"Lepaskan aku, Tuan!"
Bella meronta dan menangis pada pria yang menariknya mendadak. Namun, suara penuh emosi justru terdengar, "Kau tidak akan mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dariku lagi Maudy." Maudy? Tampaknya pria ini salah mengenali orang. "Anda salah, Tuan. Aku bukan kekasih Anda, tapi cleaning service di hotel ini," ucap Bella sembari berusaha menarik tangannya. Sayang, pria yang tampaknya mabuk itu, tidak peduli. Dengan langkah yang sempoyongan, ia langsung mengunci ruangan presiden suite itu, lalu membuang kuncinya ke bawah tempat tidur. Bella gemetar. Ia berusaha mencari kunci itu dengan meraba-raba lantai bawah tempat tidur, tapi tubuhnya justru diangkat dan diletakkan ke ranjang oleh pria itu. "Mulai saat ini, aku tak akan melepaskanmu Maudy. Sudah cukup kau berkali-kali membuatku sakit hati. Kau bahkan pergi dengan Andre." Bella terkesiap. Ia sontak berlari ketika pria itu membuka jasnya, tetapi dengan sigapnya pria itu menarik pinggang Bella dengan satu tangannya, hingga akhirnya Bella gagal melarikan diri. "Aku sangat mencintaimu, Maudy," bisik pria itu ditelinga Bella, “jika kau ingin melakukannya sebelum pernikahan, aku juga bisa memberikannya. Tak perlu kau minta ke Andre” Deg! Dengan penuh deraian air mata, Bella merasakan pria itu menindihnya dengan kuat dan langsung melumat bibirnya yang mungil itu. Ia mulai meraba bagian dada Bella dengan lembut. Bella tidak bisa lagi berbuat apa-apa karena tubuhnya telah ditindih oleh pria gila yang menganggapnya sebagai Maudy. Pakaiannya bahkan dilepas dan dibuang ke sembarang tempat. "Tidak—" Air mata tumpah di pipi Bella dengan sangat deras. Samar-samar, ia mendengar pria itu terkekeh. "Tidak? Bukankah kau menginginkan ini, Maudy?” Lagi, nama Maudy selalu terucap di bibir pria itu. Bella bisa merasakan amarah dan kebencian pria itu pada Maudy. Tapi, mengapa harus ia yang terkena getahnya? “Arrgh….” Mendadak rasa perih dan sakit seperti ada sesuatu yang melukainya, tapi pria itu justru semakin menggila. "Aku akan membalas sakit hati yang kau berikan padaku Maudy, aku sangat membencimu," gumamnya sembari merenggut sesuatu yang berharga dari Bella. Memacu hasrat pada tubuh Bella dan memasukkan benihnya ke dalam rahimnya. Begitu gelombang kenikmatan didapat, pria itu pun menghela napas, lalu tertidur–meninggalkan Bella yang menangis, menahan pedih atas kemalangan yang baru terjadi itu. Entah kekuatan dari mana, Bella bangkit untuk kembali ke kostan–tidak menghiraukan orang-orang yang memandangnya, bingung. Gadis itu langsung membersihkan dirinya–menyirami seluruh tubuhnya dengan air, berharap jejak-jejak pria tadi menghilang. "Apa salahku Tuhan? Mengapa ini terjadi padaku? Mengapa nasibku begini?" isak Bella. Tubuhnya lelah dan sakit kala mengingat semua kejadian pahit yang telah menimpa dirinya. Dijambaknya rambut frustasi. Ia melihat masa depannya hancur. Tidak ada lagi harapan untuk dirinya…. Tak tahan akan tekanan yang tak pernah ia alami, Bella merasa semua gelap dan terjatuh di lantai kamarnya yang dingin. Sementara itu, pria yang merenggut masa depan Bella, tak menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Arland justru terlelap meski ponselnya terus berdering berkali-kali akibat telepon sang asisten. Kira-kira pukul 3 pagi, Arland baru tersadar saat membalikkan tubuhnya yang hanya seorang diri di kamar itu. “Maudy?” Pria itu mencari keberadaan sang kekasih. Hanya saja, alisnya perlahan naik kala melihat bercak darah di sprei. Samar-samar, ia mengingat kejadian tadi malam. “Perawan?” Pikiran Arland sontak dipenuhi banyak pertanyaan. Teringat saat dirinya merasakan ketegangan dari wanita semalam–wanita yang ia kira Maudy. Padahal, bukan! Kekasihnya itu sudah tidak suci lagi sejak mereka masih di bangku SMA. Bukan Arland pelakunya, tetapi kekasih pertama Maudy. Meski demikian, cintanya pada perempuan itu membuat Arland mengabaikannya. Bahkan, ia tak peduli jika Maudy bertemu dengan pria lain karena Arland sadar diri akan kesibukannya. Sampai kemarin, ia menemukan fakta bahwa kekasihnya itu, ternyata tidur dengan saingan bisnis Arland dan meminta untuk berpisah. “Sial!” lirih Arland kala menyadari semuanya. Mengapa ia bisa seceroboh ini? Apakah dia begitu terguncang setelah mengetahui perselingkuhan Maudy? Hanya saja, rasa bersalah pada gadis tadi malam ternyata lebih besar dalam diri Arland. Dia telah merenggut yang bukan haknya. Bagaimana jika gadis itu hamil? Arland, bahkan tidak mengenal gadis yang sudah kabur itu! "Aku harus mencari gadis itu,” tekadnya. Segera, Arland meraih ponsel untuk menghubungi asistennya. Namun, pewaris tunggal Mars Group itu membatalkannya kala mengingat sesuatu. Kay–asisten yang juga sahabatnya itu–sangat benci pria yang menyentuh wanita dalam keadaan mabuk. Hal ini mengingatkannya pada insiden adik sepupunya beberapa tahun silam! Arland lantas meremas rambutnya kasar. Dia sekarang harus mencari gadis itu tanpa bantuan siapapun. Kay mengenal “orang-orang” miliknya dan bisa mengetahui jika Arland mencari seseorang. Bisa-bisa, Arland berakhir di rumah sakit sebelum menemukan gadis itu. Hanya saja, kalimat gadis itu semalam, tak sengaja menarik perhatian Arland. “Tunggu, cleaning service?” gumamnya."Bella, bangun! Apa yang terjadi? Apa kau sakit?" Di sisi lain, sahabat Bella panik kala menemukannya pingsan di lantai, terlebih kala ia merasakan tubuh Bella yang terasa panas saat diangkat ke atas ranjang. Sunny lantas berusaha menelepon Nilesh, sahabatnya yang lain, agar segera datang ke kosan itu. "Nilesh tolong aku, bisakah kau datang sekarang ke kosan kami? Bella tiba-tiba pingsan dan tubuhnya sangat panas," kata Sunny meminta tolong pada seorang pria yang menyukai Bella sejak 4 bulan lalu. Tanpa basa-basi, Nilesh pun setuju. Pria itu segera datang ke kosan kedua perempuan itu dan mendapati Bella yang terbaring dan Sunny duduk di samping Bella. "Apa yang terjadi, Sun?" tanya Nilesh, khawatir. Ia memegang tangan Bella yang panas dan berkeringat dingin. "Sepertinya, kita harus membawa Bella ke rumah sakit. Aku takut terjadi apa-apa jika kita hanya membiarkan Bella di sini," kata Nilesh pada Sunny. Takut membuat Sunny pun menuruti apa yang dikatakan oleh Nilesh.
Srak! Sementara itu, Arland sedang berada di kantornya, mendadak tidak fokus dengan apapun yang ia kerjakan, hingga tak sengaja merobek kertas kontrak di hadapannya. Ia tak bisa mencari cleaning service itu karena rapat umum pemegang saham yang harus dilakukan hari ini. Namun tak dipungkiri, dia benar-benar tak nyaman. Sang asisten yang juga sahabatnya sontak mengerutkan kening. Ia dapat merasakan ada yang tidak beres pada Arland. "Sejak tadi, kau tidak fokus bekerja. Apa kau sakit? Jika iya, aku akan mengerjakan itu semua." "Aku baik-baik saja." Kay hanya menggelengkan kepala melihat respons Arland. "Jangan bilang Maudy membuat kekacauan lagi?" gumamnya sambil fokus pada pekerjaannya. Namun, Arland hanya menghela nafasnya. Bukan Maudy, tapi gadis yang kemarin malam menjadi pelampiasannya itu. Menurut Arland, itu adalah kesalahan fatal yang pernah ia lakukan. Bagaimana jika itu tersebar di media? Arland menggelengkan kepala. Harusnya yang dipikirkan adalah bagaimana jika
"Apa yang kau lakukan di sini? Siapa yang kau cari?" Saat dirinya mengejar Bella, tiba-tiba Kay menarik tangannya lalu bicara dengan Arland. Seketika mata Arland memandang ke segala arah, ia kehilangan Bella. "Sial, apa yang kau lakukan? Aku kehilangan dia, bodoh!" bentak Arland, kesal karena Kay telah menggagalkan pertemuannya dengan gadis yang ia cari. "Aku tidak mengerti? Ada apa?" tanya Kay menaikkan kedua alisnya. "Lupakan!" Arland tak bisa mengatakannya pada Kay. Ia langsung masuk ke mobilnya lalu memukul setir mobilnya dengan marah. Sementara itu, tanpa disadari siapapun, Bella berlari tergesa-gesa dan nafasnya tak beraturan. Ia tadi merasa sangat frustasi di kamar sendirian sebab Sunny menggantikan dirinya untuk bekerja setelah dirinya terbangun dari pingsan. Oleh karena itu, Bella pergi ke swalayan dengan berjalan kaki–idak peduli dengan kendaraan yang melintas kencang di sampingnya. Ia pasrah dengan apapun yang terjadi padanya Tapi siapa sangka, Bella justru ha
Di sisi lain, Bella tampak mulai pulih. Masuk pada shift kedua, Bella berjalan seorang diri menuju hotel. Meski Nilesh selalu menjemputnya, namun kali ia menolak tawarannya. Dia sudah berjanji pada dirinya untuk mengatur jarak dengan pria itu agar tak menyakitinya. Namun saat Bella berjalan dengan santai, tiba-tiba Arland melewati jalan itu. Ia tanpa sengaja melihat Bella dan mencoba turun dari mobilnya. Dengan cepat, ia bergegas ke arah Bella dan menarik tangannya pelan. Namun siapa sangka, gadis itu gemetar melihatnya! "Lepaskan aku," lirihnya. Tanpa sadar, Bella meneteskan air matanya sembari mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Arland. Arland sontak menghela napas kasar. "Jangan takut, aku hanya ingin bicara denganmu." Bella menggelengkan kepala. Air mata terus mengalir dari pipinya, bahkan Arland bisa merasakan emosi pada diri Bella. "Aku tidak membutuhkan laki-laki biadab sepertimu yang bahkan berani menghancurkan kehidupan seseorang yang bahkan tidak kau
