Share

Bab 9 Cerita Masa Lalu

Mila duduk di dekat jendela yang tirainya sengaja dia buka. Dia menatap keatas langit yang di penuhi bintang. Keindahan langit malam semakin terlihat karena cahaya bulan purnama.

Mila memeriksa ponselnya, tidak ada yang menghubunginya. Karena Mila memang tak memiliki teman dekat atau sahabat. Dia lebih memilih berteman ala kadarnya. Ibunya juga tidak memiliki nomor teleponnya, jadi dia merasa aman dalam pelarian ini.

"Mungkin, saat ini ... ini adalah tempat teraman untukku. Lagi pula aku mau pergi kemana jika keluar dari sini? Aku belum siap untuk menjadi gelandangan."

Mila berbicara seorang diri dengan menompang kepalanya dengan tangan kirinya yang dia sandarkan di dinding.

"Milo!"

Mila menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup, dia mengangkat satu alisnya karena merasa heran.

"Tumben dia ada di sini?" gumam Mila.

Mila beranjak dari tempatnya dan  membuka pintu. Benni berdiri di depan kamar, ia tersenyum menunjukan barisan giginya. Mila terpesona melihat wajah tampan Benni, apalagi senyumannya yang terlihat begitu menawan. Gigi gingsulnya menambah pesona tersendiri. Biasanya wajah Benni lebih sering masam dan seram.

"Mil," sebut Benni membuat Mila tersadar dari lamunannya.

"Hm, Bang Benni kok ada di sini?"

"Iya, malam ini Dirga sedang ada urusan. Jadi aku yang menggantikannya menjaga kamu."

"Owh,"  timpal Mila.

"Sini, ayo keluar dulu!" ajak Benni, Mila mengikuti Benni keluar menuju ruang tamu.

Mulut Mila ternganga saat melihat meja tamu yang penuh dengan makanan.

"Sini, duduk!" titah Benni.

Saat duduk, mata Mila tak lepas memandang ke arah meja.

"Ada acara apa, ini?" tanya Mila bingung.

"Tak ada, aku hanya sedang ingin ngemil. Aku teringat kamu jadi membeli banyak. Adikku suka membeli makanan seperti ini, kamu juga pasti suka, kan?"

Mila tersenyum kecil mendengar penjelasan Benni. Dia tak menyangka jika Benni akan seperhatian ini padanya. Ada es thai tea boba, telur gulung, gohyong, mie jebew, martabak manis, dim sum dan es teh jumbo.

"Ini terlalu banyak, Bang."

"Tak apa, pasti habis!" jawab Benni sambil mengunyah telur gulung.

Mila tersenyum memperhatikan Benni, "Apa suasana hatimu sedang tidak baik-baik saja?"

Pertanyaan Mila membuat Benni berhenti mengunyah.

"Preman sepertiku pasti suasana hatinya selalu tidak baik. Setiap hari dihantui rasa berdosa karena meminta sesuatu dari orang secara paksa."

"Sudah tahu jika tidak membuat hati tenang, mengapa masih dijalani?" cecar Mila.

Benni menghela napas berat, lalu menggigit kembali telur gulung yang tersisa di tangan.

"Ayahku seorang rentenir, Mila. Semua orang mengetahui hal itu. Semua orang memandang sebelah mata diriku. Mau aku ini jadi orang baik sekalipun, tetap saja di cap buruk. Jadi sudah terlanjur terjebur, sekalian saja berenang."

"Aku juga anak pelacur, semua orang juga sering memandang rendah diriku. Tapi itu semua tak membuatku mengikuti jejak ibuku," Mila menimpali.

Benni tersenyum miring."Begitulah, kepala sama hitam, hati siapa yang tahu. Kita sama-sama hidup di dunia tapi dengan cerita hidup yang berbeda," ujar Benni.

"Tak kusangka jika kamu bisa berbicara sebijak itu, alangkah baiknya jika dirimu juga mengambil langkah bijak dengan pensiun dari jadi preman. Carilah rejeki yang lebih halal. Kelak kamu akan punya keluarga, nafkahi mereka dengan rejeki yang halal Bang,"  nasehat Mila lalu mengambil martabak manis dan memakannya.

"Milo, apa kamu menyukai Dirga?" Pertanyaan Benni sontak membuat Mila tersedak.

"Pelan-pelan," tutur Benni mengulurkan es boba pada Mila.

Dengan cepat Mila minum, bukannya sembuh dari batuknya, Mila justru semakin terbatuk karena tersedak boba.

"Astaga, bocah ini!" gerutu Benni seraya berdiri dan mendekati Mila. Dia menepuk pelan punggung Mila, hingga boba keluar dari hidungnya. Hal itu menimbulkan gelak tawa Benni.

"Hahaha, Salah tingkah kok sampai tersedak parah," gerutu Benni heran. Mila hanya tersenyum menanggapi ocehan Benni.

"Bang, boleh nanya?" tanya Mila malu-malu.

"Hm, apa."

"Kak Dirga sudah punya pacar belum?''

Benni menatap Mila lalu mengangkat satu alisnya,"Aku tidak yakin. Tapi dia pernah bilang kalau dia dekat dengan seseorang, tapi dia merahasiakan dari kami semua."

Mila mendengus. "Ck, pasti dia khawatir jika gebentanya diembat kalian!" ejek Mila.

"Mengapa harus takut? Kalau wanita yang kita cintai itu orang yang tulus, mencintai kita apa adanya. Pasti dia tidak akan berpaling meski digoda oleh siapapun!" sahut Benni dengan senyuman miring.

Mila bisa melihat perubahan mimik wajah Benni.

"Kenapa wajahmu jadi murung begitu?"

"Aku hanya sedang teringat seseorang," jawab Benni lalu menghela napas kasar.

"Pacarmu?"

"Lebih tepatnya mantan pacar," balas Benni.

"Dia mengkhianatimu?" tanya Mila dengan suara sedikit lirih, khawatir jika Benni tersinggung.

"Ya, begitulah."

"Gak nyari ganti?" tanya Mila, Benni justru tersenyum miring saat mendengar perkataan Mila.

"Kenapa malah tersenyum sinis gitu? Kamu gak mengalami patah hati mendalam, kan. sampai bikin kamu mati rasa sama perempuan. Terus bikin kamu belok?" Mila menyoroti wajah Benni yang juga meliriknya sinis.

"Tentu saja tidak, aku masih normal!" Benni membantah.

"Bener?" ledek Mila.

"Beneran, mau aku buktikan?!" Tantang Benni sambil melotot ke arah Mila yang tersenyum kecil.

"Tidak usah, iya-iya ... aku percaya kok," balas Mila.

"Memangnya pengkhianatan seperti apa yang telah dilakukan pacarmu?" tanya Mila merasa penasaran.

"Sudahlah, tak ada yang perlu diceritakan. Jika aku masih mengungkit cerita lama, itu terkesan aku masih belum bisa move on dari dia.

Padahal sebenarnya, hanya ada rasa benci yang tersisa di hati ini."

"Bukannya kalau benci itu berarti juga belum move on ya?" celetuk Mila.

Benni mendengus, "Rasa benciku ini berbeda Mila."

"Bedanya? Sudahlah Bang, jangan ada dendam. Cari yang baru, kalian tidak bisa bersama karena memang belum berjodoh." Mila kembali menasehati.

"Aku bisa legowo mendengar kalimat, bukan jodoh. Aku juga tidak akan membencinya, jika dia pergi memilih yang lain karena mungkin aku bukan pria yang dia mau.

Rasa benciku padanya, karena dia menikah dengan bapakku. Dia sudah menyakiti hati wanita yang melahirkanku, dengan menjadi istri ketiga bapakku. Dengan alasan, terpaksa. Hegh ... tapi dia menikmati kemewahan yang bapakku berikan!"

Mendengar cerita Benni, mata Mila membeliak, martabak manis di mulutnya berubah terasa begitu pahit. 

"Mila," panggil Benni.

"Ya, Bang," sahut Mila

"Lemari di kamarmu itu, di dalamnya banyak baju perempuan dan juga tas. Masih baru, kamu pakai saja. Daripada kubuang," ucap Benni sembari meletakan sebuah kunci di meja.

"Ambil saja, itu semua dulu kubeli untuk j4l4ng itu. Semua masih baru, dia belum sempat memakai karena keburu menikah dengan bapakku."

Mila terpana, dia merasa bingung harus menerima atau menolak.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status