“Mas Zuna ‘kan paling suka nasi goreng, jadi aku membawakan nasi gorengnya yang masih hangat dengan telor omurice di atasnya. Pasti Mas Zuna bakalan menikmati deh sarapannya,” ucap Citra dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya, dan akan menyendokan satu suap makanan ke arah Zunair.
“Pakai tangan aja enggak usah pakai sendok segala,” pinta Zuna di saat suapan tersebut menuju ke arah mulutnya.
“Hah, pakai tangan, Mas?” ulang Citra dengan dahi berkerut dan hanya untuk memastikan jika telinganya tidak sedang bermasalah.
“Hem, saya lebih suka pakai tangan,” timpal Zuna yang mempertegas dengan tatapan dingin yang terus diarahkan kepada perempuan itu.
“Tapi—”
“Enggak usah tapi-tapian, saya bilang pakai tangan, ya tangan! Kamu enggak budeg ‘kan! Jangan buat saya emosi pagi-pagi!” tukas Zuna yang selalu dibuat emosi jika Citra tidak langsung melakukan perintahnya. Padahal tujuan perempuan itu bertanya lagi agar tidak melakukan kesalahan.
“Ya udah, tanganku udah bersih kok, tapi—” Citra beranjak sebentar untuk mengoleskan handsanitizer terlebih dahulu agar tangannya lebih higienis saja karena akan menempel dengan mulut suaminya.
Jujur dia tidak mengerti mengapa Zuna ingin makan langsung dari tangannya. Padahal ada sendok dan tidak seperti biasanya juga.
Tak lama perempuan itu kembali menampa piring untuk segera menyuapi suaminya yang sudah tak sabar.
“Bener kamu enggak jijik makan langsung dari tanganku, Mas?” Citra kembali bertanya, mungkin saja suaminya telah berubah pikiran.
Zuna mengembuskan napasnya dengan kasar, mencoba menahan untuk tidak marah, meski hatinya sudah dongkol dengan pertanyaan Citra.
“Kenapa harus jijik, saya yakin kok kamu enggak main kotor-kotoran, main tanah, atau enggak mungkin kamu cebok enggak cuci tangan. Jadi, jangan banyak bertanya karena saya udah laper, nunggu makanan itu masuk ke dalam mulut saya!”
“Hehe iya juga sih, ya udah selamat menikmati makannya, Mas,” ucap Citra yang mulai memberikan suapan pertama untuk suaminya.
Meski terasa aneh dan unik cara makan Zuna. Namun, entah mengapa Citra malah merasa suka, benar-benar tidak seperti dengan background keluarganya yang super kaya dan konglomerat. Dan benar saja jika Zuna sangat menikmati makanannya, terlihat dari caranya mengunyah. Dia kira jika orang kaya cara makannya berbeda, namun setelah dua bulan berada di sini, suaminya selalu bersikap sederhana. Padahal jumlah kekayaannya tidak bisa dihitung oleh jari.
Zuna mulai fokus pada ponsel yang tidak diketahui oleh Citra. Tampaknya lelaki itu tengah berkirim pesan dengan seseorang dan membuat Citra penasaran. Akan tetapi, tatapan perempuan itu sekarang fokus pada wajah suaminya yang benar-benar tampan sempurna, lalu dipikir kembali mengapa Zuna mau menikah dengannya yang hanya seorang perempuan sederhana tanpa ada kelebihan sedikitpun, hanya ada kekurangan saja, bahkan tidak pantas bersanding dengan lelaki itu.
Suara ketukan pintu dari luar membuat keduanya langsung mengarahkan pandangan ke sana. Terlihat Kalingga yang tengah berdiri sembari menyiratkan senyuman.
“Sorry kalau ganggu waktu berduanya, tapi sebelumnya saya boleh masuk gak nih?” tanya Kalingga yang sudah siap dengan peralatan medisnya.
“Boleh banget dong, Mas Kal,” timpal Citra yang akan beranjak bangun.
“Eh … kakak ipar enggak usah beranjak, aku datang cuma mau ngobatin lukanya Mas Zun doang kok. Lanjutkan saja acara suap menyuapnya,” goda Kalingga yang tampaknya akan menjadi nyamuk di antara pasangan yang tengah romantis itu. Dirinya pun tidak menyangka jika kakaknya yang selalu bersikap dingin kepada setiap orang bisa sebucin itu kepada istrinya.
“Udah cepeten obatin terus langsung keluar,” titah Zuna dengan suara ketus.
“Iya sih yang pengen berduaan terus sama bininya. Kalau enggak kasihan sama Mbak Citra, Kalingga juga enggak mau ngobatin lukanya Mas Zun. Biar aja kesakitan,” timpal lelaki itu.
Kedua adik kakak itu terus melontarkan candaan di saat Kalingga mulai mengobati luka Zunair, lalu mengganti perbannya.
“Gimana keadaannya, Mas Kal?” Citra masih terlihat mengkhawatirkan.
“Lukanya udah mulai kering kok, soalnya luka tusuk yang dialami Mas Zuna enggak dalem, masih di permukaan kulit dasar jadi bisa kuhandle di rumah, beda lagi kasusnya kalau luka tusuknya parah, Mas Zuna harus dirawat di rumah sakit. Tapi kenapa bisa seperti ini sih, Mas?” tanya Kalingga yang satu pemikiran dengan Citra, meski dia sudah tahu dengan jawabannya dari Dave semalam.
“Ya biasa urusan bisnis, apalagi coba musuh Mas selain orang-orang iri itu,” timpal Zuna yang terlihat lebih tenang.
“Enggak bisa dibiarin kalau gini terus, Mas Zuna ‘kan punya banyak bodyguard mereka ditugaskan untuk menjaga Mas dong! Jadi Mas Zun enggak bisa bepergian seorang diri!” tegas Kalingga.
Citra hanya terdiam mendengar kakak beradik itu yang sedang beradu argument, namun dirinya setuju sekali dengan pendapat dari adik iparnya. Zuna terlalu gegabah dalam mengambil keputusan, dan sesekali gadis itu tersenyum menahan untuk tidak tertawa dengan suara keras, hanya bisa melebarkan bibirnya.
“Udah ‘kan kamu ngobatin lukanya, sekarang bisa keluar, yang ada bukan sembuh tapi tambah parah!” cetus Zuna yang mengusir Kalingga, bahkan laki-laki itu mendorong tubuh adiknya yang sudah mengobati lukanya dari semalam sampai pagi ini.
“Haha, bilang makasih kek karena udah Kal obatin, tapi malah marah-marah terus. Mbak Cit yang sabar ya punya suami kaya dia ini, sabar-sabar hati aja,” pinta Kalingga kepada Citra sebelum lelaki itu meninggalkan kamarnya.
***
Citra tersenyum ramah kepada laki-laki yang menjadi asisten baru untuk suaminya. Sebelumnya Zuna sudah memberitahu akan mempekerjakan seseorang untuk membantunya. Jujur, Citra merasa bahagia karena akan ada banyak orang untuk melindungi Zuna, di tengah peristiwa semalam yang membuatnya takut jika melihat suaminya pergi, meski hanya urusan pekerjaan.
“Perkenalkan saya, Renggana, saya senang bertemu dengan Nona Citra,” ucap lelaki itu yang menjabat tangan Citra.
“Saya Citra, saya juga senang bisa mengenal Mas Renggana.”
“Nona sangat cantik, pantas saja jika Nona adalah perempuan terpilih yang dinikahi oleh Pak Zuna,” cetus laki-laki itu sembari mengedarkan pandangannya ke arah Zuna yang tengah duduk di atas sofa. Sejak tadi dia hanya menggerakkan kedua bola matanya saja tanpa ikut bersahut.
“Terima kasih banyak, tapi saya yakin jika banyak mantan dari Pak Zuna yang jauh lebih cantik dari saya. Bisa dikatakan jika saya hanya perempuan beruntung yang diperistri olehnya,” ungkap perempuan itu dengan malu-malu, apalagi Zuna yang terus menatapnya dingin.
“Seperti yang telah saya beritahukan ke kamu, jika Renggana akan menjadi asisten baru saya, dia akan bekerja sama dengan Dave, dan dia pun akan tinggal di sini. Pokoknya dia akan ikut kemanapun saya pergi sama seperti Dave,” ujar Zuna yang menjelaskan.
“Iya, Mas, aku juga senang kok karena akan banyak orang-orang baik bersama kamu. Kalau gitu aku pamit dulu ya, Mas. Oh ya Mas Renggana mau minum apa biar saya buatkan sekalian?” tanya Citra sebelum pergi.
“Enggak usah, tadi saya udah ngopi kok di rumah,” balas lelaki itu yang tersenyum ramah.
“Oh ya udah, permisi.” Citra melangkah keluar meninggalkan ketiga laki-laki itu.
“Dave,” panggil Zuna.
“Iya, Pak.” Dave langsung menyahut.
“Tolong tinggalkan saya dengan Renggana dulu, ada beberapa hal yang ingin saya katakan ke dia.”
“Baik, Pak.”
Tak lama Dave pun menyusul kepergian Citra dan meninggalkan Zuna dan Renggana.
“Rasanya sangat senang sekali bisa bekerja dengan Pak Zuna,” ucap lelaki itu yang mendekat ke arahnya dengan semburat senyuman yang menghiasi wajah tampannya. Tidak ada yang aneh dengan cara penampilannya, terlihat tampan dan gagah.
“Tanpa dicurigai oleh siapapun jika kita memiliki hubungan lebih, mereka akan terus menganggap jika kita hanyalah rekan kerja,” cetus lelaki itu.
Zuna memilih untuk diam tak menimpal sama sekali.
“Tapi, istri dari kamu memang cantik, saat aku mengatakannya tadi tidak ada kebohongan sama sekali, dan dia memang terlihat polos.” Di mana kamu berkenalan dengannya?” tanya Renggana yang dibuat penasaran juga.
“Perkenalan yang tidak terduga,” cetus Zuna dengan suara datar.
“Dan kamu memutuskan untuk menikahinya?” timpalnya kembali.
“Ya, karena saya pikir jika dia perempuan yang bisa menyelamatkan saya, dia perempuan yang bisa menutupi kekurangan saya,” cetus Zuna yang mengedarkan pandangannya ke arah Renggana, keduanya tampak saling pandang satu sama lain.
“Saya harap tidak akan ada cinta yang berakhir untuk perempuan itu.”
Tatapan Zuna langsung berubah seketika.
“Kamu pikir jika seseorang mengalami ketidaknormalan tidak bisa berubah sampai kapanpun.”
Kalimat yang dilontarkan oleh Zuna memantik ketidaksukaan dari Renggana, ia sangat tahu maksud dari kalimat tersebut.
“Apa kamu berniat berubah karenanya? Atau kamu menikahinya bukan hanya untuk menutupi melainkan karena kamu ingin sembuh?” Renggana mencecar beberapa pertanyaan yang menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak, dan membuat Zuna terjerembab pada ucapannya sendiri.
Pagi ini Citra sudah disibukkan membantu para pelayan menyiapkan sarapan untuk keluarga besar suaminya, walau tidak membantu memasak. Namun, perempuan itu ikut sibuk membantu menyimpan hidangan ke atas meja, dan merasa bahagia bisa berkontribusi untuk keluarga ini, meski tidak bisa menghindari tatapan tajam dari orang-orang yang tidak suka kepadanya.“Oh ya, di mana Airlangga kenapa dia enggak ada di sini?” tanya Marina yang tengah mencari salah satu keponakannya itu.“Ada kok, Tan?” sahut lelaki itu yang baru saja tiba di ruang makan sembari memamerkan senyuman, dan senyuman itu kini beralih kepada Citra yang ikut mendongak ke arahnya. Perempuan itu membalas senyuman dari Airlangga yang sudah menjadi temannya.“Maaf ya, dari kemarin sampai pagi ini saya ditunggu terus, kalau hari libur atau lagi cuti saya jarang banget bangun pagi,” ujar Airlangga yang duduk berhadapa dengan Zuna dan Citra.“Enggak apa-apa kok, lagian kapan lagi kita bisa berkumpul secara lengkap begini. Nasib baik k
Mobil yang ditumpangi oleh Citra sudah tiba di salah satu restoran tempat dirinya akan bertemu dengan ibu angkatnya—Sella, itupun setelah dia berusaha meyakinkan suaminya agar mengizinkan untuk pergi.“Di sini tempatnya, Bu?” tanya Renggana yang diperintahkan oleh Zunair untuk mengantar istrinya. Padahal lelaki itu merupakan asisten utama setelah Dave yang akan ikut andil dengan urusan Zuna.“Iya di sini, ya sudah saya turun dulu, ya, mas Renggana enggak apa-apa kok pulang lebih dulu saja, biar saya naik taksi saja,” ujar perempuan itu yang sedang membuka seat belt-nya.“Mana bisa, Bu, saya sudah diperintahkan oleh pak Zuna untuk mengantar dan pulang bersama Ibu. Jadi, saya akan tetap menunggu Bu Citra.”“Owh terima kasih banyak, kalau begitu saya pergi dulu, ya.”“Baik, Bu.”Dengan sangat ramah lelaki itu keluar lebih dulu untuk membukakan pintu agar memudahkan Citra keluar. Setelah itu barulah Citra melangkah untuk menemui ibu angkatnya. Renggana tampak lekat memperhatikan langkah k
Di sepanjang perjalanan menuju acara keluarga Sanjaya yang digelar di salah satu hotel mewah bintang lima. Citra terus terdiam tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Dia takut jika kehadirannya akan menjadi bahan pertanyaan perihal kehamilannya seperti yang sudah-sudah. Padahal dia sudah mengatakan kepada Zuna untuk tidak ikut, dia tidak ingin sakit hati lagi dengan ucapan dari tante Marina yang terus menyudutkan. Namun, lelaki itu tetap saja memaksanya untuk tetap ikut, siapa yang berani menolak perintah dari seorang Zunair.Zuna yang menyadari dengan keterdiaman Citra menoleh ke arah perempuan itu, namun Citra dengan cepat melirik ke arah jendela agar terhindar dari tatapan Zuna. Sementara Renggana yang duduk di sebelah Dave pun ikut menoleh ke arah kaca spion dalam untuk melihat keadaan Zuna, di mana lelaki itu tengah memandangi istrinya.Renggana yang masih memiliki perasaan kepada Zuna tentu saja dibuat cemburu melihatnya, bahkan kedua tangan lelaki itu terkepal era
Citra kembali ke dalam kamar setelah membawa wadah berisi air hangat, lap kecil dan juga obat, meski posisinya masih berada di hotel. Namun, dia dengan mudah mendapatkan peralatan untuk mengompres tubuh suaminya yang tengah demam. Padahal sebelumnya Citra ingin memanggil dokter karena khawatir dengan keadaan Zuna, akan tetapi lelaki itu melarangnya, bahkan Zuna pun melarang untuk memberitahukan orang tuanya, hanya dia tahu yang tahu dengan keadaannya.Perempuan itu mendudukkan bokongnya di tepi ranjang sembari memeras lap yang sudah dicelupkan ke dalam wadah berisi air hangat. Lalu, dia mengompreskan ke dahi Zuna di mana kedua matanya masih terbuka.“Maaf.”Satu kata singkat keluar begitu saja dari mulut Zuna dengan helaan napas tersengal yang terdengar oleh Citra, di saat posisinya berdekatan dengan wajahnya.“Untuk apa, Mas?” sergah perempuan itu.“Karena keadaan saya kamu harus terjebak di dalam kamar, mungkin jika saya enggak terserang sakit, kamu bisa menghabiskan waktu di sana,
“Apa yang terjadi dengan Pak Zuna semalam?” tanya Renggana yang mendudukkan bokongnya berhadapan dengan lelaki itu di ruang kerjanya. Meski pagi tadi Citra melarang Zuna untuk ke kantor, namun lelaki itu tetap kekeh pergi karena merasa jika keadaannya sudah membaik, dan ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.Zuna mengembuskan napasnya yang terdengar kasar. “Hanya demam biasa kok, semalam kenapa kamu ke kamar saya, ketika saya bertanya via chat kamu malah membahas lain?” Zuna balik bertanya sembari menatap Renggana.Renggana menggeser kursinya agar jauh lebih dekat dengan Zuna. “Musuh kita, Pak Zuna masih ingat dengan Sembalun?” tanya lelaki itu yang kembali mengingatkan Zuna perihal masa lalu kelam yang pernah dilakukannya.“Lima tahun yang lalu, ketika kita ikut andil menyelundupkan beberapa obat-obatan terlarang dan bekerja sama dengan Sembalun. Tapi, ternyata dia menjadi pengkhianat dan sekarang dia bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mencari antek-antek para penyelun
“Kamu udah hamil, Cit?” tanya Tante Marina yang merupakan adik bontot mama mertuanya, salah satu anggota keluarga yang sering sekali menyudutkan Citra jika ada acara keluarga seperti ini. “Eh, udah dua bulan ‘kan ya kalian nikah, masa belum ada kabar kehamilan juga sih? Kan Tante penasaran?” tanyanya kembali yang membuat orang-orang menatap ke arah Citra.Citra menggelengkan kepala pelan sembari tersenyum tipis seolah tahu dengan arah pembicaraan ini yang akan ke mana, pasti ujungnya dia yang akan tersudutkan.“Belum, Tan,” balas perempuan itu apa adanya.“Lho kok belum aja, ya? Kalian udah pernah checkup, ‘kan?” tanya Marina yang cukup tersontak mendengar pengakuan dari Citra.“Udah kok, kata dokter keadaanku dan mas Zuna baik-baik aja enggak ada hal yang dikhawatirkan. Mungkin memang belum dikasih, jadi kita cuma nunggu sambil berdoa dan berikhtiar,” jawab Citra yang berusaha untuk tersenyum, walaupun terasa getir saat ditanya seperti itu lagi di depan banyak orang.Entah untuk keb
“Kamu enggak usah mengancam saya!” cetus Zuna dengan suara menyentak kepada seseorang yang berada di hadapannya.“Ancam? Aku enggak ancam kamu kok, tapi yang harus kamu ingat dengan janji-janji kamu selama dua tahun kita menjalin hubungan, Pak Zuna. Apa kamu lupa?” ungkap orang itu dengan santai dan menunjukkan wajah bersahabat ke arahnya. Berbeda dengan Zuna yang tampaknya tengah menahan emosi.“Kamu enggak akan mengkhianati aku, tapi apa yang terjadi kamu malah menikahi perempuan lain, bahkan mengkhianati cinta kita. Dan di posisi ini siapa yang jauh disakiti,” ujarnya dengan perasaan yang kecewa dan mencondongkan wajahnya berdekatan dengan Zuna.“Saya butuh keturunan, dan orang tua saya terus mendesak saya untuk segera menikah. Jika saya tidak menyegerakan keinginan mereka, tentu saja apa yang dialami oleh saya akan terbongkar. Kamu tahu jika selama ini saya menyembunyikan hal ini dari mereka, tidak ada satu pun yang tahu apa yang saya lakukan! Dengan saya menikah tentu saja itu me
Jam yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan suaminya belum juga pulang. Sebelumnya Zuna mengatakan akan pergi sebentar, padahal posisinya baru datang dengan Dave, akan tetapi harus pergi lagi. Dan sampai detik ini juga lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Beberapa kali Citra meneleponnya pun tidak ada satu balasan karena ponselnya tidak aktif.Suara decitan pintu yang terbuka membuat Citra langsung mengedarkan pandangan ke arah pintu. Matanya membulat dengan sempurna ketika melihat suaminya pulang dalam keadaan luka di area perutnya yang sedang dibopong oleh Dave dan salah satu bodyguard-nya.“M-mas Zuna,” ucap Citra yang langsung beranjak bangun dari tempat tidur menuju suaminya berada.“P-pak Dave a-apa yang terjadi dengan M-mas Zuna?” tanya Citra dengan suara terbata-bata, apalagi dengan darah yang menempel di kemeja putih suaminya, dengan wajah yang memucat dan tidak sadarkan diri.“Ceritanya panjang, Non, nanti saya akan ceritakan kronologinya seperti apa. Saya a
“Apa yang terjadi dengan Pak Zuna semalam?” tanya Renggana yang mendudukkan bokongnya berhadapan dengan lelaki itu di ruang kerjanya. Meski pagi tadi Citra melarang Zuna untuk ke kantor, namun lelaki itu tetap kekeh pergi karena merasa jika keadaannya sudah membaik, dan ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.Zuna mengembuskan napasnya yang terdengar kasar. “Hanya demam biasa kok, semalam kenapa kamu ke kamar saya, ketika saya bertanya via chat kamu malah membahas lain?” Zuna balik bertanya sembari menatap Renggana.Renggana menggeser kursinya agar jauh lebih dekat dengan Zuna. “Musuh kita, Pak Zuna masih ingat dengan Sembalun?” tanya lelaki itu yang kembali mengingatkan Zuna perihal masa lalu kelam yang pernah dilakukannya.“Lima tahun yang lalu, ketika kita ikut andil menyelundupkan beberapa obat-obatan terlarang dan bekerja sama dengan Sembalun. Tapi, ternyata dia menjadi pengkhianat dan sekarang dia bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mencari antek-antek para penyelun
Citra kembali ke dalam kamar setelah membawa wadah berisi air hangat, lap kecil dan juga obat, meski posisinya masih berada di hotel. Namun, dia dengan mudah mendapatkan peralatan untuk mengompres tubuh suaminya yang tengah demam. Padahal sebelumnya Citra ingin memanggil dokter karena khawatir dengan keadaan Zuna, akan tetapi lelaki itu melarangnya, bahkan Zuna pun melarang untuk memberitahukan orang tuanya, hanya dia tahu yang tahu dengan keadaannya.Perempuan itu mendudukkan bokongnya di tepi ranjang sembari memeras lap yang sudah dicelupkan ke dalam wadah berisi air hangat. Lalu, dia mengompreskan ke dahi Zuna di mana kedua matanya masih terbuka.“Maaf.”Satu kata singkat keluar begitu saja dari mulut Zuna dengan helaan napas tersengal yang terdengar oleh Citra, di saat posisinya berdekatan dengan wajahnya.“Untuk apa, Mas?” sergah perempuan itu.“Karena keadaan saya kamu harus terjebak di dalam kamar, mungkin jika saya enggak terserang sakit, kamu bisa menghabiskan waktu di sana,
Di sepanjang perjalanan menuju acara keluarga Sanjaya yang digelar di salah satu hotel mewah bintang lima. Citra terus terdiam tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Dia takut jika kehadirannya akan menjadi bahan pertanyaan perihal kehamilannya seperti yang sudah-sudah. Padahal dia sudah mengatakan kepada Zuna untuk tidak ikut, dia tidak ingin sakit hati lagi dengan ucapan dari tante Marina yang terus menyudutkan. Namun, lelaki itu tetap saja memaksanya untuk tetap ikut, siapa yang berani menolak perintah dari seorang Zunair.Zuna yang menyadari dengan keterdiaman Citra menoleh ke arah perempuan itu, namun Citra dengan cepat melirik ke arah jendela agar terhindar dari tatapan Zuna. Sementara Renggana yang duduk di sebelah Dave pun ikut menoleh ke arah kaca spion dalam untuk melihat keadaan Zuna, di mana lelaki itu tengah memandangi istrinya.Renggana yang masih memiliki perasaan kepada Zuna tentu saja dibuat cemburu melihatnya, bahkan kedua tangan lelaki itu terkepal era
Mobil yang ditumpangi oleh Citra sudah tiba di salah satu restoran tempat dirinya akan bertemu dengan ibu angkatnya—Sella, itupun setelah dia berusaha meyakinkan suaminya agar mengizinkan untuk pergi.“Di sini tempatnya, Bu?” tanya Renggana yang diperintahkan oleh Zunair untuk mengantar istrinya. Padahal lelaki itu merupakan asisten utama setelah Dave yang akan ikut andil dengan urusan Zuna.“Iya di sini, ya sudah saya turun dulu, ya, mas Renggana enggak apa-apa kok pulang lebih dulu saja, biar saya naik taksi saja,” ujar perempuan itu yang sedang membuka seat belt-nya.“Mana bisa, Bu, saya sudah diperintahkan oleh pak Zuna untuk mengantar dan pulang bersama Ibu. Jadi, saya akan tetap menunggu Bu Citra.”“Owh terima kasih banyak, kalau begitu saya pergi dulu, ya.”“Baik, Bu.”Dengan sangat ramah lelaki itu keluar lebih dulu untuk membukakan pintu agar memudahkan Citra keluar. Setelah itu barulah Citra melangkah untuk menemui ibu angkatnya. Renggana tampak lekat memperhatikan langkah k
Pagi ini Citra sudah disibukkan membantu para pelayan menyiapkan sarapan untuk keluarga besar suaminya, walau tidak membantu memasak. Namun, perempuan itu ikut sibuk membantu menyimpan hidangan ke atas meja, dan merasa bahagia bisa berkontribusi untuk keluarga ini, meski tidak bisa menghindari tatapan tajam dari orang-orang yang tidak suka kepadanya.“Oh ya, di mana Airlangga kenapa dia enggak ada di sini?” tanya Marina yang tengah mencari salah satu keponakannya itu.“Ada kok, Tan?” sahut lelaki itu yang baru saja tiba di ruang makan sembari memamerkan senyuman, dan senyuman itu kini beralih kepada Citra yang ikut mendongak ke arahnya. Perempuan itu membalas senyuman dari Airlangga yang sudah menjadi temannya.“Maaf ya, dari kemarin sampai pagi ini saya ditunggu terus, kalau hari libur atau lagi cuti saya jarang banget bangun pagi,” ujar Airlangga yang duduk berhadapa dengan Zuna dan Citra.“Enggak apa-apa kok, lagian kapan lagi kita bisa berkumpul secara lengkap begini. Nasib baik k
“Mas Zuna ‘kan paling suka nasi goreng, jadi aku membawakan nasi gorengnya yang masih hangat dengan telor omurice di atasnya. Pasti Mas Zuna bakalan menikmati deh sarapannya,” ucap Citra dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya, dan akan menyendokan satu suap makanan ke arah Zunair. “Pakai tangan aja enggak usah pakai sendok segala,” pinta Zuna di saat suapan tersebut menuju ke arah mulutnya.“Hah, pakai tangan, Mas?” ulang Citra dengan dahi berkerut dan hanya untuk memastikan jika telinganya tidak sedang bermasalah.“Hem, saya lebih suka pakai tangan,” timpal Zuna yang mempertegas dengan tatapan dingin yang terus diarahkan kepada perempuan itu.“Tapi—”“Enggak usah tapi-tapian, saya bilang pakai tangan, ya tangan! Kamu enggak budeg ‘kan! Jangan buat saya emosi pagi-pagi!” tukas Zuna yang selalu dibuat emosi jika Citra tidak langsung melakukan perintahnya. Padahal tujuan perempuan itu bertanya lagi agar tidak melakukan kesalahan.“Ya udah, tanganku udah bersih kok, tapi—” Citra
Jam yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan suaminya belum juga pulang. Sebelumnya Zuna mengatakan akan pergi sebentar, padahal posisinya baru datang dengan Dave, akan tetapi harus pergi lagi. Dan sampai detik ini juga lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Beberapa kali Citra meneleponnya pun tidak ada satu balasan karena ponselnya tidak aktif.Suara decitan pintu yang terbuka membuat Citra langsung mengedarkan pandangan ke arah pintu. Matanya membulat dengan sempurna ketika melihat suaminya pulang dalam keadaan luka di area perutnya yang sedang dibopong oleh Dave dan salah satu bodyguard-nya.“M-mas Zuna,” ucap Citra yang langsung beranjak bangun dari tempat tidur menuju suaminya berada.“P-pak Dave a-apa yang terjadi dengan M-mas Zuna?” tanya Citra dengan suara terbata-bata, apalagi dengan darah yang menempel di kemeja putih suaminya, dengan wajah yang memucat dan tidak sadarkan diri.“Ceritanya panjang, Non, nanti saya akan ceritakan kronologinya seperti apa. Saya a
“Kamu enggak usah mengancam saya!” cetus Zuna dengan suara menyentak kepada seseorang yang berada di hadapannya.“Ancam? Aku enggak ancam kamu kok, tapi yang harus kamu ingat dengan janji-janji kamu selama dua tahun kita menjalin hubungan, Pak Zuna. Apa kamu lupa?” ungkap orang itu dengan santai dan menunjukkan wajah bersahabat ke arahnya. Berbeda dengan Zuna yang tampaknya tengah menahan emosi.“Kamu enggak akan mengkhianati aku, tapi apa yang terjadi kamu malah menikahi perempuan lain, bahkan mengkhianati cinta kita. Dan di posisi ini siapa yang jauh disakiti,” ujarnya dengan perasaan yang kecewa dan mencondongkan wajahnya berdekatan dengan Zuna.“Saya butuh keturunan, dan orang tua saya terus mendesak saya untuk segera menikah. Jika saya tidak menyegerakan keinginan mereka, tentu saja apa yang dialami oleh saya akan terbongkar. Kamu tahu jika selama ini saya menyembunyikan hal ini dari mereka, tidak ada satu pun yang tahu apa yang saya lakukan! Dengan saya menikah tentu saja itu me
“Kamu udah hamil, Cit?” tanya Tante Marina yang merupakan adik bontot mama mertuanya, salah satu anggota keluarga yang sering sekali menyudutkan Citra jika ada acara keluarga seperti ini. “Eh, udah dua bulan ‘kan ya kalian nikah, masa belum ada kabar kehamilan juga sih? Kan Tante penasaran?” tanyanya kembali yang membuat orang-orang menatap ke arah Citra.Citra menggelengkan kepala pelan sembari tersenyum tipis seolah tahu dengan arah pembicaraan ini yang akan ke mana, pasti ujungnya dia yang akan tersudutkan.“Belum, Tan,” balas perempuan itu apa adanya.“Lho kok belum aja, ya? Kalian udah pernah checkup, ‘kan?” tanya Marina yang cukup tersontak mendengar pengakuan dari Citra.“Udah kok, kata dokter keadaanku dan mas Zuna baik-baik aja enggak ada hal yang dikhawatirkan. Mungkin memang belum dikasih, jadi kita cuma nunggu sambil berdoa dan berikhtiar,” jawab Citra yang berusaha untuk tersenyum, walaupun terasa getir saat ditanya seperti itu lagi di depan banyak orang.Entah untuk keb