Tengah malam Samudra terbangun karena mendengar bunyi ponselnya yang menggema di ruangan temaram itu. Beranjak dari kasur dengan keadaan setengah telanjang, Samudra mengambil benda pipih miliknya dari saku celana yang tergeletak asal di lantai.
Nama yang tertera di layar ponsel cukup membuat sepasang kelopak mata Samudra, yang awalnya masih mengantuk terbuka lebar seketika."Jane?"Samudra sontak menoleh ke belakang—di mana seorang gadis, yang tengah terlelap dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun, dan hanya selembar selimut yang menutupi. Queen terlihat begitu damai dan ... cantik.'Ck, sadar Samudra! Kamu baru aja bikin masalah.'Dalam hati, Samudra merutuk kecerobohan dan kebodohannya. Suatu kesalahan yang pastinya akan mengundang masalah besar ke depannya.Atensi lelaki itu kembali teralihkan pada dering ponsel. Samudra lekas menjawab panggilan telepon dari sang istri. "Halo …." sambil berjalan menuju kamar mandi, karena dia tak ingin mengganggu Queen.Samudra berdiri di depan cermin wastafel, menatap pantulan dirinya yang sangat berantakan."Kamu mau pulang jam berapa, Sam? Ini udah hampir pagi," kata Jannet terdengar merajuk."Sebentar lagi. Mungkin satu jam lagi aku sampe apartemen," jawab Samudra tanpa bersusah payah memikirkan jawaban yang pas."Buruan!" Jannet sedikit meninggikan suaranya."Iya, Sayang. Kamu tidur dulu aja. Gak usah nunggu aku." Perasaan Samudra makin campur aduk saat ini, ketika mengingat kebohongan yang baru saja dia lakukan. Jannet bahkan rela menunggunya pulang."Hmm. Ya udah. Kamu beneran pulang sekarang! Hati-hati di jalan. Bye ….""Bye ….""Telepon dari si Jannet, ya?" Queen tiba-tiba muncul di kamar mandi. Dia yang menyadari Samudra tak ada di sampingnya langsung menyusul lelaki itu. Gadis itu juga sudah mengenakan lingerie seksi warna hitam."Iya." Samudra meletakkan ponselnya ke pinggir wastafel, lalu menyalakan kran dan membasuh wajah agar lebih segar.Bibir Queen mengerucut. "Bang Sam mau pulang, ya?" tanyanya sambil memeluk Samudra dari belakang. "pulang pagi aja sekalian. Nanggung.""Gak bisa, Queen. Aku harus pulang sekarang. Aku gak mau Jane curiga," kata Samudra, lalu menghela napas berat.Untuk sejenak keduanya tak ada yang bicara. Queen sedang meresapi kehangatan punggung Samudra, sementara lelaki itu tengah menyesali apa yang terjadi."Maafin aku …." Samudra perlu meminta maaf, bukan? Meski kesalahan itu tak sepenuhnya dari dirinya.Queen-lah yang patut disalahkan atas semua yang telah terlanjur terjadi. Namun, Samudra pun tak menampik jika gadis itu telah memberikan pengalaman pertama yang begitu indah dan sangat memuaskan. Samudra memang brengsek!Apa sekarang dia sudah menjelma menjadi lelaki brengsek yang memanfaatkan kepolosan seorang gadis?Queen terkekeh mendengar permintaan maaf Samudra yang terdengar begitu tulus. "Kenapa Bang Sam minta maaf? Justru aku yang harusnya minta maaf karena udah jebak kamu," kata Queen masih enggan melepas lilitan tangannya di pinggang Samudra. "Makasih. Makasih karena Bang Sam udah kabulin kemauan aku.""Queen …." Samudra lagi-lagi harus mengakui jika Queen adalah gadis yang benar-benar polos.Bagaimana bisa ada seorang gadis yang menginginkan hal gila semacam itu? Bahkan, setelah menyerahkan kegadisannya secara cuma-cuma pada pria yang sudah beristri. Queen masih bisa tertawa dan mengucapkan 'terima kasih'. Samudra sampai tak habis pikir."Aku janji gak akan bilang ke siapa pun