Sebelum Samudera lepas kendali, dan membalas ciuman Queen di bibirnya, dengan sangat terpaksa Samudera mendorong Queen hingga gadis itu terjatuh ke tanah.
"Auw! Sakit!" Pekikan Queen sama sekali tidak dihiraukan oleh Samudera. "Bang Sam jahat! Kenapa aku didorong? Kan, sakit!"Enyah sudah fantasinya berciuman panas dengan Samudera. Sial!Samudera tersenyum meremehkan, seraya melipat tangan di dada dia berseru, "Salah sendiri, suruh siapa main asal cium! Kamu gak boleh gitu, Queen. Inget, kamu itu cewek jangan asal main nyosor! Sini aku bantu."Tangan Samudera yang terulur diabaikan oleh Queen. "Gak perlu! Aku bisa sendiri!" Queen berdiri sambil bersungut-sungut, menepuk-nepuk belakang celananya yang kemungkinan kotor. "Gak punya perasaan!"Sungguh malu rasanya, ditolak mentah-mentah oleh cowok yang disukai. Seumur hidup Queen tidak akan melupakan kejadian ini. "Apa, sih, kurangnya aku? Kenapa Bang Sam gak mau nerima aku jadi pacar? Aku cantik, baik, penurut, rajin belajar, pinter."Samudera berdecak mendengar Queen yang membagakan diri sendiri di hadapannya. Semua yang dikatakan tidak ada yang salah, Queen memiliki semua yang tidak dimiliki oleh gadis di luar sana. Queen sangat beruntung, mempunyai segalanya.Lalu, siapa Samudera? Yang dengan berani mengutarakan ketertarikannya pada gadis sempurna ini?"Bang Sam! Kenapa diem?" Kesabaran Queen kian menipis, setipis kain baju yang dia pakai saat ini dan sependek hot pants-nya.Samudera menggeleng, mundur selangkah memberi jarak. "Udah, gak usah dibahas lagi. Aku gak akan pernah anggep kejadian ini pernah terjadi diantara kita. Oke?" Dan akan lebih baik seperti itu, bukan?"Gak mau!" Queen menggeleng. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca. "Aku gak bisa lupain perasaan aku ke Bang Sam. Aku suka sama Bang Sam," ungkapnya tanpa ada rasa malu sedikit pun.Keras kepala Queen cukup membuat Samudera kehabisan kata-kata. Bagaimana caranya dia menjelaskan pada gadis ini, jika diantara mereka ada sesuatu yang membentang sangat jauh. Samudera tidak seberani itu melewati batasan yang dia jaga selama ini."Kamu harus bisa, Queen. Kamu harus bisa buang jauh-jauh perasaan kamu ke aku." Samudera memegang lengan Queen, dengan perasaan tidak tega.Selama ini dia selalu menjaga Queen seperti adiknya sendiri, dan akan sangat tidak lucu jika tiba-tiba mereka jadian. Apa kata orang tua mereka masing-masing?"Dengerin ini." Samudera mengembuskan napasnya sejenak, lalu tangannya yang lain ikut memegang lengan Queen. Matanya menatap lekat-lekat wajah cantik itu yang kini sedang menahan tangis. "Aku udah anggap kamu adik. Dari dulu sampai detik ini. Paham? Dan aku gak bisa ngecewain kepercayaan Om Alex gitu aja. Aku juga gak mau kecewain Papi."Samudera benar-benar berharap Queen mau mengerti posisinya. Setidaknya, dia bisa menjalani hari-harinya seperti sebelumnya dan menganggap semua ini tidak pernah terjadi.Kelopak mata Queen mengerjap, lalu disusul dengan buliran bening mengalir di pipi mulusnya. "Jadi, masalahnya Daddy? Bang Sam takut sama Daddy sama Om Raka?" tanyanya dengan raut polos.Yang bisa ditangkap oleh otak Queen hanya itu. Kesimpulan yang sungguh membuat Samudera harus mengumpulkan kesabaran lebih banyak lagi.Namun, demi mempersingkat, Samudera lantas mengangguk. "Kurang lebih seperti itu. Tapi, jangan kamu simpulkan kalo aku suka sama kamu. Itu gak bener. Kamu adikku dan akan selamanya menjadi adik bukan pacar."Biarlah, Queen menganggap Samudera kejam. Asal gadis ini mau merubah pemikirannya. Kalau perlu, Queen membencinya saja agar Samudera tidak perlu susah-susah menghindar."Adik? Aku cuma kamu anggep adik?" Queen tersenyum miris, menyingkirkan tangan Samudera dari lengannya dengan sangat kasar.Harapan Queen nyatanya tidak akan pernah terwujud. Hati Samudera tidak akan pernah bisa dia gapai. Dan Queen kesal, karena setelah ini dia akan setiap hari bersama Samudera di Singapura.Lantas, mana mungkin Queen bisa membuang jauh-jauh perasaannya jika dia dan Samudera masih saja bertemu.."Queen, please... Jangan persulit semuanya." Samudera menghela panjang napasnya, meraup kasar wajahnya berulang kali. "Oke, mending aku masuk aja. Kita udahin perdebatan ini."Samudera pergi dari hadapan Queen, memilih masuk dan ikut bergabung dengan yang lainya di dalam, sementara Queen tergugu di sana sendirian, menangisi penolakan yang menamparnya telak."Bang Sam jahat! Tega! Brengsek!" Kedua tangan Queen mengepal erat di sisi tubuh, mengumpat Samudera sepuasnya, guna mengurangi rasa sakit hati yang menyesakkan.***Tanpa Queen tahu, jika Daddy-nya sedari tadi memerhatikan perdebatannya dengan Samudera. Niat Alex yang ingin menyusul Queen ke kamar justru membawanya ke taman belakang dan secara tidak sengaja menyaksikan tindakan Queen pada Samudra.Alex menghela panjang napasnya, meskipun dia tidak bisa mendengar apa yang diperdebatkan oleh puterinya, hal itu cukup mengganggunya."Kenapa Queen melakukan itu? Apa dia menyukai Sam?"Tindakan spontan yang dilakukan Queen terhadap Samudra cukup menjadi bukti jika kemungkinan besar Queen menaruh rasa pada anak angkat Raka itu. Alex sendiri masih syok, tak menyangka jika Queen yang dia anggap tidak tahu apa-apa soal urusan suka pada lawan jenis, melakukan hal demikian.Dia pun merasa khawatir sekarang."Tapi sepertinya Samudra tidak menyukainya. Buktinya anak itu tidak membalas ciuman Queen." Kelegaan sedikit mengisi rongga dada Alex ketika dia melihat Samudra yang tidak memanfaatkan keadaan."Kalau itu diposisi orang lain, pasti Queen sudah dimanfaatkan." Jemarinya mengelus-elus janggut, dengan pikiran melayang jauh."Mas, lagi apa? Aku cariin di kamar gak ada, malah ternyata ada di sini." Suci tiba-tiba muncul dari belakang. Dia menghampiri suaminya yang berdiri di balik gazebo.Atensi Alex teralihkan. Dengan senyum senatural mungkin, dia menutupi keterkejutan serta berusaha setenang mungkin. Untuk saat ini Suci tidak boleh tahu menahu soal apa yang baru saja dia lihat."Tadi aku habis nerima telepon dari Beni," ujar Alex beralasan sambil melirik Queen yang sudah tidak ada di tempatnya.Suci mengangguk. "Oh, tapi teleponnya udah selesai 'kan?" tanyanya."Udah." Alex menggandeng tangan Suci. "Ayo masuk.""Ayo, Mas. Yang lain juga lagi nungguin kamu."Keduanya lantas masuk, meninggalkan area taman belakang.***Di ruang makan, Samudra sudah kembali duduk di kursi semula dan tengah menyantap makanan penutup berupa es krim kelapa buatan Mama Lea.Alex dan Suci muncul dan ikut bergabung kembali di sana. Di tempatnya duduk, Alex memerhatikan Samudra yang nampak tenang dan biasa saja. Seperti tidak ada hal yang baru saja terjadi padanya. Padahal jelas-jelas Samudra baru saja mendapat ciuman dari Queen.'Samudra sepertinya memang tidak menyukai Queen. Dia keliatan sangat santai. Tapi kira-kira bagaimana keadaan Queen sekarang setelah Samudra menolak ciumannya.' Batin Alex.Alex mengembuskan napas resah. Mengurut pangkal hidung sambil memejamkan mata. Perbuatan Queen tentu membuatnya kepikiran. Sebentar lagi puterinya itu akan meninggalkan rumah dan tinggal jauh darinya. Otomatis, Alex tidak dapat memantau keseharian Queen.Bagaimana jika puterinya itu semakin nekad?"Mas? Kamu