Bab 5
Dirga mengantar Mila ke sebuah kamar yang letaknya menyorok kedalam. Kreek ... Pintu terbuka dan memperlihatkan kamar yang berisi kasur, lemari pakaian dan nakas. Kamar itu tidak begitu luas, hanya saja ada kamar mandi dalam yang terbilang kecil juga. "Kamu bisa pakai kamar ini, biasanya kamar ini yang tempat pacar Benni. Jika aku kasih kamu kamar yang di belakang sana, tidak ada kamar mandi dalam. Rata-rata yang ada di sini kan cowok, nanti kamu kurang nyaman." "Sudah tahu di sini semua cowok, ngapain aku di tampung di sini. Pindahin kemana gitu," gerutu Mila. "Ya, sementara tinggal di sini dulu. Nanti pasti di pindahin, kok." "Kemana? Kalian gak berniat untuk mindahin aku ke dunia lain, kan?" tanya Mila penuh selidik. "Ya gak lah, biar kita preman tapi tingkatan kita masih sebatas tukang palak. Belum merambah ke yang sana," jawab Dirga santai. Mila melangkah hendak keluar dari kamar, tapi Dirga dengan cepat menarik tote bag gadis tengil itu hingga gadis itu kembali masuk kedalam kamar. "Mau ke mana?" tanya Dirga pada Mila yang saat ini berdiri dihadapannya hanya berjarak beberapa inci. "Hehe, mau mulai bersih-bersih," jawab Mila gugup. Padahal sebenarnya dirinya ingin mencoba melarikan diri. "Besok saja mulai kerjanya, sekarang istirahat. Sebelum tidur, kamu bisa ganti spreinya. Ada di dalam di lemari itu." Dirga menunjuk ke arah lemari. "Iya, Kak." "Aku keluar dulu," ucap Dirga melangkah keluar. Baru beberapa langkah saja, Dirga membalikan badan lagi. "Mila, selalu kunci pintu saat berada di dalam kamar. Ingat itu ..." pesan Dirga. "Memangnya kenapa, apa diantara kalian ada yang mesum?" tanya Mila dengan raut wajah khawatir. Dirga tersenyum tipis, "Lakukan saja apa yang kukatakan." kata Dirga lalu menutup rapat pintu kamar. Mila menggerutu sepeninggal Dirga, dia duduk di tepi tempat tidur. "Ih, nasib apa ini ... kenapa aku bisa terdampar di sini. Eh ..." Mila segera berlari mendekati pintu dan segera menguncinya saat teringat pesan Dirga tadi. "Pasti si hitam keriting itu yang suka mesum, ih ... Aku harus bisa kabur dari tempat ini. Iya kali aku harus hidup dengan lima orang pria asing, jangan samakan hidup ini dengan kisah Drupadi dan pandawa. Hidup Drupadi terjamin karena dicintai para Pandawa yang ganteng dan wangi. Lha aku ... masa iya dicintai sama para preman itu. Ih ... amit-amit. Eh, tapi kecuali Kak Dirga. Dia boleh lah, dia tampan sekali. Si Benni juga itu, tapi dia ngeselin. Ck, kenapa jadi mikirin pria sih, harusnya aku mikir gimana nasibku setelah ini. Ih ... semua ini gara-gara si Jenny. Gak akan pernah aku menganggap dia sebagai ibu kandungku lagi. Ibu macam dia, malah mau menjerumuskan aku ke lembah hitam. Ah ... sial banget sih nasib hidupku." Mila menggerutu panjang hingga tanpa sadar dia merebahkan diri karena lelah dan tertidur. "Mila!" Senyum Mila mengembang saat mendengar suara bapaknya memanggil. Mila berlari kecil meninggalkan kerumunan teman-temannya, mendekati bapaknya, seragam putih abu-abu yang dia kenakan sudah sangat kotor dipenuhi coretan warna pilox. "Bapak sudah datang, mau menjemput Mila ya?" tanya Mila dengan wajah senang. "Tidak, Nak. Belum waktunya kamu ikut bapak. Bapak datang kesini, hanya ingin melihat putri bapak yang sangat tangguh ini. Kamu pasti akan baik-baik saja, kamu kan kuat. Pesan bapak, jaga diri baik-baik ya, maafkan ibumu." "Pak, Mila ingin sama Bapak. Dijagain bapak, bukan malah disuruh jaga diri sendiri. Mila takut, pak ... Ibu tidak pernah menyayangi Mila. Dia ingin menjadikan Mila jaminan hutang!" jawab Mila sesegukan. "Tenanglah, suatu saat pasti akan ada yang melindungimu, menyayangimu sesuai dengan apa yang kamu harapkan." "Tidak, aku ingin bersama Bapak dan Oma Rita. Kalian tega sekali meninggalkanku sendiri!" seru Mira tak terima. "Tunggu ... Bapak kan sudah tiada terus ini ..." Mila tergagap sambil menunjuk ke arah bapaknya yang mula-mula tersenyum lalu berubah tertawa terbahak-bahak. Mila terpaku , menatap terkejut kearah Bapaknya yang lambat laun suara tawanya berubah menjadi suara tawa ibunya. Mila semakin terpana karena sosok bapaknya berubah menjadi ibunya yang tertawa dengan tatapan sinis ke arahnya. "Kau harus menikah dengan rentenir tua itu, agar hutang-hutangku lunas. Kau sudah kulahirkan kedunia ini, kau harus membayar setiap rasa sakit yang kurasakan saat melahirkanmu. Kau harus membayar semua Karmila!" teriakan Jenny terdengar menggema dari segala penjuru. Napas Mila tersengal, dia menggeleng tidak setuju. Ada beberapa orang pria berpakaian preman hendak mengejarnya. Mila mencoba untuk berlari, akan tetapi kakinya bagai terkubur di dalam tanah. Berat sekali untuk diangkat. Mila terus mencoba berlari kencang meski tak bisa. Tiba-tiba ada tangan yang menariknya untuk berlari kencang. Ternyata sosok pria yang tak begitu jelas dalam pandangan matanya. Mila mengikuti setiap aba-aba pria yang menariknya lari itu. Tok~tok~tok "Mil, bangun!" panggil Dirga seraya mengetuk pintu dengan keras. Mila terhenyak, dia langsung terduduk dan memandang ke sekeliling. Mila membuang napas kasar saat menyadari jika dirinya berada di kamar orang asing. "Iya, Kak!" seru Mila seraya turun dari tempat tidur. Dirga tersenyum saat pintu kamar sudah terbuka. Dia menyodorkan paper bag berukuran lumayan besar. "Apa itu?" tanya Mila enggan untuk menerima. "Ini pakaian milik adiknya Benni, dia seusia denganmu bahkan badan kalian juga seukuran," Dirga menjelaskan dengan tangan yang masih terulur. Mila menerima paper bag itu, dia membuka untuk mengintip isi paper bag itu. "Tapi," ucap Mila menggantung. "Apa, pakaian dalam?" Dirga seolah paham apa yang ingin ditanyakan Mila. Ternyata Mila mengangguk, mengiyakan perkataan Dirga. "Tenang saja, semua ada di dalam situ. Pakaian dalam semua masih baru. Benni yang membelikannya," ucap Dirga menjelaskan. Mila terkejut saat mendengar nama Benni disebut. "Terima kasih," ucap Mila lalu menutup pintu dan membawa paper bag mendekati tempat tidur. Dia menumpahkan seluruh isi paper bag di tempat tidur. Benar saja, pakaian dalamnya semua baru karena masih ada bandrolnya. Mila membentangkan bra berwarna maroon itu dan menelitinya. "Hei, ini memang ukuranku. Dari mana si Benni tahu ukuranku," desis Mila heran. Dia meraba dadanya,"wah, tidak beres si Benni ini." gerutu Mila sambil membentang pakaian dalam satu per satu. “Ya Tuhan, dia membeli dengan warna yang …ih, dari mana dia tahu selera perempuan ya? Uhm, mungkin dia minta rekomendasi penjualnya. Eh, beli … emang dia gak malu beli beginian. Jangan-jangan dia nyolong.” Mila bergumam sendirian, dia merasa heran dengan Benni yang menyiapkan baju dalam dengan model dan warna yang sesuai dengan seleranya. Bersambung ...Bab 6 Benni masuk ke dalam rumahnya, dia ingin memastikan jika gadis yang dia sembunyikan itu, akan jadi incaran bapaknya atau tidak. Jika tidak, dia akan melepaskan gadis itu pergi dari markasnya. Saat dia masuk, ada tiga orang anak buah bapaknya yang berdiri dengan kepala tertunduk di hadapan Pak Broto yang duduk bersilang kaki, sesekali pria itu menghisap dalam-dalam rokok yang diapit oleh kedua jari tangan kanannya. "Jadi, Jenny belum bisa bayar semua hutang pacarnya yang kabur itu?" tanya Pak Broto. "Iya, Bos," jawab Kemi. Benni memasang telinga dan pura-pura mencari sesuatu di lemari kayu yang berada tak jauh dari sofa ruang tamu. "Ini Bos," Komar menyerahkan selembar kertas berukuran 15x15 pada Pak Broto. Pak Broto menerimanya lalu menyipitkan mata saat melihat ke arah kertas poto yang bergambar seorang gadis berambut panjang dan masih berseragam sekolah. "Apa maksudnya ini, kalian mau aku mengadopsi anak ini?" tanya Pak Broto dengan raut wajah kebingungan.
Bab 7Diatas tikar yang terbentang di bawah pohon mangga yang rindang, terhidang nasi hangat, lele goreng lengkap dengan lalapan beserta sambal. Es teh juga sudah siap untuk mengobati dahaga. "Milo, kamu tidak punya keinginan untuk melanjutkan kuliah?" tanya Benni disela-sela makan siang mereka. Tangan Mila yang hendak menyuapkan nasi, seketika terhenti. "Gak mikir sampai ke situ aku, Bang. Aku tidak pernah punya pikiran yang muluk-muluk. Bisa lulus sampai SMK saja sudah bersyukur. Iya kali mau kuliah, biaya hidup saja aku harus cari sendiri sampai ngab. Gak pernah kepikiran pokoknya." "Jadi, sekarang kan sudah lulus. Apa rencanamu?" tanya Benni lagi. "Rencana apa? orang aku sudah terkurung di sini. Ya pikirannya, ya cuma di sini doang. Mau punya rencana apa lagi, coba? Misal Bang Benni mau ngelepasin aku, mungkin aku baru mikir rencana mau hidup yang kayak gimana." "Milo, aku bukannya berniat mengurung kamu. Tapi, anak buah bapakku memang sedang mencari-cari kamu. Waktu meliha
"Hei, buruan jawab! Kenapa malah senyam-senyum kayak orang gila!" ujar Benni kesal. "Hehe, menyetir. Biar bisa menyetir mobil, biar bisa kebut-kebutan. Impianku itu jadi pembalap mobil kayak film yang pernah kutonton. Tapi entah apa judulnya, lupa," ujar Mila sambil cengar-cengir, tanpa dia tahu jika kelima pria yang mendengar ocehannya merasa dongkol. "Bener-bener kurang se-ons ini bocah!" umpat Jojo lalu memasukan sayur selada ke mulutnya dengan kasar. "Kita turutin saja maunya si Milo ini. Kita masukan dia kursus nyetir, biar impiannya jadi pembalap tercapai!" ujar Benni menatap serius Mila. Mila tersenyum menunjukan rasa senangnya. "Serius kamu, Ben?" tanya Dirga terkejut. "Serius, nanti kalau dia sudah jago. Kita bisa rekrut dia jadi driver kita. Kita kan udah punya rencana mau buat tim p3rampokan. Itu loh, rencana untuk merampok bank," ujar Benni sambil mengedipkan sebelah matanya pada Jojo. "Eh, iya betul juga. Bagus kalau begitu. Ya sudah, jangan tunggu lama-lama
Mila duduk di dekat jendela yang tirainya sengaja dia buka. Dia menatap keatas langit yang di penuhi bintang. Keindahan langit malam semakin terlihat karena cahaya bulan purnama. Mila memeriksa ponselnya, tidak ada yang menghubunginya. Karena Mila memang tak memiliki teman dekat atau sahabat. Dia lebih memilih berteman ala kadarnya. Ibunya juga tidak memiliki nomor teleponnya, jadi dia merasa aman dalam pelarian ini. "Mungkin, saat ini ... ini adalah tempat teraman untukku. Lagi pula aku mau pergi kemana jika keluar dari sini? Aku belum siap untuk menjadi gelandangan." Mila berbicara seorang diri dengan menompang kepalanya dengan tangan kirinya yang dia sandarkan di dinding. "Milo!" Mila menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup, dia mengangkat satu alisnya karena merasa heran. "Tumben dia ada di sini?" gumam Mila. Mila beranjak dari tempatnya dan membuka pintu. Benni berdiri di depan kamar, ia tersenyum menunjukan barisan giginya. Mila terpesona melihat wajah tampan Benni,
Ceklek ~ Mulut Mila ternganga saat pintu lemari suah terbuka lebar. "Wow!" pekiknya. "Busyet, banyak banget. Ih ... tasnya bagus-bagus ... tapi ini model cewek dewasa!" seru Mila menyentuh satu persatu tas di dalam lemari. Dia mengambil satu tas dan mencobanya dengan mengalungkan di tangannya. Dia berpose seolah menjadi wanita sosialita. Mila meletakan kembali tas ke tempat semula, dia berjongkok lalu menyentuh berurutan sepatu dan high heels di bagian paling bawah lemari. "Oh My God, semua barangnya bagus-bagus. Ketua preman kampung gaes ... beli barang buat buat ceweknya gak kaleng-kaleng. Ckckck ..." Mila berdecak kagum. Mila membuka lemari pintu bagian satunya, biji mata Mila hampir terlepas melihat tumpukan baju di bagian atas. Semua masih terbungkus plastik. Di bagian yang tergantung juga penuh dengan gaun yang indah. "Ih, iya kali aku pakai gaun begini. Berasa sudah dewasa aku!" sambil bergumam Mila menempelkan satu mini dress di badannya. Dia mengembalik
Bab 11 Selesai sarapan, Benni berniat pulang ke rumahnya dahulu sebelum pergi mengambil pajak keamanan para pedagang pasar dan toko di kampung sekitar. Dia meninggalkan Mila dan Dirga begitu saja saat mereka asyik mengobrol di dapur. "Bajumu bagus Mila," puji Dirga. "Hm, ini dikasih gratis sama Bang Ben. Banyak banget tuh di lemari. Katanya dia beli buat mantan pacar dia." "Iya, dulu pacarnya Benni suka sekali shopping. Uang Benni banyak sekali yang dikeluarkan untuk Shasa. Buruk sekali nasib Benni, jatuh hati pada wanita matre," Dirga tersenyum miring di akhir ceritanya. "Mengapa Shasa bisa menikah dengan bapaknya Bang Ben?" Dirga menatap Mila. "Benni menceritakannya padamu?" "Sedikit, cuma keceplosan mungkin," jawab Mila mengira-ngira. "Orang tua Shasa memiliki hutang pada Pak Broto, mereka tidak bisa membayar hutang mereka. Kebetulan Pak Broto menyukai Shasa, beliau menjanjikan semua hutang orang tua Shasa lunas. Asal Shasa mau jadi istri mudanya." "Cih,
Bab 12. Mila merasa tidak nyaman pada bagian perut bawahnya. Hal itu membuatnya teringat jika dirinya mungkin kedatangan tamu bulanan. Mila mendengus saat mendapati bahwa dirinya memang sedang datang bulan, sedangkan dirinya tidak memiliki pembalut. Mila menemui Dirga yang sedang sedang menonton tv bersama Jojo dan Wawan. "Kak, ada yang ingin aku katakan ini," ucap Mila "Hm, iya... apa Mil?" tanya Dirga masih fokus menatap ke arah layar tv. "Anu, mau minta tolong," imbuh Mia membuat Dirga menoleh ke arahnya. "Minta tolong apa?" tanya Dirga. "Sini!" Mila melambaikan tangan mengajak Dirga menjauhi Wawan. Dia malu jika sampai Wawan mendengar. Dirga mendekati Mila, mereka berdua sedikit menjauhi Wawan. "Ada apa?" tanya Dirga penasaran. "Kak," bisik Mila sedikit lebih mendekat dengan Dirga,"Aku kedatangan tamu bulanan. Aku gak punya pem balut." Mila memberitahu dengan tersenyum canggung. Dirga menatap Mila, Dirga menampakan wajah bingungnya. "Lha terus gimana, Mil?" tanya Dirg
Selepas bekerja, Benni langsung pulang ke rumahnya. Benni mengerutkan keningnya saat mendapati ada mobil berwarna merah di dalam bagasi rumahnya. Dia pun mematikan mesin motor dan menurunkan standar. "Ini kan, Mobil milik Shasa. Mengapa bisa ada di sini?" batin Benni. Benni bergegas masuk ke dalam rumah, melalui pintu garasi yang menembus ruangan dapur. Di sana, ada tiga orang wanita yang sedang memasak. Mereka tampak sangat akur. Benni menghela napas kasar melihat pemandangan Ibunya yang begitu akrab dengan kedua adik madunya itu. Pemandangan secara kasar mata yang sengaja di perlihatkan Bu Rani pada dunia, jika dirinya baik-baik saja meski dimadu dua kali oleh suaminya. Dia bersikap baik dan akrab dengan Bu Sari istri kedua suaminya dan Shasa istri termuda suaminya saat ini. Padahal, setiap kali sendiri, Bu Rani sering menangis. Benni mengatahui semua itu, dia pernah melihat tanpa sengaja betapa Bu Rani menangis meraung saat berdebat dengan Pak Broto. Sebab itu lah, Benni sangat