soal ini. Aku janji. Asal Bang Sam gak pernah ninggalin aku. Asal Bang Sam jangan jauhin aku. Aku gak akan bisa hidup kalau Bang Sam lakuin itu semua. Aku cinta Bang Sam."Air mata Queen mengalir dengan sendirinya, dan membasahi punggung Samudra. Gadis itu terlalu takut dengan sesuatu yang belum tentu terjadi. Satu-satunya ketakutannya selama ini. Samudra menjauhinya."Queen ..." Samudra berbalik saat merasakan punggungnya basah. Mengurai pelukan Queen, kemudian menangkup wajah sembab sang gadis yang tak lagi gadis. "jangan nangis. Kamu jangan berpikir yang enggak-enggak."Dengan tenang Samudra menghapus jejak basah di pipi Queen. Menatap lamat-lamat sepasang bola mata jernih yang menyorotnya penuh cinta.Kenapa ada gadis yang begitu mencintainya dengan gila seperti ini? pikir Samudra."Aku memang gak membenarkan apa yang kamu lakukan, Queen. Itu salah. Sangat salah. Kamu dengan sengaja jebak aku dan mengacaukan malam pertamaku. Tapi, aku bisa ngerti kenapa kamu lakuin itu semua. Kamu terlalu menyukaiku. Karena itu kamu rela mengambil resiko sebesar ini. Dan kamu inget 'kan kalau tadi aku gak pakai pengaman?"Queen mengangguk."Dan kamu tau apa resikonya kalau laki-laki dan perempuan berhubungan tanpa pengaman?" imbuh Samudra.Queen mengangguk lagi, lalu mengerjap polos."Apa?" tantang Samudra.Dan kali ini raut Queen langsung berubah pucat pasi. Dia menelan ludah susah payah saat menyadari resiko besar yang akan terjadi di hidupnya setelah ini."Hamil ...""Ya, hamil. Kamu bisa hamil, Queen. Karena aku berkali-kali numpahin benihku di sini." Telapak tangan kiri Samudra mengusap perut rata Queen."Aku bisa gugurin," ucap Queen tanpa berpikir sedikit punDan Samudra sontak terlihat marah. "Jangan. Kamu jangan pernah lakukan hal gila itu, Queen. Cukup sekali kita melakukan dosa. Dan jangan berpikir kamu ingin menambah dosa lagi dengan menggugurkan kandunganmu. Aku gak akan biarin itu."Raut Queen berubah pias kala mendengar pernyataan Samudra yang begitu memperhatikannya. Meski demikian rasa takut yang tiba-tiba muncul tak bisa dia enyahkan begitu saja."Lalu aku harus gimana? Kalau semisal aku hamil, Bang?" Queen menjilat bibirnya yang mendadak kering. "Apa Bang Sam mau bertanggung jawab?" Queen mencengkeram erat lengan Samudra, menunggu lelaki itu menjawab dengan jantung berdebar kencang."Kita liat nanti," sahut Samudra setelah cukup lama terdiam. "Nanti kalau kamu ada tanda-tanda hamil, orang pertama yang harus kamu kasih tau itu aku. Jangan orang lain. Paham?" Samudra perlu menekankan hal tersebut pada gadis di hadapannya."Hmm. Aku paham," ucap Queen, dengan sorot mata tak setakut tadi. Queen memeluk Samudra, lalu berkata, "Aku percaya sama Bang Sam. Dan, setelah ini pun Bang Sam boleh—""Queen, sekali lagi aku sungguh minta maaf. Harusnya aku bisa nahan diri untuk gak ngerusak kamu. Maaf ...." Rasa penyesalan masih mengganjal di hati Samudra. Lelaki itu mengusap lembut rambut panjang Queen. "Harusnya aku jagain kamu bukannya ngerusak kamu.""Ya, aku maafin Bang Sam. Toh, ini bukan kesalahanmu sepenuhnya. Ini salahku. Aku yang mau. Aku yang salah. Bang Sam gak usah merasa bersalah terus-terusan.""Om Alex, Tante Suci ....""Mereka gak akan tau selama salah satu dari kita gak ada yang ngasih tau. Bener 'kan?" Queen mengurai pelukan, mendongak menatap wajah Samudra yang ganti terlihat khawatir. "Daddy dan Bunda gak akan tau masalah ini. Aku janji."Samudra diam, merenung sejenak untuk mencari jalan keluar dari masalahnya. Masalah yang sebenarnya bisa di hindari. Namun, Samudra juga tidak bisa lepas tangan begitu saja, jika suatu saat Queen benar-benar hamil."Aku gak masalah kalau pun harus jadi yang kedua," celetuk Queen dengan santai.Sementara Samudra justru terlihat terkejut. "Queen ...."***bersambung ....Harusnya Samudra sudah tiba di unit apartemen miliknya sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ulah Queen yang memercik gelora hasratnya, Samudra tidak bisa mengendalikan diri hingga dia kembali bergumul panas dengan gadis itu di dalam kamar mandi. Ck, dia kini benar-benar sudah menjelma menjadi pria brengsek. Samudra hampir tak percaya jika sekarang dia telah kecanduan tubuh Queen. 'Ini gila, Sam! Kamu benar-benar sedang menggali kuburanmu sendiri!' Samudra merutuk dirinya sendiri ketika ingatannya kembali berputar pada pergumulan panasnya dengan Queen. Dan dia melakukannya secara sadar tanpa di bawah pengaruh obat apa pun. Bahkan, Samudra tak kuasa menepis bayang-bayang kemolekan tubuh indah Queen—perempuan yang dengan suka rela memberinya pengalaman pertama. 'Brengsek kamu, Sam!' Setelah menekan kode akses pada pintu unitnya, Samudra melangkah masuk setelah benda itu terbuka otomatis. "Sayang ...." Lelaki berja
"Daddy mau aku buatin minum apa? Atau sekalian aku buatin sarapan, ya? Kebetulan aku lagi buat omelette." Sebisa mungkin Queen bersikap wajar meski jantungnya sedari tadi tak berhenti berdebar-debar. Kedatangan mendadak sang daddy sungguh membuatnya hampir terkena serangan jantung. Tanpa mengabari, daddy-nya muncul di unitnya. Apalagi saat ini Alex terlihat seperti sedang mencari-cari sesuatu. Queen jadi serba salah sekarang. Dia bingung hendak melakukan apa lebih dulu. Pilihannya hanya ada dua—tetap stay di ruang tamu dengan Alex atau kembali ke pantry untuk melanjutkan membuat sarapan. 'Duuh ... aku gak mau Daddy menyadari cara jalanku yang aneh gara-gara semaleman bercinta habis-habisan sama Bang Sam. Untung Bang Sam udah pulang.' Queen membatin resah sekaligus takut apabila Alex menyadari ada sesuatu yang janggal dalam caranya berjalan. Hal itu disebabkan karena semalaman dia dan Sam bercinta tanpa batas. Alex masih belum berminat duduk, d
"I-itu ...." 'Ya ampun, kenapa Daddy harus tanya itu, sih? Aku 'kan jadi bingung mau jawab apa. Sementara Daddy udah tau kalau Bang Sam dateng ke sini. Seandainya aku jawab jujur, terus aku mesti alasan apa, coba?' Benak Queen terus menyeru gelisah, memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. Dia bahkan sampai tak berhenti meremas-remas jemarinya yang sudah berkeringat. Gugup. "Queen?" Alex menegur. Queen tersentak, lantas menjawab lirih, "Semalam ... Bang Sam memang ke sini, Dad." Selanjutnya yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk, lalu menggigit bibir bawahnya dalam-dalam sambil memejamkan mata. Queen sungguh tidak bisa berpikir. Berhadapan dengan Alex itu sama halnya dia berhadapan dengan Intel. Ck! Alex menghela napas panjang, cukup puas mendengar kejujuran sang putri. Akan tetapi dia masih belum bisa tenang jika belum mengetahui alasan Samudra yang datang malam-malam ke apartemen putrinya. "Ada urusan apa