kenapa?" Suci bertanya setelah memerhatikan sang suami yang tampak gelisah.Semua orang yang berada di meja makan memusatkan perhatian kepada Alex yang duduk paling ujung.Spontan jari-jarinya berhenti menekan pangkal hidung, Alex mengangkat pandangan, lalu tertegun sebab menjadi pusat perhatian semua orang yang berada di sana.Alex tersenyum lembut pada Suci, sembari sudut matanya melirik Samudra, dia menjawab, "Aku tidak apa-apa, Sayang. Aku cuma agak kepikiran kantor." Lantas meraih tangan Suci untuk dia genggam."Beneran, cuma kerjaan?" Suci memicingkan mata."Iya, Sayang," angguk Alex. "Udah makan lagi. Semuanya silakan dilanjutkan," serunya pada semua orang.Semua orang pun kembali melanjutkan makan, begitu juga Alex yang kembali memegang sendok. Tetapi, tidak dengan Suci. Perempuan itu justru sibuk menatap sang suami yang nampak aneh.'Mas Alex lagi nutupin sesuatu dari aku. Gak biasanya dia kayak gitu.' Batin Suci.***bersambung....'Dengerin ini. Aku udah anggap kamu adik. Dari dulu sampai detik ini. Paham? Dan aku gak bisa ngecewain kepercayaan Om Alex gitu aja. Aku juga gak mau kecewain Papi.'"Argh! Bang Sam, rese!" teriak Queen yang spontan bangkit dari tidurnya, dan menendang selimutnya sampai jatuh ke lantai. "Kenapa, sih, dia gak bisa nerima aku aja? Padahal aku udah ngasih ciuman pertamaku buat dia. Tapi, semua kayak gak ada artinya."Queen membuang kasar napasnya, seraya mengacak-ngacak rambut mirip orang yang sedang frustrasi, ketika semua penolakan Samudra terus terngiang dan terbayang-bayang di ingatannya. Sampai-sampai dia tidak bisa tidur sebab terus kepikiran hal memalukan itu.Sial!Semua yang sudah dia lakukan hanya sia-sia; menebalkan muka, membuang rasa malu, sekaligus menjadi gadis yang agresif. Rasa sukanya terhadap Samudra telah membuat kewarasannya jadi berantakan."Apa yang diliat dari si Jammet itu sebenernya? Dari segi muka juga masih cakepan aku. Bodi? Ah, masih oke bodi aku. Terus, di
"Mami …."Niken menghela napas panjang, menjeda sejenak kalimat yang ingin dia sampaikan pada putera angkatnya yang tampan itu. Sebenarnya ada sesuatu yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Namun, karena semua orang tengah disibukkan dengan persiapan keberangkatan Queen dan Samudra, dia jadi menundanya.Hal yang mungkin akan membuat Samudra merasa tidak nyaman dan merasa dikekang. Tetapi, Niken melakukan semua itu juga demi kebaikan bersama.Samudra meletakkan cangkirnya ke meja, lalu menegur Niken yang tak kunjung bicara. "Mom, are you, oke?" Lantas mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Niken.Niken terkesiap, dan segera tersadar dari lamunannya. "Ah, hmm … Iya. Mami baik-baik aja," sahutnya sedikit terbata. Perempuan berkulit sawo matang itu lalu berdeham ringan. "Hmm … Begini, Sam. Ada yang mau mami tanyain ke kamu.""Tanya apa, Mom?" Samudra menegakkan punggung, menatap serius lawan bicaranya yang juga nampak sangat serius. Tangan kanannya masih menggenggam tangan Ni
"Ayo sarapan, Mas."Suci masuk ke kamar, dan menghampiri Alex yang tengah sibuk mengancing kemeja di depan cermin rias. Tanpa diminta, dia dengan cekatan mengambil alih tugas itu.Kedua tangan Alex berpindah ke pinggang Suci, tinggi sang istri yang hanya sebatas dada memudahkannya untuk menjangkau seluruh wajah yang semakin cantik saja. "Queen sudah bangun?""Udah, Mas." Suci menarik simpul dasi polos tanpa corak yang sudah rapi menggantung di leher suaminya. Kemudian menepuk-nepuk pelan dada bidang itu setelah memastikan semuanya sudah sempurna.Sebagai tanda terima kasih, Alex memberi kecupan di kening Suci, lalu bertanya lagi, "Kamu … sudah siap 'kan jauhan sama Queen?"Suci mendongak, lalu mengangguk kecil, meletakkan kedua telapak tangannya di dada Alex, dan menjawab, "Seperti katamu, Mas. Aku harus siap meskipun masih agak berat.""Nanti kalau kamu mau, kita bisa tengokin dia seminggu atau dua Minggu sekali. Gimana?""Hmm … Seminggu sekali apa gak kecepetan, Mas? Mending satu bu
Flash back off...Tok! Tok!Suara ketukan pintu, membuat sosok lelaki yang tengah berada di dalam kamar mandi itu terkesiap. Menyudahi lamunannya akan sosok gadis yang nekad memberinya ciuman pertama di lima tahun yang lalu."Sayang ... Kamu gak kenapa-napa 'kan?" tanya seorang perempuan yang berada di balik pintu kamar mandi. Nada bicaranya terdengar khawatir. Samudra menghela berat seraya mengusap wajah. Suara Jannet—perempuan yang baru saja resmi menjadi istrinya menyadarkannya—jika saat ini dia sudah menjadi seorang suami."Ya, Sayang. Aku baik-baik aja, kok," sahut Samudra, sambil menatap pantulan dirinya yang masih bertelanjang dada di depan cermin wastafel. Dia baru saja selesai mandi dan baru sadar jika sudah terlalu lama berada di dalam sini. "Oh, oke. Aku pikir kamu pingsan di dalem," kata Jannet. "Enggak, Sayang.""Jangan kelamaan. Aku keburu ngantuk." "Iya."Dari dalam kamar mandi mewah itu terdengar suara langkah kaki yang menjauh, pertanda jika Jannet sudah pergi dar
Samudra bergegas keluar dari kamar mandi setelah membalas chat dari gadis yang dua hari ini membuatnya khawatir berkepanjangan. Pikirannya semakin kalut saat melihat foto yang dikirimkan. Apa gadis itu hendak bunuh diri dengan mengonsumsi obat penenang? Pikir Samudra. Melihat lelaki yang baru saja resmi menjadi suaminya terlihat gusar dan terburu-buru, Jannet tentu bertanya-tanya. Perempuan itu sudah terlihat begitu siap untuk ritual malam pengantin bersama Samudra. Akan tetapi nampaknya sang suami hendak pergi keluar, sebab saat ini sedang menuju ruang ganti. "Sam, kamu mau ke mana?" Pernyataan tersebut terpaksa dilontarkan Jannet karena sekarang ini Samudra sama sekali tak menganggap keberadaannya. Samudra memakai satu persatu pakaiannya, dan tak lupa mengenakan jaket. Jannet mengernyit heran. Samudra tak menjawab pertanyaannya barusan. "Sam, aku lagi nanya, loh?" Wajah Jannet terlihat memerah. "Sorry, Jane. Aku harus segera pergi," kata Samudra, menatap sang istri dengan waja
"Queen?"Samudra membeku di depan pintu kamar mandi saat dia justru mendapati Queen sedang mengenakan batherope. Gadis itu terlihat baik-baik saja. Queen menoleh. "Bang Sam?" Mendapati lelaki yang dia sukai sudah berdiri di hadapan, tentu saja perasaan Queen begitu senang. Sampai-sampai dia langsung menghambur ke pelukan Samudra. "Aku pikir Bang Sam udah gak peduliin aku," ucap Queen dengan beruraian air mata. Bisa memeluk Samudra seperti ini membuatnya tenang dan semakin yakin. Yakin bila Samudra memedulikan dirinya. Sementara yang dipeluk masih mencerna semuanya. Aroma sabun dan shampo yang menguar cukup mengganggu akal Samudra saat ini. Namun, untuk sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan hal yang bisa membuyarkan niatnya datang ke tempat ini. Tak dipungkiri jika Samudra juga merasa sangat lega. "Kamu ... baik-baik aja 'kan, Queen?" tanya Samudra setelah berhasil menguasai perasaan yang diam-diam membuncah di dada. Gadis manja ini rupanya tidak sampai bertindak kon
Masih saling menautkan bibir, keduanya melangkah tergesa menuju kamar. Queen tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, meski dia sedikit kewalahan dengan pagutan liar dari Samudra. Pasokan oksigen pun kian menipis, dan suhu di kamarnya menjadi sangat panas. Karena tak ingin kehabisan napas dan pingsan, Queen terpaksa mendorong dada Samudra. "Aku kehabisan napas, Bang," ucap Queen dengan napas tersengal-sengal. Bibirnya yang penuh sedikit membengkak karena ulah Samudra. Samudra pun sama halnya seperti Queen. Namun, akalnya sungguh sudah dikendalikan oleh nafsu yang kian memuncak. Lelaki itu menarik ujung kaos yang dikenakan, meloloskannya secepat kilat dan membuangnya asal ke lantai. Queen menelan ludah menatap pemandangan sempurna di depan mata. Tubuh yang begitu proposional, kontras dengan kulit cokelat gelap membuat Samudra terkesan seksi. Otot perut yang liat membentuk sixpack dengan sempurna. "Liat apa?" Ibu jari Samudra mengusap bibir Queen yang sedikit terbuka. Lelaki itu suda
Tengah malam Samudra terbangun karena mendengar bunyi ponselnya yang menggema di ruangan temaram itu. Beranjak dari kasur dengan keadaan setengah telanjang, Samudra mengambil benda pipih miliknya dari saku celana yang tergeletak asal di lantai. Nama yang tertera di layar ponsel cukup membuat sepasang kelopak mata Samudra, yang awalnya masih mengantuk terbuka lebar seketika. "Jane?" Samudra sontak menoleh ke belakang—di mana seorang gadis, yang tengah terlelap dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun, dan hanya selembar selimut yang menutupi. Queen terlihat begitu damai dan ... cantik. 'Ck, sadar Samudra! Kamu baru aja bikin masalah.' Dalam hati, Samudra merutuk kecerobohan dan kebodohannya. Suatu kesalahan yang pastinya akan mengundang masalah besar ke depannya. Atensi lelaki itu kembali teralihkan pada dering ponsel. Samudra lekas menjawab panggilan telepon dari sang istri. "Halo …." sambil berjalan menuju kamar mandi, karena dia tak ingin mengganggu Queen. Samudra berdiri
Hari yang dinanti-nanti oleh Samudra pun akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari di mana dia akan benar-benar berpisah dengan mantan istrinya, Jannet. Setelah ini lelaki yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu sudah memiliki banyak sekali rencana. "Kamu yakin gak mau aku temenin?" Queen mencoba memastikan sekali lagi, meski dia akan mendapat jawaban yang sama dari sang suami, yang sudah siap berangkat pagi ini. Samudra mengangguk, sambil mencolek dagu sang istri. "Iya, Sayang. Kamu gak perlu ikut ke pengadilan. Capek. Lagipula ini adalah urusanku." Bibir bawah Queen mencebik, "Iya, deh. Aku juga males kalo ketemu mantan istrimu. Ngeri." Selanjutnya dia terkikik, sambil menggamit lengan Samudra. "Ayo sarapan dulu. Tadi aku udah siapin sarapan spesial buat suamiku yang ganteng ini." "Wah ... Wah ... Si kriwil udah pinter masak sekarang. Jadi gak sabar aku." "Enak aja kriwil! Ngomong-ngomong aku udah gak kriwil, ya!" sungut Queen, pura-pura kesal, padahal dalam hat
Dua pekan berlalu, semenjak kehamilan Queen diketahui oleh keluarganya, situasi perempuan itu semakin rumit. Kebebasannya seolah direnggut paksa oleh orang-orang yang menurutnya terlalu berlebihan dalam menjaganya. Dengan alibi—ingin melindunginya dan bayinya. Tak hanya itu, dia pun tak lagi bisa bebas bertemu dengan Samudra sebelum lelaki itu resmi bercerai dari istrinya. Lantas, bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Samudra? Alex selaku ayah yang mengadopsi Queen mempunyai caranya sendiri. Sama halnya seperti yang lelaki itu lakukan pada Suci dahulu kala. Alex menyarankan agar Queen dan Samudra menikah secara agama terlebih dahulu, sampai bayi yang ada di dalam kandungan lahir. Sambil menunggu status Samudra benar-benar jelas. "Kita ini udah nikah, tapi, kenapa Daddy ngelarang kita tinggal bersama? Apa menurut Bang Sam ini gak terlalu berlebihan, ya? Gak enak banget gak bisa ketemu kamu." Queen terus mengeluh sejak di tiga puluh menit pertama dia dan Samudra melakukan pan
Bagi Suci, hal paling terburuk dalam hidupnya ialah gagal menjadi orang tua. Dia merasa gagal sebab kini masa lalu kelamnya seperti terulang kembali. Ya, entah Suci akan menganggapnya sebagai apa. Yang jelas, hatinya saat ini hancur lebur. 'Queen hamil ...' Dua kalimat tersebut tak berhenti berdengung di telinga Suci. Mengakibatkan air matanya kian deras mengalir membasahi pipi. "Bunda ...." Panggilan dari sang anak yang menjadi penyebab kesedihannya menyadarkan Suci. "Queen?" Suara Suci nyaris tak terdengar, karena cekat di tenggorokan yang kian menghimpit. Sesak di dadanya makin terasa. Pandangannya sedikit mengabur. Kedua bola matanya menatap nyalang sang anak yang berdiri berdampingan dengan Samudra. Alex yang sedari tadi kebingungan serta bertanya-tanya berinisiatif menghapus jejak basah di pipi Suci. "Sayang ...." Suara khas Alex mampu mengalihkan perhatian Suci. Kini, dia bisa melihat dan merasakan—kekecewaan dari sorot manik bulat itu. "Mas ...." Kelopak m
Beberapa menit sebelumnya.... Suci menghempas punggungnya ke sandaran kursi sambil menghela panjang. "Akhirnya selesai juga. Tinggal cari bahan sama pesen payet," gumamnya, setelah berhasil menyelesaikan sketsa gaun pengantin pelanggannya. Seharian ini Suci lumayan sibuk sebab dia akan mempersiapkan koleksi-koleksi terbarunya di tahun ini. Masih banyak yang belum sempat dia selesaikan. Ditambah dengan pesanan gaun yang tak pernah berhenti. Suci cukup kewalahan. "Si Niken berangkat gak, sih hari ini? Kenapa seharian aku gak liat dia?" Saking sibuknya, Suci sampai tidak beranjak sedetik pun dari ruangannya. Sampai-sampai dia baru menyadari jika dia belum melihat Niken seharian ini. "Apa dia gak berangkat, ya?" pikir Suci, mengira jika sang sahabat tidak masuk kerja. "Coba aku cek aja, deh." Daripada penasaran, lebih baik dia memastikannya saja langsung. Tanpa menunggu lagi, Suci bergegas beranjak dari tempatnya, lalu keluar ruangan, dan menuju ruangan Niken. Ketika di
Sore-sore begini, tidak biasanya Queen baru bangun tidur. Dia bahkan terbilang jarang sekali betah berada di rumah jika sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya, Queen akan menghabiskan waktu di berbagai tempat—mencari inspirasi untuk konten-kontennya. Ah, mengenai konten. Queen sudah lama tidak mengunggah postingan di laman private-nya. Akun rahasia yang tidak ada satu orang pun yang tahu. Termasuk Samudra. Queen sangat berhati-hati untuk hal yang satu itu. "Jam berapa sekarang?" Queen bergumam sambil beranjak dari kasur ternyaman, lalu melangkah menuju kamar mandi. Dia berencana mandi, sebab dari sejak pagi rasanya sangat malas sekali untuk sekadar mencuci muka. "Astaga mukaku!" Ketika bercermin, Queen nampak syok dengan kondisi wajahnya yang sangat kucel. Rambutnya pun sangat lepek. Apalagi di beberapa bagian tubuh seperti ada yang berubah. "Kayaknya aku tambah gemuk, deh? Payudaraku kayak tambah gede," cicit Queen, meraba-raba bagian dada yang dia rasa berubah bentuk. "
"Pagi-pagi makan bubur ayam enak juga." Queen mengusap perut, setelah menghabiskan semangkok bubur ayam—makanan yang jarang sekali dia makan saat di pagi hari. Beberapa detik kemudian, dia pun baru menyadari sesuatu. "tapi, aneh gak, sih. Gak biasanya pagi-pagi aku makan berat kayak gini? Apa ... ini ada hubungannya sama kehamilanku?" Benda pipih di sampingnya bergetar. Sebuah pesan masuk, mengalihkan perhatian Queen. "Bang Sam?" [Aku baru aja dari firma hukum punya temenku. Perceraianku akan diproses secepatnya.] Pesan singkat dari Samudra membuat perasaan Queen sedikit lega, hingga bibirnya mengulas senyum. "Gercep banget." Queen membalas pesan Samudra. [Semoga lancar, ya. Aku udah gak sabar.] Beberapa detik kemudian pesan balasan dari Samudra pun kembali masuk. [Amiin. Doain aja, biar aku bisa secepatnya nikahin kamu.] [Pasti!] Pesan balasan pun langsung dikirim Queen. "Giliran aku yang harus secepatnya ngasih tau Bunda," gumam Queen, dengan raut murung. Kehami
Perdebatan antara Samudra dan sang mami, perihal kehamilan Queen rupanya tak membuahkan hasil. Meskipun Samudra telah berkali-kali memohon supaya maminya itu mau memahami. Nyatanya, Niken tetap bersikukuh menolak itikad baik sang anak sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Alih-alih memberi restu, sang mami justru marah dan men-cap Samudra sebagai anak yang tidak mau menurut. Niken pun menyalahkan Queen yang katanya tidak bisa menjaga diri. "Kenapa sih, Mami nolak Queen? Kupikir Mami bakal ngasih izin," gumam Samudra tak habis pikir, sambil meraup wajah frustrasinya dan menghela lelah. "Pokoknya aku harus bisa yakinin Mami." Apa pun akan dilakukan Samudra demi bisa mempertahankan hubungannya dengan Queen. Selagi menunggu keputusan papinya, akan lebih baik dia bergegas mengurus perceraiannya dengan Jannet. "Besok aku ajuin berkas perceraiannya. Biar masalahnya gak makin rumit ke depannya. Kalau aku udah cerai dari Jane, aku bisa dengan mudah nikahin Queen." Men
"Bunda ...." Perasaan Queen carut marut saat ini, karena perkataan sang ibu yang begitu mengena di hati. Dia sendiri tak ingin berbohong mau pun menyembunyikan masalah apa pun dari keluarga terutama sang ibu. Semua ini karena terpaksa. Queen begitu takut. Dia sungguh merasa takut jika kabar kehamilannya akan membuat seluruh keluarganya terkejut. Terutama Suci. 'Aku harus apa, Ya Tuhan? Bunda begitu percaya sama aku, tapi berulang kali aku udah berbohong.' Benak Queen menyeru penuh penyesalan. Diamnya sang anak tentu membuat Suci makin ingin tahu. 'Sebenarnya apa yang lagi kamu sembunyikan, Queen? Bunda yakin kalau saat ini kamu lagi ada masalah.' "Nda, Queen boleh tanya sesuatu?" Queen pun memberanikan diri untuk bertanya. Suci mengulas senyum, lalu mengangguk. "Boleh. Queen mau tanya apa?" ujarnya sambil menggapai telapak tangan Queen. Queen membasahi bibir yang terasa kering, menarik napas dalam-dalam, untuk mengatur rasa gugup yang menyergap. Queen lalu berkata, "Seandai
"Sam ..." Raut Jannet terlihat begitu kecewa saat sang suami, yang berada di atasnya tiba-tiba menghentikan pergerakannya. Padahal, saat ini Jannet benar-benar sudah menginginkan lebih. Tatapan Samudra berubah nyalang, lalu tanpa memedulikan protes dari Jannet, Samudra lantas beringsut mundur, kemudian berjalan menuju kamar mandi. brakk! Jannet tersentak, dan bergegas bangkit. Rautnya seketika memucat karena baru menyadari sesuatu. "Sial! Kenapa aku bisa lupa? Pasti itu alasan kenapa Sam berhenti. Sial! Sial!" Lantas, Jannet bergegas memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. "Ini gawat! Sam pasti marah besar sama aku! Bodoh!" Sementara di dalam kamar mandi, Samudra sedang membasuh seluruh tubuhnya di bawah kucuran shower. Kebenaran yang baru saja terungkap membuat dadanya memanas. Dia marah. Sangat marah. "Pantesan waktu awal-awal dia selalu nolak. Ternyata ini alasannya. Brengsek!" Samudra sungguh tak pernah menyangka jika Jannet berani membohonginya s