Mobil yang ditumpangi oleh Citra sudah tiba di salah satu restoran tempat dirinya akan bertemu dengan ibu angkatnya—Sella, itupun setelah dia berusaha meyakinkan suaminya agar mengizinkan untuk pergi.
“Di sini tempatnya, Bu?” tanya Renggana yang diperintahkan oleh Zunair untuk mengantar istrinya. Padahal lelaki itu merupakan asisten utama setelah Dave yang akan ikut andil dengan urusan Zuna.
“Iya di sini, ya sudah saya turun dulu, ya, mas Renggana enggak apa-apa kok pulang lebih dulu saja, biar saya naik taksi saja,” ujar perempuan itu yang sedang membuka seat belt-nya.
“Mana bisa, Bu, saya sudah diperintahkan oleh pak Zuna untuk mengantar dan pulang bersama Ibu. Jadi, saya akan tetap menunggu Bu Citra.”
“Owh terima kasih banyak, kalau begitu saya pergi dulu, ya.”
“Baik, Bu.”
Dengan sangat ramah lelaki itu keluar lebih dulu untuk membukakan pintu agar memudahkan Citra keluar. Setelah itu barulah Citra melangkah untuk menemui ibu angkatnya. Renggana tampak lekat memperhatikan langkah kaki perempuan itu, tidak ada yang salah memang dengan wajah dan penampilannya, wajah yang cantik ditunjang dengan penampilannya yang sangat elegan. Pak Zuna benar-benar bisa memantaskan gadis itu untuk masuk ke keluarganya.
Namun, yang membuat Renggana penasaran apakah lelaki itu mulai memiliki perasaan terhadapnya, mengingat saat berangkat tadi dia melihat tatapan mendalam Zuna terhadapnya, bahkan lelaki itu yang memintanya untuk mengantar Citra.
Di tengah kebingungan Renggana dibuyarkan oleh getaran ponsel di saku celananya. Dengan cepat lelaki itu merogoh benda pipih tersebut dan ternyata panggilan dari lelaki yang membuatnya ingin sekali marah.
“Apa maksud pak Zuna meminta saya untuk mengantar bu Citra?” Renggana langsung mengungkapkan kekesalannya ketika sambungannya sudah terhubung.
“Memangnya kenapa? Saya melakukannya agar dia tidak curiga?”
“Siapa yang akan curiga, baru kemarin saya bekerja dengan pak Zuna, lagi pula saya menempatkan diri menjadi rekan kerja anda, Pak, bukan sebagai kekasih anda. Saya tahu itu hanyalah alasan anda saja!” tegas Renggana.
“Renggana, dengarkan saya, memang tidak ada yang curiga, tapi banyak mata-mata di rumah itu. Apa kamu lupa jika kamu sudah menjadi detektif untuk saya cukup lama, seharusnya kamu sudah bisa membedakan donh. Kamu ikuti saja perintah dari saya.”
“Lalu, tujuan anda menelepon untuk apa?”
“Saya hanya memastikan jika kamu mengantar ke tempat yang benar.”
“Wah, apa anda sudah benar-benar jatuh cinta kepadanya? Kenapa terdengar perhatian sekali, seolah jika saya akan membawanya pergi jauh.”
“Berhentilan omong kosong! Kamu tetap tunggu dan antar Citra kembali, ibu angkatnya adalah orang jahat dan matre, dia bisa melakukan apa pun, tetap perhatikan gerak-geriknya.”
“Ya, ya!”
Dengan terpaksa Renggana mengiyakan perintah dari Zuna, meski dia tidak mengerti dengan sikap lelaki itu yang cukup perhatian kepada istrinya, bukankah tujuannya menikahi perempuan itu hanya untuk menyelamatkan diri dari pikiran negatif karena belum menikah di usia matang, dan juga untuk keturunan, bagi keluarga konglomerat dan sultan sepertinya keturunan merupakan hal terpenting. Apakah dirinya harus percaya karena hal itu.
“Awas saja jika sampai pak Zuna benar-benar mencintainya, saya bisa menghancurkan siapapun orang yang berani untuk menghancurkan asmara yang pernah kita jalani,” cetus Renggana yang memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
Lelaki itu dengan setia menunggu istri atasannya yang masih berada di dalam, meski penasaran apa yang tengah dibicarakan olehnya dan juga ibu angkatnya itu, membuat Renggana berinisiatif untuk masuk ke dalam dan berpura-pura menjadi seorang pelanggan.
Di dalam resto tersebut lelaki itu tengah memperhatikan kedua orang yang sedang berbicara, namun tatapannya terlihat dingin dari perempuan di hadapan Citra, seolah benar dengan perkataan dari Zuna mengenai ibu tiri istrinya yang jahat, terlihat dari tatapannya sudah menakutkan.
“Ingat dengan apa yang telah Ibu lakukan kepadamu, Cit, setelah ayahmu meninggal Ibulah yang merawat dan membiayaimu, meski tidak sampai ke perguruan tinggi, tapi Ibu didik dirimu menjadi perempuan yang cerdas dan mandiri. Tapi, setelah kamu menikah dengannya, seolah kamu lupa kepada perempuan yang telah menjagamu selama ini,” cetus Sella dengan suara ketus, mencoba bersikap perhitungan kepada putri tirinya yang sudah hidup dengan lelaki dari keluarga konglomerat.
“Aku bukan melupakan, Ibu,” Citra menyentuh tangan perempuan itu. “Bagaimana bisa aku melupakan semua pengorbanan Ibu selama ini, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun karena semua itu ada di bawah kendali mas Zuna, Bu,” ujar Citra yang menjelaskan.
“Walaupun aku menikah dengan lelaki yang berasal dari keluarga konglomerat, tetapi semua keluarga pak Zuna enggak tahu dengan latar belakangku yang sesungguhnya, karena dia yang telah mengubah seluruh identitasku,” lanjut Citra.
“Ya kamu jelaskan padanya, dia seperti ingin membuang Ibu dari kehidupanmu, apa salah Ibu meminta uang kepadamu untuk kehidupan ibu di sini. Ya itung-itung kamu membalas budi.”
Kata-kata itulah yang tidak ingin didengar oleh Citra, tidak salah memang jika dirinya membahagiakan perempuan itu karena telah berjuang untuknya. Namun, tidak harus mengatakan kata-kata ‘balas budi’
Semakin lama, Renggana pun berpikir mungkin suatu saat nanti dirinya bisa memanfaatkan perempuan yang bernama Sella itu, terlihat matre memang. Namun, dia bisa bekerja sama dengannya untuk mencapai apa yang dia inginkan.
***
“Bagaimana pertemuan dengan ibu angkatmu?” tanya Zuna yang menatap wajah istrinya lekat.
Citra yang tengah membuka dasi di kerah kemeja suaminya pun dibuat terdiam, pasalnya dia dengan perempuan itu sempat bertengkar.
“Kenapa kamu diam, apa dia mengancammu? Katakan saja padaku jangan takut?” Zuna bertanya kembali dan menghentikan gerakan tangan Citra.
Gadis itu mendongak ke arah wajah suaminya.
“Kenapa mendengar dari kaliamt yang Mas Zuna keluarkan seolah jika ibuku seperti seorang penjahat, Mas? Padahal beliau itu adalah orang yang sangat berjasa dalam hidupku, dia yang merawatku setelah ayahku meninggal, bahkan ibu kandung yang telah melahirkanku saja aku tidak tahu keberadaannya di mana. Ibu Sella bukan seorang penjahat. Dan menurutku wajar jika dia meminta uang kepadaku, meski bukan uang milikku, tapi milik Mas Zuna,” ungkap Citra dengan suara bergetar. Dia ingin mengubah pandangan lelaki itu terhadap ibu tirinya.
Zunair berusaha untuk mencerna kalimat yang dilontarkannya, tidak salah memang karena gadis itu tidak tahu dengan perbuatan Sella di belakangnya.
“Jika dia orang baik, kamu enggak mungkin dijual hanya untuk melunasi semua utangnya, lagian saya enggak merasa rugi jika kamu memberikan uang untuknya, itu memang keharusan kamu sebagai anak yang telah dia rawat, tapi seharusnya kamu sadar apa yang dia gunakan dengan uang itu, selain untuk main judi!” tegas Zuna yang melengos dari hadapannya.
Lelaki itu memilih untuk membuka kemejanya seorang diri, sedangkan Citra masih merasa serba salah. Dia tahu memang dengan kelakuan dari ibunya yang selalu berjudi, dan berutang kepada rentenir. Tapi, beberapa kali dia menasihati yang ada ibunya malah marah-marah.
Dengan mengembuskan napasnya yang terdengar berat, Citra meraih kemeja dan celana suaminya yang berserakan di lantai setelah lelaki itu memasuki kamar mandi. Namun, ketika dia yang akan menyimpan kemejanya ke dalam keranjang khusus baju kotor, Citra menghirup aroma parfum yang berbeda di kemeja tersebut, pasalnya aroma parfum tersebut bukanlah parfum yang sering dipakai oleh suaminya, bahkan wanginya cenderung maskulin, bukan aroma parfum khas dari perempuan melainkan parfum yang sering dipakai oleh lelaki.
Karena pikirannya yang sudah berat, Citra memilih tidak terlalu memedulikan hal itu, mungkin saja tertempel pakaian rekan kerja suaminya.
Di sepanjang perjalanan menuju acara keluarga Sanjaya yang digelar di salah satu hotel mewah bintang lima. Citra terus terdiam tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Dia takut jika kehadirannya akan menjadi bahan pertanyaan perihal kehamilannya seperti yang sudah-sudah. Padahal dia sudah mengatakan kepada Zuna untuk tidak ikut, dia tidak ingin sakit hati lagi dengan ucapan dari tante Marina yang terus menyudutkan. Namun, lelaki itu tetap saja memaksanya untuk tetap ikut, siapa yang berani menolak perintah dari seorang Zunair.Zuna yang menyadari dengan keterdiaman Citra menoleh ke arah perempuan itu, namun Citra dengan cepat melirik ke arah jendela agar terhindar dari tatapan Zuna. Sementara Renggana yang duduk di sebelah Dave pun ikut menoleh ke arah kaca spion dalam untuk melihat keadaan Zuna, di mana lelaki itu tengah memandangi istrinya.Renggana yang masih memiliki perasaan kepada Zuna tentu saja dibuat cemburu melihatnya, bahkan kedua tangan lelaki itu terkepal era
Citra kembali ke dalam kamar setelah membawa wadah berisi air hangat, lap kecil dan juga obat, meski posisinya masih berada di hotel. Namun, dia dengan mudah mendapatkan peralatan untuk mengompres tubuh suaminya yang tengah demam. Padahal sebelumnya Citra ingin memanggil dokter karena khawatir dengan keadaan Zuna, akan tetapi lelaki itu melarangnya, bahkan Zuna pun melarang untuk memberitahukan orang tuanya, hanya dia tahu yang tahu dengan keadaannya.Perempuan itu mendudukkan bokongnya di tepi ranjang sembari memeras lap yang sudah dicelupkan ke dalam wadah berisi air hangat. Lalu, dia mengompreskan ke dahi Zuna di mana kedua matanya masih terbuka.“Maaf.”Satu kata singkat keluar begitu saja dari mulut Zuna dengan helaan napas tersengal yang terdengar oleh Citra, di saat posisinya berdekatan dengan wajahnya.“Untuk apa, Mas?” sergah perempuan itu.“Karena keadaan saya kamu harus terjebak di dalam kamar, mungkin jika saya enggak terserang sakit, kamu bisa menghabiskan waktu di sana,
“Apa yang terjadi dengan Pak Zuna semalam?” tanya Renggana yang mendudukkan bokongnya berhadapan dengan lelaki itu di ruang kerjanya. Meski pagi tadi Citra melarang Zuna untuk ke kantor, namun lelaki itu tetap kekeh pergi karena merasa jika keadaannya sudah membaik, dan ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.Zuna mengembuskan napasnya yang terdengar kasar. “Hanya demam biasa kok, semalam kenapa kamu ke kamar saya, ketika saya bertanya via chat kamu malah membahas lain?” Zuna balik bertanya sembari menatap Renggana.Renggana menggeser kursinya agar jauh lebih dekat dengan Zuna. “Musuh kita, Pak Zuna masih ingat dengan Sembalun?” tanya lelaki itu yang kembali mengingatkan Zuna perihal masa lalu kelam yang pernah dilakukannya.“Lima tahun yang lalu, ketika kita ikut andil menyelundupkan beberapa obat-obatan terlarang dan bekerja sama dengan Sembalun. Tapi, ternyata dia menjadi pengkhianat dan sekarang dia bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mencari antek-antek para penyelun
“Kamu udah hamil, Cit?” tanya Tante Marina yang merupakan adik bontot mama mertuanya, salah satu anggota keluarga yang sering sekali menyudutkan Citra jika ada acara keluarga seperti ini. “Eh, udah dua bulan ‘kan ya kalian nikah, masa belum ada kabar kehamilan juga sih? Kan Tante penasaran?” tanyanya kembali yang membuat orang-orang menatap ke arah Citra.Citra menggelengkan kepala pelan sembari tersenyum tipis seolah tahu dengan arah pembicaraan ini yang akan ke mana, pasti ujungnya dia yang akan tersudutkan.“Belum, Tan,” balas perempuan itu apa adanya.“Lho kok belum aja, ya? Kalian udah pernah checkup, ‘kan?” tanya Marina yang cukup tersontak mendengar pengakuan dari Citra.“Udah kok, kata dokter keadaanku dan mas Zuna baik-baik aja enggak ada hal yang dikhawatirkan. Mungkin memang belum dikasih, jadi kita cuma nunggu sambil berdoa dan berikhtiar,” jawab Citra yang berusaha untuk tersenyum, walaupun terasa getir saat ditanya seperti itu lagi di depan banyak orang.Entah untuk keb
“Kamu enggak usah mengancam saya!” cetus Zuna dengan suara menyentak kepada seseorang yang berada di hadapannya.“Ancam? Aku enggak ancam kamu kok, tapi yang harus kamu ingat dengan janji-janji kamu selama dua tahun kita menjalin hubungan, Pak Zuna. Apa kamu lupa?” ungkap orang itu dengan santai dan menunjukkan wajah bersahabat ke arahnya. Berbeda dengan Zuna yang tampaknya tengah menahan emosi.“Kamu enggak akan mengkhianati aku, tapi apa yang terjadi kamu malah menikahi perempuan lain, bahkan mengkhianati cinta kita. Dan di posisi ini siapa yang jauh disakiti,” ujarnya dengan perasaan yang kecewa dan mencondongkan wajahnya berdekatan dengan Zuna.“Saya butuh keturunan, dan orang tua saya terus mendesak saya untuk segera menikah. Jika saya tidak menyegerakan keinginan mereka, tentu saja apa yang dialami oleh saya akan terbongkar. Kamu tahu jika selama ini saya menyembunyikan hal ini dari mereka, tidak ada satu pun yang tahu apa yang saya lakukan! Dengan saya menikah tentu saja itu me
Jam yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan suaminya belum juga pulang. Sebelumnya Zuna mengatakan akan pergi sebentar, padahal posisinya baru datang dengan Dave, akan tetapi harus pergi lagi. Dan sampai detik ini juga lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Beberapa kali Citra meneleponnya pun tidak ada satu balasan karena ponselnya tidak aktif.Suara decitan pintu yang terbuka membuat Citra langsung mengedarkan pandangan ke arah pintu. Matanya membulat dengan sempurna ketika melihat suaminya pulang dalam keadaan luka di area perutnya yang sedang dibopong oleh Dave dan salah satu bodyguard-nya.“M-mas Zuna,” ucap Citra yang langsung beranjak bangun dari tempat tidur menuju suaminya berada.“P-pak Dave a-apa yang terjadi dengan M-mas Zuna?” tanya Citra dengan suara terbata-bata, apalagi dengan darah yang menempel di kemeja putih suaminya, dengan wajah yang memucat dan tidak sadarkan diri.“Ceritanya panjang, Non, nanti saya akan ceritakan kronologinya seperti apa. Saya a
“Mas Zuna ‘kan paling suka nasi goreng, jadi aku membawakan nasi gorengnya yang masih hangat dengan telor omurice di atasnya. Pasti Mas Zuna bakalan menikmati deh sarapannya,” ucap Citra dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya, dan akan menyendokan satu suap makanan ke arah Zunair. “Pakai tangan aja enggak usah pakai sendok segala,” pinta Zuna di saat suapan tersebut menuju ke arah mulutnya.“Hah, pakai tangan, Mas?” ulang Citra dengan dahi berkerut dan hanya untuk memastikan jika telinganya tidak sedang bermasalah.“Hem, saya lebih suka pakai tangan,” timpal Zuna yang mempertegas dengan tatapan dingin yang terus diarahkan kepada perempuan itu.“Tapi—”“Enggak usah tapi-tapian, saya bilang pakai tangan, ya tangan! Kamu enggak budeg ‘kan! Jangan buat saya emosi pagi-pagi!” tukas Zuna yang selalu dibuat emosi jika Citra tidak langsung melakukan perintahnya. Padahal tujuan perempuan itu bertanya lagi agar tidak melakukan kesalahan.“Ya udah, tanganku udah bersih kok, tapi—” Citra
Pagi ini Citra sudah disibukkan membantu para pelayan menyiapkan sarapan untuk keluarga besar suaminya, walau tidak membantu memasak. Namun, perempuan itu ikut sibuk membantu menyimpan hidangan ke atas meja, dan merasa bahagia bisa berkontribusi untuk keluarga ini, meski tidak bisa menghindari tatapan tajam dari orang-orang yang tidak suka kepadanya.“Oh ya, di mana Airlangga kenapa dia enggak ada di sini?” tanya Marina yang tengah mencari salah satu keponakannya itu.“Ada kok, Tan?” sahut lelaki itu yang baru saja tiba di ruang makan sembari memamerkan senyuman, dan senyuman itu kini beralih kepada Citra yang ikut mendongak ke arahnya. Perempuan itu membalas senyuman dari Airlangga yang sudah menjadi temannya.“Maaf ya, dari kemarin sampai pagi ini saya ditunggu terus, kalau hari libur atau lagi cuti saya jarang banget bangun pagi,” ujar Airlangga yang duduk berhadapa dengan Zuna dan Citra.“Enggak apa-apa kok, lagian kapan lagi kita bisa berkumpul secara lengkap begini. Nasib baik k
“Apa yang terjadi dengan Pak Zuna semalam?” tanya Renggana yang mendudukkan bokongnya berhadapan dengan lelaki itu di ruang kerjanya. Meski pagi tadi Citra melarang Zuna untuk ke kantor, namun lelaki itu tetap kekeh pergi karena merasa jika keadaannya sudah membaik, dan ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.Zuna mengembuskan napasnya yang terdengar kasar. “Hanya demam biasa kok, semalam kenapa kamu ke kamar saya, ketika saya bertanya via chat kamu malah membahas lain?” Zuna balik bertanya sembari menatap Renggana.Renggana menggeser kursinya agar jauh lebih dekat dengan Zuna. “Musuh kita, Pak Zuna masih ingat dengan Sembalun?” tanya lelaki itu yang kembali mengingatkan Zuna perihal masa lalu kelam yang pernah dilakukannya.“Lima tahun yang lalu, ketika kita ikut andil menyelundupkan beberapa obat-obatan terlarang dan bekerja sama dengan Sembalun. Tapi, ternyata dia menjadi pengkhianat dan sekarang dia bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mencari antek-antek para penyelun
Citra kembali ke dalam kamar setelah membawa wadah berisi air hangat, lap kecil dan juga obat, meski posisinya masih berada di hotel. Namun, dia dengan mudah mendapatkan peralatan untuk mengompres tubuh suaminya yang tengah demam. Padahal sebelumnya Citra ingin memanggil dokter karena khawatir dengan keadaan Zuna, akan tetapi lelaki itu melarangnya, bahkan Zuna pun melarang untuk memberitahukan orang tuanya, hanya dia tahu yang tahu dengan keadaannya.Perempuan itu mendudukkan bokongnya di tepi ranjang sembari memeras lap yang sudah dicelupkan ke dalam wadah berisi air hangat. Lalu, dia mengompreskan ke dahi Zuna di mana kedua matanya masih terbuka.“Maaf.”Satu kata singkat keluar begitu saja dari mulut Zuna dengan helaan napas tersengal yang terdengar oleh Citra, di saat posisinya berdekatan dengan wajahnya.“Untuk apa, Mas?” sergah perempuan itu.“Karena keadaan saya kamu harus terjebak di dalam kamar, mungkin jika saya enggak terserang sakit, kamu bisa menghabiskan waktu di sana,
Di sepanjang perjalanan menuju acara keluarga Sanjaya yang digelar di salah satu hotel mewah bintang lima. Citra terus terdiam tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Dia takut jika kehadirannya akan menjadi bahan pertanyaan perihal kehamilannya seperti yang sudah-sudah. Padahal dia sudah mengatakan kepada Zuna untuk tidak ikut, dia tidak ingin sakit hati lagi dengan ucapan dari tante Marina yang terus menyudutkan. Namun, lelaki itu tetap saja memaksanya untuk tetap ikut, siapa yang berani menolak perintah dari seorang Zunair.Zuna yang menyadari dengan keterdiaman Citra menoleh ke arah perempuan itu, namun Citra dengan cepat melirik ke arah jendela agar terhindar dari tatapan Zuna. Sementara Renggana yang duduk di sebelah Dave pun ikut menoleh ke arah kaca spion dalam untuk melihat keadaan Zuna, di mana lelaki itu tengah memandangi istrinya.Renggana yang masih memiliki perasaan kepada Zuna tentu saja dibuat cemburu melihatnya, bahkan kedua tangan lelaki itu terkepal era
Mobil yang ditumpangi oleh Citra sudah tiba di salah satu restoran tempat dirinya akan bertemu dengan ibu angkatnya—Sella, itupun setelah dia berusaha meyakinkan suaminya agar mengizinkan untuk pergi.“Di sini tempatnya, Bu?” tanya Renggana yang diperintahkan oleh Zunair untuk mengantar istrinya. Padahal lelaki itu merupakan asisten utama setelah Dave yang akan ikut andil dengan urusan Zuna.“Iya di sini, ya sudah saya turun dulu, ya, mas Renggana enggak apa-apa kok pulang lebih dulu saja, biar saya naik taksi saja,” ujar perempuan itu yang sedang membuka seat belt-nya.“Mana bisa, Bu, saya sudah diperintahkan oleh pak Zuna untuk mengantar dan pulang bersama Ibu. Jadi, saya akan tetap menunggu Bu Citra.”“Owh terima kasih banyak, kalau begitu saya pergi dulu, ya.”“Baik, Bu.”Dengan sangat ramah lelaki itu keluar lebih dulu untuk membukakan pintu agar memudahkan Citra keluar. Setelah itu barulah Citra melangkah untuk menemui ibu angkatnya. Renggana tampak lekat memperhatikan langkah k
Pagi ini Citra sudah disibukkan membantu para pelayan menyiapkan sarapan untuk keluarga besar suaminya, walau tidak membantu memasak. Namun, perempuan itu ikut sibuk membantu menyimpan hidangan ke atas meja, dan merasa bahagia bisa berkontribusi untuk keluarga ini, meski tidak bisa menghindari tatapan tajam dari orang-orang yang tidak suka kepadanya.“Oh ya, di mana Airlangga kenapa dia enggak ada di sini?” tanya Marina yang tengah mencari salah satu keponakannya itu.“Ada kok, Tan?” sahut lelaki itu yang baru saja tiba di ruang makan sembari memamerkan senyuman, dan senyuman itu kini beralih kepada Citra yang ikut mendongak ke arahnya. Perempuan itu membalas senyuman dari Airlangga yang sudah menjadi temannya.“Maaf ya, dari kemarin sampai pagi ini saya ditunggu terus, kalau hari libur atau lagi cuti saya jarang banget bangun pagi,” ujar Airlangga yang duduk berhadapa dengan Zuna dan Citra.“Enggak apa-apa kok, lagian kapan lagi kita bisa berkumpul secara lengkap begini. Nasib baik k
“Mas Zuna ‘kan paling suka nasi goreng, jadi aku membawakan nasi gorengnya yang masih hangat dengan telor omurice di atasnya. Pasti Mas Zuna bakalan menikmati deh sarapannya,” ucap Citra dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya, dan akan menyendokan satu suap makanan ke arah Zunair. “Pakai tangan aja enggak usah pakai sendok segala,” pinta Zuna di saat suapan tersebut menuju ke arah mulutnya.“Hah, pakai tangan, Mas?” ulang Citra dengan dahi berkerut dan hanya untuk memastikan jika telinganya tidak sedang bermasalah.“Hem, saya lebih suka pakai tangan,” timpal Zuna yang mempertegas dengan tatapan dingin yang terus diarahkan kepada perempuan itu.“Tapi—”“Enggak usah tapi-tapian, saya bilang pakai tangan, ya tangan! Kamu enggak budeg ‘kan! Jangan buat saya emosi pagi-pagi!” tukas Zuna yang selalu dibuat emosi jika Citra tidak langsung melakukan perintahnya. Padahal tujuan perempuan itu bertanya lagi agar tidak melakukan kesalahan.“Ya udah, tanganku udah bersih kok, tapi—” Citra
Jam yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan suaminya belum juga pulang. Sebelumnya Zuna mengatakan akan pergi sebentar, padahal posisinya baru datang dengan Dave, akan tetapi harus pergi lagi. Dan sampai detik ini juga lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Beberapa kali Citra meneleponnya pun tidak ada satu balasan karena ponselnya tidak aktif.Suara decitan pintu yang terbuka membuat Citra langsung mengedarkan pandangan ke arah pintu. Matanya membulat dengan sempurna ketika melihat suaminya pulang dalam keadaan luka di area perutnya yang sedang dibopong oleh Dave dan salah satu bodyguard-nya.“M-mas Zuna,” ucap Citra yang langsung beranjak bangun dari tempat tidur menuju suaminya berada.“P-pak Dave a-apa yang terjadi dengan M-mas Zuna?” tanya Citra dengan suara terbata-bata, apalagi dengan darah yang menempel di kemeja putih suaminya, dengan wajah yang memucat dan tidak sadarkan diri.“Ceritanya panjang, Non, nanti saya akan ceritakan kronologinya seperti apa. Saya a
“Kamu enggak usah mengancam saya!” cetus Zuna dengan suara menyentak kepada seseorang yang berada di hadapannya.“Ancam? Aku enggak ancam kamu kok, tapi yang harus kamu ingat dengan janji-janji kamu selama dua tahun kita menjalin hubungan, Pak Zuna. Apa kamu lupa?” ungkap orang itu dengan santai dan menunjukkan wajah bersahabat ke arahnya. Berbeda dengan Zuna yang tampaknya tengah menahan emosi.“Kamu enggak akan mengkhianati aku, tapi apa yang terjadi kamu malah menikahi perempuan lain, bahkan mengkhianati cinta kita. Dan di posisi ini siapa yang jauh disakiti,” ujarnya dengan perasaan yang kecewa dan mencondongkan wajahnya berdekatan dengan Zuna.“Saya butuh keturunan, dan orang tua saya terus mendesak saya untuk segera menikah. Jika saya tidak menyegerakan keinginan mereka, tentu saja apa yang dialami oleh saya akan terbongkar. Kamu tahu jika selama ini saya menyembunyikan hal ini dari mereka, tidak ada satu pun yang tahu apa yang saya lakukan! Dengan saya menikah tentu saja itu me
“Kamu udah hamil, Cit?” tanya Tante Marina yang merupakan adik bontot mama mertuanya, salah satu anggota keluarga yang sering sekali menyudutkan Citra jika ada acara keluarga seperti ini. “Eh, udah dua bulan ‘kan ya kalian nikah, masa belum ada kabar kehamilan juga sih? Kan Tante penasaran?” tanyanya kembali yang membuat orang-orang menatap ke arah Citra.Citra menggelengkan kepala pelan sembari tersenyum tipis seolah tahu dengan arah pembicaraan ini yang akan ke mana, pasti ujungnya dia yang akan tersudutkan.“Belum, Tan,” balas perempuan itu apa adanya.“Lho kok belum aja, ya? Kalian udah pernah checkup, ‘kan?” tanya Marina yang cukup tersontak mendengar pengakuan dari Citra.“Udah kok, kata dokter keadaanku dan mas Zuna baik-baik aja enggak ada hal yang dikhawatirkan. Mungkin memang belum dikasih, jadi kita cuma nunggu sambil berdoa dan berikhtiar,” jawab Citra yang berusaha untuk tersenyum, walaupun terasa getir saat ditanya seperti itu lagi di depan banyak orang.Entah untuk keb