Mila duduk di dekat jendela yang tirainya sengaja dia buka. Dia menatap keatas langit yang di penuhi bintang. Keindahan langit malam semakin terlihat karena cahaya bulan purnama. Mila memeriksa ponselnya, tidak ada yang menghubunginya. Karena Mila memang tak memiliki teman dekat atau sahabat. Dia lebih memilih berteman ala kadarnya. Ibunya juga tidak memiliki nomor teleponnya, jadi dia merasa aman dalam pelarian ini. "Mungkin, saat ini ... ini adalah tempat teraman untukku. Lagi pula aku mau pergi kemana jika keluar dari sini? Aku belum siap untuk menjadi gelandangan." Mila berbicara seorang diri dengan menompang kepalanya dengan tangan kirinya yang dia sandarkan di dinding. "Milo!" Mila menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup, dia mengangkat satu alisnya karena merasa heran. "Tumben dia ada di sini?" gumam Mila. Mila beranjak dari tempatnya dan membuka pintu. Benni berdiri di depan kamar, ia tersenyum menunjukan barisan giginya. Mila terpesona melihat wajah tampan Benni,
Ceklek ~ Mulut Mila ternganga saat pintu lemari suah terbuka lebar. "Wow!" pekiknya. "Busyet, banyak banget. Ih ... tasnya bagus-bagus ... tapi ini model cewek dewasa!" seru Mila menyentuh satu persatu tas di dalam lemari. Dia mengambil satu tas dan mencobanya dengan mengalungkan di tangannya. Dia berpose seolah menjadi wanita sosialita. Mila meletakan kembali tas ke tempat semula, dia berjongkok lalu menyentuh berurutan sepatu dan high heels di bagian paling bawah lemari. "Oh My God, semua barangnya bagus-bagus. Ketua preman kampung gaes ... beli barang buat buat ceweknya gak kaleng-kaleng. Ckckck ..." Mila berdecak kagum. Mila membuka lemari pintu bagian satunya, biji mata Mila hampir terlepas melihat tumpukan baju di bagian atas. Semua masih terbungkus plastik. Di bagian yang tergantung juga penuh dengan gaun yang indah. "Ih, iya kali aku pakai gaun begini. Berasa sudah dewasa aku!" sambil bergumam Mila menempelkan satu mini dress di badannya. Dia mengembalik
Bab 11 Selesai sarapan, Benni berniat pulang ke rumahnya dahulu sebelum pergi mengambil pajak keamanan para pedagang pasar dan toko di kampung sekitar. Dia meninggalkan Mila dan Dirga begitu saja saat mereka asyik mengobrol di dapur. "Bajumu bagus Mila," puji Dirga. "Hm, ini dikasih gratis sama Bang Ben. Banyak banget tuh di lemari. Katanya dia beli buat mantan pacar dia." "Iya, dulu pacarnya Benni suka sekali shopping. Uang Benni banyak sekali yang dikeluarkan untuk Shasa. Buruk sekali nasib Benni, jatuh hati pada wanita matre," Dirga tersenyum miring di akhir ceritanya. "Mengapa Shasa bisa menikah dengan bapaknya Bang Ben?" Dirga menatap Mila. "Benni menceritakannya padamu?" "Sedikit, cuma keceplosan mungkin," jawab Mila mengira-ngira. "Orang tua Shasa memiliki hutang pada Pak Broto, mereka tidak bisa membayar hutang mereka. Kebetulan Pak Broto menyukai Shasa, beliau menjanjikan semua hutang orang tua Shasa lunas. Asal Shasa mau jadi istri mudanya." "Cih,
Bab 12. Mila merasa tidak nyaman pada bagian perut bawahnya. Hal itu membuatnya teringat jika dirinya mungkin kedatangan tamu bulanan. Mila mendengus saat mendapati bahwa dirinya memang sedang datang bulan, sedangkan dirinya tidak memiliki pembalut. Mila menemui Dirga yang sedang sedang menonton tv bersama Jojo dan Wawan. "Kak, ada yang ingin aku katakan ini," ucap Mila "Hm, iya... apa Mil?" tanya Dirga masih fokus menatap ke arah layar tv. "Anu, mau minta tolong," imbuh Mia membuat Dirga menoleh ke arahnya. "Minta tolong apa?" tanya Dirga. "Sini!" Mila melambaikan tangan mengajak Dirga menjauhi Wawan. Dia malu jika sampai Wawan mendengar. Dirga mendekati Mila, mereka berdua sedikit menjauhi Wawan. "Ada apa?" tanya Dirga penasaran. "Kak," bisik Mila sedikit lebih mendekat dengan Dirga,"Aku kedatangan tamu bulanan. Aku gak punya pem balut." Mila memberitahu dengan tersenyum canggung. Dirga menatap Mila, Dirga menampakan wajah bingungnya. "Lha terus gimana, Mil?" tanya Dirg
Selepas bekerja, Benni langsung pulang ke rumahnya. Benni mengerutkan keningnya saat mendapati ada mobil berwarna merah di dalam bagasi rumahnya. Dia pun mematikan mesin motor dan menurunkan standar. "Ini kan, Mobil milik Shasa. Mengapa bisa ada di sini?" batin Benni. Benni bergegas masuk ke dalam rumah, melalui pintu garasi yang menembus ruangan dapur. Di sana, ada tiga orang wanita yang sedang memasak. Mereka tampak sangat akur. Benni menghela napas kasar melihat pemandangan Ibunya yang begitu akrab dengan kedua adik madunya itu. Pemandangan secara kasar mata yang sengaja di perlihatkan Bu Rani pada dunia, jika dirinya baik-baik saja meski dimadu dua kali oleh suaminya. Dia bersikap baik dan akrab dengan Bu Sari istri kedua suaminya dan Shasa istri termuda suaminya saat ini. Padahal, setiap kali sendiri, Bu Rani sering menangis. Benni mengatahui semua itu, dia pernah melihat tanpa sengaja betapa Bu Rani menangis meraung saat berdebat dengan Pak Broto. Sebab itu lah, Benni sangat
Bab 14Semua mata tertuju pada Benni, seakan meminta penjelasan jika apa yang baru saja dikatakannya itu bukan hanya gurauan semata."Kamu pasti cuma bergurau, kan? Paling cuma mau membuat kita-kita ini gak bercandain kamu lagi, biar gak nanya kapan kawin lagi. Iya kan, Ben?" cecar Bu Dewi."Tidak," jawab Benni singkat."Dari dulu kamu juga bilang sudah ada calon, katanya mau dikenalkan sama kita-kita. Tapi buktinya mana, malah keburu bapakmu nikah lagi," ejek Bu Dewi.Benni menatap dingin ke arah wanita bergelar istri Pakdenya itu. Sedangkan Shasa, wanita muda itu tersenyum sinis mendengar ejekan Bu Dewi pada Benni."Kak Benni kan bukan anak Bude Dewi, kenapa Bude yang kayaknya rempong banget nanyain kapan kawin? Emangnya mau menyumbang berapa buat acara nikahan Mas Benni nanti. Atau cuma sekedar nanya karena mau numpang makan enak?" sindir Bella."Hush, Bella!" tegur Bu Rani pada putrinya, Bella hanya tersenyum tak menanggapi serius teguran dari ibunya."Kamu itu, Bel. Mulutmu itu
Bab 15. Di dalam kamarnya, Shasa mondar-mandir memikirkan tentang apa yang dia dengar tadi. Kata pujian cantik yang keluar dari mulut Benni untuk wanita lain, membuat hatinya merasa cemburu. "Siapa wanita yang dia puji cantik tadi," gumam Shasa. Dia sangat mencintai Benni, tapi dia juga sangat ingin memiliki kehidupan yang mewah dan serba tercukupi. Karena itulah, Shasa tak menolak saat orang tuanya menjadikannya jaminan pelunas hutang. Meski dia tahu, jika orang yang akan menikahinya adalah bapak dari pria yang dia cintai. Dalam benaknya saat itu, Benni pasti tidak akan berpaling darinya meski dirinya menjadi ibu tiri Benni. Shasa merasa jika Benni sangat mencintai dan tergila-gila padanya. Kenyataannya, kini Benni begitu cuek dan dingin padanya. Tapi dia tetap merasa jika Benni masih menyimpan perasaan untuknya. "Besok aku harus cari tahu, seperti apa wanita itu. Aku harus datangi markas Benni saat dia pergi beroperasi di pasar," ujar Shasa dengan tekad yang bulat.
Bab 16. Shasa menyeruput pelan capucinno buatan Mila. Dia menatap Mila, memperhatikan Mila dari ujung kaki hingga ujung kepala. Hal itu membuat Mila yang berdiri di hadapan Shasa merasa canggung. "Namamu siapa?" tanya Shasa. "Karmila, biasa dipanggil Mila." "Berapa usiamu?" tanya Shasa lagi. Mila mengerutkan keningnya. "Memangnya Bang Benni tidak bilang sama Mbak Bella. Kita seumuran, aku juga baru lulus SMA sama seperti Mbak Bella," jawab Mila membuat Shasa tersenyum canggung. "Ada, hanya saja aku ingin memastikan apakah yang dikatakannya benar atau tidak," kilah Shasa. "Begitu," gumam Mila. "Apa kamu suka kerja di sini?" tanya Shasa. "Suka tidak suka, sih. Mau bagaimana lagi," jawab Mila jujur. "Kamu menyukai Benni?" selidik Shasa. "Hah? Tentu saja tidak!" jawab Mila spontan. "Mana mungkin aku menyukai pria yang dingin itu. Hatiku ini sudah sering terluka, jadi aku suka pria yang romantis dan perhatian," imbuh Mila. Shasa tersenyum miring, dalam ha
Mila sudah berada di dapur sejak subuh, membantu Mbok Denok memasak di dapur. Mak Leha, sudah sibuk mencuci pakaian kotor penghuni panti dengan mesin cuci. Mbok Denok beberapa kali terdengar membuang napas berat. Mila sesekali memperhatikan wanita yang sudah sangat baik padanya itu."Mil, kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" Mbok Denok pada akhirnya membuka suara. "Ya, Mbok. Mila sudah yakin ..." "Mbok merasa khawatir tapi tak bisa berbuat apa-apa," ucap Mbok Denok sedih."Gak pa pa, Mbok. Mila sudah biasa menjalani kehidupan yang keras," jawab Mila mencoba menenangkan perasaan Mbok Denok."Semoga saja semua baik-baik saja ya, Mil." "Aamiin, Mbok." "Kamu jaga diri baik-baik, jaga kandungan kamu. Simbok sudah menganggap calon anakmu ini seperti cucu Simbok sendiri," kata Simbok berpesan, Mila mengangguk. "Mil," Simbok dan Mila langsung terdiam saat Yuza tiba-tiba datang ke dapur."Ya, Kak?" jawab Mila mendekati Yuza."Aku sama Mama mau berangkat sekarang. Kamu baik-baik d
Berat bagi Mila menjalani hari-hari yang selalu dalam pantauan Bu Sania dan juga Moza. Gadis kota itu terlihat ramah saat ada Bu Sania dan Yuza, selebihnya dia seperti manusua angku yang minta di keroyok dan dipukuli ramai-ramai. Sore itu, dia merasa begitu lelah setelah seharian berkerja. Intan membantu memijat kaki Mila meski Mila sudah melarangnya. "Tan, jangan lupa untuk siap-siap ya. Kita bisa aja disuruh pergi dari sini kapan saja. Jadi kita harus sudah siap," Kata Mila. "Iya, Kak. Barang-barang Intan kan cuma sedikit," balas Intan. "Iya, semoga mereka mencarikan rumah yang sesuai dan nyaman. Jadi kita bisa usaha cari uang meski tanpa keluar jauh dari rumah." "Maksudnya, kita jualan gitu ya kak?" tanya Intan."Ya gitu juga, boleh." Intan mengangguk seolah benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan. Tiga hari kemudian, Saat Mila sedang membantu Mbok Denok dan Mak Leha di dapur. Bu Sania datang menemui Mila. "Mila," panggil Bu Sania. "Ya, Bu. Bagaimana?" jawab Mila sa
"Kenapa memangnya? anda hanya ingin menerima bayi ini tapi tidak dengan saya?" tanya Mila dengan wajah yang dibuat-buat sedih."Tidak dua-duanya!" tegas Bu Sania.Mila terbelalak pura-pura terkejut mendengar perkataan Bu Sania. "Tega sekali anda, Nyonya. Aku mungkin memang tak pantas menjadi bagian dari kalian. Tapi, bayi ini ... dia ini ... " jawab Mila dengan nada yang terdengar pilu.Di luar dapur, Mak Leha dan Mbok Denok menggaruk kepala mereka karena bingung. Karena tadi Mila bilang punya suami dan sekarang lain pengakuannya."Aku tidak peduli, bawa saja anak itu pergi denganmu!" jawab Bu Sania sinis."Ya Tuhan, tak kusangka dan tak kuduga. Orang yang kelihatannya baik, dermawan suka menolong orang. Tapi tega pada pada darah dagingnya sendiri," ucap Mila."Ck, tidak perlu banyak bicara! Pergi saja ... berapa yang kamu mau agar kamu mau pergi jauh dari kehidupan kami?" tanya Bu Sania. Mila tersenyum miring, ini yang dia tunggu dari tadi. "Aku ... hanya mau Mas Yuza. Dia bisa
Yuza tergelak mendengar penuturan Mila. Dia mengira jika Mila cemburu pada Moza. "Sebenarnya, aku juga tidak suka pada Moza. Dia itu pilihan mamaku, dia putri sahabat baik Mama," ucap Yuza berharap agar Mila mengerti arti ucapannya."Maksudmu, kamu menyukai wanita lain?" tanya Mila. Yuza tersenyum lalu mengangguk."Lalu kenapa bilang padaku, kenapa tidak bilang saja pada orang tuamu," balas Mila membuat Yuza menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, gimana ya?" gumam Yuza."Apanya yang gimana?" tanya Mila bingung meligat tingkah Yuza."Sku bingung aja bilang ke mereka, gak punya alasan yang tepat. Ya ... alasan yang mungkin bisa diterima, misal aku bilang sudah punya tambatan hati. Sayangnya, aku gak punya." "Oh begitu ... ya sudah. Terima nasib, mungkin memang dia jodohmu," jawab Mila santai.Yuza tersenyum, jawaban Mila tak sesuai yang dia harapkan. Padahal dia mengira, jika Mila bakal mengatakan, mau di jadikan alasan untuk menolak Moza."Kembalilah ke aula!" usir Mila. Akhirny
Desas-desus Mila hamil semakin ramai diperbincangkan di panti. Semua penghuni menduga jika Mila hamil dengan Yuza, tapi mereka sengaja merahasiakan hubungan mereka karena memiliki alasan tersendiri. Dugaan itu semakin kuat, karena Yuza sangat perhatian pada Mila. "Mila, kamu kalau sudah lelah istirahat saja. Biar Mbok sama Mak Leha yang menyelesaikan semua ini," ucap Mbok Denok yang merasa khawatir karena wajah Mila terlihat pucat. Mereka sedang membuat kue dan makanan untuk menyambut kedatangan orang tua Yuza. "Mungkin Mila semangat untuk menyambut kedatangan mertuanya," celetuk Mak Leha, spontan Mbok Denok menyenggol Mak Leha. Mila cukup terkejut mendengar perkataan Mak Leha. Sejak kapan dia digosipkan jadi istri Yuza. Mila menunduk, sebenarnya dia memang sedang tidak enak badan. Dia merasa pusing dan badan terasa dingin. "Mbok, Mak, Mila masuk ke kamar dulu ya. Gak enak badan soalnya." Mila pada akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar saja. Dia tak ingin memaksakan diri u
Seminggu kemudian ... Mila merasakan sakit kepala yang luar biasa. Dia bahkan tak bisa bangun walau sekadar ingin ke kamar mandi. Intan begitu perhatian pada Mila, untung saja hari ini hari minggu sehingga Intan tak perlu sekolah dan bisa menjaga Mila. Tok~tok Intan membuka pintu kamar, Yuza berdiri di depan pintu. "Mana Kak Mila?" tanya Yuza. "Tuh, kepalanya sakit katanya." Intan menunjuk ke arah Mila yang terbaring di ranjang dengan mata tertutup. Yuza masuk ke dalam dan langsung menyentuh dahi Mila kemudian kaki Mila yang terasa dingin. Yuza mengukur tensi Mila. "Astaga, tensinya rendah sekali," gumam Yuza. "Kak," Intan menyerahkan sesuatu pada Yuza. Yuza tertegun melihat benda yang baru saja Intan berikan padanya. Intan mendekati Yuza lalu berbisik di telingan Yuza. "Intan menemukan itu di kamar mandi sekitar satu minggu yang lalu," bisik Intan. Yuza mengingat-ingat kembali percakapan saat pertama bertemu dengan Mila. "Jangan-jangan ..." ucapan Yuza meng
Subuh buta, Mila sudah terbangun karena alarm yang dia pasang. Dia mengikuti intruksi yang tertera di bungkus testpack. Urine yang paling akurat adalah yang saat bangun tidur. Dia membawa kotak susu uht kosong yang sudah dia potong ke dalam kamar mandi lalu mencucinya untuk dia gunakan sebagai penampung urine nya. Mila menghela napas panjang, lalu mencelupkan stik testpack, beberapa detik saja alat itu sudah menunjukkan dua garis yang bermakna jika dia positif hamil. Mulut Mila terganga, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ih, nanti aku ken cing lagi lah. Aku tes lagi ..." gumamnya. Mila lekas membersihkan kamar mandi dan keluar dari kamar mandi. Intan sudah terbangun dan menunggu di depan kamar mandi. 'Wah, bocil itu bangunnya pagi sekali,' batin Mila. Mila duduk di kursi belajar milik Intan, dia membuka satu botol air mineral yang semalam dia beli. Meneguknya dengan perlahan sambil memikirkan bagaimana menjelaskan pada Yuza jika memang dirinya hamil. Dia han
"Kamu kenapa, Mir?" tanya Mbok Denok yang merasa jika Mila terlihat aneh. Mila menelan air liurnya. "Mm, aku merasa ingin memakan mangga itu, Mbok." Mbok Denok menatap heran ke arah Mila, lalu mengeluarkan satu per satu mangga dalam kresek. Intan ikut duduk di dekat Mbok Denok. Liur Mila semakin mengucur saat mencium aroma getah mangga. "Kamu kok terlihat kayak oeang ngidam sih, Mil?" celetuk Mbok Debok. Mila tertegun, dia kembali mengingat tanggal periode haid nya. "Astaga ..." gumam Mila dalam hati."Kenapa jadi diam?" tanya Mbok Denok semakin bingung.Mila tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya, lalu mengambil satu mangga dan mencium aromanya. "Hmm, seger ... masih belum matang ini," ucap Mila mengalihkan pembicaraan."Iya, kita diamkan dulu beberapa hari baru matang dan bisa kita makan," balas Mbok Denok."Pak Rt itu yang rumahnya berselang dua rumah dari panti ini, kan?" tanya Mila ingin tahu."He'em, yang depan rumahnya ada dua pohon mangga itu," jawab Mbok Denok. Mereka
Bella merasa puas dengan apa yang sudah dia lakukan pada Dirga. Rasa cintanya pada Dirga sangat besar, tapi seketika rasa itu menjadi rasa benci tanpa cela. Dia benci karena Dirga bukan hanya memukulinya, tapi menghina dan ingin menghancurkan keluarganya. Dia juga sangat marah, karena Dirga sudah membuat Mila pergi dari rumah. Bella mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Benni dan yang lain membuntuti Bella, tujuan mereka saat ini adalah pulang ke rumah untuk memberi pelajaran pada Shasa. Bu Rani merasa lega saat kedua anaknya datang. Bu Sari yang menemani kakak madunya juga ikut merasa lega. Pak Broto duduk di sofa, Shasa menempel pada Pak Broto dengan wajah sedikit tegang. "Mana Dirga?" tanya Bu Rani."Dia sudah mendapatkan apa yang semestinya dia dapat." jawab Bella duduk di sofa seberang yang berhadapan dengan bapaknya dan Shasa. "Astaga, Bella. Kamu kan sedang hamil, kamu harus hati-hati. Kamu barusan naik motor sendirian? Ih ... biar Ibu ambilkan air minum dulu buat k