Bella tampak terkesiap. Namun, ia segera menormalkan eskpresinya. "Tidak ada alasan lain. Aku hanya ingin pergi.” “Ayo kita pulang, Nilesh. Berlama-lama di kafe ini, juga tidak akan merubah keadaan," ucap Bella lagi. Ia takut Nilesh berhasil mengorek rahasia mengerikan itu. Nilesh tampak menghela napas. Pria itu sebenarnya merasa kesal karena tahu tak bisa membujuk Bella sama sekali. Terpaksa, pria itu pun keluar bersama Bella dari kafe itu. Meski demikian, Nilesh masih merasa ada sesuatu yang tidak beres. Entah apa ….. Hanya saja, satu hal yang mengganggunya. Mengapa Bella juga tidak mau jujur pada Nilesh? Apakah gadis itu tak menyadari perasaannya? Tanpa disadari pria itu, Bella melirik Nilesh dalam diam. "Maafkan aku Nilesh, aku tidak ingin menjadi masalah untukmu nanti," ucapnya dalam hati. Sementara itu, Arland terpaksa meninggalkan hotel itu dan kembali ke kantornya karena mendadak ada meeting dadakan dengan beberapa orang penting dari perusahaan asing. Mereka san
Menahan gejolak emosi, Arland terus mengikuti Bella. Terus begitu, hingga tepat di sebuah gang, motor yang diikutinya tampak berhenti. Hanya saja, Arland mendadak mencengkram setirnya kuat. Lagi-lagi, ia bisa melihat Bella terlihat begitu akrab dengan pria yang tak dikenalnya itu. Apakah ini alasan Bella tak mau menerima permintaan maaf atau tanggung jawabnya? Terlebih, tatapan mata pria itu penuh cinta pada Bella! "Siapa laki-laki itu?" geram Arland. Kepalanya mendadak dipenuhi keinginan memukul atau menghabisi pria yang bahkan namanya tak ia ketahui itu. Tahu bahwa cepat atau lambat itu bisa terjadi jika masih terus di sana, Arland langsung memacu mobilnya lalu pergi menuju club dengan kecepatan tinggi. Ia tak ingin masalah pribadinya merusak reputasi perusahaan keluarga yang dibangun sejak lama. Ada banyak orang yang bergantung padanya. Hanya saja, begitu tiba di club, ia tak bisa menahan diri lagi. Dengan cepat, Arland meneguk minuman yang ada di meja Kay, h
Tak lama, keduanya tiba di ruangan megah nan indah milik Arland. Meski demikian, Bella masih belum juga sadar. Pria itu lantas membaringkan tubuh Bella di atas ranjang yang empuk dan lembut, lalu meneguk beberapa gelas alkohol yang kebetulan ada di ruang penyimpanan miliknya. Tubuh pria itu terasa semakin panas, hingga ia memutuskan berendam di bathtub. untuk menetralkan hawa panas di tubuhnya. Sayangnya, usaha Arland sia-sia saat wajah Bella melintas di pikirannya. Ia keluar dengan hanya handuk melilit bagian pinggang ke bawah. Tanpa busana, Arland masuk ke dalam kamar. Iblis menguasai dirinya, hingga Arland langsung membuka pakaian Bella satu per satu. Memandangi wajah gadis yang ternyata mampu membuat hasratnya semakin menggebu–sesuatu yang tak pernah Arland rasakan sebelumnya. Tangan pria itu bergerak tanpa dikomando menyentuh seluruh tubuh Bella. Dengan cepat, Arland sudah berada di atas tubuh gadis itu dan mengecup bibir Bella dengan lembut, hingga menuju
Arland panik melihat Bella yang begitu pucat. Segera saja, pria itu mencari keberadaan kunci mobilnya kemudian mengangkat tubuh Bella untuk keluar dari apartemen.Arland pun memacu mobilnya dengan keceapatan tinggi."Bella, aku mohon bertahanlah." Ia semakin panik saat melihat bibir Bella mulai membiru.Untungnya tak lama, keduanya tiba di rumah sakit.Buru-buru Arland menggendong Bella."Dokter… dokter...!" Suara pria itu menggelar, hingga menarik beberapa perawat membawa sofa bed agar Bella segera mendapatkan pertolongan. Arland meletakkan Bella lalu menggenggam tangannya dengan erat. Tanpa ia sadari peluh sudah menetes di pelipisnya. "Maafkan aku Bella." Hanya kata itu yang terdengar dari bibir Arland. Ia begitu menyesali perbuatannya--menghancurkan kehidupan orang yang bahkan tidak ia kenal.Beberapa saat kemudian, Bella pun mendapatkan pertolongan. Namun, Arland tidak bisa masuk ke dalam ruangan itu sebelum dokter menyuruhnya masuk,.Mondar-mandir di depan pintu ruangan, pr