Larissa melangkah cepat melewati koridor. Mencari tahu ruangan tempat putranya dirawat. Hingga dia menemukan seseorang di sana yang dirasa dikenalinya.
Prasangka buruk pun semakin menggebu-gebu di hati Larissa kala melihat sosok Silvia tengah bersama Adrian di kursi tunggu. Dengan cepat, Larissa menghampiri dan berusaha untuk tetap terlihat tenang, meskipun hatinya sangat kesal ketika bertemu dengan wanita itu."Di mana Robin?!" tanyanya kepada Adrian.Adrian segera berdiri setelah kedatangan istrinya, begitu pun juga dengan Silvia yang merasa tidak nyaman karena lebih dahulu datang sebelum Larissa."Dia sedang dirawat, tenanglah biarkan dokter menanganinya dengan baik," jawab Adrian.Sekilas, kedua mata Larissa beralih ke arah Silvia dan lalu dia menatap Adrian selidik. "Lalu, mengapa ada wanita ini di sini?" tanyanya. "Bukankah seharusnya dia berada di kantornya Alexander?""Dia ...."Belum sempat Adrian menjelaskan, Larissa mulai menuduh wanita itu dengan dugaan yang ditambah dengan bukti foto yang dia terima beberapa waktu lalu tadi."Kau pasti telah mencelakai Robin! Bukan, begitu?"
Silvia berekspresi datar dan menatap Larissa dengan memberikan tatapan bingung. Menggelengkan kepalanya dan menoleh kepada Adrian."Apa maksudmu, Larissa?! Jaga mulutmu dan jangan menuduh orang lain sembarangan. Apakah pantas seorang Nyonya Parker berkata seperti itu di hadapan suaminya sendiri?" tegas Adrian.Adrian terlihat kesal atas tuduhan yang dilayangkan oleh Larissa. Langkahnya sedikit lebih mau ketika mengatakan hal tadi, seolah sedang membela wanita tersebut."Aku tidak bertanya padamu, Adrian! Aku sedang bertanya pada Silvia, mengapa kau yang menjadi merasa tersulut?" Tatap Larissa dengan perasaan semakin curiga."Jangan-jangan ... tuduhanku tadi pagi itu memang benar? Kau memang ada hubungan dengan wanita itu, bukan?" Satu alis Larissa naik, terlihat mengintimidasi Adrian dengan menatapnya penuh."Nyonya Larissa, kau jangan salah paham. Saya tidak ada hubungan apa pun dengan Tuan Adrian." Silvia bangkit dari kursinya dengan wajah khawatir."Saya ke sini karena ingin menjemput salah satu putri tuan Alexander dan kebetulan saya melihat putra kalian yang mengalami kecelakaan, dengan itu saya menghubungi Tuan Adrian untuk ke sini," lanjutnya menjelaskan.Masih tak percaya dengan penjelasan itu, Larissa kembali menanyakannya. "Mengapa tidak kau hubungi aku? Apakah pikiranmu hanya dipenuhi oleh nama Adrian?" Tatapnya tajam dan penuh selidik."Larissa." Adrian hendak menyentuh pundak istrinya, tapi Larissa segera mengangkat tangannya untuk menghentikan pergerakan itu."Sebentar, biarkan aku bertanya padanya!" ucap Larissa pada Adrian. "Katakan kalau kau memang sudah mengganggu Adrian di pesta peluncuran milik Alexander! Apa itu benar, ha?""Larissa, kau ini kenapa?!" Adrian mencoba menenangkan."Kau tak perlu berbohong, Adrian! Aku tahu kau telah bermain dengan wanita ini di malam itu! Lihat saja sekarang, mengapa harus dirimu yang dihubungi, hah?" selidiknya dengan menohok."Sementara aku adalah mantan atasannya dan bisa saja jika dia mengabarkan kecelakaan Robin lebih dahulu kepadaku bukan padamu!" sambungnya.Larissa tak dapat menahan emosinya kala pikirannya dibayangi foto bukti yang dia terima malam itu."Larissa!" teriak Adrian di depan wajah istrinya.Tiba-tiba saja, Silvia mendekat ke arah Larissa, lalu membungkuk di depannya cukup lama sambil berkata, "Maafkan saya Nyonya, jika dalam hal ini saya sudah lancang menghubungi Tuan Adrian dan melewatkanmu. Sungguh, saya hanya panik atas kejadian tadi yang menimpa Robin."Larissa mengalihkan pandangannya ketika melihat Silvia melakukan hal tersebut. Walaupun wanita itu sudah menjelaskan, Larissa merasa memang ada yang tak beres dengan seorang Silvia."Semua orang yang bersalah akan selalu berujung minta maaf, jika dirinya merasa telah menganggu milik orang lain," ucap Larissa seolah menyindir.