Akibat permainan kemarin, beberapa hari ini Adrian terlihat menyibukkan diri usai pulang dari kantornya. Larissa yang hanya memanfaatkan permainan itu, dirinya sudah tahu apa yang akan terjadi pada suaminya.
Kalung yang kemarin dia dapatkan, sengaja masih disimpan dan tidak dikembalikan. Meskipun Adrian berusaha memintanya kembali, bukan Larissa namanya jika dia tidak mengatakan berbagai macam alasan untuk menyimpan benda tersebut."Kau pikir hanya kau yang memiliki banyak alasan, Adrian? Huh, kita lihat sampai mana permainan membawa gairahmu bersama wanita jalang simpananmu itu.""Perlukah aku membalas perlakuan yang sudah kau perbuat dengan aku mencari pria lain?" Larissa terkekeh pelan, lalu melanjutkan, "sayangnya aku bukan wanita murahan seperti yang kau cari. Semakin hari aku semakin jijik dengan perbuatanmu itu."Tidak lama kemudian saat Larissa sedang menatap kalung yang ada di sebuah kotak itu, tiba-tiba seorang sekretaris barunya datang bersama sosok wanita berpakaian rapi.Larissa mengernyitkan dahinya dengan memberikan tatapan tak bersahabat pada orang yang datang."Permisi, Nyonya. Dia ingin bertemu dengan Anda," ucap sang sekretaris.Melihat siapa orang itu, Larissa heran atas kedatangan Silvia ke kantornya. Mau apa lagi wanita itu datang ke kantornya setelah pengkhianatan yang diperbuat kepadanya. Wanita yang pernah menjadi sekretarisnya itu juga menampilkan raut wajah memelas."Tinggalkan aku dengannya," pinta Larissa dan sekretaris itu segera keluar dari ruangan.Silvia pun mendekat ke arah meja Larissa. Dia diminta duduk berhadapan, dan wanita beranak satu itu menatapnya tajam dengan tatapan penuh kebencian."Untuk apa kau datang ke sini? Mau meminta pasongan yang kaurasa tidak cukup?" tanya Larissa dengan nada yang menohok.Silvia segera menggeleng, dia tertunduk takut dan malu untuk mengungkapkan sesuatu. Jujur saja Silvia jadi ragu untuk mengatakannya. Melihat tatapan tajam dari Larissa saja rasanya dirinya tak berani dan merasa sangat bersalah sudah melakukan itu di belakang mantan atasannya."Beginilah kondisi seorang jalang, dia tidak akan berani meminta maaf sebab dirinya telah salah sepenuhnya dan harus menanggung malu yang begitu besar," sindir Larissa.Silvia langsung menyahut, "Nyonya, saya tidak pernah bermaksud masuk dalam hubungan-"Plak!"Tidak pernah bermaksud katamu?!"Tamparan keras Larissa berikan kepada mantan sekretarisnya itu. Bagaimana bisa Silvia tidak pernah bermaksud masuk dalam hubungan, tapi dia tetap menjadi wanita jalangnya suaminya.Desiran hangat yang memuncak di kepalanya membuat Larissa tak tahan untuk tidak melakukan apa pun kepada wanita yang telah merebut suaminya itu."Nyonya-"Brukh!"Ambil milikmu dan pergi dari sini! Aku benar-benar muak melihat wajahmu, dasar wanita jalang!" hina Larissa kala melemparkan kalung yang dia simpan selama beberapa hari ini."Nyonya, kalung ini-""Silvia, apa kau tidak memilik telinga, hah? Aku bilang kau keluar dari ruanganku!""Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu kepadamu, Nyonya," kata Silvia dengan nada memohon."Aku tidak butuh penjelasanmu. Kau hanya wanita jalang yang tak perlu didengarkan setiap perkataan ucapanmu!" serunya ke arah wajah wanita itu."PERGI SEKARANG JUGA!" teriaknya.Silvia yang merasa tak bisa meluruskan, dirinya pun berakhir pergi dari sana. Namun, tampaknya dia tidak membawa kalung itu dan tetap diletakkan di atas meja kerja Larissa."Kurang ajar, bisa-bisanya kau meninggalkan barangmu di sini, hah! Jangan harap kau akan memiliki barang yang sama denganku lagi!"Dengan cepat Larissa mengambil benda itu dan memasukkannya ke dalam tempat sampah bersama kotak perhiasan tersebut. Lagi pula itu bukan miliknya, biarkan benda itu berakhir di tempat sampah seperti pemiliknya.••••Saat makan malam di kediaman keluarga Parker. Baik Larissa dan Adrian juga putra mereka Robin tengah menikmati makanan mereka. Di dampingi oleh beberapa pelayan yang berdiri berjejer di sekitar, tampaknya suasana benar-benar terasa sangat hening dan hanya terdengar bunyi denting sendok dan garpu saling beradu di atas piring."Aku tidak suka sayur, Daddy," ucap Robin.Adrian langsung mengangkat tangannya untuk memberi kode kepada sang pelayan agar memisahkan sayur yang ada di piring putranya."Tolong pisahkan dan jangan pernah memberikan Robin makanan yang tidak dia sukai," ujar Adrian sambil menikmati makanannya."Baik, Tuan."Larissa yang menatap Adrian di sana, dia berusaha menahan dirinya untuk tidak memulai pertengkaran. Meskipun hati dan pikirannya terus berperang untuk menyulut emosinya sendiri."Sayang, kau harus terbiasa makan sayur. Pelayan memberikan itu karena ingin kau memakan makanan yang sehat. Ingat apa kata kakek, kau harus tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. Maka dari itu kau harus memakan sayurannya," tutur Larissa.Robin menatap sang ibu dengan pasrah. Lagi-lagi Larissa menyangkut pautkan dengan sang kakek yang sangat dia patuhi. Teringat pesan kakeknya itu, Robin pun menghentikan sang pelayan."Hentikan, aku akan makan sayurnya," ucap Robin.Sang pelayan pun memundurkan dirinya kembali ke tempat. Sementara Adrian menatap Larissa jengkel sebab begitu memaksa kepada Robin."Kau terlalu memaksanya, Larissa. Sampai kau bawa-bawa nama ayah agar dia memakan yang tidak dia inginkan," celetuk pria berahang tegas itu."Kenapa? Aku hanya membiasakan dia, Adrian.""Tapi kau sudah memaksanya harus memakan sesuatu yang tidak dia sukainya. Aku tahu kau selalu mendapatkan apa yang kau inginkan, termasuk kepatuhan putra kita sendiri ...,""Namun, apa kau tahu bagaimana rasanya jika Robin tidak pernah mau melakukannya dan harus memaksakan dirinya sendiri untuk mematuhimu?! Kau tak pernah berbeda dengan ayahmu," lanjut Adrian.Semua pelayan menundukkan wajah mereka tak berani menyaksikan pembicaraan yang mulai terdengar cukup tak nyaman."Apa-apaan kau Adrian!""Aku hanya meminta putraku untuk membiasakan makanan yang sehat, mengapa kau harus mendebatnya seserius itu sampai kau menyinggung nama ayah? Aku tidak suka bicaramu yang terdengar meremehkan ayahku!"Adrian berdiri dari duduknya. Lalu, kemudian pamit meninggalkan ruang makan dan meminta salah satu pelayanan untuk membawakan alkohol ke ruangan pribadinya.Larissa ingin mencegah kepergian suaminya, tapi hatinya masih merasa kesal dengan sikap Adrian tadi. Entah kenapa hanya dengan perihal makanan saja, Adrian sampai seserius itu menanggapinya.'Ada apa dengan Adrian?'Wanita itu terdiam dan kembali membatin dalam hatinya. Dalam pikirannya ada sesuatu yang terjadi antara ayahnya dan Adrian.'Ayah telah membatalkan kontrak dengan Adrian. Malam ini, hanya perihal makanan ... Adrian begitu emosi menanggapi perkataanku. Mungkinkah ayah dan Adrian memiliki masalah?'••••Sekitar pukul sembilan malam. Larissa terlihat sedang melakukan video call dengan seorang wanita. Sambil bercerita tentang hubungannya dengan Adrian akhir-akhir ini, sang sahabat pun mencoba menyabarinya dengan mengundang ke sebuah acara party besok malam.Larissa yang sudah lama tidak menghadiri party reunian sekolah, selama dua tahun ini. Akhirnya dia bersedia datang bersama sang sahabat ke pesta itu."Tahun-tahun sebelumnya aku tidak datang karena kau selalu ada kesibukan. Aku yang juga memiliki jadwal lain, alhasil tidak hadir di sana," tutur Larissa."Kau benar-benar sahabatku. Takdir menjadikan kita selalu merasakan hal-hal yang sama. Namun, untuk besok malam kita harus datang, oke?" ujar wanita di seberang itu."Tentu, Caroline!" sahut Larissa dan terkekeh pelan."Baiklah, kalau begitu aku tutup teleponnya. Ada pekerjaan yang harus aku lakukan, bye!""Bye, Babe!"Sebelum video call terputus, Larissa sempat melihat bathrobe yang dipakai Caroline memiliki bordir dengan nama sebuah hotel. Larissa yang mengenal nama hotel itu, dirinya sempat berpikir sejenak."Mengapa dia sedang di hotel? Astaga, Caroline jangan bilang kau bersama pacar barumu lagi? Hahaha!"Larissa hanya tertawa dengan pikirannya sendiri. Mengingat temannya itu adalah wanita yang senang mencari sensasi baru, hal itu tidak membuat Larissa terkejut lagi dengan sifat sang sahabat.Yang tadinya datang dari kamar Robin untuk menidurkan anak itu, membuatnya sedikit lelah hingga berakhir curhat kepada Caroline perihal beberapa hari ini yang dia jalani. Hal itu menjadikan Larissa singgah ke ruangan santai untuk sekedar video call dengan Caroline.Kini, Larissa kembali ke kamarnya untuk tidur. Saat dirinya membuka pintu, ternyata tak menemukan Adrian di sana. Merasa penasaran di mana keberadaan suaminya, dirinya pun tak jadi memasuki kamar dan mencarinya ke ruangan pribadi Adrian.Langkahnya yang cepat membuat Larissa sampai hanya memerlukan beberapa menit saja. Dibukanya pintu ruangan pribadi Adrian, ternyata pria itu juga tidak ada di sana.Larissa bertanya kepada bodyguard yang berdiri di samping pintu ruangan keluarga. "Di mana Adrian?""Tuan sedang ada kesibukan dan dia baru saja pergi, Nyonya," sahutnya dengan tegas."Urusan apa?""Sepertinya urusan kantor, Nyonya."Larissa menatap heran ke seluruh penjuru ruangan itu, seraya berdiri pada anak tangga. Akibat rasa kesalnya tadi di meja makan, Larissa pun tak memedulikan kesibukan suaminya. Dia memilih untuk kembali ke kamar untuk istirahat setelah mengetahui ke mana Adrian pergi.Sesmapainya di kamar. Wanita ini meletakkan ponselnya di atas nakas. Dia hendak pergi menuju kamar mandi, tapi langkahnya terhenti kala denting ponsel berbunyi.Ting!Dia meraih benda pipih itu kembali dan mengecek sebuah pesan yang masuk. Kali ini sosok Silvia mengiriminya chat permintaan maaf lewat tulisan.Namun, bukan kalimat itu yang membuat Larissa tersentak dan membuat jantungnya berdetak kencang, tapi adalah sebuah kiriman susulan yaitu foto yang memperlihatkan beberapa wanita sosialita tengah berpose dengan barang branded yang dipakainya.Yang Larissa tangkap ialah, sebuah kalung yang sama seperti miliknya nampak dipakai seorang wanita yang termasuk dalam jejeran foto tersebut.(Maafkan aku, Nyonya. Aku pernah berhubungan dengan Tuan Adrian, tapi percayalah bahwa kalung itu bukan milikku. Yaitu, milik seorang wanita yang kini menjadi simpanannya tuan Adrian.)Membaca pesan berikutnya di bawah foto tersebut, membuat Larissa terduduk di sisi ranjang. Dadanya yang terasa sesak membuatnya sulit untuk mengendalikan napasnya.Lagi, sebuah video masuk dari kiriman Silvia. Memperlihatkan video panas suaminya dengan wanita yang sama pada di foto tersebut. Hal itu menjadikan Larissa memukul-mukul dadanya yang sangat amat sakit hati.Suara desah*n yang dikeluarkan Adrian terdengar sama dengan pesan suara yang dia terima beberapa waktu lalu. Meskipun pesan suara itu telah hilang, dirinya masih mengingat ada kesamaan di sana."Brengsek kau Adrian!""Ternyata ...."Tangannya bergetar. Benda yang sudah menerima informasi itu terjatuh ke lantai, dan Larissa berusaha mengambil sebuah wadah kecil di laci nakas. Dia perlu obat sekarang!"Aghhh!""Pengkhianat!"Larissa mengambil obat miliknya di laci nakas dan segera mengkonsumsinya untuk meredakan kecemasan dirinya. Perlahan kemudian menyandarkan tubuhnya ke sisi kepala ranjang. Sesuatu yang baru saja dia lihat benar-benar membuatnya syok. Bagaimana bisa seorang sahabat yang dikenalnya baik sejak lama telah melalukan itu kepadanya. Larissa butuh jawaban baik dari Adrian maupun Caroline. Namun, yang membuat dirinya juga penasaran ialah, ada apa dengan Silvia yang mengetahui perselingkuhan suaminya lebih dulu darinya. Larissa merasa bahwa dirinya harus menemui mantan sekretarisnya nanti untuk mempertanyakan segalanya dengannya jelas."Apa selama ini kau sudah sering berhubungan gelap dengan Caroline, Adrian? Mengapa kau melakukan ini padaku Adrian!" teriak Larissa dan memegangi dadanya seraya mengeluarkan air matanya. ◉◉◉◉Di sebuah hotel, yang tak jauh dari restoran keluarga Miss Alcerine. Sepasang manusia berbeda gender baru saja selesai melakukan malam panas mereka. Keduanya terlihat t
Ketika Larissa mendapat informasi itu dari mantan sekretarisnya yaitu, Silvia. Wanita ini pun mulai mempercayai sebuah bukti yang pernah dia terima di ponselnya. Hingga akhirnya, Larissa mengajak Silvia untuk bertemu. Tepat setelah pulang dari kantornya, Larissa menemui suatu tempat yang sudah dijanjikannya bersama Silvia. Mereka pun terlihat mengobrol di sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari kantor Larissa. "Katakan semua yang kau tahu!" pintanya tak ingin banyak basa-basi. "Dan, aku ingin kau jelaskan semua yang sudah kau lakukan bersama suamiku!" tambahnya. Wanita dengan rambut panjang dikuncir itu menyerahkan ponselnya dan memperdengarkan sebuah rekaman yang dia dapatkan dari hasil menguntit Adrian. Suara desahan pun terdengar di sana dan itu tidak lain adalah suara Adrian. "Maaf, Bu Larissa. Saya pernah melakukan hubungan terlarang bersama suamimu, karena suamimu sedang mabuk dan mengajakku ke sebuah hotel pada beberapa Minggu lalu," jelasnya. Larissa mengepalkan tanganny
Keesokan harinya. Pagi ini di keluarga Parker terlihat sedang menikmati makanan mereka. Larissa yang telah memiliki rencana untuk di acara reuni tersebut, dia tidak ingin menghancurkan rencananya hanya mencoba berdebat dengan Adrian pagi ini. Dilihatnya lelaki itu benar-benar cukup tenang saja. Larissa jadi berpikir heran, kenapa Adrian harus berselingkuh di belakangnya. Bukankah selama ini dirinya sudah menjadi istri yang baik untuk pria itu? Sekilasnya ditatapnya Robin. Putra semata wayangnya. Anak pertama dan mungkin terakhir yang Larissa lahirkan. Sebab, sejauh ini dirinya merasa keberatan untuk memiliki anak kembali. Karena banyak berpikir di sela-sela menikmati makanannya, tiba-tiba saja Larissa jadi kepikiran. Mungkinkah Adrian selingkuh karena dirinya mencoba menolak untuk memiliki anak lagi? Meskipun kebutuhan ranjang untuk Adrian telah dipenuhinya, Larissa merasa aneh saja jikalau Adrian selingkuh hanya karena itu. Sebab sewaktu satu tahun yang lalu, mereka berdua telah
Larissa terkejut ketika mendapati kabar kematian mantan sekretarisnya yaitu, Silvia. Kini berita itu menjadi top trending di berita utama yang mengaitkannya dengan ke perusahaan sang ayah. Wanita ini terdiam sejenak, membiarkan otaknya berpikir apa yang telah terjadi kepada Silvia. Di antara gelombang perasaannya, Larissa merasa kematian Silvia terlalu tiba-tiba dan tak masuk di akal. "Tidak mungkin! Bagaimana bisa dia meninggal begitu saja!" Merasa tak percaya dan tak habis pikir. Akhirnya dirinya sambil mencoba meredakan kebingungannya, Larissa memutuskan untuk pergi ke rumah yang baru saja dia beli untuk Silvia. Saat dirinya baru tiba di sana, dia terkejut melihat banyak polisi penyelidik dan anggota tim forensik yang sedang melakukan penyelidikan di dalam rumah tersebut."Sial, ada apa sebenarnya denganmu Silvia, ck!" decak Larissa dibuat heran akan kasus kematian mantan sekretarisnya itu. Larissa dengan beberapa pengawalnya meminta untuk diizinkan masuk. Dia pun melihat para
"Apa-apaan ini?!" Larissa Riquel Müller mengerutkan dahinya ketika melihat nama kontak dengan emoticon love di ponsel suaminya. Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Sekilas dirinya menoleh ke arah Adrian yang tertidur pulas. Sedangkan Larissa dihantui rasa penasaran akan sosok orang yang menghubungi suaminya. ‘Apa ini orang yang sama dengan yang bersama Adrian satu minggu lalu?’Sekitar satu Minggu yang lalu, dia mendapat sebuah pesan misterius berisi foto suaminya dengan seorang wanita di acara pesta peresmian perusahaan milik Alexander, Elevate Group. Dalam foto itu, tampak suaminya tengah menggandeng mesra hingga merangkul wanita tersebut. Sayangnya Larissa tidak bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Foto itu diambil dari jarak cukup jauh. Walaupun begitu, tetap saja Larissa merasa kenal dengan si wanita. Larissa terus kepikiran tentang foto tersebut, hingga tidak bisa tidur. Acara sarapan pagi ini pun terasa hambar baginya. Sementara Adrian terlihat biasa saja seolah
Larissa melangkah cepat melewati koridor. Mencari tahu ruangan tempat putranya dirawat. Hingga dia menemukan seseorang di sana yang dirasa dikenalinya. Prasangka buruk pun semakin menggebu-gebu di hati Larissa kala melihat sosok Silvia tengah bersama Adrian di kursi tunggu. Dengan cepat, Larissa menghampiri dan berusaha untuk tetap terlihat tenang, meskipun hatinya sangat kesal ketika bertemu dengan wanita itu. "Di mana Robin?!" tanyanya kepada Adrian. Adrian segera berdiri setelah kedatangan istrinya, begitu pun juga dengan Silvia yang merasa tidak nyaman karena lebih dahulu datang sebelum Larissa. "Dia sedang dirawat, tenanglah biarkan dokter menanganinya dengan baik," jawab Adrian. Sekilas, kedua mata Larissa beralih ke arah Silvia dan lalu dia menatap Adrian selidik. "Lalu, mengapa ada wanita ini di sini?" tanyanya. "Bukankah seharusnya dia berada di kantornya Alexander?" "Dia ...." Belum sempat Adrian menjelaskan, Larissa mulai menuduh wanita itu dengan dugaan yang ditamba
Dering ponsel berbunyi dari dalam tas bermerek milik Larissa. Wanita itu dengan tenang mengangkat panggilan suaminya sambil seulas senyum palsu muncul di bibirnya. Larissa sedang bersama putranya di dalam mobil dalam perjalanan pulang ke rumah mereka. "Ada apa Adrian?""Apa kau sudah menjemput Robin?" tanya Adrian. "Ya, sekarang aku menuju pulang ke rumah bersama Robin, kau di mana?" Dari suara seberang pun kembali menyahut, "Aku masih banyak pekerjaan di kantor, dan sepertinya-" "Tidak apa-apa jika kau masih sibuk. Aku akan urus Robin hari ini. Aku juga akan menyiapkan makan malam bersama di rumah ayah. Rasanya sudah lama kita tidak berkunjung ke rumahnya. Bagaimana menurutmu?" Setelah menerima sebuah pesan suara dari tiga hari yang lalu. Kini, Larissa semakin yakin bahwa Adrian telah bermain di belakangnya. Rasanya Larissa sudah tidak tahan untuk segera buru-buru menyelidiki Adrian dan selingkuhannya. "Malam ini?" ulang Adrian. "Ya, malam ini. Apa kau bisa?" ulang Larissa.
"Hallo, Nyonya Larissa. Maaf, ternyata aku lebih dahulu datang dari dirimu," sapa Alexander yang bangkit dari kursi saat melihat kedatangan putri dari tuan Müller. Larissa masih terdiam memandang dengan penuh ketidakmengertiannya. Bagaimana bisa Alexander ada di rumah ayahnya, sedangkan tadi siang sang ayah mengatakan tak akan ada tamu siapa-siapa. Selain itu, Adrian juga mengatakan akan adanya pertemuan dengan Alexander. Namun yang dia temui ialah, Alexander ada di rumah sang ayah. Larissa menoleh kepada Gerry, meminta penjelasan karena ini tidak seperti apa yang dikatakan oleh sang bodyguard. Gerry menundukkan kepalanya beberapa detik, kemudian sedikit berbisik, "Maaf, Nyonya, saya benar-benar tidak tahu," ujarnya, pelan. Kemudian tuan Müller meminta putri dan cucunya untuk ikut duduk acara makan malam bersama. Dengan kecanggungan yang terjadi, Larissa tentu saja juga terpikirkan tentang pertemuan antara suaminya dengan Alexander malam ini. Apa yang sebenarnya terjadi? "Lariss