Bab 4
Benni menatap ke arah Mila yang melipat kedua tangannya di perut. Terus kamu maunya kerja apa? Di sini selain aman, kamu juga bisa dapat makan gratis. Dapat gaji, tinggal di tempat yang nyaman. Kamu kerja di sini dapat gaji, sudah. Tidak perlu banyak mikir kerjaannya haram atau halal. Uang yang buat bayar uang haram atau bukan. , yang penting uang lancar,” tutur Benni santai. "Dari jawabanmuku bisa menyimpulkan jika kalian itu memang benar-benar menggeluti bisnis gelap," ucap Mila. "Biarin gelap, biar tidak kena bayar listrik tiap bulan!" balas Benni hingga membuat Dirga menahan tawa. "Biarkan aku pergi, aku tidak mau terlibat dengan urusan kalian. Jangan khawatir, jika tertangkap aku tidak akan pernah mau menikah dengan bapakmu. Aku juga tidak akan kembali ke rumah ibuku," tegas Mila. "Hei, anak buah bapakku itu bukan Komar dan Aseng doang. Tapi banyak sekali di luaran sana! Saat ini di pastikan kamu itu sudah jadi buronan mereka." "Masa? Kenapa kamu beriya-iya sekali memaksaku tinggal di sini. Kamu naksir aku ya? Uhm ... tapi maaf ya, kamu bukan tipeku!" ujar Mila. "Cih ... najis tralala ya! Narsis banget sih kamu. Ya sudah sana, pergi saja. Eneg lama-lama ngomong sama ni bocah!" usir Benni karena benar-benar merasa kesal. Mila terdiam sejenak, memikirkan kata -kata Benni. Dia juga berpikir, mau pergi kemana dia jika keluar dari rumah ini. Saudara saja tidak punya. "Uhm, kayaknya aku berubah pikiran deh," ucap Mila disambut senyuman manis oleh Dirga. "Kalau boleh tau, Abang mau ngasih pekerjaan apa ke saya? Tapi tolong ya Bang, jangan yang berat-berat atau yang aneh-aneh. Saya masih kecil, lugu, dan yang pasti gadis baik-baik," tutur Mila dengan wajah dibuat semanis mungkin. Dirga tersenyum melihat tingkah Mila, sedangkan Benni menekuk mukanya. "Kamu lihat rumah ini, kotor kan?" tanya Benni sambil menunjuk ke seluruh ruangan. "Ho'oh, pake banget malah," sahut Mila. "Nah, itu pekerjaanmu!" ucap Benni sambil mengeluarkan rokok dari bungkusnya dan menempelkan di bibirnya. "Jadi pembantu," gumam Mila lirih sambil memutar bola matanya dan berpikir. "Aku jadi pembantu di sini?" tanya Mila lagi, meminta kejelasan. "Ya," jawab Benni. "Berapa gajinya?" tanya Mila dengan wajah polos. Dirga dan Benni saling memandang satu sama lain. "Ya, disamakan dengan gaji ART di luaran sana lah," jawab Benni. "La iya di luaran sana itu gaji ART berapa, Bang. Harus jelas dong, jangan sampai aku capek-capek kerja eh ... bayarannya ga sesuai." "2800, tapi full. Bersih-bersih dan masak!" ujar Benni. "Kamu bisa masak, kan?" tanya Dirga. Mila terdiam memikirkan tawaran dua orang asing yang baru saja bertemu dengannya. "2800, itu maksudnya?" tanya Mila polos. "Dua juta delapan ratus, Neng ... Oneng!" seru Benni gemas. "Oh, oke ... cuma soal masak, aku cuma bisa bikin telur ceplok, tempe goreng ...'' "Ya terserah kamu bisa masaknya apa, asal jangan kamu bikin rumah ini ikut termasak sampai gosong saja, sudah," sahut Benni. "Iya, sebenarnya soal masak tidak penting. Karena kami bisa makan di rumah masing-masing. Kamu cuma perlu memasak untuk diri kamu sendiri." Dirga menimpali. "Begitu," sahut Mila tersenyum senang, "omon-omon nih ... kalian kerjanya apa?" tanya Mila dengan bahasa alay. "Gak usah kepo!" jawab Benni. "Gak bisa gitu, aku kan ada di rumah kalian nih. Misal kalian kerjanya jadi pengedar atau pembvnvh bayaran gitu kan. Terus ketangkep polisi, aku gak mau dong ikut terseret cuma karena aku tinggal sama kalian!" protes Mila. "Ya Tuhan, cerewet amat nih anak. Ah, mau balik aku! Urus nih dia, lama-lama ngomong sama dia, bisa punya darah tinggi aku!" gerutu Benni seraya bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan ruang tamu. Dirga dan Mila saling melempar senyum saat tatapan mereka bertemu. Dirga berdehem untuk mencairkan suasana. "Pekerjaan kami bukan seperti yang kamu sebutkan tadi," ucap Dirga menjelaskan. "Terus apa? Kurir paket?" Mila menimpali. "Bukan juga, kerjaan kami itu keliling pasar dan kampung." "Oh, hansip," tebak Mila. "Bukan," jawab Dirga. "Kredit keliling?" tebak Mila lagi. "Bukan juga," jawab Dirga santai. "Terus apa? Tukang palak!" ujar Mila sedikit kesal karena salah tebak terus. "Nah ... itu!" jawab Dirga. Mulut Mila terbuka lebar saat mendengar jawaban dari Dirga. "Eh, jangan bercanda Kak!" seru Mila. "Serius kok," jawab Dirga dengan wajah datar. "Oh, jadi kalian ini preman?” gumam Mila masih tak percaya. "He'em." "Berarti aku ini bakal kerja sama preman?" ucap Mila masih seperti tidak percaya. "Yoi," timpal Dirga dengan senyuman bangga. "Preman kampung ..." ucap Mila hingga membuat senyuman Dirga memudar. "Terserah kamu, mau nyebut preman kampung atau preman pasar. Yang penting kamu serius kerjanya," ucap Dirga. "Keluar dari kandang kambing malah masuk kandang garangan," celetuk Mila. Dirga memutar bola matanya, lalu tersenyum kecil. Dia paham, mungkin gadis di hadapannya itu ragu karena harus tinggal bersama orang asing. "Oh ya, nama kamu siapa? Dari tadi ngobrol tapi belum tahu namanya," tanya Dirga "Mila, umur 18 lebih sebulan. Baru lulus sekolah tadi, seragam juga baru dioret-oret tadi. Masih di atas kasur belum kulipat," jawab Mila dengan wajah lelah. Dia mengeluarkan satu gorengan dari plastik yang dari tadi berada di tangannya. Dengan wajah lesu, Mila menggigit gorengan. Dirga tersenyum melihat pemandangan di hadapannya itu," Namaku Dirga, kamu ..." "Iya Kak Dirga, salam kenal. Boleh minta minum gak? Haus nih," potong Mila sambil mengelus lehernya tanda jika dirinya memang kehausan. "Boleh, sebentar ya biar aku ambilkan." Dirga mengangguk lalu pergi ke dapur mengambilkan minum untuk Mila. Mila memperhatikan sekeliling, hatinya bergejolak antara ingin kabur atau ingin tinggal. Jika kabur, dia bingung harus pergi kemana. Dirga datang membawa sebotol air mineral dingin. Dia meletakan di hadapan Mila. “minumlah!” ujar Dirga sembari duduk. “Terima kasih,” ucap Mila meraih botol dan meminumnya. “Setelah selesai, mari kuantar ke kamarmu. Kamu bisa istirahat.” Mila menatap Dirga.”Ck, Baiklah. Ayo!” Mila berdiri, Dirga ikut berdiri lalu berjalan menuju ke dalam diikuti Mila. “Rumah ini lumayan besar, ya?” celetuk Mila memperhatikan sekeliling. “Hm, bukan lumayan tapi memang besar,” Dirga menimpali. “Astaga, Aku pasti bakalan kelelahan kerja di sini. Semoga semua ini lekas berlalu dan selesai. Aku bisa segera bertemu seorang pangeran berkuda putih, yang bisa menolongku dari jurang penderintaan ini,” gumam Mila. “Aamiin,” sahut Dirga. “Hm, Kamu suka dimasakin apa, Kak?” tanya Mila spontan. Dirga tersenyum miring. “Tadi katanya tidak bisa masak? Kenapa sekarang bertanya, aku minta dimasakin apa?” Mila tersenyum malu, dia lupa kalau dirinya sedang pura-pura tidak bisa masak. “Aku nanti bisa belajar lewat yutub, Kak.” “Aku ini pemakan segala, daging segar pun kumakan,” jawab Dirga tersenyum kecil. “Hah, kamu kanibal?” “Jangan banyak nanya, ayo Aku antar Kamu ke kamar!” jawab Dirga. Bersambung …Bab 5Dirga mengantar Mila ke sebuah kamar yang letaknya menyorok kedalam.Kreek ...Pintu terbuka dan memperlihatkan kamar yang berisi kasur, lemari pakaian dan nakas. Kamar itu tidak begitu luas, hanya saja ada kamar mandi dalam yang terbilang kecil juga."Kamu bisa pakai kamar ini, biasanya kamar ini yang tempat pacar Benni. Jika aku kasih kamu kamar yang di belakang sana, tidak ada kamar mandi dalam. Rata-rata yang ada di sini kan cowok, nanti kamu kurang nyaman.""Sudah tahu di sini semua cowok, ngapain aku di tampung di sini. Pindahin kemana gitu," gerutu Mila."Ya, sementara tinggal di sini dulu. Nanti pasti di pindahin, kok.""Kemana? Kalian gak berniat untuk mindahin aku ke dunia lain, kan?" tanya Mila penuh selidik."Ya gak lah, biar kita preman tapi tingkatan kita masih sebatas tukang palak. Belum merambah ke yang sana," jawab Dirga santai.Mila melangkah hendak keluar dari kamar, tapi Dirga dengan cepat menarik tote bag gadis tengil itu hingga gadis itu kembali masuk kedal
Bab 6 Benni masuk ke dalam rumahnya, dia ingin memastikan jika gadis yang dia sembunyikan itu, akan jadi incaran bapaknya atau tidak. Jika tidak, dia akan melepaskan gadis itu pergi dari markasnya. Saat dia masuk, ada tiga orang anak buah bapaknya yang berdiri dengan kepala tertunduk di hadapan Pak Broto yang duduk bersilang kaki, sesekali pria itu menghisap dalam-dalam rokok yang diapit oleh kedua jari tangan kanannya. "Jadi, Jenny belum bisa bayar semua hutang pacarnya yang kabur itu?" tanya Pak Broto. "Iya, Bos," jawab Kemi. Benni memasang telinga dan pura-pura mencari sesuatu di lemari kayu yang berada tak jauh dari sofa ruang tamu. "Ini Bos," Komar menyerahkan selembar kertas berukuran 15x15 pada Pak Broto. Pak Broto menerimanya lalu menyipitkan mata saat melihat ke arah kertas poto yang bergambar seorang gadis berambut panjang dan masih berseragam sekolah. "Apa maksudnya ini, kalian mau aku mengadopsi anak ini?" tanya Pak Broto dengan raut wajah kebingungan.
Bab 7Diatas tikar yang terbentang di bawah pohon mangga yang rindang, terhidang nasi hangat, lele goreng lengkap dengan lalapan beserta sambal. Es teh juga sudah siap untuk mengobati dahaga. "Milo, kamu tidak punya keinginan untuk melanjutkan kuliah?" tanya Benni disela-sela makan siang mereka. Tangan Mila yang hendak menyuapkan nasi, seketika terhenti. "Gak mikir sampai ke situ aku, Bang. Aku tidak pernah punya pikiran yang muluk-muluk. Bisa lulus sampai SMK saja sudah bersyukur. Iya kali mau kuliah, biaya hidup saja aku harus cari sendiri sampai ngab. Gak pernah kepikiran pokoknya." "Jadi, sekarang kan sudah lulus. Apa rencanamu?" tanya Benni lagi. "Rencana apa? orang aku sudah terkurung di sini. Ya pikirannya, ya cuma di sini doang. Mau punya rencana apa lagi, coba? Misal Bang Benni mau ngelepasin aku, mungkin aku baru mikir rencana mau hidup yang kayak gimana." "Milo, aku bukannya berniat mengurung kamu. Tapi, anak buah bapakku memang sedang mencari-cari kamu. Waktu meliha
"Hei, buruan jawab! Kenapa malah senyam-senyum kayak orang gila!" ujar Benni kesal. "Hehe, menyetir. Biar bisa menyetir mobil, biar bisa kebut-kebutan. Impianku itu jadi pembalap mobil kayak film yang pernah kutonton. Tapi entah apa judulnya, lupa," ujar Mila sambil cengar-cengir, tanpa dia tahu jika kelima pria yang mendengar ocehannya merasa dongkol. "Bener-bener kurang se-ons ini bocah!" umpat Jojo lalu memasukan sayur selada ke mulutnya dengan kasar. "Kita turutin saja maunya si Milo ini. Kita masukan dia kursus nyetir, biar impiannya jadi pembalap tercapai!" ujar Benni menatap serius Mila. Mila tersenyum menunjukan rasa senangnya. "Serius kamu, Ben?" tanya Dirga terkejut. "Serius, nanti kalau dia sudah jago. Kita bisa rekrut dia jadi driver kita. Kita kan udah punya rencana mau buat tim p3rampokan. Itu loh, rencana untuk merampok bank," ujar Benni sambil mengedipkan sebelah matanya pada Jojo. "Eh, iya betul juga. Bagus kalau begitu. Ya sudah, jangan tunggu lama-lama
Mila duduk di dekat jendela yang tirainya sengaja dia buka. Dia menatap keatas langit yang di penuhi bintang. Keindahan langit malam semakin terlihat karena cahaya bulan purnama. Mila memeriksa ponselnya, tidak ada yang menghubunginya. Karena Mila memang tak memiliki teman dekat atau sahabat. Dia lebih memilih berteman ala kadarnya. Ibunya juga tidak memiliki nomor teleponnya, jadi dia merasa aman dalam pelarian ini. "Mungkin, saat ini ... ini adalah tempat teraman untukku. Lagi pula aku mau pergi kemana jika keluar dari sini? Aku belum siap untuk menjadi gelandangan." Mila berbicara seorang diri dengan menompang kepalanya dengan tangan kirinya yang dia sandarkan di dinding. "Milo!" Mila menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup, dia mengangkat satu alisnya karena merasa heran. "Tumben dia ada di sini?" gumam Mila. Mila beranjak dari tempatnya dan membuka pintu. Benni berdiri di depan kamar, ia tersenyum menunjukan barisan giginya. Mila terpesona melihat wajah tampan Benni,
Ceklek ~ Mulut Mila ternganga saat pintu lemari suah terbuka lebar. "Wow!" pekiknya. "Busyet, banyak banget. Ih ... tasnya bagus-bagus ... tapi ini model cewek dewasa!" seru Mila menyentuh satu persatu tas di dalam lemari. Dia mengambil satu tas dan mencobanya dengan mengalungkan di tangannya. Dia berpose seolah menjadi wanita sosialita. Mila meletakan kembali tas ke tempat semula, dia berjongkok lalu menyentuh berurutan sepatu dan high heels di bagian paling bawah lemari. "Oh My God, semua barangnya bagus-bagus. Ketua preman kampung gaes ... beli barang buat buat ceweknya gak kaleng-kaleng. Ckckck ..." Mila berdecak kagum. Mila membuka lemari pintu bagian satunya, biji mata Mila hampir terlepas melihat tumpukan baju di bagian atas. Semua masih terbungkus plastik. Di bagian yang tergantung juga penuh dengan gaun yang indah. "Ih, iya kali aku pakai gaun begini. Berasa sudah dewasa aku!" sambil bergumam Mila menempelkan satu mini dress di badannya. Dia mengembalik
Bab 11 Selesai sarapan, Benni berniat pulang ke rumahnya dahulu sebelum pergi mengambil pajak keamanan para pedagang pasar dan toko di kampung sekitar. Dia meninggalkan Mila dan Dirga begitu saja saat mereka asyik mengobrol di dapur. "Bajumu bagus Mila," puji Dirga. "Hm, ini dikasih gratis sama Bang Ben. Banyak banget tuh di lemari. Katanya dia beli buat mantan pacar dia." "Iya, dulu pacarnya Benni suka sekali shopping. Uang Benni banyak sekali yang dikeluarkan untuk Shasa. Buruk sekali nasib Benni, jatuh hati pada wanita matre," Dirga tersenyum miring di akhir ceritanya. "Mengapa Shasa bisa menikah dengan bapaknya Bang Ben?" Dirga menatap Mila. "Benni menceritakannya padamu?" "Sedikit, cuma keceplosan mungkin," jawab Mila mengira-ngira. "Orang tua Shasa memiliki hutang pada Pak Broto, mereka tidak bisa membayar hutang mereka. Kebetulan Pak Broto menyukai Shasa, beliau menjanjikan semua hutang orang tua Shasa lunas. Asal Shasa mau jadi istri mudanya." "Cih,
Bab 12. Mila merasa tidak nyaman pada bagian perut bawahnya. Hal itu membuatnya teringat jika dirinya mungkin kedatangan tamu bulanan. Mila mendengus saat mendapati bahwa dirinya memang sedang datang bulan, sedangkan dirinya tidak memiliki pembalut. Mila menemui Dirga yang sedang sedang menonton tv bersama Jojo dan Wawan. "Kak, ada yang ingin aku katakan ini," ucap Mila "Hm, iya... apa Mil?" tanya Dirga masih fokus menatap ke arah layar tv. "Anu, mau minta tolong," imbuh Mia membuat Dirga menoleh ke arahnya. "Minta tolong apa?" tanya Dirga. "Sini!" Mila melambaikan tangan mengajak Dirga menjauhi Wawan. Dia malu jika sampai Wawan mendengar. Dirga mendekati Mila, mereka berdua sedikit menjauhi Wawan. "Ada apa?" tanya Dirga penasaran. "Kak," bisik Mila sedikit lebih mendekat dengan Dirga,"Aku kedatangan tamu bulanan. Aku gak punya pem balut." Mila memberitahu dengan tersenyum canggung. Dirga menatap Mila, Dirga menampakan wajah bingungnya. "Lha terus gimana, Mil?" tanya Dirg