•••Malam sekitar jam delapan. Larissa sedang menemani putranya di rumah sakit. Melihat Robin yang terbaring lemah, hatinya merasa terluka. Diusapnya kepala Robin sambil menatapi wajah tampan anak kecil berusia delapan tahun itu."Robin, cepatlah sadar. Katakan semuanya kepadaku dan katakan kalau wanita itu telah mencelakaimu, Sayang?"Rupanya Larissa masih belum dapat menepis rasa curiga kepada Silvia, yang beralasan menjemput salah satu anak dari Alexander.Saat Larissa menitikkan air matanya ketika merenung. Tiba-tiba sesuatu hal muncul di dalam kepalanya. Wajahnya langsung memperlihatkan ketegangan di sana."Sebentar ...."Larissa mulai berpikir sesuatu. "Apakah ini alasan dia berhenti bekerja denganku dan menjadi sekretaris Alexander, agar dia menjadikan penjemputan itu sebagai alasan?"Kemudian, Larissa juga menyadari hal lainnya. "Akhir-akhir ini selalu Adrian yang menjemput Robin. Mungkinkah mereka ...." Kedua pupil Larissa melebar dan dia langsung berdiri dari duduknya."Kalian, benar-benar!"Dirinya merasa bodoh karena tidak menyadari hal itu sejak kemarin-kemarin. Permintaan Adrian yang ingin menjemput Robin, membuat Larissa berpikir bahwa pria itu memang sudah membuat rencana pertemuan dengan Silvia.Andai beberapa hari lalu dirinya menyadari tingkah Adrian, mungkin akan sedikit berbeda sekarang.Larissa tidak tahan. Ia ingin segera bertanya kepada Adrian. Namun suaminya itu tak kunjung datang ke rumah sakit. Pada saat Larissa menelepon pun itu sama sekali tidak diangkat.
"Sialan, ke mana kau Adrian!" umpatnya dan kesal.
Larissa pun hendak mengalihkan panggilan ke rumahnya, untuk bertanya di mana Adrian, ketika lagi-lagi sebuah pesan tiba-tiba masuk dari orang misterius tersebut."Dia lagi?"Larissa membuka layar ponselnya untuk mengecek kiriman apa lagi yang dia dapatkan. Ternyata kali ini bukan semacam foto yang diterima Larissa.Melainkan sebuah pesan suara yang begitu dia kenali, yaitu suara desahan Adrian yang terdengar seperti sedang melakukan hubungan ranjang dengan seseorang."Bajingan!" umpat Larissa dengan meremas dressnya.Dering ponsel berbunyi dari dalam tas bermerek milik Larissa. Wanita itu dengan tenang mengangkat panggilan suaminya sambil seulas senyum palsu muncul di bibirnya. Larissa sedang bersama putranya di dalam mobil dalam perjalanan pulang ke rumah mereka. "Ada apa Adrian?""Apa kau sudah menjemput Robin?" tanya Adrian. "Ya, sekarang aku menuju pulang ke rumah bersama Robin, kau di mana?" Dari suara seberang pun kembali menyahut, "Aku masih banyak pekerjaan di kantor, dan sepertinya-" "Tidak apa-apa jika kau masih sibuk. Aku akan urus Robin hari ini. Aku juga akan menyiapkan makan malam bersama di rumah ayah. Rasanya sudah lama kita tidak berkunjung ke rumahnya. Bagaimana menurutmu?" Setelah menerima sebuah pesan suara dari tiga hari yang lalu. Kini, Larissa semakin yakin bahwa Adrian telah bermain di belakangnya. Rasanya Larissa sudah tidak tahan untuk segera buru-buru menyelidiki Adrian dan selingkuhannya. "Malam ini?" ulang Adrian. "Ya, malam ini. Apa kau bisa?" ulang Larissa.
"Hallo, Nyonya Larissa. Maaf, ternyata aku lebih dahulu datang dari dirimu," sapa Alexander yang bangkit dari kursi saat melihat kedatangan putri dari tuan Müller. Larissa masih terdiam memandang dengan penuh ketidakmengertiannya. Bagaimana bisa Alexander ada di rumah ayahnya, sedangkan tadi siang sang ayah mengatakan tak akan ada tamu siapa-siapa. Selain itu, Adrian juga mengatakan akan adanya pertemuan dengan Alexander. Namun yang dia temui ialah, Alexander ada di rumah sang ayah. Larissa menoleh kepada Gerry, meminta penjelasan karena ini tidak seperti apa yang dikatakan oleh sang bodyguard. Gerry menundukkan kepalanya beberapa detik, kemudian sedikit berbisik, "Maaf, Nyonya, saya benar-benar tidak tahu," ujarnya, pelan. Kemudian tuan Müller meminta putri dan cucunya untuk ikut duduk acara makan malam bersama. Dengan kecanggungan yang terjadi, Larissa tentu saja juga terpikirkan tentang pertemuan antara suaminya dengan Alexander malam ini. Apa yang sebenarnya terjadi? "Lariss
Sesampainya di rumah, Larissa justru telah mendapati mobil Adrian di garasi. Wanita ini bingung mengapa Adrian bisa datang tepat waktu, sementara Larissa sendiri baru saja melihat suaminya di depan jalan restoran Miss Alcerine. Saat Larissa memasuki rumahnya. Dia mendengar suara sapaan dari Adrian dengan kalimat yang terdengar kesal. Pria itu berbicara sambil menuruni anak tangga. "Dari mana saja kau? Apa acara malam itu sangat menyibukkanmu sampai harus mengirimkan Robin bersama dengan bodyguard ayahmu?" Adrian menatap selidik dan mulai mendekati istrinya. Larissa malah mengerutkan keningnya saat Adrian berkata demikian. Mengapa kini harus dirinya yang diinterogasi setelah datang ke rumah? Larissa juga melangkah dan semakin dekat ke arah wajah suaminya. Jari lentiknya mulai membelai sebelah wajah Adrian penuh dengan hasrat. Dia mencoba memperhatikan tatapan Adrian yang tampak berbeda."Ah ... maafkan aku, Adrian. Aku sedang ada kesibukan mendadak, maka dari itu aku terpaksa menit
Setelah kejadian yang membingungkan kemarin malam. Larissa mencoba melupakannya sejenak. Sebab dirinya juga masih tidak mengerti mengapa lampu padam begitu saja dan apa yang Larissa lihat seperti ada bayangan suaminya. Dan yang lebih membingungkan lagi, Larissa juga mendapati suaminya datang dari arah belakang bukan dari balkon. Meskipun Adrian telah memberikan alasan yang se-masuk akal mungkin, tetap saja Larissa merasakan ada bayang-bayang mencurigakan atas penyebab lampu padam semalam.. Kemudian semenjak beberapa hari yang lalu setelah rekaman yang dikirim oleh seorang misterius kepadanya. Larissa tidak lagi menemukan pesan chat atau hal-hal lain dari sosok tanpa nama itu akhir-akhir ini. Padahal, Larissa merasa terbantu oleh adanya bukti-bukti kecil yang telah dikirim dari sosok misterius tersebut. Agar menjadi petunjuk wanita siapa yang dibersamai oleh Adrian. Untuk memastikan kembali, Larissa mengcek pesan tersebut. Wanita itu mulai membuka layar ponselnya dan mencarinya pesa
Ternyata Larissa mendapati sebuah kejanggalan, yaitu salah satu permata di kalung tersebut ada yang hilang. Itu membuat Larissa heran, sebab dirinya tidak pernah memakai kalung miliknya sampai menghilangkan satu berlian pun. Terakhir kali dia memakai adalah di hari jadi yayasan sekolah Robin. Setelah hari itu dirinya tidak pernah memakainya lagi, dan saat itu semua permata tak ada yang hilang. Larissa terdiam sejenak, lalu dia kembali bertanya kepada sang pelayan. "Pelayan, apakah kau melihat suamiku memasuki ruangan ini?" tanyanya. "Baru saja, Nyonya. Saat aku datang dari belakang, aku melihat tuan Adrian masuk ke ruangan ini. Aku tidak berani menghampirinya, dan setelah kutunggu di sana beberapa menit, barulah dia keluar dan menuju ruang pribadinya," jelas pelayan kepada Larissa. Wanita yang tengah memegangi kalung itupun berpikir dengan cepat. Otaknya seakan menyimpulkan sesuatu dan menduga bahwa Adrian telah berbohong perihal kalung itu. 'Adrian, sekarang aku paham. Sepertiny
Akibat permainan kemarin, beberapa hari ini Adrian terlihat menyibukkan diri usai pulang dari kantornya. Larissa yang hanya memanfaatkan permainan itu, dirinya sudah tahu apa yang akan terjadi pada suaminya. Kalung yang kemarin dia dapatkan, sengaja masih disimpan dan tidak dikembalikan. Meskipun Adrian berusaha memintanya kembali, bukan Larissa namanya jika dia tidak mengatakan berbagai macam alasan untuk menyimpan benda tersebut. "Kau pikir hanya kau yang memiliki banyak alasan, Adrian? Huh, kita lihat sampai mana permainan membawa gairahmu bersama wanita jalang simpananmu itu." "Perlukah aku membalas perlakuan yang sudah kau perbuat dengan aku mencari pria lain?" Larissa terkekeh pelan, lalu melanjutkan, "sayangnya aku bukan wanita murahan seperti yang kau cari. Semakin hari aku semakin jijik dengan perbuatanmu itu." Tidak lama kemudian saat Larissa sedang menatap kalung yang ada di sebuah kotak itu, tiba-tiba seorang sekretaris barunya datang bersama sosok wanita berpakaian ra
Larissa mengambil obat miliknya di laci nakas dan segera mengkonsumsinya untuk meredakan kecemasan dirinya. Perlahan kemudian menyandarkan tubuhnya ke sisi kepala ranjang. Sesuatu yang baru saja dia lihat benar-benar membuatnya syok. Bagaimana bisa seorang sahabat yang dikenalnya baik sejak lama telah melalukan itu kepadanya. Larissa butuh jawaban baik dari Adrian maupun Caroline. Namun, yang membuat dirinya juga penasaran ialah, ada apa dengan Silvia yang mengetahui perselingkuhan suaminya lebih dulu darinya. Larissa merasa bahwa dirinya harus menemui mantan sekretarisnya nanti untuk mempertanyakan segalanya dengannya jelas."Apa selama ini kau sudah sering berhubungan gelap dengan Caroline, Adrian? Mengapa kau melakukan ini padaku Adrian!" teriak Larissa dan memegangi dadanya seraya mengeluarkan air matanya. ◉◉◉◉Di sebuah hotel, yang tak jauh dari restoran keluarga Miss Alcerine. Sepasang manusia berbeda gender baru saja selesai melakukan malam panas mereka. Keduanya terlihat t
Ketika Larissa mendapat informasi itu dari mantan sekretarisnya yaitu, Silvia. Wanita ini pun mulai mempercayai sebuah bukti yang pernah dia terima di ponselnya. Hingga akhirnya, Larissa mengajak Silvia untuk bertemu. Tepat setelah pulang dari kantornya, Larissa menemui suatu tempat yang sudah dijanjikannya bersama Silvia. Mereka pun terlihat mengobrol di sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari kantor Larissa. "Katakan semua yang kau tahu!" pintanya tak ingin banyak basa-basi. "Dan, aku ingin kau jelaskan semua yang sudah kau lakukan bersama suamiku!" tambahnya. Wanita dengan rambut panjang dikuncir itu menyerahkan ponselnya dan memperdengarkan sebuah rekaman yang dia dapatkan dari hasil menguntit Adrian. Suara desahan pun terdengar di sana dan itu tidak lain adalah suara Adrian. "Maaf, Bu Larissa. Saya pernah melakukan hubungan terlarang bersama suamimu, karena suamimu sedang mabuk dan mengajakku ke sebuah hotel pada beberapa Minggu lalu," jelasnya. Larissa mengepalkan tanganny