Mari kondangan 🥰
Sampai di kediaman Ruiz, Emma dan Theo segera menyampaikan keinginan mereka. Tentu saja, keluarga Emma tak lantas setuju dengan acara pernikahan dadakan itu. “Apa?! Dua minggu lagi?!” seru Pamela. “Tidak bisa! Pernikahanmu harus dipersiapkan sebaik mungkin!” “Tapi-” Pamela menyela Emma, “Kami merestuimu, bukan berarti kau akan menikah secepat ini! Enam bulan atau setahun kemudian, setelah Alan menikah, Sayang ....” Emma melirik sinis ke arah kakaknya. Alan tidak benar-benar ingin menikah dengan Hillary. Hillary pun juga tak tertarik dengan Alan. Mereka masih berhubungan hanya karena kerja sama perusahaan semata. Tak ada pembicaraan tentang pertunangan atau pernikahan lagi walaupun mereka selalu tampil berdua di setiap acara. “Kau tidak hamil, bukan?” geram Benjamin. “Tidak, Papa! Kami belum pernah melakukan itu!” sanggah Emma dengan meninggikan suara. “Aku bahkan belum jadi menikah dan kau ingin melangkahiku?” Alan juga tak setuju adiknya menikah cepat. Emma tampak sangat muru
“Kupikir, kau akan patah hati,” ujar Ariana di dekat Jake. Jake memutar kepala ke arah datangnya suara. “Maksudmu? Kenapa aku harus patah hati?” “Bukankah kau juga melamar Emma?” Meskipun tersenyum, hati Ariana terasa pedih. Jake tiba-tiba hadir untuk menunjukkan wajah asli Vincent. Dalam prosesnya, Ariana mendapatkan rayuan dari pria itu. Setelah Vincent di penjara, Jake tak pernah lagi menghubungi dirinya. Ariana memiliki firasat bahwa Jake hanya memanfaatkan dirinya. Akan tetapi, dia membantah kata hatinya. Ariana mencoba berpikir positif. Jake benar-benar sibuk waktu itu. Ditambah lagi, Jake memindahkan kantor pusat di kotanya. Dia tak berani mengganggunya. Namun ternyata, dia mendengar jika Jake melamar Emma dari Asher beberapa hari lalu. Betapa memalukan ... Dia bahkan telah memberi kode kepada Joanna bahwa dirinya menyukai Jake. “Oh, itu ... aku tiba-tiba ingin memiliki istri saat itu,” dusta Jake, yang sebenarnya hanya ingin menjaga Emma untuk Laura. Entah mengapa, Jak
“Shhh ... sebentar lagi.” Theo kesulitan menembus mahkota istrinya. Dia mencoba berulang-ulang, tetapi selalu gagal. Emma sampai menangis karena merasakan sakit yang sangat luar biasa. Dia ingin menolak, tetapi tak tega karena Theo sudah menunggu dan menahan diri cukup lama. “Kau baik-baik saja?” Theo mengusap rambut Emma yang basah karena keringat. Emma mengangguk sambil mengusap air mata. “Tidak apa-apa, lanjutkan saja.” “Tidak. Kau kesakitan seperti ini. Maafkan aku.” Theo lantas melanjutkan aktivitas panas mereka dengan cara seperti sebelumnya, tanpa melakukan penyatuan. Meskipun Emma mengatakan baik-baik saja. Namun, dari raut mukanya, Theo tahu jika Emma kesulitan. “Maaf, Theo, aku tidak becus menjadi istrimu,” bisik Emma penuh penyesalan. “Kau sudah menyiapkan tempat yang indah, tetapi aku tidak bisa memuaskanmu.” “Kenapa kau harus minta maaf? Waktu kita masih panjang. Aku sudah puas dengan pelayananmu tanpa harus menyakitimu.” “Tidurlah. Besok siang, kita harus segera
“Lihat ini, Theo.” Emma sedang duduk di ranjang sambil menunjuk kakinya yang gemetaran dengan jari lentiknya. “Aku tidak bisa berjalan.” Theo tersenyum sambil mengusap-usap wajah di batal. Tangannya melingkar di perut Emma. Kemudian menyandarkan kepala di atas paha sang istri. “Istirahatlah. Kau tidak perlu ke mana-mana hari ini.” “Kau terlalu berlebihan semalam. Aku jadi tidak bisa jalan-jalan menikmati pemandangan alam hari ini,” gerutu Emma. “Kondisikan bibirmu itu.” Theo mencubit kecil bibir Emma yang mengerucut. “Aku jadi ingin menciummu lagi.” “Theo! Jangan lagi! Apa kau tidak lelah? Jangan-jangan kau minum obat kuat?” tuduh Emma. Theo terkekeh-kekeh dengan suara serak. “Kalau aku minum obat kuat, kau bisa pingsan.” Dia menarik Emma supaya tidur di sisinya. Mencium aroma kulit Emma begitu menenangkan sehingga dia ingin terus berlama-lama berbaring di ranjang. Kedua kaki mereka saling bertumpu. Theo menggerak-gerakkan telapak kakinya ke kanan kiri, menandakan dirinya sedan
“Tidak usah, Paman,” tolak Alice seraya menyembunyikan wajahnya. Dia malu bertemu Jake dalam kondisi yang menyedihkan. Dia juga tak mau diantar pulang ke rumah Noah. Tak ingin menunjukkan wajah di depan pria itu. “Masuk,” perintah Jake tegas, “Aku akan menghubungi Adam jika kau tidak mau masuk.” Manik Alice bergetar. Dia terpaksa masuk mobil ketika nama Adam disebut. “Apa yang terjadi dengan wajahmu?” tanya Jake, tanpa melihat Alice. Dia tahu, Alice tak nyaman dilihat-lihat. “Aku tadi terjatuh.” “Noah yang melukaimu?” Jake tahu Alice berbohong. “T-tidak, Paman. Aku terjatuh.” “Baiklah. Mau diantar ke mana? Rumah Noah atau Adam?” Jake tak akan memaksa Alice untuk bicara. Dia hanya kasihan pada gadis muda yang dimanfaatkan Noah itu. Alice menelan ludah susah payah. Dia tak mau pulang ke dua tempat itu. Harus pergi ke mana dirinya sekarang? Selagi Alice berpikir, ponsel Jake berdering. Jake sepertinya terburu-buru akan pergi ke suatu tempat. Alice tak enak hati menumpang dan ta
Jake Wilson melangkah lebar ke ruang rapat. Pria yang satu bulan lagi berusia tiga puluh sembilan tahun itu, hampir kewalahan karena akhir-akhir ini disibukkan oleh banyak hal secara bersamaan. Mengurusi Perusahaan Wilson dan Hartley, membantu Laura mengasuh si kembar, dan menyelesaikan masalah Vincent yang keberadaannya belum diketahui menyita banyak waktunya. Namun, penampilan Jake masih selalu sempurna. Dia menyelesaikan rapat dengan sangat baik. Memuaskan para klien, investor, dan semua orang di perusahaannya dengan pekerjaan yang selalu sempurna. Setelah dua jam berkutat dengan pekerjaan, Jake menyerahkan sisanya kepada orang-orang kepercayaannya. Dia bergegas menuju kediaman Asher selepas makan siang untuk mengasuh si kembar. ‘Aku sudah seperti bapak-bapak beristri-anak saja,’ batin Jake ketika dirinya tengah menggendong Collin. “Paman Jake, bukankah kau sedang banyak kesibukan? Kau tidak perlu datang membantuku terus-menerus. Di sini sudah ada Hanna dan Papa.” Asher masih s
“Aku tidak sedang bercanda, Jake! Noah sejak tadi mencari istrinya. Antarkan Alice pulang atau aku akan menjemputnya sekarang.” Suara Ariana bergetar.Entah karena rasa cemburu ketika Jake mengatakan akan mencari istri yang masih muda, atau karena Jake menyembunyikan menantunya.“Kau tidak perlu marah-marah. Aku sudah mengatakan pada asistenku untuk mengantar Alice pulang. Kau ini ada-ada saja. Aku tidak tertarik dengan wanita bersuami.”Jake melewati Ariana tanpa melihat ke arahnya. Ariana pun menyusul dirinya, mengatakan akan menjemput Alice saja.Jake tak mengizinkan orang mengunjungi apartemennya. Joanna bahkan belum pernah ke sana.Tak ada alasan baginya memberi tahu tempat tinggal pribadinya. Terkecuali Alice. Jake hanya merasa iba dan terburu-buru pergi saat itu. Bukan karena dia tertarik dengannya.“Aku akan menghubungi Asher jika kau tidak percaya denganku. Pulanglah, sebentar lagi gelap. Kau tidak perlu pusing memikirkan anakmu yang sudah berkeluarga.”Perhatian kecil itu mem
“Tuan,” panggilan pegawai salon membuyarkan pikiran Jake. Jake seperti baru saja terbangun dari mimpi. Tak sadar menggenggam erat kartu hitamnya. Kemudian menyerahkan kepada pegawai itu. “Astaga, apa yang baru saja aku pikirkan!?” gumam Jake. Mengingat Carla dua tahun lebih muda dari keponakannya, Jake malu sendiri dengan pikirannya. Namun, dia tetap melirik-lirik ke arah Carla. Ada apa dengan wajahnya? Kenapa manik biru itu seperti mau menempel di sana terus-menerus? “Ini, Tuan, kartunya.” Pegawai itu, sekali lagi menyadarkan Jake. Carla mendekat perlahan. Gerak-geriknya lebih canggung dari sebelumnya. “Tuan, bagaimana jika Tuan Asher memarahi saya? Anda sebaiknya menemani Nyonya Ariana seperti kata Tuan Asher,” ucap Carla lirih, menyerupai bisikan. Telinga Jake mendadak geli mendengar suara Carla. Apakah sejak awal, gadis itu memiliki suara lembut? Kenapa Jake seolah baru mendengar suaranya? “Saya takut, Tuan Asher akan memecat saya, Tuan.” Apa gadis itu sedang menggodanya?