ….’ Laura mendadak merasa rendah diri. Tak ada keri
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang