Belasan tahun berlalu, bagaimana caranya orang yang nggak Theo kenal bisa tahu mukanya?
Pria yang dulu berwajah garang, temperamental, serta berpostur tinggi dan besar, kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Pria itulah yang pernah membuat Theo melalui hari-harinya seakan berada di neraka. Tangan yang dulu digunakan untuk memukul dan mencambuknya, kini hanya tersisa kulit dan tulang. Kurus dan rapuh. Manik di balik kelopak mata Bill Robinson bergerak-gerak, namun tak terbuka. Tangannya sesekali berkedut, tetapi tak bergerak. Apakah pria itu masih hidup? Atau hampir meninggalkan kehidupan? “Theo, perlukah memindahkannya ke kota kita? Supaya kita bisa merawatnya dari dekat,” tanya Emma lirih. Emma dapat memahami jika Theo membenci ayahnya. Akan tetapi, Emma merasa sangat iba melihat kondisinya. Biar bagaimanapun, pria itu adalah orang tua Theo. Seperti Simon, Emma yakin, pria itu masih menyisakan rasa sayang kepada putranya. Apalagi, dengan keadaan Bill yang sekarang. Siapa lagi kalau bukan Theo yang merawatnya? “Dia mungkin sudah menikah lagi.” Saat Th
“Tuan Asher yang membiayai pengobatan orang itu?” Theo setengah tak percaya oleh penuturan Emma. Sebab, Theo tak pernah membicarakan masalah pribadinya kepada Asher. “Asher mungkin hanya sok tahu seperti dugaanmu.” Emma berkata seperti itu karena dia tahu betul, Theo tak akan pernah meragukan Asher. “Sejak beberapa bulan lalu, dia memberikan banyak bantuan pada papamu. Dia juga mengutus bawahannya untuk menjenguk ke rumah sakit seminggu sekali,” lanjut Emma. “Itu ... benarkah?” Emma mengangguk. “Asher juga mengirim foto-fotomu atas permintaan papamu. Katanya, papamu pernah beberapa kali mengobrol dengan Asher di telepon.” Theo mendekap kepala Emma ke dadanya supaya tak melihat ekspresi wajahnya sekarang. “Kita harus segera pulang. Aku ingin bertanya langsung kepada Tuan Asher.” Emma mendengar degup jantung Theo meningkat. Mungkin, Theo tergerak oleh perbuatan baik Asher pada ayahnya. “Asher mengira jika kau akan mengajak papamu berobat di kota kita supaya bisa menghadiri pernika
Sampai di kediaman Ruiz, Emma dan Theo segera menyampaikan keinginan mereka. Tentu saja, keluarga Emma tak lantas setuju dengan acara pernikahan dadakan itu. “Apa?! Dua minggu lagi?!” seru Pamela. “Tidak bisa! Pernikahanmu harus dipersiapkan sebaik mungkin!” “Tapi-” Pamela menyela Emma, “Kami merestuimu, bukan berarti kau akan menikah secepat ini! Enam bulan atau setahun kemudian, setelah Alan menikah, Sayang ....” Emma melirik sinis ke arah kakaknya. Alan tidak benar-benar ingin menikah dengan Hillary. Hillary pun juga tak tertarik dengan Alan. Mereka masih berhubungan hanya karena kerja sama perusahaan semata. Tak ada pembicaraan tentang pertunangan atau pernikahan lagi walaupun mereka selalu tampil berdua di setiap acara. “Kau tidak hamil, bukan?” geram Benjamin. “Tidak, Papa! Kami belum pernah melakukan itu!” sanggah Emma dengan meninggikan suara. “Aku bahkan belum jadi menikah dan kau ingin melangkahiku?” Alan juga tak setuju adiknya menikah cepat. Emma tampak sangat muru
“Kupikir, kau akan patah hati,” ujar Ariana di dekat Jake. Jake memutar kepala ke arah datangnya suara. “Maksudmu? Kenapa aku harus patah hati?” “Bukankah kau juga melamar Emma?” Meskipun tersenyum, hati Ariana terasa pedih. Jake tiba-tiba hadir untuk menunjukkan wajah asli Vincent. Dalam prosesnya, Ariana mendapatkan rayuan dari pria itu. Setelah Vincent di penjara, Jake tak pernah lagi menghubungi dirinya. Ariana memiliki firasat bahwa Jake hanya memanfaatkan dirinya. Akan tetapi, dia membantah kata hatinya. Ariana mencoba berpikir positif. Jake benar-benar sibuk waktu itu. Ditambah lagi, Jake memindahkan kantor pusat di kotanya. Dia tak berani mengganggunya. Namun ternyata, dia mendengar jika Jake melamar Emma dari Asher beberapa hari lalu. Betapa memalukan ... Dia bahkan telah memberi kode kepada Joanna bahwa dirinya menyukai Jake. “Oh, itu ... aku tiba-tiba ingin memiliki istri saat itu,” dusta Jake, yang sebenarnya hanya ingin menjaga Emma untuk Laura. Entah mengapa, Jak
“Shhh ... sebentar lagi.” Theo kesulitan menembus mahkota istrinya. Dia mencoba berulang-ulang, tetapi selalu gagal. Emma sampai menangis karena merasakan sakit yang sangat luar biasa. Dia ingin menolak, tetapi tak tega karena Theo sudah menunggu dan menahan diri cukup lama. “Kau baik-baik saja?” Theo mengusap rambut Emma yang basah karena keringat. Emma mengangguk sambil mengusap air mata. “Tidak apa-apa, lanjutkan saja.” “Tidak. Kau kesakitan seperti ini. Maafkan aku.” Theo lantas melanjutkan aktivitas panas mereka dengan cara seperti sebelumnya, tanpa melakukan penyatuan. Meskipun Emma mengatakan baik-baik saja. Namun, dari raut mukanya, Theo tahu jika Emma kesulitan. “Maaf, Theo, aku tidak becus menjadi istrimu,” bisik Emma penuh penyesalan. “Kau sudah menyiapkan tempat yang indah, tetapi aku tidak bisa memuaskanmu.” “Kenapa kau harus minta maaf? Waktu kita masih panjang. Aku sudah puas dengan pelayananmu tanpa harus menyakitimu.” “Tidurlah. Besok siang, kita harus segera
“Lihat ini, Theo.” Emma sedang duduk di ranjang sambil menunjuk kakinya yang gemetaran dengan jari lentiknya. “Aku tidak bisa berjalan.” Theo tersenyum sambil mengusap-usap wajah di batal. Tangannya melingkar di perut Emma. Kemudian menyandarkan kepala di atas paha sang istri. “Istirahatlah. Kau tidak perlu ke mana-mana hari ini.” “Kau terlalu berlebihan semalam. Aku jadi tidak bisa jalan-jalan menikmati pemandangan alam hari ini,” gerutu Emma. “Kondisikan bibirmu itu.” Theo mencubit kecil bibir Emma yang mengerucut. “Aku jadi ingin menciummu lagi.” “Theo! Jangan lagi! Apa kau tidak lelah? Jangan-jangan kau minum obat kuat?” tuduh Emma. Theo terkekeh-kekeh dengan suara serak. “Kalau aku minum obat kuat, kau bisa pingsan.” Dia menarik Emma supaya tidur di sisinya. Mencium aroma kulit Emma begitu menenangkan sehingga dia ingin terus berlama-lama berbaring di ranjang. Kedua kaki mereka saling bertumpu. Theo menggerak-gerakkan telapak kakinya ke kanan kiri, menandakan dirinya sedan
“Tidak usah, Paman,” tolak Alice seraya menyembunyikan wajahnya. Dia malu bertemu Jake dalam kondisi yang menyedihkan. Dia juga tak mau diantar pulang ke rumah Noah. Tak ingin menunjukkan wajah di depan pria itu. “Masuk,” perintah Jake tegas, “Aku akan menghubungi Adam jika kau tidak mau masuk.” Manik Alice bergetar. Dia terpaksa masuk mobil ketika nama Adam disebut. “Apa yang terjadi dengan wajahmu?” tanya Jake, tanpa melihat Alice. Dia tahu, Alice tak nyaman dilihat-lihat. “Aku tadi terjatuh.” “Noah yang melukaimu?” Jake tahu Alice berbohong. “T-tidak, Paman. Aku terjatuh.” “Baiklah. Mau diantar ke mana? Rumah Noah atau Adam?” Jake tak akan memaksa Alice untuk bicara. Dia hanya kasihan pada gadis muda yang dimanfaatkan Noah itu. Alice menelan ludah susah payah. Dia tak mau pulang ke dua tempat itu. Harus pergi ke mana dirinya sekarang? Selagi Alice berpikir, ponsel Jake berdering. Jake sepertinya terburu-buru akan pergi ke suatu tempat. Alice tak enak hati menumpang dan ta
Jake Wilson melangkah lebar ke ruang rapat. Pria yang satu bulan lagi berusia tiga puluh sembilan tahun itu, hampir kewalahan karena akhir-akhir ini disibukkan oleh banyak hal secara bersamaan. Mengurusi Perusahaan Wilson dan Hartley, membantu Laura mengasuh si kembar, dan menyelesaikan masalah Vincent yang keberadaannya belum diketahui menyita banyak waktunya. Namun, penampilan Jake masih selalu sempurna. Dia menyelesaikan rapat dengan sangat baik. Memuaskan para klien, investor, dan semua orang di perusahaannya dengan pekerjaan yang selalu sempurna. Setelah dua jam berkutat dengan pekerjaan, Jake menyerahkan sisanya kepada orang-orang kepercayaannya. Dia bergegas menuju kediaman Asher selepas makan siang untuk mengasuh si kembar. ‘Aku sudah seperti bapak-bapak beristri-anak saja,’ batin Jake ketika dirinya tengah menggendong Collin. “Paman Jake, bukankah kau sedang banyak kesibukan? Kau tidak perlu datang membantuku terus-menerus. Di sini sudah ada Hanna dan Papa.” Asher masih s