"Gimana kondisi Suci, Han? Dia kenapa?" Alex terlihat begitu mengkhawatirkan kondisi sang istri yang masih terbaring di tempat tidur, sehingga tak sabar melontarkan pertanyaan kepada Farhan—dokter pribadi keluarganya, yang baru saja selesai memeriksa. "Istri kamu anemia, Lex. Apa dia akhir-akhir ini kelelahan?" ungkap Farhan sesuai dengan diagnosanya pada Suci yang terlihat lelah dan agak pucat. "Anemia?" Alex termangu sejenak sambil menatap nanar sang istri. Menurut Alex kondisi Suci yang sampai seperti ini banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya ialah memikirkan Queen yang pergi berhari-hari dan tanpa kabar. "Beberapa hari ini dia sibuk bantuin sahabatnya yang menikahkan anaknya, Han. Dan ... akhir-akhir ini memang ada sedikit masalah di keluarga kami," imbuh Alex, kemudian menatap Farhan. "Solusinya apa, Han? Apa perlu donor darah?" Farhan menggeleng. "Enggak perlu, Lex. Nanti aku kasih resep penambah darah dan vitamin. Dan ... Jangan lupa cukupkan istirahat, mak
"Kamu itu sebenarnya gak berniat 'kan nikah sama Jannet?"Mami ...."Asumsi sang ibu yang sama sekali tidak masuk akal, membuat Samudra hampir menganga. "Mami kenapa bisa berasumsi gak masuk akal kaya gitu, sih? Apa hubungannya, coba?" Samudra meraup wajah dengan frustrasi. "Kalau kamu memang cinta istrimu, kamu gak bakalan nyamperin Queen di apartemennya, Sam. Apalagi sampai nginep." Raut Niken makin kesal apabila mengingat Samudra yang entah melakukan apa di apartemen Queen sampai berjam-jam. "Sam juga punya alasan, Mam. Kenapa Sam ke apartemen Queen. Dia—" "Apa yang dilakukan Queen itu bukan urusanmu, Sam. Dia bukan apa-apamu. Kamu juga tau 'kan dia itu suka sama kamu. Pastinya dia sengaja lakuin itu semua karena memang sudah berniat mau mengacau dan cari perhatian," sela Niken panjang lebar.Perihal Queen yang diam-diam menyukai Samudra memang sudah terendus oleh Niken sejak lama. Karenanya, dia sudah mewanti-wanti anak angkatnya itu untuk tidak meladeni Queen dan menjaga jara
'Bang Sam?' 'Queen?' Kedua sosok yang saling berhadapan itu membeku di tempatnya berdiri. Mereka tak menyangka akan bertemu di rumah ini. "Kak. Kak Queen," tegur Amar, lantas menyenggol siku sang kakak yang masih bergeming. Queen pun terperanjat, dan buru-buru mengalihkan pandangan dari Samudra. Dia menoleh ke sang adik. "Ya? Apaan?" "Muka kakak mendadak pucet, kayak abis liat hantu," bisik Amar, sambil melirik sekilas ke arah Samudra dan Niken. Amar tak tahu menahu perihal apa yang dirasakan kakaknya detik ini. Yang dia tahu, Queen mendadak diam membatu dengan raut pucat pasi. Sepasang bola mata Queen melotot dicibir demikian oleh sang adik. "Ngaco kamu! Mana ada muka aku pucet," cicitnya, kemudian berdecak. "Udah, ah. Kakak mau ke dapur dulu." Queen pun memutuskan untuk pergi dari hadapan Samudra dan Niken. Namun, sebelum itu dia menyempatkan untuk menyapa sahabat dari bundanya, serta memberi selamat kepada Samudra. "Halo, Tan." Queen tersenyum ramah kepada Niken, dan dibala
"Kamu kenapa repot-repot ke sini, Sam? Bukannya seharusnya kamu sama istrimu?" Suci jadi tidak enak hati ketika mendapati Samudra yang harusnya bersama istrinya, justru menjenguknya.Samudra menampik, "Gak repot kok, Tan. Tadi kebetulan aku pas di rumah Mami, jadi sekalian aja aku ikut ke sini. Tante Suci gimana kondisinya?""Alhamdulillah tante udah agak mendingan setelah minum obat," ucap Suci, lalu beralih pada Niken. "Maaf ya, Nik, aku bikin kamu repot." "Ya ampun, Ci. Santai aja lagi." Niken mengibaskan tangan. "Kamu gak usah mikirin butik dulu. Fokus kesehatan dulu aja.""Makasih, yaa ..." Suci bersyukur karena memiliki partner kerja sekaligus sahabat yang pengertian. "Santai, Ci." Niken mengacungkan jempol, sambil mengedipkan sebelah matanya. Dari semua orang yang terlihat biasa saja di ruangan itu, Alex yang sedari tadi memasang raut tak terbaca sama sekali belum membuka suara. Lelaki itu duduk di sudut kamar, sambil berpura-pura menatap layar Macbook di tangan. Padahal, su
Setelah memutuskan untuk menemani sang bunda yang sedang tidak sehat. Mau tak mau Queen kembali tinggal di rumah besar ini, meski dia belum bisa sepenuhnya membuang jauh-jauh pikirannya mengenai Samudra. Hatinya masih terpaut pada pria yang mungkin saat ini tengah asyik bercumbu dengan istrinya. Ck, Queen sangat kesal sekali apabila membayangkan—pria yang menjadi pria pertamanya itu tengah menjamah tubuh wanita lain. Ya ... meski dalam hal tersebut bisa dikatakan sah-sah saja. "Mereka 'kan suami istri. Pengantin baru, lagi! Orang gila mana, yang kesel sendiri, bayangin pengantin baru lagi ena-ena sampai pagi. Kalau bukan aku? Emang kurang kerjaan!" Queen membuang napas berat, mengeluhkan isi kepala yang tak berhenti membayangkan hal-hal erotis tentang Samudra dan istrinya. Gadis yang tak lagi gadis itu tak terima apabila sang lelaki pujaan menjamah tubuh perempuan lain. Lalu, bagaimana caranya dia mengatasi? "Aku iseng chat aja kali, ya?" Ide dadakan yang selalu terbersit di benak
Hari yang dinanti-nanti oleh Samudra pun akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari di mana dia akan benar-benar berpisah dengan mantan istrinya, Jannet. Setelah ini lelaki yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu sudah memiliki banyak sekali rencana. "Kamu yakin gak mau aku temenin?" Queen mencoba memastikan sekali lagi, meski dia akan mendapat jawaban yang sama dari sang suami, yang sudah siap berangkat pagi ini. Samudra mengangguk, sambil mencolek dagu sang istri. "Iya, Sayang. Kamu gak perlu ikut ke pengadilan. Capek. Lagipula ini adalah urusanku." Bibir bawah Queen mencebik, "Iya, deh. Aku juga males kalo ketemu mantan istrimu. Ngeri." Selanjutnya dia terkikik, sambil menggamit lengan Samudra. "Ayo sarapan dulu. Tadi aku udah siapin sarapan spesial buat suamiku yang ganteng ini." "Wah ... Wah ... Si kriwil udah pinter masak sekarang. Jadi gak sabar aku." "Enak aja kriwil! Ngomong-ngomong aku udah gak kriwil, ya!" sungut Queen, pura-pura kesal, padahal dalam hat
Dua pekan berlalu, semenjak kehamilan Queen diketahui oleh keluarganya, situasi perempuan itu semakin rumit. Kebebasannya seolah direnggut paksa oleh orang-orang yang menurutnya terlalu berlebihan dalam menjaganya. Dengan alibi—ingin melindunginya dan bayinya. Tak hanya itu, dia pun tak lagi bisa bebas bertemu dengan Samudra sebelum lelaki itu resmi bercerai dari istrinya. Lantas, bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Samudra? Alex selaku ayah yang mengadopsi Queen mempunyai caranya sendiri. Sama halnya seperti yang lelaki itu lakukan pada Suci dahulu kala. Alex menyarankan agar Queen dan Samudra menikah secara agama terlebih dahulu, sampai bayi yang ada di dalam kandungan lahir. Sambil menunggu status Samudra benar-benar jelas. "Kita ini udah nikah, tapi, kenapa Daddy ngelarang kita tinggal bersama? Apa menurut Bang Sam ini gak terlalu berlebihan, ya? Gak enak banget gak bisa ketemu kamu." Queen terus mengeluh sejak di tiga puluh menit pertama dia dan Samudra melakukan pan
Bagi Suci, hal paling terburuk dalam hidupnya ialah gagal menjadi orang tua. Dia merasa gagal sebab kini masa lalu kelamnya seperti terulang kembali. Ya, entah Suci akan menganggapnya sebagai apa. Yang jelas, hatinya saat ini hancur lebur. 'Queen hamil ...' Dua kalimat tersebut tak berhenti berdengung di telinga Suci. Mengakibatkan air matanya kian deras mengalir membasahi pipi. "Bunda ...." Panggilan dari sang anak yang menjadi penyebab kesedihannya menyadarkan Suci. "Queen?" Suara Suci nyaris tak terdengar, karena cekat di tenggorokan yang kian menghimpit. Sesak di dadanya makin terasa. Pandangannya sedikit mengabur. Kedua bola matanya menatap nyalang sang anak yang berdiri berdampingan dengan Samudra. Alex yang sedari tadi kebingungan serta bertanya-tanya berinisiatif menghapus jejak basah di pipi Suci. "Sayang ...." Suara khas Alex mampu mengalihkan perhatian Suci. Kini, dia bisa melihat dan merasakan—kekecewaan dari sorot manik bulat itu. "Mas ...." Kelopak m
Beberapa menit sebelumnya.... Suci menghempas punggungnya ke sandaran kursi sambil menghela panjang. "Akhirnya selesai juga. Tinggal cari bahan sama pesen payet," gumamnya, setelah berhasil menyelesaikan sketsa gaun pengantin pelanggannya. Seharian ini Suci lumayan sibuk sebab dia akan mempersiapkan koleksi-koleksi terbarunya di tahun ini. Masih banyak yang belum sempat dia selesaikan. Ditambah dengan pesanan gaun yang tak pernah berhenti. Suci cukup kewalahan. "Si Niken berangkat gak, sih hari ini? Kenapa seharian aku gak liat dia?" Saking sibuknya, Suci sampai tidak beranjak sedetik pun dari ruangannya. Sampai-sampai dia baru menyadari jika dia belum melihat Niken seharian ini. "Apa dia gak berangkat, ya?" pikir Suci, mengira jika sang sahabat tidak masuk kerja. "Coba aku cek aja, deh." Daripada penasaran, lebih baik dia memastikannya saja langsung. Tanpa menunggu lagi, Suci bergegas beranjak dari tempatnya, lalu keluar ruangan, dan menuju ruangan Niken. Ketika di
Sore-sore begini, tidak biasanya Queen baru bangun tidur. Dia bahkan terbilang jarang sekali betah berada di rumah jika sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya, Queen akan menghabiskan waktu di berbagai tempat—mencari inspirasi untuk konten-kontennya. Ah, mengenai konten. Queen sudah lama tidak mengunggah postingan di laman private-nya. Akun rahasia yang tidak ada satu orang pun yang tahu. Termasuk Samudra. Queen sangat berhati-hati untuk hal yang satu itu. "Jam berapa sekarang?" Queen bergumam sambil beranjak dari kasur ternyaman, lalu melangkah menuju kamar mandi. Dia berencana mandi, sebab dari sejak pagi rasanya sangat malas sekali untuk sekadar mencuci muka. "Astaga mukaku!" Ketika bercermin, Queen nampak syok dengan kondisi wajahnya yang sangat kucel. Rambutnya pun sangat lepek. Apalagi di beberapa bagian tubuh seperti ada yang berubah. "Kayaknya aku tambah gemuk, deh? Payudaraku kayak tambah gede," cicit Queen, meraba-raba bagian dada yang dia rasa berubah bentuk. "
"Pagi-pagi makan bubur ayam enak juga." Queen mengusap perut, setelah menghabiskan semangkok bubur ayam—makanan yang jarang sekali dia makan saat di pagi hari. Beberapa detik kemudian, dia pun baru menyadari sesuatu. "tapi, aneh gak, sih. Gak biasanya pagi-pagi aku makan berat kayak gini? Apa ... ini ada hubungannya sama kehamilanku?" Benda pipih di sampingnya bergetar. Sebuah pesan masuk, mengalihkan perhatian Queen. "Bang Sam?" [Aku baru aja dari firma hukum punya temenku. Perceraianku akan diproses secepatnya.] Pesan singkat dari Samudra membuat perasaan Queen sedikit lega, hingga bibirnya mengulas senyum. "Gercep banget." Queen membalas pesan Samudra. [Semoga lancar, ya. Aku udah gak sabar.] Beberapa detik kemudian pesan balasan dari Samudra pun kembali masuk. [Amiin. Doain aja, biar aku bisa secepatnya nikahin kamu.] [Pasti!] Pesan balasan pun langsung dikirim Queen. "Giliran aku yang harus secepatnya ngasih tau Bunda," gumam Queen, dengan raut murung. Kehami
Perdebatan antara Samudra dan sang mami, perihal kehamilan Queen rupanya tak membuahkan hasil. Meskipun Samudra telah berkali-kali memohon supaya maminya itu mau memahami. Nyatanya, Niken tetap bersikukuh menolak itikad baik sang anak sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Alih-alih memberi restu, sang mami justru marah dan men-cap Samudra sebagai anak yang tidak mau menurut. Niken pun menyalahkan Queen yang katanya tidak bisa menjaga diri. "Kenapa sih, Mami nolak Queen? Kupikir Mami bakal ngasih izin," gumam Samudra tak habis pikir, sambil meraup wajah frustrasinya dan menghela lelah. "Pokoknya aku harus bisa yakinin Mami." Apa pun akan dilakukan Samudra demi bisa mempertahankan hubungannya dengan Queen. Selagi menunggu keputusan papinya, akan lebih baik dia bergegas mengurus perceraiannya dengan Jannet. "Besok aku ajuin berkas perceraiannya. Biar masalahnya gak makin rumit ke depannya. Kalau aku udah cerai dari Jane, aku bisa dengan mudah nikahin Queen." Men
"Bunda ...." Perasaan Queen carut marut saat ini, karena perkataan sang ibu yang begitu mengena di hati. Dia sendiri tak ingin berbohong mau pun menyembunyikan masalah apa pun dari keluarga terutama sang ibu. Semua ini karena terpaksa. Queen begitu takut. Dia sungguh merasa takut jika kabar kehamilannya akan membuat seluruh keluarganya terkejut. Terutama Suci. 'Aku harus apa, Ya Tuhan? Bunda begitu percaya sama aku, tapi berulang kali aku udah berbohong.' Benak Queen menyeru penuh penyesalan. Diamnya sang anak tentu membuat Suci makin ingin tahu. 'Sebenarnya apa yang lagi kamu sembunyikan, Queen? Bunda yakin kalau saat ini kamu lagi ada masalah.' "Nda, Queen boleh tanya sesuatu?" Queen pun memberanikan diri untuk bertanya. Suci mengulas senyum, lalu mengangguk. "Boleh. Queen mau tanya apa?" ujarnya sambil menggapai telapak tangan Queen. Queen membasahi bibir yang terasa kering, menarik napas dalam-dalam, untuk mengatur rasa gugup yang menyergap. Queen lalu berkata, "Seandai
"Sam ..." Raut Jannet terlihat begitu kecewa saat sang suami, yang berada di atasnya tiba-tiba menghentikan pergerakannya. Padahal, saat ini Jannet benar-benar sudah menginginkan lebih. Tatapan Samudra berubah nyalang, lalu tanpa memedulikan protes dari Jannet, Samudra lantas beringsut mundur, kemudian berjalan menuju kamar mandi. brakk! Jannet tersentak, dan bergegas bangkit. Rautnya seketika memucat karena baru menyadari sesuatu. "Sial! Kenapa aku bisa lupa? Pasti itu alasan kenapa Sam berhenti. Sial! Sial!" Lantas, Jannet bergegas memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. "Ini gawat! Sam pasti marah besar sama aku! Bodoh!" Sementara di dalam kamar mandi, Samudra sedang membasuh seluruh tubuhnya di bawah kucuran shower. Kebenaran yang baru saja terungkap membuat dadanya memanas. Dia marah. Sangat marah. "Pantesan waktu awal-awal dia selalu nolak. Ternyata ini alasannya. Brengsek!" Samudra sungguh tak pernah menyangka jika Jannet berani membohonginya s