"Kamu kenapa repot-repot ke sini, Sam? Bukannya seharusnya kamu sama istrimu?" Suci jadi tidak enak hati ketika mendapati Samudra yang harusnya bersama istrinya, justru menjenguknya.Samudra menampik, "Gak repot kok, Tan. Tadi kebetulan aku pas di rumah Mami, jadi sekalian aja aku ikut ke sini. Tante Suci gimana kondisinya?""Alhamdulillah tante udah agak mendingan setelah minum obat," ucap Suci, lalu beralih pada Niken. "Maaf ya, Nik, aku bikin kamu repot." "Ya ampun, Ci. Santai aja lagi." Niken mengibaskan tangan. "Kamu gak usah mikirin butik dulu. Fokus kesehatan dulu aja.""Makasih, yaa ..." Suci bersyukur karena memiliki partner kerja sekaligus sahabat yang pengertian. "Santai, Ci." Niken mengacungkan jempol, sambil mengedipkan sebelah matanya. Dari semua orang yang terlihat biasa saja di ruangan itu, Alex yang sedari tadi memasang raut tak terbaca sama sekali belum membuka suara. Lelaki itu duduk di sudut kamar, sambil berpura-pura menatap layar Macbook di tangan. Padahal, su
Setelah memutuskan untuk menemani sang bunda yang sedang tidak sehat. Mau tak mau Queen kembali tinggal di rumah besar ini, meski dia belum bisa sepenuhnya membuang jauh-jauh pikirannya mengenai Samudra. Hatinya masih terpaut pada pria yang mungkin saat ini tengah asyik bercumbu dengan istrinya. Ck, Queen sangat kesal sekali apabila membayangkan—pria yang menjadi pria pertamanya itu tengah menjamah tubuh wanita lain. Ya ... meski dalam hal tersebut bisa dikatakan sah-sah saja. "Mereka 'kan suami istri. Pengantin baru, lagi! Orang gila mana, yang kesel sendiri, bayangin pengantin baru lagi ena-ena sampai pagi. Kalau bukan aku? Emang kurang kerjaan!" Queen membuang napas berat, mengeluhkan isi kepala yang tak berhenti membayangkan hal-hal erotis tentang Samudra dan istrinya. Gadis yang tak lagi gadis itu tak terima apabila sang lelaki pujaan menjamah tubuh perempuan lain. Lalu, bagaimana caranya dia mengatasi? "Aku iseng chat aja kali, ya?" Ide dadakan yang selalu terbersit di benak
"Si Sam gak curiga waktu kamu tiba-tiba nolak?" tanya seorang lelaki yang hanya mengenakan selembar handuk untuk menutupi sebagian tubuhnya yang atletis. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi. "Kayak sih, enggak." Jannet menjawab yakin, sambil mengenakan pakaian yang dipungut dari lantai kamar tersebut. "makanya aku langsung minta ketemuan, buat lampiasin. Secara tadi dia udah bikin aku terangsang, tapi aku terpaksa berhenti karena gak mau rahasiaku terbongkar." Sang lelaki menyeringai kecil. "Bodoh," cibirnya—menanggapi sikap Samudra yang percaya begitu saja kepada Jannet. Dia lantas membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Terdengar Jannet menghela napas berat. "Kemarin sama hari ini mungkin aku bisa menghindar. Tapi, gimana besok-besok? Lama-lama si Samudra itu pasti tau kalo istrinya ini udah gak perawan." Dia duduk bersandar di kepala ranjang. "Sampai kapan aku bisa nutupin ini?" "Sampai kamu berhasil buat dia percaya kalau kamu hamil anaknya, Jane. Kamu tingg
"Pagi, Kak." "Selamat pagi, Kak Queen." "Wah ... tumbenan Kak Queen ke sini? Oh, ya, kemarin Bu Niken sempet cerita ke kami kalau Bu Suci sakit, ya, Kak? Makanya Kak Queen yang gantiin beliau." Queen mendapat sambutan hangat begitu kakinya melangkah masuk ke butik milik sang bunda. Beberapa pekerja yang memang sudah sangat mengenalnya terlihat antusias melihat keberadaannya di tempat tersebut. Ada pula yang menanyakan perihal kabar sakitnya Suci. Mereka sangat mengkhawatirkan kondisi atasan yang terkenal baik hati itu. Seluruh karyawan di butik tersebut tak pernah kekurangan suatu apa pun karena Suci selalu memberikan tunjangan yang memadai. "Bunda udah sehat kok, mbak. Tapi kata dokter memang perlu istirahat dulu," kata Queen memaparkan dengan raut tenang. "Doain aja, semoga Bunda cepet sembuh." "Ya jelas dong, Kak. Kami pasti doain Bu Suci. Biar gimanapun beliau itu bos paling baik yang pernah ada. Rencananya, nanti setelah selesai kerja kami mau jenguk Bu Suci, Ka
Keluhan Samudra perihal rumah tangganya yang tak semulus kelihatannya, membuat Queen merasa cukup senang mendengarnya. Bukankah itu kabar baik? pikir Queen, diam-diam berharap jika Samudra dan Jannet cepat bercerai. "Kalian berantem masalah apa? Aku pikir, kalian gak akan kayak gitu. Pengantin baru itu harusnya lagi mesra-mesranya, loh." Queen kembali menyandarkan kepala di pundak lebar Samudra yang lagi-lagi terdengar menghela panjang. "Sebenernya ini udah dari dulu berlangsung. Dari awal mungkin memang aku yang salah. Aku kurang tegas sama dia. Aku terlalu ngasih kebebasan. Makanya, waktu aku minta dia buat ngurangin jadwal syuting sama pemotretan, dia marah dan gak terima." Perasaan Samudra merasa plong setelah mencurahkan keluh kesahnya. Masalah yang selama ini jarang orang tahu.."Bang Sam pengennya Jannet itu di rumah aja, gitu?" "Ya ... aku sih gak mau banyak nuntut sama dia. Aku sadar Jannet itu perempuan yang paling gak suka dikekang. Dari dulu sampai sekarang," ujar Samu
Beberapa Minggu ini Queen benar-benar tengah disibukkan dengan aktivitas barunya sebagai pengganti sang bunda di butik. Meski kondisi kesehatan Suci sudah membaik dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa, tetapi Alex sang suami tetap membatasinya. Dua atau tiga kali dalam seminggu, Suci menyempatkan diri sekadar mengecek perkembangan butiknya selama ditangani oleh Queen. Kinerja sang anak tak diragukan lagi. Suci bersyukur sekali bisa membuat Queen menjadi lebih bertanggung jawab pada yang bukan ranahnya. Namun, di sisi lain Suci merasa khawatir apabila Queen kelelahan karena terkadang sampai lupa waktu—mirip seperti dirinya kala itu. Queen bisa pulang hingga larut, demi mengejar target pesanan gaun dari beberapa pelanggan. Seperti halnya malam ini, Queen masih betah berada di ruangan yang menjadi saksi—betapa dia sangat menyukai pekerjaan barunya. Sedikit-sedikit dia pun belajar membuat sketsa gaun yang begitu indah dan terbilang unik. tok! tok! "Masuk!" seru Queen—m
Brakk! Jannet terperanjat ketika Samudra membanting pintu kamar mandi cukup kasar dan keras. Hal itu tentu cukup mengejutkan baginya. "Ada apa dengan Sam? Kenapa aku merasa belakangan ini dia berubah?" Tatapan Jannet nyalang pada pintu kamar mandi. "Apa dia lagi ada masalah di kantor?" Jannet berusaha mengingat-ingat—kalau-kalau ada hal yang terlewati beberapa hari ini. Dia pun tak memungkiri jika dia tidak punya cukup nyali untuk melanjutkan rencananya. Membuat Samudra seolah-olah menidurinya, supaya dia bisa mengaku jika sedang mengandung anak pria itu. "Kehamilanku gak bisa selamanya kututupi terus-menerus. Perut ini lama-lama bakal gede juga." Jannet mengusap perutnya yang masih terlihat rata dari balik lingerie berbahan lace warna merah. " *** Pukul sembilan malam Queen baru saja tiba di rumah. Dan langsung mendapat sambutan dari Suci. "Queen." Langkah Queen berhenti di anak tangga paling bawah. Dia menoleh ke arah sang ibu. "Bunda belum tidur?" tanyanya. "
"Usia kandungannya masih sangat muda, dan masih rentan sekali. Saya minta mbak lebih berhati-hati lagi. Jangan kelelahan dan banyak pikiran." Pernyataan dokter membuat Queen termangu. Otaknya terus mengulang-ulang kata demi kata yang terlontar, mengingatnya baik-baik. Siap tidak siap, hal ini pasti akan terjadi juga. Dia hamil. "Kira-kira berapa usia kandungan saya, Dok?" tanya Queen. Gurat kecemasan serta rasa penasaran tersorot jelas di maniknya yang bening. Queen bahkan meremas tali tas selempang yang tersampir di pundak. "Baru jalan tiga minggu, Mbak," kata dokter. "Tiga minggu." Queen bergumam dengan tatapan kosong dan pikiran ke mana-mana. Dia lantas teringat sesuatu. "tapi dok, kenapa saya gak ngalamin kayak ibu-ibu hamil pada umumnya? Semisal kayak mual-mual, muntah," tanyanya, sebab dia pernah membaca tanda-tanda kehamilan di internet beberapa hari setelah berhubungan dengan Samudra. Dan semua itu tidak dia alami belakangan ini. Sang dokter tersenyum, kemudian menj
Hari yang dinanti-nanti oleh Samudra pun akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari di mana dia akan benar-benar berpisah dengan mantan istrinya, Jannet. Setelah ini lelaki yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu sudah memiliki banyak sekali rencana. "Kamu yakin gak mau aku temenin?" Queen mencoba memastikan sekali lagi, meski dia akan mendapat jawaban yang sama dari sang suami, yang sudah siap berangkat pagi ini. Samudra mengangguk, sambil mencolek dagu sang istri. "Iya, Sayang. Kamu gak perlu ikut ke pengadilan. Capek. Lagipula ini adalah urusanku." Bibir bawah Queen mencebik, "Iya, deh. Aku juga males kalo ketemu mantan istrimu. Ngeri." Selanjutnya dia terkikik, sambil menggamit lengan Samudra. "Ayo sarapan dulu. Tadi aku udah siapin sarapan spesial buat suamiku yang ganteng ini." "Wah ... Wah ... Si kriwil udah pinter masak sekarang. Jadi gak sabar aku." "Enak aja kriwil! Ngomong-ngomong aku udah gak kriwil, ya!" sungut Queen, pura-pura kesal, padahal dalam hat
Dua pekan berlalu, semenjak kehamilan Queen diketahui oleh keluarganya, situasi perempuan itu semakin rumit. Kebebasannya seolah direnggut paksa oleh orang-orang yang menurutnya terlalu berlebihan dalam menjaganya. Dengan alibi—ingin melindunginya dan bayinya. Tak hanya itu, dia pun tak lagi bisa bebas bertemu dengan Samudra sebelum lelaki itu resmi bercerai dari istrinya. Lantas, bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Samudra? Alex selaku ayah yang mengadopsi Queen mempunyai caranya sendiri. Sama halnya seperti yang lelaki itu lakukan pada Suci dahulu kala. Alex menyarankan agar Queen dan Samudra menikah secara agama terlebih dahulu, sampai bayi yang ada di dalam kandungan lahir. Sambil menunggu status Samudra benar-benar jelas. "Kita ini udah nikah, tapi, kenapa Daddy ngelarang kita tinggal bersama? Apa menurut Bang Sam ini gak terlalu berlebihan, ya? Gak enak banget gak bisa ketemu kamu." Queen terus mengeluh sejak di tiga puluh menit pertama dia dan Samudra melakukan pan
Bagi Suci, hal paling terburuk dalam hidupnya ialah gagal menjadi orang tua. Dia merasa gagal sebab kini masa lalu kelamnya seperti terulang kembali. Ya, entah Suci akan menganggapnya sebagai apa. Yang jelas, hatinya saat ini hancur lebur. 'Queen hamil ...' Dua kalimat tersebut tak berhenti berdengung di telinga Suci. Mengakibatkan air matanya kian deras mengalir membasahi pipi. "Bunda ...." Panggilan dari sang anak yang menjadi penyebab kesedihannya menyadarkan Suci. "Queen?" Suara Suci nyaris tak terdengar, karena cekat di tenggorokan yang kian menghimpit. Sesak di dadanya makin terasa. Pandangannya sedikit mengabur. Kedua bola matanya menatap nyalang sang anak yang berdiri berdampingan dengan Samudra. Alex yang sedari tadi kebingungan serta bertanya-tanya berinisiatif menghapus jejak basah di pipi Suci. "Sayang ...." Suara khas Alex mampu mengalihkan perhatian Suci. Kini, dia bisa melihat dan merasakan—kekecewaan dari sorot manik bulat itu. "Mas ...." Kelopak m
Beberapa menit sebelumnya.... Suci menghempas punggungnya ke sandaran kursi sambil menghela panjang. "Akhirnya selesai juga. Tinggal cari bahan sama pesen payet," gumamnya, setelah berhasil menyelesaikan sketsa gaun pengantin pelanggannya. Seharian ini Suci lumayan sibuk sebab dia akan mempersiapkan koleksi-koleksi terbarunya di tahun ini. Masih banyak yang belum sempat dia selesaikan. Ditambah dengan pesanan gaun yang tak pernah berhenti. Suci cukup kewalahan. "Si Niken berangkat gak, sih hari ini? Kenapa seharian aku gak liat dia?" Saking sibuknya, Suci sampai tidak beranjak sedetik pun dari ruangannya. Sampai-sampai dia baru menyadari jika dia belum melihat Niken seharian ini. "Apa dia gak berangkat, ya?" pikir Suci, mengira jika sang sahabat tidak masuk kerja. "Coba aku cek aja, deh." Daripada penasaran, lebih baik dia memastikannya saja langsung. Tanpa menunggu lagi, Suci bergegas beranjak dari tempatnya, lalu keluar ruangan, dan menuju ruangan Niken. Ketika di
Sore-sore begini, tidak biasanya Queen baru bangun tidur. Dia bahkan terbilang jarang sekali betah berada di rumah jika sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya, Queen akan menghabiskan waktu di berbagai tempat—mencari inspirasi untuk konten-kontennya. Ah, mengenai konten. Queen sudah lama tidak mengunggah postingan di laman private-nya. Akun rahasia yang tidak ada satu orang pun yang tahu. Termasuk Samudra. Queen sangat berhati-hati untuk hal yang satu itu. "Jam berapa sekarang?" Queen bergumam sambil beranjak dari kasur ternyaman, lalu melangkah menuju kamar mandi. Dia berencana mandi, sebab dari sejak pagi rasanya sangat malas sekali untuk sekadar mencuci muka. "Astaga mukaku!" Ketika bercermin, Queen nampak syok dengan kondisi wajahnya yang sangat kucel. Rambutnya pun sangat lepek. Apalagi di beberapa bagian tubuh seperti ada yang berubah. "Kayaknya aku tambah gemuk, deh? Payudaraku kayak tambah gede," cicit Queen, meraba-raba bagian dada yang dia rasa berubah bentuk. "
"Pagi-pagi makan bubur ayam enak juga." Queen mengusap perut, setelah menghabiskan semangkok bubur ayam—makanan yang jarang sekali dia makan saat di pagi hari. Beberapa detik kemudian, dia pun baru menyadari sesuatu. "tapi, aneh gak, sih. Gak biasanya pagi-pagi aku makan berat kayak gini? Apa ... ini ada hubungannya sama kehamilanku?" Benda pipih di sampingnya bergetar. Sebuah pesan masuk, mengalihkan perhatian Queen. "Bang Sam?" [Aku baru aja dari firma hukum punya temenku. Perceraianku akan diproses secepatnya.] Pesan singkat dari Samudra membuat perasaan Queen sedikit lega, hingga bibirnya mengulas senyum. "Gercep banget." Queen membalas pesan Samudra. [Semoga lancar, ya. Aku udah gak sabar.] Beberapa detik kemudian pesan balasan dari Samudra pun kembali masuk. [Amiin. Doain aja, biar aku bisa secepatnya nikahin kamu.] [Pasti!] Pesan balasan pun langsung dikirim Queen. "Giliran aku yang harus secepatnya ngasih tau Bunda," gumam Queen, dengan raut murung. Kehami
Perdebatan antara Samudra dan sang mami, perihal kehamilan Queen rupanya tak membuahkan hasil. Meskipun Samudra telah berkali-kali memohon supaya maminya itu mau memahami. Nyatanya, Niken tetap bersikukuh menolak itikad baik sang anak sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Alih-alih memberi restu, sang mami justru marah dan men-cap Samudra sebagai anak yang tidak mau menurut. Niken pun menyalahkan Queen yang katanya tidak bisa menjaga diri. "Kenapa sih, Mami nolak Queen? Kupikir Mami bakal ngasih izin," gumam Samudra tak habis pikir, sambil meraup wajah frustrasinya dan menghela lelah. "Pokoknya aku harus bisa yakinin Mami." Apa pun akan dilakukan Samudra demi bisa mempertahankan hubungannya dengan Queen. Selagi menunggu keputusan papinya, akan lebih baik dia bergegas mengurus perceraiannya dengan Jannet. "Besok aku ajuin berkas perceraiannya. Biar masalahnya gak makin rumit ke depannya. Kalau aku udah cerai dari Jane, aku bisa dengan mudah nikahin Queen." Men
"Bunda ...." Perasaan Queen carut marut saat ini, karena perkataan sang ibu yang begitu mengena di hati. Dia sendiri tak ingin berbohong mau pun menyembunyikan masalah apa pun dari keluarga terutama sang ibu. Semua ini karena terpaksa. Queen begitu takut. Dia sungguh merasa takut jika kabar kehamilannya akan membuat seluruh keluarganya terkejut. Terutama Suci. 'Aku harus apa, Ya Tuhan? Bunda begitu percaya sama aku, tapi berulang kali aku udah berbohong.' Benak Queen menyeru penuh penyesalan. Diamnya sang anak tentu membuat Suci makin ingin tahu. 'Sebenarnya apa yang lagi kamu sembunyikan, Queen? Bunda yakin kalau saat ini kamu lagi ada masalah.' "Nda, Queen boleh tanya sesuatu?" Queen pun memberanikan diri untuk bertanya. Suci mengulas senyum, lalu mengangguk. "Boleh. Queen mau tanya apa?" ujarnya sambil menggapai telapak tangan Queen. Queen membasahi bibir yang terasa kering, menarik napas dalam-dalam, untuk mengatur rasa gugup yang menyergap. Queen lalu berkata, "Seandai
"Sam ..." Raut Jannet terlihat begitu kecewa saat sang suami, yang berada di atasnya tiba-tiba menghentikan pergerakannya. Padahal, saat ini Jannet benar-benar sudah menginginkan lebih. Tatapan Samudra berubah nyalang, lalu tanpa memedulikan protes dari Jannet, Samudra lantas beringsut mundur, kemudian berjalan menuju kamar mandi. brakk! Jannet tersentak, dan bergegas bangkit. Rautnya seketika memucat karena baru menyadari sesuatu. "Sial! Kenapa aku bisa lupa? Pasti itu alasan kenapa Sam berhenti. Sial! Sial!" Lantas, Jannet bergegas memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. "Ini gawat! Sam pasti marah besar sama aku! Bodoh!" Sementara di dalam kamar mandi, Samudra sedang membasuh seluruh tubuhnya di bawah kucuran shower. Kebenaran yang baru saja terungkap membuat dadanya memanas. Dia marah. Sangat marah. "Pantesan waktu awal-awal dia selalu nolak. Ternyata ini alasannya. Brengsek!" Samudra sungguh tak pernah menyangka jika Jannet berani membohonginya s