"Ayo sarapan, Mas."
Suci masuk ke kamar, dan menghampiri Alex yang tengah sibuk mengancing kemeja di depan cermin rias. Tanpa diminta, dia dengan cekatan mengambil alih tugas itu.Kedua tangan Alex berpindah ke pinggang Suci, tinggi sang istri yang hanya sebatas dada memudahkannya untuk menjangkau seluruh wajah yang semakin cantik saja. "Queen sudah bangun?""Udah, Mas." Suci menarik simpul dasi polos tanpa corak yang sudah rapi menggantung di leher suaminya. Kemudian menepuk-nepuk pelan dada bidang itu setelah memastikan semuanya sudah sempurna.Sebagai tanda terima kasih, Alex memberi kecupan di kening Suci, lalu bertanya lagi, "Kamu … sudah siap 'kan jauhan sama Queen?"Suci mendongak, lalu mengangguk kecil, meletakkan kedua telapak tangannya di dada Alex, dan menjawab, "Seperti katamu, Mas. Aku harus siap meskipun masih agak berat.""Nanti kalau kamu mau, kita bisa tengokin dia seminggu atau dua Minggu sekali. Gimana?""Hmm … Seminggu sekali apa gak kecepetan, Mas? Mending satu bulan sekali." Suci sadar dengan kesibukan suaminya ini, karena itu dia tidak ingin terlalu merepotkan. Sebulan sekali sudah cukup baginya. Zaman sekarang juga sudah canggih."Yakin? Sebulan sekali?""Yakin, Mas. Nanti kalo aku tinggal-tinggal kasian si kembar."Alex lantas mengangguk setuju dengan keputusan Suci. "Ya sudah, kalau itu maumu."_Semua anggota keluarga telah berada di meja makan, menikmati menu sarapan yang sudah disiapkan Suci sebelumnya. Alif dan Amar memakan nasi goreng telur ceplok, sedangkan Queen hanya makan dua lembar roti yang dioles selai kacang, lalu Alex menyantap sandwich tuna serta rebusan brokoli dan kentang.Kalau Suci hanya makan buah dan minum susu rendah lemak. Oma Michelle menyantap menu yang sama dengan cucu kembarnya yaitu nasi goreng."Nanti kalau oma sudah balik ke Singapur, tidak bisa makan masakan Suci, nih?" celetuk Oma tiba-tiba, dan semua orang yang berada di sana langsung menatapnya."Oma … Jangan ngomong gitu, dong. Nanti kalau pas aku main ke sana, pasti aku masakin," ucap Suci, lalu memegang tangan oma. Kedekatannya dengan Oma tak perlu dipertanyakan lagi. Suci merasa beruntung bertemu dengan perempuan sebaik oma."Iya, Oma. Kami akan sering-sering jenguk ke sana," sambung Alex, lalu meminum air putih hangat yang belakangan ini menjadi pilihannya. Alex tengah menjalani program hidup yang lebih sehat. Mengurangi mengonsumsi minuman manis serta makanan berlemak. Sadar diri jika usianya tak lagi muda."Nanti kalo Papi sama Bunda jenguk Oma, kita-kita diajak 'kan?" Alif menyahut dengan mulut penuh mengunyah nasi goreng sosis favoritnya."Iya, Ndaa, kami diajak 'kan?" Amar tak mau kalah.Suci tersenyum, lalu menjawab, "Iya. Kalian pasti ikut. Bunda juga gak tenang ninggalin kalian di sini.""Maunya mereka itu, Ndaa. Biar bisa bolos sekolah." Queen nyeletuk sambil memicing ke arah adik kembarnya yang duduk berseberangan dengannya.Si kembar hanya menjulurkan lidah kepada kakaknya yang julid itu, dan langsung mendapat deheman dari papinya. Otomatis Alif dan Amar seketika menunduk dan melanjutkan memakan nasi gorengnya dalam diam. Jika papi mereka sudah bersuara, mereka tidak berani melanjutkan perdebatan di depan makanan. Itu peraturan yang berlaku di rumah mereka."Pagi …."Semua orang sontak menoleh ke arah sumber suara yang tidak asing itu. Niken masuk ke ruang makan dengan senyum merekah di bibir yang dipoles lipstik warna nude. Di belakangnya nampak Raka dan Samudra berjalan bersisian."Ikut sarapan sekalian sini," ajak Suci yang lekas beranjak dari duduknya, dan membalik piring kosong di sisinya. Tentu Suci tahu alasan kedatangan sahabatnya itu di pagi-pagi seperti ini."Gak usah, Ci. Kami tadi udah sarapan, kok." Niken menolak, kemudian menarik kursi di samping Suci dan mendudukinya.Raka memilih menuju ke taman belakang, memberi makan ikan-ikan peliharaan Alif dan Amar, sedangkan Samudra sudah duduk bersebelahan dengan si kembar dan menyomot irisan tomat yang tersedia di piring."Beneran sudah sarapan?" Oma yang memang menyukai Samudra, lantas menyiapkan roti yang dioles selai cokelat. "Ini buat Samudra. Harus dimakan," titah oma menyodorkan roti selai cokelat tersebut ke depan Samudra."Makasih, Oma." Samudra tentu tak bisa menolak pemberian Oma. Saat mengambil piring, tak sengaja tatapannya bertemu dengan tatapan Queen. Buru-buru Samudra memutus tatapannya lebih dulu, dan mulai menggigit rotinya.Kedatangan Samudra membuat selera makan Queen lenyap. Roti yang baru sedikit digigit itu dia lupakan, dan langsung bergegas beranjak dari tempatnya. "Aku udah kenyang, Ndaa. Aku mau ke kamar lagi, mau siap-siap."Suci mengerutkan kening, menatap putrinya yang sudah pergi dan sedang menapaki tangga. "Eh, mau ke mana, Queen? Itu rotimu masih sisa banyak, loh?""Udah kenyang, Ndaa …." sahut Queen sedikit berteriak, sambil merengut dan menghentakkan kakinya di anak tangga. Moodnya tiba-tiba rusak. Ck!"Kenyang apanya, coba? Rotinya aja masih utuh gitu?" gumam Suci, menatap piring Queen, lalu meminum susunya."Lagi diet kali?" celetuk Niken."Gak ada diet-dietan!" sergah Suci yang sejak dulu tidak pernah menyarankan anak gadisnya untuk berdiet. "Dia itu lagi masa pertumbuhan. Itu aja aku maunya dia naikin berat badannya lagi."Niken tertawa. "Queen itu udah remaja, loh, Ci. Masa kamu kayak gak ngerti aja," cicitnya sambil melirik Samudra yang kedapatan curi-curi pandang saat Queen menaiki tangga. Putranya itu terlihat berbeda.Bagi orang lain, mungkin Suci memang agak sedikit berlebihan dalam merawat anak-anaknya. Caranya mendidik juga berbeda dengan Alex yang agak sedikit tegas. "Aku tetap gak suka kalo dia terlalu ketat sama dirinya sendiri."Alex yang lebih dulu menghabiskan sarapannya, lantas beranjak. "Aku sudah selesai," ucapnya sambil melihat ke arah Samudra. "Sam, kalau sudah selesai, kamu temuin om di ruang kerja sebentar.""Iya, Om." Samudra mengangguk tanpa banyak bertanya lagi. Dia yang tidak tahu menahu apa yang hendak dibicarakan oleh Alex, hanya bersikap santai. Roti yang tersisa separuh lekas-lekas dia habiskan.Alex pergi dari ruangan makan tanpa berkata apa-apa lagi, sedangkan yang lainnya fokus pada makanan mereka. Niken terlihat tengah berpikir karena sikap Alex yang terlihat berbeda dari biasanya.***"Misi, Om …." Samudra melongokkan kepalanya di depan pintu ruangan kerja Alex.Atensi Alex sontak teralihkan dari layar laptop, menatap Samudra yang berdiri di depan pintu. "Masuk, Sam."Setelah mendapatkan izin dari pemilik ruangan, Samudra bergegas masuk dan menutup kembali pintu tersebut. Dia berjalan mendekati meja Alex dengan sungkan."Duduk, Sam." Alex sedang berupaya untuk bersikap biasa saja setelah apa yang dia lihat semalam. Dalam masalah tersebut Samudra tidaklah bersalah.Namun, sebagai orangtua, Alex tentu tidak bisa abai dan berpura-pura tidak mengetahui semuanya. Dia ingin bertanya secara langsung pada pemuda di hadapannya ini, agar merasa lebih tenang."Begini, Sam, sebenarnya ada yang mau om tanyakan sama kamu," ujar Alex, meletakkan tangannya yang saling bertautan di meja sambil menatap lamat-lamat raut Samudra yang terkesan tenang, tetapi masih terlihat sopan."Silakan, Om. Om Alex mau tanya apa sama aku," sahut Samudra, yang merasa tidak nyaman dengan tatapan Alex. Seolah-olah pria di hadapannya ini tengah menguliti dirinya. Kedua tangan Samudra berada di pegangan kursi, dengan punggung menegang."Ini soal Queen." Satu alis Alex naik, kemudian maniknya yang kehijauan meneliti perubahan reaksi Samudra."Ohh …." Sudut bibir Samudra berkedut, kelebat wajah Queen saat merengek padanya kembali terlintas. Dan sialnya, dia juga mengingat kenyalnya bibir gadis itu saat menempel di bibirnya. Ck!"Semalam …."***bersambung …Flash back off...Tok! Tok!Suara ketukan pintu, membuat sosok lelaki yang tengah berada di dalam kamar mandi itu terkesiap. Menyudahi lamunannya akan sosok gadis yang nekad memberinya ciuman pertama di lima tahun yang lalu."Sayang ... Kamu gak kenapa-napa 'kan?" tanya seorang perempuan yang berada di balik pintu kamar mandi. Nada bicaranya terdengar khawatir. Samudra menghela berat seraya mengusap wajah. Suara Jannet—perempuan yang baru saja resmi menjadi istrinya menyadarkannya—jika saat ini dia sudah menjadi seorang suami."Ya, Sayang. Aku baik-baik aja, kok," sahut Samudra, sambil menatap pantulan dirinya yang masih bertelanjang dada di depan cermin wastafel. Dia baru saja selesai mandi dan baru sadar jika sudah terlalu lama berada di dalam sini. "Oh, oke. Aku pikir kamu pingsan di dalem," kata Jannet. "Enggak, Sayang.""Jangan kelamaan. Aku keburu ngantuk." "Iya."Dari dalam kamar mandi mewah itu terdengar suara langkah kaki yang menjauh, pertanda jika Jannet sudah pergi dar
Samudra bergegas keluar dari kamar mandi setelah membalas chat dari gadis yang dua hari ini membuatnya khawatir berkepanjangan. Pikirannya semakin kalut saat melihat foto yang dikirimkan. Apa gadis itu hendak bunuh diri dengan mengonsumsi obat penenang? Pikir Samudra. Melihat lelaki yang baru saja resmi menjadi suaminya terlihat gusar dan terburu-buru, Jannet tentu bertanya-tanya. Perempuan itu sudah terlihat begitu siap untuk ritual malam pengantin bersama Samudra. Akan tetapi nampaknya sang suami hendak pergi keluar, sebab saat ini sedang menuju ruang ganti. "Sam, kamu mau ke mana?" Pernyataan tersebut terpaksa dilontarkan Jannet karena sekarang ini Samudra sama sekali tak menganggap keberadaannya. Samudra memakai satu persatu pakaiannya, dan tak lupa mengenakan jaket. Jannet mengernyit heran. Samudra tak menjawab pertanyaannya barusan. "Sam, aku lagi nanya, loh?" Wajah Jannet terlihat memerah. "Sorry, Jane. Aku harus segera pergi," kata Samudra, menatap sang istri dengan waja
"Queen?"Samudra membeku di depan pintu kamar mandi saat dia justru mendapati Queen sedang mengenakan batherope. Gadis itu terlihat baik-baik saja. Queen menoleh. "Bang Sam?" Mendapati lelaki yang dia sukai sudah berdiri di hadapan, tentu saja perasaan Queen begitu senang. Sampai-sampai dia langsung menghambur ke pelukan Samudra. "Aku pikir Bang Sam udah gak peduliin aku," ucap Queen dengan beruraian air mata. Bisa memeluk Samudra seperti ini membuatnya tenang dan semakin yakin. Yakin bila Samudra memedulikan dirinya. Sementara yang dipeluk masih mencerna semuanya. Aroma sabun dan shampo yang menguar cukup mengganggu akal Samudra saat ini. Namun, untuk sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan hal yang bisa membuyarkan niatnya datang ke tempat ini. Tak dipungkiri jika Samudra juga merasa sangat lega. "Kamu ... baik-baik aja 'kan, Queen?" tanya Samudra setelah berhasil menguasai perasaan yang diam-diam membuncah di dada. Gadis manja ini rupanya tidak sampai bertindak kon
Masih saling menautkan bibir, keduanya melangkah tergesa menuju kamar. Queen tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, meski dia sedikit kewalahan dengan pagutan liar dari Samudra. Pasokan oksigen pun kian menipis, dan suhu di kamarnya menjadi sangat panas. Karena tak ingin kehabisan napas dan pingsan, Queen terpaksa mendorong dada Samudra. "Aku kehabisan napas, Bang," ucap Queen dengan napas tersengal-sengal. Bibirnya yang penuh sedikit membengkak karena ulah Samudra. Samudra pun sama halnya seperti Queen. Namun, akalnya sungguh sudah dikendalikan oleh nafsu yang kian memuncak. Lelaki itu menarik ujung kaos yang dikenakan, meloloskannya secepat kilat dan membuangnya asal ke lantai. Queen menelan ludah menatap pemandangan sempurna di depan mata. Tubuh yang begitu proposional, kontras dengan kulit cokelat gelap membuat Samudra terkesan seksi. Otot perut yang liat membentuk sixpack dengan sempurna. "Liat apa?" Ibu jari Samudra mengusap bibir Queen yang sedikit terbuka. Lelaki itu suda
Tengah malam Samudra terbangun karena mendengar bunyi ponselnya yang menggema di ruangan temaram itu. Beranjak dari kasur dengan keadaan setengah telanjang, Samudra mengambil benda pipih miliknya dari saku celana yang tergeletak asal di lantai. Nama yang tertera di layar ponsel cukup membuat sepasang kelopak mata Samudra, yang awalnya masih mengantuk terbuka lebar seketika. "Jane?" Samudra sontak menoleh ke belakang—di mana seorang gadis, yang tengah terlelap dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun, dan hanya selembar selimut yang menutupi. Queen terlihat begitu damai dan ... cantik. 'Ck, sadar Samudra! Kamu baru aja bikin masalah.' Dalam hati, Samudra merutuk kecerobohan dan kebodohannya. Suatu kesalahan yang pastinya akan mengundang masalah besar ke depannya. Atensi lelaki itu kembali teralihkan pada dering ponsel. Samudra lekas menjawab panggilan telepon dari sang istri. "Halo …." sambil berjalan menuju kamar mandi, karena dia tak ingin mengganggu Queen. Samudra berdiri
Harusnya Samudra sudah tiba di unit apartemen miliknya sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ulah Queen yang memercik gelora hasratnya, Samudra tidak bisa mengendalikan diri hingga dia kembali bergumul panas dengan gadis itu di dalam kamar mandi. Ck, dia kini benar-benar sudah menjelma menjadi pria brengsek. Samudra hampir tak percaya jika sekarang dia telah kecanduan tubuh Queen. 'Ini gila, Sam! Kamu benar-benar sedang menggali kuburanmu sendiri!' Samudra merutuk dirinya sendiri ketika ingatannya kembali berputar pada pergumulan panasnya dengan Queen. Dan dia melakukannya secara sadar tanpa di bawah pengaruh obat apa pun. Bahkan, Samudra tak kuasa menepis bayang-bayang kemolekan tubuh indah Queen—perempuan yang dengan suka rela memberinya pengalaman pertama. 'Brengsek kamu, Sam!' Setelah menekan kode akses pada pintu unitnya, Samudra melangkah masuk setelah benda itu terbuka otomatis. "Sayang ...." Lelaki berja
"Daddy mau aku buatin minum apa? Atau sekalian aku buatin sarapan, ya? Kebetulan aku lagi buat omelette." Sebisa mungkin Queen bersikap wajar meski jantungnya sedari tadi tak berhenti berdebar-debar. Kedatangan mendadak sang daddy sungguh membuatnya hampir terkena serangan jantung. Tanpa mengabari, daddy-nya muncul di unitnya. Apalagi saat ini Alex terlihat seperti sedang mencari-cari sesuatu. Queen jadi serba salah sekarang. Dia bingung hendak melakukan apa lebih dulu. Pilihannya hanya ada dua—tetap stay di ruang tamu dengan Alex atau kembali ke pantry untuk melanjutkan membuat sarapan. 'Duuh ... aku gak mau Daddy menyadari cara jalanku yang aneh gara-gara semaleman bercinta habis-habisan sama Bang Sam. Untung Bang Sam udah pulang.' Queen membatin resah sekaligus takut apabila Alex menyadari ada sesuatu yang janggal dalam caranya berjalan. Hal itu disebabkan karena semalaman dia dan Sam bercinta tanpa batas. Alex masih belum berminat duduk, d
"I-itu ...." 'Ya ampun, kenapa Daddy harus tanya itu, sih? Aku 'kan jadi bingung mau jawab apa. Sementara Daddy udah tau kalau Bang Sam dateng ke sini. Seandainya aku jawab jujur, terus aku mesti alasan apa, coba?' Benak Queen terus menyeru gelisah, memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. Dia bahkan sampai tak berhenti meremas-remas jemarinya yang sudah berkeringat. Gugup. "Queen?" Alex menegur. Queen tersentak, lantas menjawab lirih, "Semalam ... Bang Sam memang ke sini, Dad." Selanjutnya yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk, lalu menggigit bibir bawahnya dalam-dalam sambil memejamkan mata. Queen sungguh tidak bisa berpikir. Berhadapan dengan Alex itu sama halnya dia berhadapan dengan Intel. Ck! Alex menghela napas panjang, cukup puas mendengar kejujuran sang putri. Akan tetapi dia masih belum bisa tenang jika belum mengetahui alasan Samudra yang datang malam-malam ke apartemen putrinya. "Ada urusan apa
Hari yang dinanti-nanti oleh Samudra pun akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari di mana dia akan benar-benar berpisah dengan mantan istrinya, Jannet. Setelah ini lelaki yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu sudah memiliki banyak sekali rencana. "Kamu yakin gak mau aku temenin?" Queen mencoba memastikan sekali lagi, meski dia akan mendapat jawaban yang sama dari sang suami, yang sudah siap berangkat pagi ini. Samudra mengangguk, sambil mencolek dagu sang istri. "Iya, Sayang. Kamu gak perlu ikut ke pengadilan. Capek. Lagipula ini adalah urusanku." Bibir bawah Queen mencebik, "Iya, deh. Aku juga males kalo ketemu mantan istrimu. Ngeri." Selanjutnya dia terkikik, sambil menggamit lengan Samudra. "Ayo sarapan dulu. Tadi aku udah siapin sarapan spesial buat suamiku yang ganteng ini." "Wah ... Wah ... Si kriwil udah pinter masak sekarang. Jadi gak sabar aku." "Enak aja kriwil! Ngomong-ngomong aku udah gak kriwil, ya!" sungut Queen, pura-pura kesal, padahal dalam hat
Dua pekan berlalu, semenjak kehamilan Queen diketahui oleh keluarganya, situasi perempuan itu semakin rumit. Kebebasannya seolah direnggut paksa oleh orang-orang yang menurutnya terlalu berlebihan dalam menjaganya. Dengan alibi—ingin melindunginya dan bayinya. Tak hanya itu, dia pun tak lagi bisa bebas bertemu dengan Samudra sebelum lelaki itu resmi bercerai dari istrinya. Lantas, bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Samudra? Alex selaku ayah yang mengadopsi Queen mempunyai caranya sendiri. Sama halnya seperti yang lelaki itu lakukan pada Suci dahulu kala. Alex menyarankan agar Queen dan Samudra menikah secara agama terlebih dahulu, sampai bayi yang ada di dalam kandungan lahir. Sambil menunggu status Samudra benar-benar jelas. "Kita ini udah nikah, tapi, kenapa Daddy ngelarang kita tinggal bersama? Apa menurut Bang Sam ini gak terlalu berlebihan, ya? Gak enak banget gak bisa ketemu kamu." Queen terus mengeluh sejak di tiga puluh menit pertama dia dan Samudra melakukan pan
Bagi Suci, hal paling terburuk dalam hidupnya ialah gagal menjadi orang tua. Dia merasa gagal sebab kini masa lalu kelamnya seperti terulang kembali. Ya, entah Suci akan menganggapnya sebagai apa. Yang jelas, hatinya saat ini hancur lebur. 'Queen hamil ...' Dua kalimat tersebut tak berhenti berdengung di telinga Suci. Mengakibatkan air matanya kian deras mengalir membasahi pipi. "Bunda ...." Panggilan dari sang anak yang menjadi penyebab kesedihannya menyadarkan Suci. "Queen?" Suara Suci nyaris tak terdengar, karena cekat di tenggorokan yang kian menghimpit. Sesak di dadanya makin terasa. Pandangannya sedikit mengabur. Kedua bola matanya menatap nyalang sang anak yang berdiri berdampingan dengan Samudra. Alex yang sedari tadi kebingungan serta bertanya-tanya berinisiatif menghapus jejak basah di pipi Suci. "Sayang ...." Suara khas Alex mampu mengalihkan perhatian Suci. Kini, dia bisa melihat dan merasakan—kekecewaan dari sorot manik bulat itu. "Mas ...." Kelopak m
Beberapa menit sebelumnya.... Suci menghempas punggungnya ke sandaran kursi sambil menghela panjang. "Akhirnya selesai juga. Tinggal cari bahan sama pesen payet," gumamnya, setelah berhasil menyelesaikan sketsa gaun pengantin pelanggannya. Seharian ini Suci lumayan sibuk sebab dia akan mempersiapkan koleksi-koleksi terbarunya di tahun ini. Masih banyak yang belum sempat dia selesaikan. Ditambah dengan pesanan gaun yang tak pernah berhenti. Suci cukup kewalahan. "Si Niken berangkat gak, sih hari ini? Kenapa seharian aku gak liat dia?" Saking sibuknya, Suci sampai tidak beranjak sedetik pun dari ruangannya. Sampai-sampai dia baru menyadari jika dia belum melihat Niken seharian ini. "Apa dia gak berangkat, ya?" pikir Suci, mengira jika sang sahabat tidak masuk kerja. "Coba aku cek aja, deh." Daripada penasaran, lebih baik dia memastikannya saja langsung. Tanpa menunggu lagi, Suci bergegas beranjak dari tempatnya, lalu keluar ruangan, dan menuju ruangan Niken. Ketika di
Sore-sore begini, tidak biasanya Queen baru bangun tidur. Dia bahkan terbilang jarang sekali betah berada di rumah jika sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya, Queen akan menghabiskan waktu di berbagai tempat—mencari inspirasi untuk konten-kontennya. Ah, mengenai konten. Queen sudah lama tidak mengunggah postingan di laman private-nya. Akun rahasia yang tidak ada satu orang pun yang tahu. Termasuk Samudra. Queen sangat berhati-hati untuk hal yang satu itu. "Jam berapa sekarang?" Queen bergumam sambil beranjak dari kasur ternyaman, lalu melangkah menuju kamar mandi. Dia berencana mandi, sebab dari sejak pagi rasanya sangat malas sekali untuk sekadar mencuci muka. "Astaga mukaku!" Ketika bercermin, Queen nampak syok dengan kondisi wajahnya yang sangat kucel. Rambutnya pun sangat lepek. Apalagi di beberapa bagian tubuh seperti ada yang berubah. "Kayaknya aku tambah gemuk, deh? Payudaraku kayak tambah gede," cicit Queen, meraba-raba bagian dada yang dia rasa berubah bentuk. "
"Pagi-pagi makan bubur ayam enak juga." Queen mengusap perut, setelah menghabiskan semangkok bubur ayam—makanan yang jarang sekali dia makan saat di pagi hari. Beberapa detik kemudian, dia pun baru menyadari sesuatu. "tapi, aneh gak, sih. Gak biasanya pagi-pagi aku makan berat kayak gini? Apa ... ini ada hubungannya sama kehamilanku?" Benda pipih di sampingnya bergetar. Sebuah pesan masuk, mengalihkan perhatian Queen. "Bang Sam?" [Aku baru aja dari firma hukum punya temenku. Perceraianku akan diproses secepatnya.] Pesan singkat dari Samudra membuat perasaan Queen sedikit lega, hingga bibirnya mengulas senyum. "Gercep banget." Queen membalas pesan Samudra. [Semoga lancar, ya. Aku udah gak sabar.] Beberapa detik kemudian pesan balasan dari Samudra pun kembali masuk. [Amiin. Doain aja, biar aku bisa secepatnya nikahin kamu.] [Pasti!] Pesan balasan pun langsung dikirim Queen. "Giliran aku yang harus secepatnya ngasih tau Bunda," gumam Queen, dengan raut murung. Kehami
Perdebatan antara Samudra dan sang mami, perihal kehamilan Queen rupanya tak membuahkan hasil. Meskipun Samudra telah berkali-kali memohon supaya maminya itu mau memahami. Nyatanya, Niken tetap bersikukuh menolak itikad baik sang anak sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Alih-alih memberi restu, sang mami justru marah dan men-cap Samudra sebagai anak yang tidak mau menurut. Niken pun menyalahkan Queen yang katanya tidak bisa menjaga diri. "Kenapa sih, Mami nolak Queen? Kupikir Mami bakal ngasih izin," gumam Samudra tak habis pikir, sambil meraup wajah frustrasinya dan menghela lelah. "Pokoknya aku harus bisa yakinin Mami." Apa pun akan dilakukan Samudra demi bisa mempertahankan hubungannya dengan Queen. Selagi menunggu keputusan papinya, akan lebih baik dia bergegas mengurus perceraiannya dengan Jannet. "Besok aku ajuin berkas perceraiannya. Biar masalahnya gak makin rumit ke depannya. Kalau aku udah cerai dari Jane, aku bisa dengan mudah nikahin Queen." Men
"Bunda ...." Perasaan Queen carut marut saat ini, karena perkataan sang ibu yang begitu mengena di hati. Dia sendiri tak ingin berbohong mau pun menyembunyikan masalah apa pun dari keluarga terutama sang ibu. Semua ini karena terpaksa. Queen begitu takut. Dia sungguh merasa takut jika kabar kehamilannya akan membuat seluruh keluarganya terkejut. Terutama Suci. 'Aku harus apa, Ya Tuhan? Bunda begitu percaya sama aku, tapi berulang kali aku udah berbohong.' Benak Queen menyeru penuh penyesalan. Diamnya sang anak tentu membuat Suci makin ingin tahu. 'Sebenarnya apa yang lagi kamu sembunyikan, Queen? Bunda yakin kalau saat ini kamu lagi ada masalah.' "Nda, Queen boleh tanya sesuatu?" Queen pun memberanikan diri untuk bertanya. Suci mengulas senyum, lalu mengangguk. "Boleh. Queen mau tanya apa?" ujarnya sambil menggapai telapak tangan Queen. Queen membasahi bibir yang terasa kering, menarik napas dalam-dalam, untuk mengatur rasa gugup yang menyergap. Queen lalu berkata, "Seandai
"Sam ..." Raut Jannet terlihat begitu kecewa saat sang suami, yang berada di atasnya tiba-tiba menghentikan pergerakannya. Padahal, saat ini Jannet benar-benar sudah menginginkan lebih. Tatapan Samudra berubah nyalang, lalu tanpa memedulikan protes dari Jannet, Samudra lantas beringsut mundur, kemudian berjalan menuju kamar mandi. brakk! Jannet tersentak, dan bergegas bangkit. Rautnya seketika memucat karena baru menyadari sesuatu. "Sial! Kenapa aku bisa lupa? Pasti itu alasan kenapa Sam berhenti. Sial! Sial!" Lantas, Jannet bergegas memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. "Ini gawat! Sam pasti marah besar sama aku! Bodoh!" Sementara di dalam kamar mandi, Samudra sedang membasuh seluruh tubuhnya di bawah kucuran shower. Kebenaran yang baru saja terungkap membuat dadanya memanas. Dia marah. Sangat marah. "Pantesan waktu awal-awal dia selalu nolak. Ternyata ini alasannya. Brengsek!" Samudra sungguh tak pernah menyangka jika Jannet berani membohonginya s