Lelaki juga perlu merawat kulit, tapi ... ya nggak habisin satu botol gitu juga kali ....
Apa pun kata orang, bagi Laura, Asher merupakan suami sempurna. Tak peduli dengan penampilan atau pakaian yang dikenakan Asher, pria itu selalu tampak hebat di matanya. Namun, saat ini Asher lebih memperhatikan penampilan dari biasanya. Laura harus menunggu Asher memasukkan semua produk yang digunakan untuk melindunginya dari penuaan. “Apa kita akan menginap satu minggu?” Laura fokus melihat macam-macam barang yang dimasukkan Asher ke dalam ransel. Banyak barang serupa yang sebenarnya tak perlu dibawa. Asher tetap sibuk mengemasi barang bawaan dan tak sadar oleh sindiran halus istrinya.“Bukankah kau bilang hanya ingin jalan-jalan sampai malam ini saja? Kita tidak bisa meninggalkan Claus dan Collin terlalu lama. Kenapa kau bawa banyak barang yang tidak perlu?” sambung Laura. “Aku tahu. Kau jangan terlalu khawatir. Aku akan mengawasi Claus dan Collin setiap jam sekali dari tempat kita nanti. Lagipula, mereka anak laki-laki dan sudah sepatutnya berani.” “Tapi … mereka masih bayi ….”
“Pertama, kau mengatakan kalau pemuda itu indah. Apa kau tidak puas memiliki suami sepertiku?” tanya Asher dengan nada menyesakkan dada Laura. Wajah Asher sungguh menyiratkan terluka. Sementara Laura tak mengerti kenapa Asher bisa berpikir sejauh itu padanya. “Maksudmu apa? Aku tidak pernah mengatakan Mark indah … kapan aku bilang seperti itu?!” Nada suara Laura meninggi dan bergetar.Mata yang berkaca-kaca haru oleh kejutan indah itu hilang. Berganti rasa sedih karena tak dipercaya dan dituduh suaminya sendiri. Asher boleh cemburu, tetapi tuduhan Asher sudah sangat keterlaluan. Laura tak terima disangka sebagai wanita yang mudah jatuh cinta, sedangkan dia selalu merasa beruntung memiliki suami Asher Smith. “Apa yang kau katakan waktu di depan rumah tadi? Kau bilang, tubuh orang itu indah, bukan?” Laura mengais ingatan beberapa saat lalu. Wajahnya mengernyit karena bingung dengan maksud Asher. Dia tak melihat keberadaan Mark karena terlalu fokus melihat rumah. “Astaga … kenapa ka
Darah di wajah Laura seakan tersedot keluar hingga membuat wanita itu memucat dengan cepat. Detak jantungnya berirama kencang dan tak beraturan tatkala melihat Asher panik dan buru-buru berdiri sambil menggendongnya. “Hampir saja!” seru Asher dengan senyuman lebar. “Kau pikir ini lucu?!” bentak Laura dengan suara bergetar karena ketakutan.Laura sangat takut jika suara patahan kayu itu berasal dari rumah pohon. Ternyata kursi rotan yang mereka duduki tak kuat menampung bobot tubuh mereka berdua hingga hampir patah. “Wajah ketakutanmu memang lucu.” Asher tersenyum kecil.“Aku pikir, kita benar-benar akan jatuh!” “Ugh!” Asher mengerang tertahan. Laura memukul-mukul dada pria yang sedang menggendongnya ke arah ranjang. Gigitan marah sampai membuat pundak Asher memerah dan tercetak bekas gigitan. “Bukankah kau sudah jatuh sejak dulu?” Asher menjeda ucapannya beberapa detik. “Jatuh cinta padaku ….” Laura ternganga tak percaya mendengar kata-kata Asher yang membuatnya semakin merindin
“Aaaahhh!!” Laura menjerit keras sambil menutup matanya. Asher spontan memeluk Laura yang gemetar ketakutan ketika melihat rambut kepala berambut pirang mengambang di permukaan. Mereka pikir ada seekor binatang melompat ke dalam air.Namun, seorang pria muncul ke permukaan. Pria itu dan Asher saling bertatapan, sama-sama terkejut. Mereka mematung di tempat selama beberapa detik. “Astaga … maafkan aku … aku tidak tahu ada orang di bawah sini,” tutur pria itu. “Maaf, Nyonya, aku pasti sudah membuatmu takut. Laura sontak melihat ke depan. Ternyata, bukan binatang buas yang sekilas dilihatnya tadi sebelum menutup mata.Siapa yang tak terkejut ketika ada orang tiba-tiba muncul dari atas, di saat mereka sedang bersenang-senang?Melihat dari bentuk wajah, warna rambut dan manik mata abu-abu pria itu, Laura langsung dapat menebak bahwa pria itu mungkin saja kakak Mark yang dibicarakan kemarin. Tetapi, kenapa dia bisa tiba-tiba muncul dari tas air terjun? “Dari mana kau masuk? Ada banyak p
“Itu ...” Laura kesulitan menjawab. Dia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan jika calon suami idaman masa kecilnya menagih janji itu. “… hanya janji anak kecil … mana mungkin ada orang yang masih memegangnya hingga dewasa? Aneh sekali kau … dia pasti sudah melupakannya!” Benar … untuk apa Laura memikirkan sesuatu yang telah berlalu sangat lama? Bahkan, Enzo juga terlihat sudah memiliki keluarga. Laura menebak dari cincin yang melingkar di jari manis Enzo.Namun, jawaban Laura sepertinya tak membuat Asher Smith puas. Dia masih memandangi Laura dengan sorot mata menyelidik. Laura menghindari tatapan Asher. Dia selalu gugup jika menghadapi tatapan tajam itu. “Bagaimana caramu membayar janjimu? Bukankah tidak adil bagi Enzo? Dia mendengar janji itu saat sudah cukup umur. Apa kau meremehkan perasaannya?” Tunggu sebentar … kenapa Asher tak seperti orang marah ataupun cemburu buta seperti biasanya? Laura melayangkan tatapan curiga. “Kau … apa kau menyuruhku untuk menepati janji itu
Musuh Asher sangat banyak. Laura takut jika Enzo salah satu di antara mereka. Namun, ketika tersadar bahwa Enzo merupakan teman masa kecilnya dan mengenal baik keluarga Hartley, Laura segera mengenyahkan pikiran buruk itu. Hanya ada satu yang masih mengganjal di hati Laura … “Sayang, kau mengizinkan Enzo menggendong Collin?” bisik Laura, mencoba meyakinkan jika dirinya tak sedang bermimpi. “Iya, kenapa?” Asher dapat menangkap kekagetan istrinya. “Bukankah kau bilang, tidak ada seorang pun, kecuali orang-orang tertentu yang boleh menggendong anak-anak kita?”“Tidak apa-apa. Bukankah Enzo orang yang selalu menjagamu saat masih kecil dulu? Dia juga selalu memandikanmu. Kita harus membalas kebaikannya, dan aku bukan orang yang tidak tahu berterima kasih.”Laura kini paham, Asher baik pada Enzo karena tak mau merasa berhutang padanya.“Suamimu akan berubah jadi pria yang lebih bijaksana,” lanjut Asher.Laura tersenyum bangga. Apa Asher berubah karena pertengkaran kecil kemarin?“Kau heb
Asher dan Enzo yang sedang berjongkok di depan laci langsung menoleh ke belakang, menatap Laura datang mendekat dengan wajah terkejut. Manik mata Laura bergetar tak beraturan ketika melihat sebuah botol plastik putih segenggam tangan Enzo. Badannya bergetar dan bulu di sekujur tubuhnya meremang.“Itukah ... obat yang membuat Mama celaka?” Laura takut mendengar jawabannya.Selama ini, banyak bukti tak langsung yang menunjukkan kejahatan Gilda. Akan tetapi, Laura ingin terus menyangkal.Rasanya tidak adil bagi dirinya, Jake, Joanna, dan Callista sendiri, jika Gilda benar-benar membunuhnya. Karena itu, Laura memusatkan pikiran hanya untuk bayi dan suaminya.Di saat dia hampir dihadapkan oleh kenyataan, dan setelah membaca surat Callista, Laura menjadi takut ... Bagaimana jika dirinya tak bisa memenuhi harapan ibunya?Tak mungkin Laura bisa menahan kebencian dan dendam pada sang ibu tiri!Rasa marah kepada Simon pun muncul lagi. Jika Simon menggunakan akalnya, semua kejadian buruk yang me
Gugup, hanya itu yang Laura rasakan ketika mendekati Asher. “Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba mengajak pulang?” Asher menghela napas pelan. “Hasil lab pada obat yang kemarin kita temukan sudah keluar. Sebaiknya kita selesaikan dulu masalah dengan Gilda, sebelum Jake mendahului kita.” “Bagaimana hasilnya?” Dada Laura berdegup kencang. Apakah benar jika obat itulah yang menyebabkan Callista meninggal? “Theo belum membuka hasil lab itu karena menantiku. Kita harus berkemas sekarang.” Asher menggandeng tangan Laura. Namun, Laura segera melepaskannya. Laura berlari kecil mengambil buku yang baru saja dibacanya. Kemudian menggenggam tangan Asher dengan erat sambil memeluk buku itu.“Buku apa itu?” “Huh? Oh, ada tulisan Mama saat mengajari aku menulis di sini. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan.” Asher mengangguk-angguk. Tak begitu menaruh perhatian pada barang-barang masa kecil Laura. Pikirannya juga dipenuhi oleh rasa penasaran akan hasil tes obat itu.Saat merek
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang