Pagi ini Citra sudah disibukkan membantu para pelayan menyiapkan sarapan untuk keluarga besar suaminya, walau tidak membantu memasak. Namun, perempuan itu ikut sibuk membantu menyimpan hidangan ke atas meja, dan merasa bahagia bisa berkontribusi untuk keluarga ini, meski tidak bisa menghindari tatapan tajam dari orang-orang yang tidak suka kepadanya.
“Oh ya, di mana Airlangga kenapa dia enggak ada di sini?” tanya Marina yang tengah mencari salah satu keponakannya itu.
“Ada kok, Tan?” sahut lelaki itu yang baru saja tiba di ruang makan sembari memamerkan senyuman, dan senyuman itu kini beralih kepada Citra yang ikut mendongak ke arahnya. Perempuan itu membalas senyuman dari Airlangga yang sudah menjadi temannya.
“Maaf ya, dari kemarin sampai pagi ini saya ditunggu terus, kalau hari libur atau lagi cuti saya jarang banget bangun pagi,” ujar Airlangga yang duduk berhadapa dengan Zuna dan Citra.
“Enggak apa-apa kok, lagian kapan lagi kita bisa berkumpul secara lengkap begini. Nasib baik kamu bisa hadir di acara penting Om Bara dan Tante,” timpal Amalia yang tak lain mama mertua Citra.
“Makasih, Tan.”
Lagi, Airlangga melirik ke arah Citra yang sudah menikmati hidangannya, seperti biasa perempuan itu tidak memakan nasi putih hanya nasi merah untuk mengganjal perutnya. Pola makannnya benar-benar sudah dijaga agar tetap langsing tidak berisi dan membuat suaminya bangga.
“Kamu cuti berapa hari, Lang?” tanya Zuna yang hanya menikmati salad buah saja.
“Seminggu, kenapa? Mas Zuna rindu penerbangan?”
“Iya, saya rindu banget, rasanya pengen main ke sana udah lama juga setelah saya resign dari dunia penerbangan enggak main-main ke sana,” balas Zuna.
“Main aja, Mas, sambil ajak Nona Citra, lagian Mas Zuna pun masih memegang lisensi penerbangan kan. Masih mahir juga kok. Mas Zuna bisa beli jet pribadi nanti,” tutur Airlangga yang tampak menikmati sarapan pagi ini.
“Iya juga ya, ya udah deh nanti saya pikir-pikir lagi buat beli tuh jet pribadi. Iya kan, Pa?” Zuna pun menggoda papanya agar memberikannya izin untuk membeli benda tersebut.
***
Setelah selesai acara sarapan bersama dengan keluarga besar Sanjaya, Citra dilanjutkan menyiapkan perlengkapan suaminya untuk ke kantor. Mempersiapkan kemeja kantor, dasi, sepatu dan segalanya. Kegiatan yang selalu dilakukannya setiap hari.
Namun, gerakan tangan perempuan itu terhenti ketika terdengar suara ponselnya yang berbunyi, perempuan itu segera meraih benda pipih tersebut yang tergeletak di atas meja riasnya. Dan ternyata yang meneleponnya adalah mama Sella. Citra merasa bingung dan memilih untuk menahan tidak langsung menjawab panggilannya.
Namun, karena dia pikir mungkin saja ada hal penting dan segera menjawab panggilannya.
“Halo, ma, ada apa?” tanya Citra dengan suara pelan.
“Kamu udah lupa sama saya?” Sella langsung menyergah dengan suara ketus.
Perempuan itu tampak tertohak saat mendengar suara mama Sella dengan nada tinggi.
“Enggak kok, ma, mana bisa Citra lupa sama mama.”
“Ya bagus dong, jangan pernah melupakan jasa saya saat mengurus kamu! Oh ya, saya menelepon kamu karena saya butuh uang,” ucap Sella yang langsung to the point.
“U-uang, ma, bukannya pak Gernaldi udah kasih ya.”
“Memang udah, tapi saya bayarkan ke semua rentenir, karena kalau saya enggak bayar mereka akan mengusir saya. Jadi, sekarang saya benar-benar butuh uang, Citra. Kamu enggak mau ‘kan identitasmu terbongkar!” ancam perempuan itu.
Citra teringat dengan kartu debit pemberian dari mas Zuna, yang sampai sekarang uangnya benar-benar belum terpakai sama sekali, mungkin dirinya bisa memberikannya kepada mama Sella tanpa sepengetahuan dari suaminya, walaupun dia akan tahu akibatnya nanti karena bertindak tidak jujur. Namun, tidak ada cara lain daripada mama Sella terus mengancam.
“Ya udah nanti Citra kirim, ya, memangnya mama butuh berapa?” tanya perempuan itu.
“Seratus juta!” tegas Sella yang membuat Citra tertohak mendengar nominal tersebut.
“S-seratus juta,” ulang Citra yang seakan tidak percaya.
“Iya. Seratus juta. Jangan kamu pikir uang segitu cukup ya, Cit, buat bayar utang aja masih kurang. Nasib baik saya cuma minta seratus juta!Itu enggak ada apa-apanya dibanding saya ngurus kamu dari bayi! Bekorban banyak untuk membiayai kamu!” tukas Sella yang mulai memperhitungkan.
Zuna yang baru saja selesai mandi langsung terperanjat melihat Citra yang tengah mengobrol dengan seseorang via ponsel, meski dirinya tidak mendengar apa yang dibicarakan, namun melihat dari raut wajah istrinya, Zuna sudah yakin jika perempuan itu sedang mengobrol dengan ibu angkatnya yang licik itu.
Zuna menghampiri hanya memakai handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya, memamerkan tubuh bidangnya yang masih terciprat air menempel di area punggung. Lelaki itu langsung merampas begitu saja ponsel di tangan Citra. Dan melihat nama yang menelepon istrinya itu yang sesuai dengan praduganya tadi, sementara Citra hanya diam tak bisa berkutik jika Zuna sudah berkespresi seperti itu.
Ujung bibir Zuna disunggingkan tipis, sudah paham dengan kelicikan dari ibu tua angkat Citra. Zuna menempelkan jari di depan mulutnya meminta perempuan itu untuk diam.
“Halo Citra, ingat ya, kamu harus mentransfer uang sekarang! Karena saya butuh banget. Kalau kamu enggak transfer saya akan membongkar identitas kamu di depan keluarga suamimu!” titah perempan itu bernada ancaman.
“Jangan coba-coba mengancam jika kamu tidak ingin saya menghancurkan rumahmu! Bisa dengan mudah bagi saya untuk melakukannya!” timpal Zuna yang balik mengancam dan tidak main-main dengan perkataannya.
“P-pak Zuna,” timpal Sella yang sangat terkejut ketika yang bersahut adalah lelaki itu dan bukan putri angkatnya.
“Jika identitas Citra terbongkar dari mulut kamu, saya pastikan akan menghancurkan hidup kamu juga, menjebloskan kamu ke penjara. Kejahatan kamu itu banyak, mudah bagi saya untuk mencari kejahatan apa saja yang telah kamu lakukan. Jadi jangan macam-macam terhadap saya!” lanjut Zuna yang langsung mematikan sambungan ponselnya.
“Mas, tolong jangan lakukan itu,” pinta Citra yang memegang pergelangan suaminya.
“Perempuan seperti Sella memang seharusnya diberikan ancaman agar dia tidak sembarangan untuk membongkar identitas kamu. Dia udah berani mengancam saya!” timpal Zuna dengan rahang mengeras.
“A-aku tahu, Mas, tapi walau bagaimanapun dia tetap mama angkatku. Kalau enggak ada dia mungkin aku enggak ada sampai sekarang. Mungkin dengan cara ini aku bisa membalas jasa ibu angkatku selama ini,” ungkap Citra yang mulai bergetar saat memegang pergelangan suaminya, karena dia sangat tahu dengan karakter dari Zuna yang seperti apa.
Zuna pun melemah jika sudah mendengar hal itu, walau ia sangat tahu dengan kelicikan Sella. Namun, dirinya tidak mungkin bersikap sekejam itu karena ada Citra yang merupakan putri angkatnya.
Citra mendongakkan wajahnya ke arah Zuna. “Bolehkan aku transfer uang buat mama Sella dari kartu debit yang Mas Zuna berikan ke aku?” tanya perempuan itu dengan hati-hati.
“Berapa yang dia inginkan?” Zuna balik bertanya.
“Seratus juta, Mas.”
“Ya udah kamu transfer aja, tapi jika dia meminta lagi kamu langsung beritahukan ke saya, agar saya bisa selidiki uang itu dia gunakan untuk apa,” timpal Zuna yang melengos pergi dari hadapan Citra.
Mobil yang ditumpangi oleh Citra sudah tiba di salah satu restoran tempat dirinya akan bertemu dengan ibu angkatnya—Sella, itupun setelah dia berusaha meyakinkan suaminya agar mengizinkan untuk pergi.“Di sini tempatnya, Bu?” tanya Renggana yang diperintahkan oleh Zunair untuk mengantar istrinya. Padahal lelaki itu merupakan asisten utama setelah Dave yang akan ikut andil dengan urusan Zuna.“Iya di sini, ya sudah saya turun dulu, ya, mas Renggana enggak apa-apa kok pulang lebih dulu saja, biar saya naik taksi saja,” ujar perempuan itu yang sedang membuka seat belt-nya.“Mana bisa, Bu, saya sudah diperintahkan oleh pak Zuna untuk mengantar dan pulang bersama Ibu. Jadi, saya akan tetap menunggu Bu Citra.”“Owh terima kasih banyak, kalau begitu saya pergi dulu, ya.”“Baik, Bu.”Dengan sangat ramah lelaki itu keluar lebih dulu untuk membukakan pintu agar memudahkan Citra keluar. Setelah itu barulah Citra melangkah untuk menemui ibu angkatnya. Renggana tampak lekat memperhatikan langkah k
Di sepanjang perjalanan menuju acara keluarga Sanjaya yang digelar di salah satu hotel mewah bintang lima. Citra terus terdiam tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Dia takut jika kehadirannya akan menjadi bahan pertanyaan perihal kehamilannya seperti yang sudah-sudah. Padahal dia sudah mengatakan kepada Zuna untuk tidak ikut, dia tidak ingin sakit hati lagi dengan ucapan dari tante Marina yang terus menyudutkan. Namun, lelaki itu tetap saja memaksanya untuk tetap ikut, siapa yang berani menolak perintah dari seorang Zunair.Zuna yang menyadari dengan keterdiaman Citra menoleh ke arah perempuan itu, namun Citra dengan cepat melirik ke arah jendela agar terhindar dari tatapan Zuna. Sementara Renggana yang duduk di sebelah Dave pun ikut menoleh ke arah kaca spion dalam untuk melihat keadaan Zuna, di mana lelaki itu tengah memandangi istrinya.Renggana yang masih memiliki perasaan kepada Zuna tentu saja dibuat cemburu melihatnya, bahkan kedua tangan lelaki itu terkepal era
Citra kembali ke dalam kamar setelah membawa wadah berisi air hangat, lap kecil dan juga obat, meski posisinya masih berada di hotel. Namun, dia dengan mudah mendapatkan peralatan untuk mengompres tubuh suaminya yang tengah demam. Padahal sebelumnya Citra ingin memanggil dokter karena khawatir dengan keadaan Zuna, akan tetapi lelaki itu melarangnya, bahkan Zuna pun melarang untuk memberitahukan orang tuanya, hanya dia tahu yang tahu dengan keadaannya.Perempuan itu mendudukkan bokongnya di tepi ranjang sembari memeras lap yang sudah dicelupkan ke dalam wadah berisi air hangat. Lalu, dia mengompreskan ke dahi Zuna di mana kedua matanya masih terbuka.“Maaf.”Satu kata singkat keluar begitu saja dari mulut Zuna dengan helaan napas tersengal yang terdengar oleh Citra, di saat posisinya berdekatan dengan wajahnya.“Untuk apa, Mas?” sergah perempuan itu.“Karena keadaan saya kamu harus terjebak di dalam kamar, mungkin jika saya enggak terserang sakit, kamu bisa menghabiskan waktu di sana,
“Apa yang terjadi dengan Pak Zuna semalam?” tanya Renggana yang mendudukkan bokongnya berhadapan dengan lelaki itu di ruang kerjanya. Meski pagi tadi Citra melarang Zuna untuk ke kantor, namun lelaki itu tetap kekeh pergi karena merasa jika keadaannya sudah membaik, dan ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.Zuna mengembuskan napasnya yang terdengar kasar. “Hanya demam biasa kok, semalam kenapa kamu ke kamar saya, ketika saya bertanya via chat kamu malah membahas lain?” Zuna balik bertanya sembari menatap Renggana.Renggana menggeser kursinya agar jauh lebih dekat dengan Zuna. “Musuh kita, Pak Zuna masih ingat dengan Sembalun?” tanya lelaki itu yang kembali mengingatkan Zuna perihal masa lalu kelam yang pernah dilakukannya.“Lima tahun yang lalu, ketika kita ikut andil menyelundupkan beberapa obat-obatan terlarang dan bekerja sama dengan Sembalun. Tapi, ternyata dia menjadi pengkhianat dan sekarang dia bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mencari antek-antek para penyelun
“Kamu udah hamil, Cit?” tanya Tante Marina yang merupakan adik bontot mama mertuanya, salah satu anggota keluarga yang sering sekali menyudutkan Citra jika ada acara keluarga seperti ini. “Eh, udah dua bulan ‘kan ya kalian nikah, masa belum ada kabar kehamilan juga sih? Kan Tante penasaran?” tanyanya kembali yang membuat orang-orang menatap ke arah Citra.Citra menggelengkan kepala pelan sembari tersenyum tipis seolah tahu dengan arah pembicaraan ini yang akan ke mana, pasti ujungnya dia yang akan tersudutkan.“Belum, Tan,” balas perempuan itu apa adanya.“Lho kok belum aja, ya? Kalian udah pernah checkup, ‘kan?” tanya Marina yang cukup tersontak mendengar pengakuan dari Citra.“Udah kok, kata dokter keadaanku dan mas Zuna baik-baik aja enggak ada hal yang dikhawatirkan. Mungkin memang belum dikasih, jadi kita cuma nunggu sambil berdoa dan berikhtiar,” jawab Citra yang berusaha untuk tersenyum, walaupun terasa getir saat ditanya seperti itu lagi di depan banyak orang.Entah untuk keb
“Kamu enggak usah mengancam saya!” cetus Zuna dengan suara menyentak kepada seseorang yang berada di hadapannya.“Ancam? Aku enggak ancam kamu kok, tapi yang harus kamu ingat dengan janji-janji kamu selama dua tahun kita menjalin hubungan, Pak Zuna. Apa kamu lupa?” ungkap orang itu dengan santai dan menunjukkan wajah bersahabat ke arahnya. Berbeda dengan Zuna yang tampaknya tengah menahan emosi.“Kamu enggak akan mengkhianati aku, tapi apa yang terjadi kamu malah menikahi perempuan lain, bahkan mengkhianati cinta kita. Dan di posisi ini siapa yang jauh disakiti,” ujarnya dengan perasaan yang kecewa dan mencondongkan wajahnya berdekatan dengan Zuna.“Saya butuh keturunan, dan orang tua saya terus mendesak saya untuk segera menikah. Jika saya tidak menyegerakan keinginan mereka, tentu saja apa yang dialami oleh saya akan terbongkar. Kamu tahu jika selama ini saya menyembunyikan hal ini dari mereka, tidak ada satu pun yang tahu apa yang saya lakukan! Dengan saya menikah tentu saja itu me
Jam yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan suaminya belum juga pulang. Sebelumnya Zuna mengatakan akan pergi sebentar, padahal posisinya baru datang dengan Dave, akan tetapi harus pergi lagi. Dan sampai detik ini juga lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Beberapa kali Citra meneleponnya pun tidak ada satu balasan karena ponselnya tidak aktif.Suara decitan pintu yang terbuka membuat Citra langsung mengedarkan pandangan ke arah pintu. Matanya membulat dengan sempurna ketika melihat suaminya pulang dalam keadaan luka di area perutnya yang sedang dibopong oleh Dave dan salah satu bodyguard-nya.“M-mas Zuna,” ucap Citra yang langsung beranjak bangun dari tempat tidur menuju suaminya berada.“P-pak Dave a-apa yang terjadi dengan M-mas Zuna?” tanya Citra dengan suara terbata-bata, apalagi dengan darah yang menempel di kemeja putih suaminya, dengan wajah yang memucat dan tidak sadarkan diri.“Ceritanya panjang, Non, nanti saya akan ceritakan kronologinya seperti apa. Saya a
“Mas Zuna ‘kan paling suka nasi goreng, jadi aku membawakan nasi gorengnya yang masih hangat dengan telor omurice di atasnya. Pasti Mas Zuna bakalan menikmati deh sarapannya,” ucap Citra dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya, dan akan menyendokan satu suap makanan ke arah Zunair. “Pakai tangan aja enggak usah pakai sendok segala,” pinta Zuna di saat suapan tersebut menuju ke arah mulutnya.“Hah, pakai tangan, Mas?” ulang Citra dengan dahi berkerut dan hanya untuk memastikan jika telinganya tidak sedang bermasalah.“Hem, saya lebih suka pakai tangan,” timpal Zuna yang mempertegas dengan tatapan dingin yang terus diarahkan kepada perempuan itu.“Tapi—”“Enggak usah tapi-tapian, saya bilang pakai tangan, ya tangan! Kamu enggak budeg ‘kan! Jangan buat saya emosi pagi-pagi!” tukas Zuna yang selalu dibuat emosi jika Citra tidak langsung melakukan perintahnya. Padahal tujuan perempuan itu bertanya lagi agar tidak melakukan kesalahan.“Ya udah, tanganku udah bersih kok, tapi—” Citra
“Apa yang terjadi dengan Pak Zuna semalam?” tanya Renggana yang mendudukkan bokongnya berhadapan dengan lelaki itu di ruang kerjanya. Meski pagi tadi Citra melarang Zuna untuk ke kantor, namun lelaki itu tetap kekeh pergi karena merasa jika keadaannya sudah membaik, dan ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.Zuna mengembuskan napasnya yang terdengar kasar. “Hanya demam biasa kok, semalam kenapa kamu ke kamar saya, ketika saya bertanya via chat kamu malah membahas lain?” Zuna balik bertanya sembari menatap Renggana.Renggana menggeser kursinya agar jauh lebih dekat dengan Zuna. “Musuh kita, Pak Zuna masih ingat dengan Sembalun?” tanya lelaki itu yang kembali mengingatkan Zuna perihal masa lalu kelam yang pernah dilakukannya.“Lima tahun yang lalu, ketika kita ikut andil menyelundupkan beberapa obat-obatan terlarang dan bekerja sama dengan Sembalun. Tapi, ternyata dia menjadi pengkhianat dan sekarang dia bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mencari antek-antek para penyelun
Citra kembali ke dalam kamar setelah membawa wadah berisi air hangat, lap kecil dan juga obat, meski posisinya masih berada di hotel. Namun, dia dengan mudah mendapatkan peralatan untuk mengompres tubuh suaminya yang tengah demam. Padahal sebelumnya Citra ingin memanggil dokter karena khawatir dengan keadaan Zuna, akan tetapi lelaki itu melarangnya, bahkan Zuna pun melarang untuk memberitahukan orang tuanya, hanya dia tahu yang tahu dengan keadaannya.Perempuan itu mendudukkan bokongnya di tepi ranjang sembari memeras lap yang sudah dicelupkan ke dalam wadah berisi air hangat. Lalu, dia mengompreskan ke dahi Zuna di mana kedua matanya masih terbuka.“Maaf.”Satu kata singkat keluar begitu saja dari mulut Zuna dengan helaan napas tersengal yang terdengar oleh Citra, di saat posisinya berdekatan dengan wajahnya.“Untuk apa, Mas?” sergah perempuan itu.“Karena keadaan saya kamu harus terjebak di dalam kamar, mungkin jika saya enggak terserang sakit, kamu bisa menghabiskan waktu di sana,
Di sepanjang perjalanan menuju acara keluarga Sanjaya yang digelar di salah satu hotel mewah bintang lima. Citra terus terdiam tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Dia takut jika kehadirannya akan menjadi bahan pertanyaan perihal kehamilannya seperti yang sudah-sudah. Padahal dia sudah mengatakan kepada Zuna untuk tidak ikut, dia tidak ingin sakit hati lagi dengan ucapan dari tante Marina yang terus menyudutkan. Namun, lelaki itu tetap saja memaksanya untuk tetap ikut, siapa yang berani menolak perintah dari seorang Zunair.Zuna yang menyadari dengan keterdiaman Citra menoleh ke arah perempuan itu, namun Citra dengan cepat melirik ke arah jendela agar terhindar dari tatapan Zuna. Sementara Renggana yang duduk di sebelah Dave pun ikut menoleh ke arah kaca spion dalam untuk melihat keadaan Zuna, di mana lelaki itu tengah memandangi istrinya.Renggana yang masih memiliki perasaan kepada Zuna tentu saja dibuat cemburu melihatnya, bahkan kedua tangan lelaki itu terkepal era
Mobil yang ditumpangi oleh Citra sudah tiba di salah satu restoran tempat dirinya akan bertemu dengan ibu angkatnya—Sella, itupun setelah dia berusaha meyakinkan suaminya agar mengizinkan untuk pergi.“Di sini tempatnya, Bu?” tanya Renggana yang diperintahkan oleh Zunair untuk mengantar istrinya. Padahal lelaki itu merupakan asisten utama setelah Dave yang akan ikut andil dengan urusan Zuna.“Iya di sini, ya sudah saya turun dulu, ya, mas Renggana enggak apa-apa kok pulang lebih dulu saja, biar saya naik taksi saja,” ujar perempuan itu yang sedang membuka seat belt-nya.“Mana bisa, Bu, saya sudah diperintahkan oleh pak Zuna untuk mengantar dan pulang bersama Ibu. Jadi, saya akan tetap menunggu Bu Citra.”“Owh terima kasih banyak, kalau begitu saya pergi dulu, ya.”“Baik, Bu.”Dengan sangat ramah lelaki itu keluar lebih dulu untuk membukakan pintu agar memudahkan Citra keluar. Setelah itu barulah Citra melangkah untuk menemui ibu angkatnya. Renggana tampak lekat memperhatikan langkah k
Pagi ini Citra sudah disibukkan membantu para pelayan menyiapkan sarapan untuk keluarga besar suaminya, walau tidak membantu memasak. Namun, perempuan itu ikut sibuk membantu menyimpan hidangan ke atas meja, dan merasa bahagia bisa berkontribusi untuk keluarga ini, meski tidak bisa menghindari tatapan tajam dari orang-orang yang tidak suka kepadanya.“Oh ya, di mana Airlangga kenapa dia enggak ada di sini?” tanya Marina yang tengah mencari salah satu keponakannya itu.“Ada kok, Tan?” sahut lelaki itu yang baru saja tiba di ruang makan sembari memamerkan senyuman, dan senyuman itu kini beralih kepada Citra yang ikut mendongak ke arahnya. Perempuan itu membalas senyuman dari Airlangga yang sudah menjadi temannya.“Maaf ya, dari kemarin sampai pagi ini saya ditunggu terus, kalau hari libur atau lagi cuti saya jarang banget bangun pagi,” ujar Airlangga yang duduk berhadapa dengan Zuna dan Citra.“Enggak apa-apa kok, lagian kapan lagi kita bisa berkumpul secara lengkap begini. Nasib baik k
“Mas Zuna ‘kan paling suka nasi goreng, jadi aku membawakan nasi gorengnya yang masih hangat dengan telor omurice di atasnya. Pasti Mas Zuna bakalan menikmati deh sarapannya,” ucap Citra dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya, dan akan menyendokan satu suap makanan ke arah Zunair. “Pakai tangan aja enggak usah pakai sendok segala,” pinta Zuna di saat suapan tersebut menuju ke arah mulutnya.“Hah, pakai tangan, Mas?” ulang Citra dengan dahi berkerut dan hanya untuk memastikan jika telinganya tidak sedang bermasalah.“Hem, saya lebih suka pakai tangan,” timpal Zuna yang mempertegas dengan tatapan dingin yang terus diarahkan kepada perempuan itu.“Tapi—”“Enggak usah tapi-tapian, saya bilang pakai tangan, ya tangan! Kamu enggak budeg ‘kan! Jangan buat saya emosi pagi-pagi!” tukas Zuna yang selalu dibuat emosi jika Citra tidak langsung melakukan perintahnya. Padahal tujuan perempuan itu bertanya lagi agar tidak melakukan kesalahan.“Ya udah, tanganku udah bersih kok, tapi—” Citra
Jam yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan suaminya belum juga pulang. Sebelumnya Zuna mengatakan akan pergi sebentar, padahal posisinya baru datang dengan Dave, akan tetapi harus pergi lagi. Dan sampai detik ini juga lelaki itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Beberapa kali Citra meneleponnya pun tidak ada satu balasan karena ponselnya tidak aktif.Suara decitan pintu yang terbuka membuat Citra langsung mengedarkan pandangan ke arah pintu. Matanya membulat dengan sempurna ketika melihat suaminya pulang dalam keadaan luka di area perutnya yang sedang dibopong oleh Dave dan salah satu bodyguard-nya.“M-mas Zuna,” ucap Citra yang langsung beranjak bangun dari tempat tidur menuju suaminya berada.“P-pak Dave a-apa yang terjadi dengan M-mas Zuna?” tanya Citra dengan suara terbata-bata, apalagi dengan darah yang menempel di kemeja putih suaminya, dengan wajah yang memucat dan tidak sadarkan diri.“Ceritanya panjang, Non, nanti saya akan ceritakan kronologinya seperti apa. Saya a
“Kamu enggak usah mengancam saya!” cetus Zuna dengan suara menyentak kepada seseorang yang berada di hadapannya.“Ancam? Aku enggak ancam kamu kok, tapi yang harus kamu ingat dengan janji-janji kamu selama dua tahun kita menjalin hubungan, Pak Zuna. Apa kamu lupa?” ungkap orang itu dengan santai dan menunjukkan wajah bersahabat ke arahnya. Berbeda dengan Zuna yang tampaknya tengah menahan emosi.“Kamu enggak akan mengkhianati aku, tapi apa yang terjadi kamu malah menikahi perempuan lain, bahkan mengkhianati cinta kita. Dan di posisi ini siapa yang jauh disakiti,” ujarnya dengan perasaan yang kecewa dan mencondongkan wajahnya berdekatan dengan Zuna.“Saya butuh keturunan, dan orang tua saya terus mendesak saya untuk segera menikah. Jika saya tidak menyegerakan keinginan mereka, tentu saja apa yang dialami oleh saya akan terbongkar. Kamu tahu jika selama ini saya menyembunyikan hal ini dari mereka, tidak ada satu pun yang tahu apa yang saya lakukan! Dengan saya menikah tentu saja itu me
“Kamu udah hamil, Cit?” tanya Tante Marina yang merupakan adik bontot mama mertuanya, salah satu anggota keluarga yang sering sekali menyudutkan Citra jika ada acara keluarga seperti ini. “Eh, udah dua bulan ‘kan ya kalian nikah, masa belum ada kabar kehamilan juga sih? Kan Tante penasaran?” tanyanya kembali yang membuat orang-orang menatap ke arah Citra.Citra menggelengkan kepala pelan sembari tersenyum tipis seolah tahu dengan arah pembicaraan ini yang akan ke mana, pasti ujungnya dia yang akan tersudutkan.“Belum, Tan,” balas perempuan itu apa adanya.“Lho kok belum aja, ya? Kalian udah pernah checkup, ‘kan?” tanya Marina yang cukup tersontak mendengar pengakuan dari Citra.“Udah kok, kata dokter keadaanku dan mas Zuna baik-baik aja enggak ada hal yang dikhawatirkan. Mungkin memang belum dikasih, jadi kita cuma nunggu sambil berdoa dan berikhtiar,” jawab Citra yang berusaha untuk tersenyum, walaupun terasa getir saat ditanya seperti itu lagi di depan banyak orang.Entah untuk keb