Menabur garam di atas luka 💔
“Aku tidak sedang bercanda, Jake! Noah sejak tadi mencari istrinya. Antarkan Alice pulang atau aku akan menjemputnya sekarang.” Suara Ariana bergetar.Entah karena rasa cemburu ketika Jake mengatakan akan mencari istri yang masih muda, atau karena Jake menyembunyikan menantunya.“Kau tidak perlu marah-marah. Aku sudah mengatakan pada asistenku untuk mengantar Alice pulang. Kau ini ada-ada saja. Aku tidak tertarik dengan wanita bersuami.”Jake melewati Ariana tanpa melihat ke arahnya. Ariana pun menyusul dirinya, mengatakan akan menjemput Alice saja.Jake tak mengizinkan orang mengunjungi apartemennya. Joanna bahkan belum pernah ke sana.Tak ada alasan baginya memberi tahu tempat tinggal pribadinya. Terkecuali Alice. Jake hanya merasa iba dan terburu-buru pergi saat itu. Bukan karena dia tertarik dengannya.“Aku akan menghubungi Asher jika kau tidak percaya denganku. Pulanglah, sebentar lagi gelap. Kau tidak perlu pusing memikirkan anakmu yang sudah berkeluarga.”Perhatian kecil itu mem
“Tuan,” panggilan pegawai salon membuyarkan pikiran Jake. Jake seperti baru saja terbangun dari mimpi. Tak sadar menggenggam erat kartu hitamnya. Kemudian menyerahkan kepada pegawai itu. “Astaga, apa yang baru saja aku pikirkan!?” gumam Jake. Mengingat Carla dua tahun lebih muda dari keponakannya, Jake malu sendiri dengan pikirannya. Namun, dia tetap melirik-lirik ke arah Carla. Ada apa dengan wajahnya? Kenapa manik biru itu seperti mau menempel di sana terus-menerus? “Ini, Tuan, kartunya.” Pegawai itu, sekali lagi menyadarkan Jake. Carla mendekat perlahan. Gerak-geriknya lebih canggung dari sebelumnya. “Tuan, bagaimana jika Tuan Asher memarahi saya? Anda sebaiknya menemani Nyonya Ariana seperti kata Tuan Asher,” ucap Carla lirih, menyerupai bisikan. Telinga Jake mendadak geli mendengar suara Carla. Apakah sejak awal, gadis itu memiliki suara lembut? Kenapa Jake seolah baru mendengar suaranya? “Saya takut, Tuan Asher akan memecat saya, Tuan.” Apa gadis itu sedang menggodanya?
Seperti permintaan Jake, Carla pun segera menautkan tangan lebih kencang. Dia ikut tersenyum kala Jake bertemu dengan koleganya, seakan mereka benar-benar dekat. Banyak yang terkejut melihat Jake menggandeng seorang gadis, termasuk sahabatnya sendiri. “Wah, apa aku sedang bermimpi?” celetuk Rick. Jake tak mengindahkan kata-kata Rick. Dia mengajak Carla ke tempat meja prasmanan. Mereka belum makan malam setelah bekerja tadi. “Ambil makanan dan cari kursi. Aku akan ke toilet sebentar. Jangan sampai kau pulang lebih dulu,” kecam Jake. Carla mendadak teringat dengan pengalaman pertama ikut pesta orang-orang kaya. Waktu itu, Asher tiba-tiba menuduhnya sembarangan. Karenanya, dia enggan mengambil makanan dan menyusul Jake. Namun, Jake sudah tak terlihat di sekitarnya. Dengan langkah tergesa, dia menuju toilet untuk menanti Jake. Seperti melalui kejadian yang serupa, Carla kembali dihadapkan oleh Asher Smith. Dia meneguk ludah susah payah. Apakah kejadian memalukan itu akan terulang la
“Jangan memutar kesalahanmu dengan kata-kata seperti sebuah kebenaran.” Asher tak terima dengan jawaban Jake. Sebab, dia pun tahu apa yang terjadi. “Itu keahlianmu sendiri, bukan aku. Aku benar-benar merasa kasihan karena Ariana bisa saja sakit hati saat mengetahui kegilaan Vincent. Karena itu, aku mendekatinya supaya tidak merasa bersalah ketika membongkar keburukan suaminya. Tidak mungkin aku langsung mengatakannya begitu saja tanpa memberinya ketenangan, bukan?” Perkataan Jake setengah benar. Pada kenyataannya, dia juga berencana menggunakan Ariana untuk membalas dendam, seperti Vincent merusak rumah tangga Callista. Sebelum begitu mengenal Ariana, Jake sempat membenci wanita itu. Belasan tahun menikah dengan Vincent, Ariana seharusnya mengenal kepribadiannya. Setidaknya, Ariana bisa mencari tahu pada setiap kejanggalan yang dilakukan Vincent. Jika dia tak diam saja dan asal menerima apa pun yang Vincent katakan, Callista pun mungkin tak perlu mati karena Vincent tak akan pernah
“Jangan kekanak-kanakan, Asher Smith! Aku yang menyuruhnya datang ke sini.” Jake pun menduga hal yang sama dengan Carla. Asher mungkin akan memecat gadis itu. “Kau tidak perlu ikut campur masalah perusahaanku, Jake Wilson,” balas Asher sinis. Laura mencebik. “Paman Jake, Sayang! Kenapa kau jadi tidak sopan dengan keluargaku? Aku selalu bersikap baik dan sopan kepada semua keluargamu. Apa kau tidak menghargaiku?” Sorot mata Laura menyiratkan kekecewaan. Jake tersenyum miring dan penuh kemenangan. Membuat Asher ingin meledakkan amarahnya. “Aku sangat menghargai Oma Joanna, Sayang. Tapi, anak lelakinya agak keterlaluan dan selalu menyakiti harga diriku,” adu Asher. Laura mengusap lembut kepala Asher. “Jangan begitu. Paman Jake adalah paman kita. Kau harus menurut dengannya. Dia lebih tua darimu secara status.” Jake menyeringai. Rengekan Asher tak mempan kepada Laura. “Ayo, kita pergi sekarang. Nanti kau jadi ingin bermesraan seperti mereka.” Jake menggandeng Carla pergi dari sana.
“S-saya … perlu mampir ke suatu tempat dulu, Tuan. Anda tidak perlu repot-repot mengantar saya. Lagi pula, kantor Wilson dan Smith Group cukup jauh,” tolak Carla halus, meskipun tahu jika Jake tak suka dibantah, apalagi ditolak. “Baiklah. Aku hanya mau menolongmu.” Jake memutar badan hendak kembali ke mobil, tetapi dia menoleh lagi ke belakang. “Oh, apa kau pernah dengar? Dulu, Asher Smith pernah membuat seorang pria meninggalkan negara ini. Pria itu tidak bisa bertemu keluarganya ataupun pulang lagi. Kau juga pasti tahu, sebesar apa kekuasaan keponakan iparku.” Jake yakin, Carla pasti akan segera menyusulnya ke mobil. Memohon dirinya agar membantu mengatasi Asher. Dia tersenyum di balik kemudi. Menunggu hingga satu menit berlalu. Sayangnya, Carla masih berdiri di tempatnya. Tercengang dan takut hingga tak bisa menggerakkan badan. Carla pernah mendengar cerita itu dari rekan kerjanya. Bagaimana jika Asher membuangnya ke negara lain tanpa adik-adiknya? Dave dan Fionna belum bisa
“Tidak ada yang datang mencariku di bawah?” tanya Jake kepada Rick. Sudah beberapa jam sejak kembali dari kantor Smith Group, Jake menunggu calon sekretaris barunya datang melamar kerja.Rick menghentikan gerakan pena di tangannya. Dia menatap sang atasan keheranan.“Anda sudah bertanya hampir sepuluh kali dan sudah meninggalkan pesan kepada resepsionis untuk langsung membawa Nona Carla ke sini, begitu dia datang,” balas Rick sambil berdecak lirih.Jake kembali lagi ke ruangannya. Sudah berkali-kali dia berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, lalu ke ruangan Rick, dan berakhir di depan jendela dekat kursi kebesarannya. Melihat ke bawah, siapa tahu melihat Carla memasuki gedung kantornya.Dia membuang napas tatkala gadis yang dicarinya tak kunjung terlihat. “Ke mana dia? Tidak mungkin dia mendapat pekerjaan di perusahaan lain secepat ini. Dia bisa memintaku pekerjaan seperti janjiku kemarin padanya,” gumam Jake.Sampai jam makan siang berakhir pun, Carla tetap tak terlihat batang hidu
“Kau tinggal di dekat sini, bukan? Aku bisa sekalian mengantarmu. Rumah kita searah,” tawar Paulo.Pria manis berkulit kecokelatan dan bertubuh atletis itu tampak berbeda tanpa celemek dan kaos untuk bekerja. Dengan kemeja biru muda dan celana kain, Paulo tampak seperti pekerja kantoran.Carla tertegun melihat perubahan bosnya hingga terlihat seperti melamun. Paulo melambaikan tangan di depan wajahnya sambil mengulum senyum.“Kau melamun? Aku sedang bicara denganmu.” Nada suaranya pun terdengar lembut meskipun sedang menegur.Carla biasa mendengar suara Asher, Theo, dan Jake yang terkesan dingin dan tegas. Karena setiap hari hanya berinteraksi dengan para pria dingin dan adik-adiknya di rumah, Carla sempat terpana oleh tutur kata halus bos barunya.“Ayo ...! Gerry juga searah dengan kita. Dia selalu menumpang mobilku.”Carla pikir, mereka hanya akan berkendara berdua. Dia senang karena tak ada maksud lain ketika Paulo mengajaknya.“Oh ... baiklah ....” Carla membalas dengan senyuman ma
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang