Masih saling menautkan bibir, keduanya melangkah tergesa menuju kamar. Queen tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, meski dia sedikit kewalahan dengan pagutan liar dari Samudra. Pasokan oksigen pun kian menipis, dan suhu di kamarnya menjadi sangat panas.
Karena tak ingin kehabisan napas dan pingsan, Queen terpaksa mendorong dada Samudra. "Aku kehabisan napas, Bang," ucap Queen dengan napas tersengal-sengal. Bibirnya yang penuh sedikit membengkak karena ulah Samudra.Samudra pun sama halnya seperti Queen. Namun, akalnya sungguh sudah dikendalikan oleh nafsu yang kian memuncak. Lelaki itu menarik ujung kaos yang dikenakan, meloloskannya secepat kilat dan membuangnya asal ke lantai.Queen menelan ludah menatap pemandangan sempurna di depan mata. Tubuh yang begitu proposional, kontras dengan kulit cokelat gelap membuat Samudra terkesan seksi. Otot perut yang liat membentuk sixpack dengan sempurna."Liat apa?" Ibu jari Samudra mengusap bibir Queen yang sedikit terbuka. Lelaki itu sudah setengah telanjang.Darah Queen berdesir panas saat Samudra menatapnya sayu. "A-aku cuma takjub sama ini," ucapnya sambil melangkah maju, lalu membelai otot perut Samudra yang terasa liat. "ini keren banget, Bang."Usapan dari telapak tangan Queen yang halus membuat sepasang manik Samudra sontak memejam. "Kenapa kamu lakuin ini sama aku, Queen? Kenapa kamu naruh obat di minumku?" Saat bertanya, Samudra sama sekali tak membuka mata. Dia tengah meresapi sentuhan-sentuhan dari Queen."Karena aku cinta sama Bang Sam," ucap Queen sambil mengecupi permukaan kulit dada Samudra yang bidang. "Bang Sam cuma milik aku. Cuma aku perempuan pertama yang boleh miliki Bang Sam. Bukan perempuan lain."Sepasang manik Samudra sontak terbuka kala mendengar pernyataan Queen yang terdengar egois. "Masih banyak laki-laki lain, Queen. Kamu bisa dapatkan yang lebih baik dariku. Lagipula, aku gak punya perasaan apa pun sama kamu. Aku cuma anggap kamu—""Ssst!" Telunjuk Queen menempel di bibir Samudra. "aku gak peduli! Yang aku mau cuma Bang Sam. Aku gak keberatan meskipun dijadikan yang kedua." Queen mengecup bibir Samudra sebentar. "aku janji gak akan berisik. Kita bisa jalanin ini diam-diam."Samudra kehabisan kata-kata karena gadis di hadapannya yang begitu keras kepala. Harus dengan cara apa dia menolak?"Queen ... Kenapa kamu sangat keras kepala? Kita itu udah kayak adik kakak. Om Alex—""Jangan sebut-sebut Daddy. Ini urusan kita. Aku berhak jalanin hidup semauku. Termasuk menjadi yang kedua di hidupmu. Aku mohon ... Aku bisa mati kalau Bang Sam gak jadi milikku.""Queen ...." Samudra menangkup wajah Queen, kemudian menggeleng. "jangan bicara seperti itu. Kamu gadis yang baik. Aku akan merasa sangat bersalah kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu." Samudra hanya tidak ingin melihat salah satu dari orang yang dia sayang tersakiti karena ulahnya, termasuk Queen."Kalau gitu jadikan aku yang pertama untuk kamu, Bang. Aku mohon ... Seenggaknya, aku bisa merasakan kehangatanmu meski cuma malam ini," mohon Queen dengan raut memelas. Air matanya pun menetes tanpa permisi."Aku harap kamu gak menyesali apa yang kamu katakan setelah ini," kata Samudra mengingatkan. Pikirannya pun sudah buntu saat ini.Mungkin, ini adalah keputusan terbesar sekaligus kesalahan paling fatal di hidup Samudra. Dan, penghianatan terhadap sang istri yang baru saja dia nikahi. Samudra lemah!Queen menggeleng. "Hmm. Aku gak akan menyesal. Aku janji." Queen langsung memeluk Samudra begitu erat. "aku cinta Bang Sam. Cinta banget."Tembok pertahanan Samudra yang dibangun lima tahun lamanya pun akhirnya runtuh. Akalnya tak bisa lagi berpikir jernih tertutup keinginan untuk melepas hasrat sepuasnya. Samudra seakan menjilat ludahnya sendiri.Samudra menggendong Queen ala bridal style, membawanya menuju ranjang dengan perlahan. "Kamu memang keras kepala."Queen tertawa puas. "Dan sekarang aku pun pemenangnya. Malam ini Bang Sam milik aku."Merebahkan tubuh semampai Queen ke ranjang, Samudra lalu berdiri tegak, menatap gadis cantik yang tak pernah berhenti mengejarnya dengan tatapan semakin sayu. Sementara Queen dengan berani meloloskan tali batherope hingga kain itu tersingkap dan memperlihatkan tubuhnya yang indah.Pemandangan yang begitu menantang bagi Samudra. Harusnya yang ada di hadapannya saat ini Jannet—istrinya. Harusnya, malam ini dia habiskan dengan perempuan itu. Namun, keadaannya justru berbeda."Aku siap, Bang Sam." Kedua tangan Queen terentang ke samping, seakan dia sudah memberikan izin kepada laki-laki berstatus suami dari perempuan lain untuk menyentuhnya. "Sentuh aku semaumu."Melihat Queen yang sudah pasrah, hasrat Samudra kian meletup-letup dan siap untuk dimuntahkan. Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki itu melepas satu-satunya kain penutup yang dikenakan, dan kini dia sudah benar-benar polos tanpa sehelai benang pun.Queen menyeringai kecil. Menyambut kehangatan yang sebentar lagi akan dia rasakan dari sang pujaan. Dia tak malu sedikit pun meski dia baru pertama kali melihat seorang laki-laki tampil polos. Queen justru enggan berkedip.'Maafin aku, Jane.' Samudra menyeru di benaknya, berharap sang istri mendengar permintaan maaf darinya.Kemudian selanjutnya, malam panas pun tak bisa dicegah. Samudra dan Queen larut dalam permainan liar yang untuk kali pertama mereka lakukan. Sebuah kesalahan yang pastinya akan membawa mereka pada suatu masalah.~~~"Mas, Queen balas chatku." Suci menunjukkan chat balasan ke sang suami yang baru saja selesai membersihkan diri di kamar mandi.Alex naik ke tempat tidur. "Iyakah? Coba aku liat.""Nih." Suci memberikan ponselnya. "Dia lagi ada urusan. Tapi kenapa dia baru ngabarin." Ibu dari Queen itu menghela napas berat, sedikit kecewa dengan sikap anak perempuannya yang sekarang banyak berubah."Mungkin gak sempat," ucap Alex, seraya mengembalikan ponsel Suci, lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. "Queen juga balas chatku, Sayang.""Dia balas apa, Mas?""Persis seperti yang dia kirim ke kamu." Alex membaca pesan singkat tersebut, kemudian membuka pesan masuk dari Evan. "Evan juga udah dichat sama Queen.""Aku kadang bingung Mas sama perubahan Queen. Semenjak dia kembali dari Singapur, aku ngerasa dia beda banget. Dia enggak kayak Queen yang dulu. Queen kayak lagi berusaha menjauh dari keluarganya."Suci tentu dapat merasakan perubahan yang signifikan dari anak perempuan satu-satunya itu. Queen sangat tertutup belakangan ini. Suci jadi merasa bersalah karena telah membiarkan anak gadisnya sekolah jauh-jauh.Alex meletakkan ponselnya ke atas nakas, lalu merangkul pundak sang istri yang sering mengeluh akhir-akhir ini karena perubahan Queen. "Kenapa kamu mikirnya kejauhan, Sayang? Queen itu cuma lagi belajar mandiri. Ingat, dia sekarang udah dua puluh tiga tahun. Queen bukan anak kecil lagi kaya dulu.""Aku tau itu, Mas." Suci tak menampik kenyataan tersebut. "tapi akunya yang kadang kesel sama anak itu. Semenjak dia udah bisa cari duit sendiri, kita jadi dilupain. Biar pun dia udah dewasa, kita juga gak bisa lepas tangan gitu aja. Dia itu anak perempuan." Kekhawatirannya tentu beralasan. Suci tidak ingin hal yang pernah menimpa dirinya menimpa sang anak. Amit-amit."Kamu jangan khawatir, Sayang. Kamu lupa kalau daddy-nya itu siapa?" Alex mengusap pipi Suci."Aku gak lupa, Mas.""Ya sudah. Kamu gak usah khawatir lagi. Orang suruhan aku gak pernah libur buat ngawasin dia. Dan malam ini kamu sudah bisa tidur nyenyak. Ayo tidur, ini sudah larut.""Iya, Mas."Alex menuntun Suci berbaring ke ranjang, lalu menyelimutinya separuh badan. Alex mengecup kening sang istri, dan berkata, "Tidurlah. Kamu perlu istirahat.""Makasih, Mas."Selanjutnya Alex mematikan lampu, kemudian mengambil ponselnya kembali dan membaca pesan dari orang suruhannya. Raut lelaki setengah abad itu berubah serius saat membaca isi pesan tersebut.'Berarti Queen berbohong? Dia lagi gak di luar kota. Lalu ada urusan apa Samudra malam-malam di apartemen Queen?' batin Alex.****bersambung....Tengah malam Samudra terbangun karena mendengar bunyi ponselnya yang menggema di ruangan temaram itu. Beranjak dari kasur dengan keadaan setengah telanjang, Samudra mengambil benda pipih miliknya dari saku celana yang tergeletak asal di lantai. Nama yang tertera di layar ponsel cukup membuat sepasang kelopak mata Samudra, yang awalnya masih mengantuk terbuka lebar seketika. "Jane?" Samudra sontak menoleh ke belakang—di mana seorang gadis, yang tengah terlelap dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun, dan hanya selembar selimut yang menutupi. Queen terlihat begitu damai dan ... cantik. 'Ck, sadar Samudra! Kamu baru aja bikin masalah.' Dalam hati, Samudra merutuk kecerobohan dan kebodohannya. Suatu kesalahan yang pastinya akan mengundang masalah besar ke depannya. Atensi lelaki itu kembali teralihkan pada dering ponsel. Samudra lekas menjawab panggilan telepon dari sang istri. "Halo …." sambil berjalan menuju kamar mandi, karena dia tak ingin mengganggu Queen. Samudra berdiri
Harusnya Samudra sudah tiba di unit apartemen miliknya sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ulah Queen yang memercik gelora hasratnya, Samudra tidak bisa mengendalikan diri hingga dia kembali bergumul panas dengan gadis itu di dalam kamar mandi. Ck, dia kini benar-benar sudah menjelma menjadi pria brengsek. Samudra hampir tak percaya jika sekarang dia telah kecanduan tubuh Queen. 'Ini gila, Sam! Kamu benar-benar sedang menggali kuburanmu sendiri!' Samudra merutuk dirinya sendiri ketika ingatannya kembali berputar pada pergumulan panasnya dengan Queen. Dan dia melakukannya secara sadar tanpa di bawah pengaruh obat apa pun. Bahkan, Samudra tak kuasa menepis bayang-bayang kemolekan tubuh indah Queen—perempuan yang dengan suka rela memberinya pengalaman pertama. 'Brengsek kamu, Sam!' Setelah menekan kode akses pada pintu unitnya, Samudra melangkah masuk setelah benda itu terbuka otomatis. "Sayang ...." Lelaki berja
"Daddy mau aku buatin minum apa? Atau sekalian aku buatin sarapan, ya? Kebetulan aku lagi buat omelette." Sebisa mungkin Queen bersikap wajar meski jantungnya sedari tadi tak berhenti berdebar-debar. Kedatangan mendadak sang daddy sungguh membuatnya hampir terkena serangan jantung. Tanpa mengabari, daddy-nya muncul di unitnya. Apalagi saat ini Alex terlihat seperti sedang mencari-cari sesuatu. Queen jadi serba salah sekarang. Dia bingung hendak melakukan apa lebih dulu. Pilihannya hanya ada dua—tetap stay di ruang tamu dengan Alex atau kembali ke pantry untuk melanjutkan membuat sarapan. 'Duuh ... aku gak mau Daddy menyadari cara jalanku yang aneh gara-gara semaleman bercinta habis-habisan sama Bang Sam. Untung Bang Sam udah pulang.' Queen membatin resah sekaligus takut apabila Alex menyadari ada sesuatu yang janggal dalam caranya berjalan. Hal itu disebabkan karena semalaman dia dan Sam bercinta tanpa batas. Alex masih belum berminat duduk, d
"I-itu ...." 'Ya ampun, kenapa Daddy harus tanya itu, sih? Aku 'kan jadi bingung mau jawab apa. Sementara Daddy udah tau kalau Bang Sam dateng ke sini. Seandainya aku jawab jujur, terus aku mesti alasan apa, coba?' Benak Queen terus menyeru gelisah, memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. Dia bahkan sampai tak berhenti meremas-remas jemarinya yang sudah berkeringat. Gugup. "Queen?" Alex menegur. Queen tersentak, lantas menjawab lirih, "Semalam ... Bang Sam memang ke sini, Dad." Selanjutnya yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk, lalu menggigit bibir bawahnya dalam-dalam sambil memejamkan mata. Queen sungguh tidak bisa berpikir. Berhadapan dengan Alex itu sama halnya dia berhadapan dengan Intel. Ck! Alex menghela napas panjang, cukup puas mendengar kejujuran sang putri. Akan tetapi dia masih belum bisa tenang jika belum mengetahui alasan Samudra yang datang malam-malam ke apartemen putrinya. "Ada urusan apa
"Gimana kondisi Suci, Han? Dia kenapa?" Alex terlihat begitu mengkhawatirkan kondisi sang istri yang masih terbaring di tempat tidur, sehingga tak sabar melontarkan pertanyaan kepada Farhan—dokter pribadi keluarganya, yang baru saja selesai memeriksa. "Istri kamu anemia, Lex. Apa dia akhir-akhir ini kelelahan?" ungkap Farhan sesuai dengan diagnosanya pada Suci yang terlihat lelah dan agak pucat. "Anemia?" Alex termangu sejenak sambil menatap nanar sang istri. Menurut Alex kondisi Suci yang sampai seperti ini banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya ialah memikirkan Queen yang pergi berhari-hari dan tanpa kabar. "Beberapa hari ini dia sibuk bantuin sahabatnya yang menikahkan anaknya, Han. Dan ... akhir-akhir ini memang ada sedikit masalah di keluarga kami," imbuh Alex, kemudian menatap Farhan. "Solusinya apa, Han? Apa perlu donor darah?" Farhan menggeleng. "Enggak perlu, Lex. Nanti aku kasih resep penambah darah dan vitamin. Dan ... Jangan lupa cukupkan istirahat, mak
"Kamu itu sebenarnya gak berniat 'kan nikah sama Jannet?"Mami ...."Asumsi sang ibu yang sama sekali tidak masuk akal, membuat Samudra hampir menganga. "Mami kenapa bisa berasumsi gak masuk akal kaya gitu, sih? Apa hubungannya, coba?" Samudra meraup wajah dengan frustrasi. "Kalau kamu memang cinta istrimu, kamu gak bakalan nyamperin Queen di apartemennya, Sam. Apalagi sampai nginep." Raut Niken makin kesal apabila mengingat Samudra yang entah melakukan apa di apartemen Queen sampai berjam-jam. "Sam juga punya alasan, Mam. Kenapa Sam ke apartemen Queen. Dia—" "Apa yang dilakukan Queen itu bukan urusanmu, Sam. Dia bukan apa-apamu. Kamu juga tau 'kan dia itu suka sama kamu. Pastinya dia sengaja lakuin itu semua karena memang sudah berniat mau mengacau dan cari perhatian," sela Niken panjang lebar.Perihal Queen yang diam-diam menyukai Samudra memang sudah terendus oleh Niken sejak lama. Karenanya, dia sudah mewanti-wanti anak angkatnya itu untuk tidak meladeni Queen dan menjaga jara
'Bang Sam?' 'Queen?' Kedua sosok yang saling berhadapan itu membeku di tempatnya berdiri. Mereka tak menyangka akan bertemu di rumah ini. "Kak. Kak Queen," tegur Amar, lantas menyenggol siku sang kakak yang masih bergeming. Queen pun terperanjat, dan buru-buru mengalihkan pandangan dari Samudra. Dia menoleh ke sang adik. "Ya? Apaan?" "Muka kakak mendadak pucet, kayak abis liat hantu," bisik Amar, sambil melirik sekilas ke arah Samudra dan Niken. Amar tak tahu menahu perihal apa yang dirasakan kakaknya detik ini. Yang dia tahu, Queen mendadak diam membatu dengan raut pucat pasi. Sepasang bola mata Queen melotot dicibir demikian oleh sang adik. "Ngaco kamu! Mana ada muka aku pucet," cicitnya, kemudian berdecak. "Udah, ah. Kakak mau ke dapur dulu." Queen pun memutuskan untuk pergi dari hadapan Samudra dan Niken. Namun, sebelum itu dia menyempatkan untuk menyapa sahabat dari bundanya, serta memberi selamat kepada Samudra. "Halo, Tan." Queen tersenyum ramah kepada Niken, dan dibala
"Kamu kenapa repot-repot ke sini, Sam? Bukannya seharusnya kamu sama istrimu?" Suci jadi tidak enak hati ketika mendapati Samudra yang harusnya bersama istrinya, justru menjenguknya.Samudra menampik, "Gak repot kok, Tan. Tadi kebetulan aku pas di rumah Mami, jadi sekalian aja aku ikut ke sini. Tante Suci gimana kondisinya?""Alhamdulillah tante udah agak mendingan setelah minum obat," ucap Suci, lalu beralih pada Niken. "Maaf ya, Nik, aku bikin kamu repot." "Ya ampun, Ci. Santai aja lagi." Niken mengibaskan tangan. "Kamu gak usah mikirin butik dulu. Fokus kesehatan dulu aja.""Makasih, yaa ..." Suci bersyukur karena memiliki partner kerja sekaligus sahabat yang pengertian. "Santai, Ci." Niken mengacungkan jempol, sambil mengedipkan sebelah matanya. Dari semua orang yang terlihat biasa saja di ruangan itu, Alex yang sedari tadi memasang raut tak terbaca sama sekali belum membuka suara. Lelaki itu duduk di sudut kamar, sambil berpura-pura menatap layar Macbook di tangan. Padahal, su
Hari yang dinanti-nanti oleh Samudra pun akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari di mana dia akan benar-benar berpisah dengan mantan istrinya, Jannet. Setelah ini lelaki yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu sudah memiliki banyak sekali rencana. "Kamu yakin gak mau aku temenin?" Queen mencoba memastikan sekali lagi, meski dia akan mendapat jawaban yang sama dari sang suami, yang sudah siap berangkat pagi ini. Samudra mengangguk, sambil mencolek dagu sang istri. "Iya, Sayang. Kamu gak perlu ikut ke pengadilan. Capek. Lagipula ini adalah urusanku." Bibir bawah Queen mencebik, "Iya, deh. Aku juga males kalo ketemu mantan istrimu. Ngeri." Selanjutnya dia terkikik, sambil menggamit lengan Samudra. "Ayo sarapan dulu. Tadi aku udah siapin sarapan spesial buat suamiku yang ganteng ini." "Wah ... Wah ... Si kriwil udah pinter masak sekarang. Jadi gak sabar aku." "Enak aja kriwil! Ngomong-ngomong aku udah gak kriwil, ya!" sungut Queen, pura-pura kesal, padahal dalam hat
Dua pekan berlalu, semenjak kehamilan Queen diketahui oleh keluarganya, situasi perempuan itu semakin rumit. Kebebasannya seolah direnggut paksa oleh orang-orang yang menurutnya terlalu berlebihan dalam menjaganya. Dengan alibi—ingin melindunginya dan bayinya. Tak hanya itu, dia pun tak lagi bisa bebas bertemu dengan Samudra sebelum lelaki itu resmi bercerai dari istrinya. Lantas, bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Samudra? Alex selaku ayah yang mengadopsi Queen mempunyai caranya sendiri. Sama halnya seperti yang lelaki itu lakukan pada Suci dahulu kala. Alex menyarankan agar Queen dan Samudra menikah secara agama terlebih dahulu, sampai bayi yang ada di dalam kandungan lahir. Sambil menunggu status Samudra benar-benar jelas. "Kita ini udah nikah, tapi, kenapa Daddy ngelarang kita tinggal bersama? Apa menurut Bang Sam ini gak terlalu berlebihan, ya? Gak enak banget gak bisa ketemu kamu." Queen terus mengeluh sejak di tiga puluh menit pertama dia dan Samudra melakukan pan
Bagi Suci, hal paling terburuk dalam hidupnya ialah gagal menjadi orang tua. Dia merasa gagal sebab kini masa lalu kelamnya seperti terulang kembali. Ya, entah Suci akan menganggapnya sebagai apa. Yang jelas, hatinya saat ini hancur lebur. 'Queen hamil ...' Dua kalimat tersebut tak berhenti berdengung di telinga Suci. Mengakibatkan air matanya kian deras mengalir membasahi pipi. "Bunda ...." Panggilan dari sang anak yang menjadi penyebab kesedihannya menyadarkan Suci. "Queen?" Suara Suci nyaris tak terdengar, karena cekat di tenggorokan yang kian menghimpit. Sesak di dadanya makin terasa. Pandangannya sedikit mengabur. Kedua bola matanya menatap nyalang sang anak yang berdiri berdampingan dengan Samudra. Alex yang sedari tadi kebingungan serta bertanya-tanya berinisiatif menghapus jejak basah di pipi Suci. "Sayang ...." Suara khas Alex mampu mengalihkan perhatian Suci. Kini, dia bisa melihat dan merasakan—kekecewaan dari sorot manik bulat itu. "Mas ...." Kelopak m
Beberapa menit sebelumnya.... Suci menghempas punggungnya ke sandaran kursi sambil menghela panjang. "Akhirnya selesai juga. Tinggal cari bahan sama pesen payet," gumamnya, setelah berhasil menyelesaikan sketsa gaun pengantin pelanggannya. Seharian ini Suci lumayan sibuk sebab dia akan mempersiapkan koleksi-koleksi terbarunya di tahun ini. Masih banyak yang belum sempat dia selesaikan. Ditambah dengan pesanan gaun yang tak pernah berhenti. Suci cukup kewalahan. "Si Niken berangkat gak, sih hari ini? Kenapa seharian aku gak liat dia?" Saking sibuknya, Suci sampai tidak beranjak sedetik pun dari ruangannya. Sampai-sampai dia baru menyadari jika dia belum melihat Niken seharian ini. "Apa dia gak berangkat, ya?" pikir Suci, mengira jika sang sahabat tidak masuk kerja. "Coba aku cek aja, deh." Daripada penasaran, lebih baik dia memastikannya saja langsung. Tanpa menunggu lagi, Suci bergegas beranjak dari tempatnya, lalu keluar ruangan, dan menuju ruangan Niken. Ketika di
Sore-sore begini, tidak biasanya Queen baru bangun tidur. Dia bahkan terbilang jarang sekali betah berada di rumah jika sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya, Queen akan menghabiskan waktu di berbagai tempat—mencari inspirasi untuk konten-kontennya. Ah, mengenai konten. Queen sudah lama tidak mengunggah postingan di laman private-nya. Akun rahasia yang tidak ada satu orang pun yang tahu. Termasuk Samudra. Queen sangat berhati-hati untuk hal yang satu itu. "Jam berapa sekarang?" Queen bergumam sambil beranjak dari kasur ternyaman, lalu melangkah menuju kamar mandi. Dia berencana mandi, sebab dari sejak pagi rasanya sangat malas sekali untuk sekadar mencuci muka. "Astaga mukaku!" Ketika bercermin, Queen nampak syok dengan kondisi wajahnya yang sangat kucel. Rambutnya pun sangat lepek. Apalagi di beberapa bagian tubuh seperti ada yang berubah. "Kayaknya aku tambah gemuk, deh? Payudaraku kayak tambah gede," cicit Queen, meraba-raba bagian dada yang dia rasa berubah bentuk. "
"Pagi-pagi makan bubur ayam enak juga." Queen mengusap perut, setelah menghabiskan semangkok bubur ayam—makanan yang jarang sekali dia makan saat di pagi hari. Beberapa detik kemudian, dia pun baru menyadari sesuatu. "tapi, aneh gak, sih. Gak biasanya pagi-pagi aku makan berat kayak gini? Apa ... ini ada hubungannya sama kehamilanku?" Benda pipih di sampingnya bergetar. Sebuah pesan masuk, mengalihkan perhatian Queen. "Bang Sam?" [Aku baru aja dari firma hukum punya temenku. Perceraianku akan diproses secepatnya.] Pesan singkat dari Samudra membuat perasaan Queen sedikit lega, hingga bibirnya mengulas senyum. "Gercep banget." Queen membalas pesan Samudra. [Semoga lancar, ya. Aku udah gak sabar.] Beberapa detik kemudian pesan balasan dari Samudra pun kembali masuk. [Amiin. Doain aja, biar aku bisa secepatnya nikahin kamu.] [Pasti!] Pesan balasan pun langsung dikirim Queen. "Giliran aku yang harus secepatnya ngasih tau Bunda," gumam Queen, dengan raut murung. Kehami
Perdebatan antara Samudra dan sang mami, perihal kehamilan Queen rupanya tak membuahkan hasil. Meskipun Samudra telah berkali-kali memohon supaya maminya itu mau memahami. Nyatanya, Niken tetap bersikukuh menolak itikad baik sang anak sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Alih-alih memberi restu, sang mami justru marah dan men-cap Samudra sebagai anak yang tidak mau menurut. Niken pun menyalahkan Queen yang katanya tidak bisa menjaga diri. "Kenapa sih, Mami nolak Queen? Kupikir Mami bakal ngasih izin," gumam Samudra tak habis pikir, sambil meraup wajah frustrasinya dan menghela lelah. "Pokoknya aku harus bisa yakinin Mami." Apa pun akan dilakukan Samudra demi bisa mempertahankan hubungannya dengan Queen. Selagi menunggu keputusan papinya, akan lebih baik dia bergegas mengurus perceraiannya dengan Jannet. "Besok aku ajuin berkas perceraiannya. Biar masalahnya gak makin rumit ke depannya. Kalau aku udah cerai dari Jane, aku bisa dengan mudah nikahin Queen." Men
"Bunda ...." Perasaan Queen carut marut saat ini, karena perkataan sang ibu yang begitu mengena di hati. Dia sendiri tak ingin berbohong mau pun menyembunyikan masalah apa pun dari keluarga terutama sang ibu. Semua ini karena terpaksa. Queen begitu takut. Dia sungguh merasa takut jika kabar kehamilannya akan membuat seluruh keluarganya terkejut. Terutama Suci. 'Aku harus apa, Ya Tuhan? Bunda begitu percaya sama aku, tapi berulang kali aku udah berbohong.' Benak Queen menyeru penuh penyesalan. Diamnya sang anak tentu membuat Suci makin ingin tahu. 'Sebenarnya apa yang lagi kamu sembunyikan, Queen? Bunda yakin kalau saat ini kamu lagi ada masalah.' "Nda, Queen boleh tanya sesuatu?" Queen pun memberanikan diri untuk bertanya. Suci mengulas senyum, lalu mengangguk. "Boleh. Queen mau tanya apa?" ujarnya sambil menggapai telapak tangan Queen. Queen membasahi bibir yang terasa kering, menarik napas dalam-dalam, untuk mengatur rasa gugup yang menyergap. Queen lalu berkata, "Seandai
"Sam ..." Raut Jannet terlihat begitu kecewa saat sang suami, yang berada di atasnya tiba-tiba menghentikan pergerakannya. Padahal, saat ini Jannet benar-benar sudah menginginkan lebih. Tatapan Samudra berubah nyalang, lalu tanpa memedulikan protes dari Jannet, Samudra lantas beringsut mundur, kemudian berjalan menuju kamar mandi. brakk! Jannet tersentak, dan bergegas bangkit. Rautnya seketika memucat karena baru menyadari sesuatu. "Sial! Kenapa aku bisa lupa? Pasti itu alasan kenapa Sam berhenti. Sial! Sial!" Lantas, Jannet bergegas memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. "Ini gawat! Sam pasti marah besar sama aku! Bodoh!" Sementara di dalam kamar mandi, Samudra sedang membasuh seluruh tubuhnya di bawah kucuran shower. Kebenaran yang baru saja terungkap membuat dadanya memanas. Dia marah. Sangat marah. "Pantesan waktu awal-awal dia selalu nolak. Ternyata ini alasannya. Brengsek!" Samudra sungguh tak pernah menyangka jika Jannet berani membohonginya s